Dosen Pengampu :
Kelompok 8
Khairunnisa 1810321028
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. Atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus B
yang berjudul “Anak dengan Gangguan Komunikasi”. Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan sekaligus wawasan
kepada pembaca mengenai karakteristik, etiologi, jenis dan intervensi anak dengan
gangguan komunikasi.
Kelompok 8
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................1
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
2.1 Definisi Gangguan Komunikasi .........................................................................3
2.2 Karakteristik Anak dengan Gangguan Komunikasi ...........................................4
2.2.1 Characteristics of Languange Disorder ......................................................4
2.2.2 Characteristics of Speech Disorder .............................................................9
2.3 Etiologi Anak Mengalami Gangguan Komunikasi .........................................10
2.3.1 Gangguan Komunikasi .............................................................................10
2.3.2 Gangguang Bahasa ...................................................................................11
2.3.3 Gangguan Bicara ......................................................................................12
2.4 Jenis Gangguan Komunikasi ............................................................................13
2.4.1 Languange Disorder ..................................................................................13
2.4.2 Speech Disorder .........................................................................................16
2.5 Intervensi untuk Anak dengan Gangguan Komunikasi ...................................21
2.5.1 Early Intervention in Delayed Language Development .............................21
2.5.2 Procedures for Students with Language Disorder .....................................26
2.5.3 Procedures for Students with Speech Disorder .........................................28
BAB III PENUTUP ..............................................................................................30
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................30
3.2 Saran.................................................................................................................30
Daftar Pustaka......................................................................................................31
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2. Mengetahui karakteristik anak dengan gangguan komunikasi?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Bahasa baik verbal atau nonverbal dan ucapan (speech) adalah alat yang
menjadi komponen penting untuk komunikasi antar manusia. Komunikasi adalah
proses berbagi informasi dengan orang lain yang melibatkan banyak fungsi
komunikatif seperti membangun interaksi sosial, berbagai ide, perasaan, bertukar
pendapat, dan menolak suatu objek/ interaksi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
berkomunikasi, dibutuhkan proses pengiriman pesan dalam bentuk hal yang dapat
dimengerti (encoding) dan proses menerima serta memahami pesan (decoding).
Gangguan komunikasi dapat merusak kemampuan individu untuk mengirimkan
atau menerima ide, fakta, perasaan, dan keinginannya (Taylor et al, 2009).
Bahasa adalah simbol arbiter yang digunakan berdasarkan aturan tertentu
yang membentuk suatu makna dan digunakan untuk mengirim dan menerima
gagasan. Encoding atau pengiriman pesan disebut juga sebagai bahasa ekspresif,
sedangkan decoding atau memahami pesan, disebut sebagai bahasa reseptif. Speech
adalah sistem atau produk ekspresif suara dari simbol (bahasa) itu sendiri. Speech
mencakup artikulasi, kelancaran, suara, dan kualitas resonansi. Dengan demikian,
ketika individu mengungkapkan suatu gagasan secara lisan, gagasan itu pertama-
tama dikonseptualisasikan (thought), kemudian dirumuskan kedalam kode (bahasa)
dan menghasilkan serangkaian bunyi yang dapat di dengar (speech). Tentu saja
bahasa juga dapat diekspresikan dengan cara manual seperti American Sign
Language (ASL) yang merupakan bahasa isyarat tanpa suara yang digunakan para
komunitas tuli (Hallan et al., 2014). Kategori diagnostik gangguan komunikasi
meliputi, language disorder, speech disorder, childhood-onset fluency disorder
(gagap), social (pragmatic) communication disorder dan gangguan komunikasi
tertentu dan tidak spesifik lainnya (American psychology association, 2013).
American Speech Language Hearing Association (ASHA) mendefinisikan
speech disorder sebagai gangguan dalam artikulasi bunyi, kelancaran, dan/atau
voice. Sedangkan language disorder adalah gangguan atau penyimpangan
3
perkembangan dalam pemahaman dan ekspresi. Keteraturan dalam berbahasa
umumnya meliputi, bentuk bahasa (fonologi, morfologi, dan sintaksis), isi
(semantik) dan penggunaan bahasa (pragmatik). Fonologi berkaitan dengan sistem
bunyi dan aturan yang menggatur penggunaannya. Morfologi adalah aturan yang
mengatur perubahan kata, seperti menambahkan kata imbuhan di awal, tengah atau
akhir untuk membuat bentuk jamak yang tepat, kata kerja dan sebagainya. Sintaks
adalah aturan pengorganisasian kalimat yang bermakna, menempatan subjek dan
predikat dan pengubahannya yang benar. Sedangkan semantik adalah aturan
tentang melapirkan makna dan konsep kata-kata. Pragmatik adalah aturan tentang
penggunaan bahasa untuk tujuan sosial.
4
yang mengalami SLI memiliki masalah bahasa pada salah satu atau lebih
komponen bahasa (fonologi, morfologi, syntax, semantic, pragmantics).
Gangguan fonologis. Gangguan dalam fonologi terbagi menjadi
dua kategori, yaitu gangguan artikulasi dan phonological processing
disorder. Gangguan artikulasi berkaitan dengan produksi kata, maka
artikulasi termasuk ke dalam speech disorder. Phonological processing
disorder merupakan kesulitan dalam mempelajari dan mengatur pola suara
di otak yang menyebabkan ketidakmampuan untuk membentuk suara kata
dengan benar. Tidak seperti individu dengan gangguan artikulasi, individu
dengan gangguan fonologis dapat mengartikulasikan fonem tetapi tidak
menggunakannya dalam pengucapan. Misal, anak menghilangkan bunyi
konsonan di akhir kata, “ca” bukan “cat”, atau mengganti fonem tertentu
untuk semua fonem awal yang memiliki ciri artikulasi yang serupa seperti,
mengatakan “tin” untuk “thin, sin, fin, shin”. Atau anak mungkin
mengartikulasikan fonem dengan benar dalam satu kata tetapi tidak dengan
kata lainnya, seperti mengatakan “sip” untuk kata “ship” dan kemudian
menyebutkan “share” untuk kata “chair”. Jika anak tetap menggunakan
salah satu dari proses fonologis ini pada usia 4 tahun ke atas, maka anak
mungkin perlu untuk mendapatkan intervensi bahasa wicara.
Gangguan morfologis. Seorang individu yang mengalami
gangguan morfologis biasanya ditandai dengan menghilangkan atau
menyalahgunakan morfem tertentu, seperti mengatakan “two mouse” atau
“two mouses” untuk bentuk jamak, “I fall down” atau “I falled down” untuk
past tense. Beberapa anak terkadang tidak menunjukkan kesulitan dalam
bahasa saat berkomunikasi secara lisan, sampai mereka mencapai usia
sekolah. Di sekolah anak diminta untuk menggunakan struktur sintaksis
yang lebih kompleks. Syntactic disorder adalah gangguan dimana
seseorang menggunakan kalimat sederhana (simple sentences) ketika dia
seharusnya menggunakan struktur yang lebih kompleks atau mengalami
kebingunggan dalam menyusun urutan kata untuk membentuk kalimat yang
5
lebih kompleks. Misal seorang anak menyebutkan “My mom is picking up
me today” bukan “My mom picked me up today”.
Semantik disorder. Semantik disorder merupakan gangguan
dimana seseorang hanya mengetahui jumlah kosa kata yang terbatas,
menggunakan kosa kata yang salah, membuat kata-kata baru, mengalami
kesulitan dalam pencarian kata (word retrieval), serta bermasalah dengan
banyak arti dan bahasa kiasan. Beberapa anak juga mungkin baru terlihat
mengalami kesulitan bahasa disaat duduk dibangku sekolah, disaat
mengharuskan mereka untuk memahami konsep semantik yang lebih
abstrak, seperti bahasa metamoforis. Dalam berbahasa, pengetahuan bahasa
isyarat non-lingusitik dan penggunaanya perlu diajarkan pada individu.
Misal, isyarat mengangguk saat menerima kritikan, dan sebagainya.
Pragmatik merupakan area pertumbuhan bahasa yang paling penting selama
usia sekolah (Lue, 2001 dalam Taylor et al., 2009).
Pragmatic disorder merupakan gangguan dimana seseorang
mengalami kesulitan yang signifikan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial karena kesulitan dalam penggunaan bahasa. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami SLI lebih sedikit
berbicara, lebih sedikit disapa, lebih sedikit berkolaborasi dibandingnya
temannya dalam berkomunikasi dengan teman sebayanya (Brinton et al.,
1997 dalam Taylor et al, 2009). Anak yang mengalami pragmatic disorder
dapat terlihat dari kesulitannya dalam memahami prespektif pendengar,
sulit mengidentifikasi tema atau konsep, sulit dalam menggunakan humor,
dan sulit dalam mempertahankan topik percakapan.
Latar belakang daerah, sosial, dan budaya/etnis anak perlu
dipertimbangkan dalam menganalisis sesuatu yang tampak tidak biasa dari
bahasanya. Setiap perbedaan dalam pengguan bahasa yang dapat diamati
dalam komunitas latar belakang anak tidak dapat diaggap sebagai language
disorder. Siswa yang telah belajar bahasa baru artinya dia baru saja
mempelajari aturan yang berbeda, sehingga mungkin bahasa pertama dapat
menggangu bahasa baru, seperti kelainan bahasa dalam dialek, atau
6
mungkin bahasa pertama yang dimilikiya membuat semakin sulit untuk
belajar bahasa kedua. Anak yang mengalami language disorder, akan
berdampak pada semua bidang akademiknya. Meskipun seorang yang
mengalami SLI dianggap sebagai gangguan dalam bahas lisan, tetapi
banyak juga anak dengan SLI yang menunjukkan kesulitan dalam membaca
dan menulis. Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam fonologi,
memberikan kemungkinan untuk kesulitan dalam memahami asosiasi
simbol suara dan mengelompokkan kata-kata menjadi suku kata. Sedangkan
anak yang mengalami kesulitan pada domain semantik, biasanya mengalami
encoding yang circumlocution (berbicara di sekitar topik), atau penggunaan
kata-kata tertentu yang berlebihan. Seseorang yang memiliki kemampuan
dalam membaca materi yang kebih kompleks, biasanya memiliki
pemahaman prespektif penulis (pragmatic), mampu mengidentifikasi
konsep sentral (semantik dan pragmatik), dan mampu menggunakan bahasa
metafora (semantik). Sedangkan kemampuan seseorang untuk menulis
materi yang lebih kompleks, dapat dilihat dari kemampuan pragmatik untuk
memahami kebutuhan pembaca agar dapat memasukkan infromasi selektif
yang diperlukan.
7
bahasa yang sama seperti anak-anak norma lainnya, tetapi mungkin
kemajuannya dalam berbahasa akan sangat lambat dan tidak sama dengan
pekermbangan bahasa anak sesusianya. Anak intelektual disabilitas
dilaporkan mengalami kesulitan bahasa khususnya pada perkembangan
morfologis dan sintaksis. Mereka juga dapat menunjukkan kelemahannya
dalam kemampuan pragmatis seperti mempertahankan topik percakapan
dan memperbaiki percakapan yang rusak. Kemudian, anak dengan
tunagrahita akan kesulitan dalam menafsirkan ekspresi idiomatic dan
memiliki kosa kata yang terbatas. Sedangkan, anak yang mengalami
emotional or behavioral disorder akan mengalami kesulitan disemua
bidang bahasa yang mana dapat mengganggu proses pendidikannya.
Mereka juga sering mengalami gangguan pragmatis ekspresif yang
sigifikan, memiliki kesempatan yang sedikit dalam berinteraksi dengan
orang lain, dan memiliki lebih sedikit alat untuk berpartisipasi dengan tepat
dalam berinteraksi dengan orang lain.
Anak yang mengalami learning disability akan mengalami kesulitan
pada satu atau lebih komponen bahasa. Mereka kesulitan dalam fonologis,
penggunaan akhiran di morfologis, pemahaman dan penggunaan sintaksis,
konsep semantik, pencarian kata, dan bahasa figurative. Kemudian anak
yang mengalami autism, kesulitan dalam berkomunikasi dan menjalin
interkasi sosial merupakan suatu deficit yang dialaminya. Defisit ini akan
mempengaruhi kemampuan individu untuk membangun hubungan yang
bermakna dengan orang lain. Anak autism biasanya memiliki kelemahan
pada semantik dan pragmatik, tetapi kuat pada bagian artikulasi dan
sintaksis. Mereka cenderung mengalami kesulitan dalam menggunakan
bahasa untuk fungsi sosial, memiliki kesulitan dalam kontak mata yang
baik, memiliki afek yang lemah, dan sulit dalam permainan simbolik. Anak
dengan autism akan menunjukkan salah satu atau semua hal berikut pada
saat berbicara, yaitu echolalia atau pengulangan suara atau kata yang di
dengar, keterampilan repair yang buruk, meghindari interaksi sosial,
8
penggunaan kata “kamu” pada maksud “aku”, kelainan nada, tekanan,
kecepatan, ritme dan intonasi.
9
yaitu interjeksi ( I umm need to ah see), revisions (I have I need to see), frasa
yang tidak lengkap (I need and then−), broken words (I n−[pause]−eed to
see), bunyi yang berkepanjangan (I neeeeed to see), dan repitisi (I
nnnnnneed to see) bunyi, suku kata, kata dan frasa. Pola kerusakan tertentu
dapat digunakan untuk mengidentfikasi fluency disorder yang berbeda.
Fluency disorder yang paling umum adalah gagap (stuttering), disebut juga
sebagai developmental stuttering. Terdapat beberapa definisi gagap yang
berbeda, namun hampir semuanya mengatakan pengulangan sebagian kata
baik itu bunyi atau suku kata, dan bunyi yang berkepanjangan sebagai ciri
utama dari gagap itu sendiri. Setiap repetition dan prolongation
(perpanjangan) disebut sebagai dysfluency. Agar dapat meningkatkan
kefasihan individu yang gagap, bisa dilakukan dengan kegiatan menyanyi,
berakting dari naskah yang dihafal, membaca, dan paduan suara. Selain
ketidaklancaran, individu yang gagap hampir selalu menampilkan perilaku
struggle yang sejalan dengan speech disorder mereka. Seperti ayunan
lengan, kedipan mata, dan mengetukkan kaki ke lantai. Perilaku tersebut
merupakan upaya untuk menghindari dysfluency. Gangguan ini paling
banyak terjadi pada anak usia 2 tahun dan 10 tahun (Craig et al., 2006 dalam
Taylor et al., 2009). Dalam sebagian besar kasus language disorder dan
speech disorder dengan hanya mengetahui penyebab terjadinya tidak
membuat kita bisa menentukan kebutuhan pendidikan anak yang teapt,
tetapi dengan mengidentifikasi karakteristik dan kebutuhan setiap siswa,
barulah rencana intervensi yang tepat dapat dikembangkan.
10
otak traumatis. Selain itu, gangguan bicara dan bahasa dapat diklasifikasikan
sebagai organik atau fungsional. Gangguan komunikasi organik dapat terjadi akibat
struktur yang menyimpang atau malfungsi neuromuskular pada organ bicara,
seperti langit-langit mulut sumbing. Penyebab organik mungkin terkait dengan
keturunan, faktor selama kehamilan, trauma kelahiran, kecelakaan, atau penyakit
(Hall et al., 2001). Gangguan bicara dan bahasa lainnya mungkin fungsional, tanpa
penyebab organik yang diidentifikasi untuk menjelaskan gangguan tersebut; saat
ini mereka dianggap sebagai hasil belajar, psikologis, atau faktor lingkungan (Hulit
& Howard, 2002). Dalam praktiknya, penyebab gangguan bicara atau bahasa
tertentu jarang mudah ditentukan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
gangguan komunikasi termasuk kurangnya perawatan prenatal yang memadai,
penyalahgunaan zat selama kehamilan, kelahiran prematur, kemiskinan, anomali
kraniofasial, kurangnya stimulasi di masa kanak-kanak, genetika, dan gangguan
pendengaran (Hall et al., 2001).
11
terjadi pada anak-anak dengan gangguan perkembangan seperti cacat intelektual
dan autisme. Anak-anak dengan gangguan bahasa sekunder ini masing-masing
menyajikan profil kesulitan dan etiologi bahasa yang unik.
12
dengan sekolah dasar dengan disabilitas cerebral palsy memiliki
gangguan suara sekunder karena kurangnya kontrol neuromuskular
respirasi. Misalnya, pernapasan yang lemah dapat menyebabkan suara
yang tidak cukup keras.
3. Kerusakan neurologis dan faktor psikologis, di antara penyebab
lainnya, dapat menyebabkan: gangguan kelancaran. Beberapa teori
yang didasarkan pada penyebab organik telah diajukan, biasanya
berpusat pada sistem saraf atau pada pernapasan, suara, atau
artikulatoris aspek sistem bicara. Beberapa berpendapat bahwa gagap
adalah perilaku yang dipelajari. Studi terbaru menunjukkan bahwa
faktor genetik berperan dan banyak, jika tidak sebagian besar, individu
mewarisi sifat-sifat yang mempengaruhi mereka untuk
mengembangkan gagap. Genetik ini sifat merusak kemampuan untuk
menyatukan berbagai gerakan otot yang diperlukan untuk
menghasilkan kalimat yang fasih (ASHA, 2006b). Setelah gagap
berkembang, lainnya faktor, seperti frustrasi, kecemasan, dan
tanggapan pendengar, dapat mempertahankan atau memperburuk
disfluency.
13
diperdebatkan. Nelson (1998) membahas enam teori bahasa yang telah
mendominasi studi komunikasi manusia di berbagai waktu. Enam teori tersebut
antara lain :
1. Pembelajaran bahasa tergantung pada perkembangan otak dan fungsi otak
yang tepat. Gangguan bahasa terkadang merupakan akibat dari disfungsi
otak,
2. Pembelajaran bahasa dipengaruhi oleh konsekuensi perilaku bahasa.
Keteraturan bahasa dapat merupakan hasil dari pembelajaran yang tidak
tepat.
3. Bahasa dapat dianalisa sebagai input dan output yang berhubungan dengan
cara informasi itu diproses. Pemrosesan yang salah dapat menyebabkan
beberapa gangguan bahasa
4. Bahasa diperoleh melalui proses biologis yang menentukan aturan yang
mengatur bentuk, isi, dan penggunaan bahasa.
5. Bahasa adalah salah satu dari banyak keterampilan kognitif. Gangguan
bahasa mencerminkan masalah dasar dalam berpikir dan belajar
6. Bahasa muncul dari kebutuhan untuk berkomunikasi dalam interaksi sosial.
Gangguan bahasa adalah gangguan dalam kemampuan untuk berhubungan
secara efektif dengan lingkungan
Gangguan bahasa dapat diklasifikasikan menurut dua dimensi utama yaitu
domain (sub sistem atau jenis) dan etiologi (penyebab).
1. Domain (subsistem)
a. fonologis (bunyi), bunyi yang digunakan dalam berbahasa dan akan
menunjukkan suara apa yang terjadi, kombinasi suara apa yang akan
terbentuk
b. morfologis (bentuk kata), mempelajari kata dan pembentukan kata serta
melibatkan aturan yang mengatur penggunaan unit signifikan terkecil
c. sintaksis (urutan kata dan struktur kalimat), urutan kata atau mencakup
aturan untuk membentuk frasa, klausa, dan berbagai jenis dari kalimat.
d. semantik (makna kata dan kalimat), makna kata termasuk pada kiasan
e. pragmatik (penggunaan) penggunaan kata dalam berbahasa
14
2. Etiology (penyebab)
Klasifikasi berdasarkan etiologi menyediakan dua subtipe: primer dan
sekunder. Gangguan bahasa primer tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan
gangguan sekunder disebabkan oleh kondisi lain, seperti cacat intelektual,
a. Primary Language Disorders
Specific language impairment (SLI)
Anak-anak dengan SLI merupakan yang terbesar jumlah mereka
yang menerima layanan intervensi bahasa. Anak-anak dengan SLI
mungkin memiliki masalah bahasa terutama dalam satu komponen
bahasa, atau mereka mungkin memiliki kesulitan di beberapa
komponen bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan
pragmatik. Gangguan bahasa adalah jenis gangguan komunikasi
yang paling umum mempengaruhi anak-anak (Justice, 2006). Para
peneliti telah mencoba untuk menentukan penyebab dan sifat SLI
selama beberapa dekade tanpa banyak keberhasilan. Faktor
lingkungan tertentu, seperti kemiskinan dan keterbatasan input
bahasa, telah lama diketahui meningkatkan risiko SLI. Bukti terbaru
telah menunjukkan biologis atau faktor genetik yang mempengaruhi
beberapa individu untuk SLI.
Early expressive language delay (EELD)
Keterlambatan bahasa ekspresif awal (EELD) mengacu pada
keterlambatan yang signifikan dalam bahasa ekspresif
Language-based reading impairment
Melibatkan masalah membaca berdasarkan gangguan bahasa.
Gangguan ini tidak dapat diidentifikasi sampai anak mulai belajar
membaca dan memiliki masalah.
b. Secondary Language Disorders
Literatur tentang gangguan bahasa sering kali mencakup diskusi
tentang gangguan komunikasi tertentu dari individu dengan kondisi
disabilitas spesifik lainnya, Misalnya, gangguan bahasa sekunder
sering terjadi pada anak-anak dengan gangguan perkembangan
15
seperti cacat intelektual dan autisme (Owens, 2004). Kesulitan
dalam menggunakan bahasa dalam interaksi dan hubungan sosial
sekarang dilihat sebagai masalah dasar di banyak gangguan
emosional dan perilaku, misalnya, dapat berkisar dari keengganan
sosial atau penarikan untuk bertindak parah dan agresi (McCabe &
Marshall, 2006; Rogers-Adkinson & Griffith, 1999).
Gangguan bahasa juga dapat membatasi interaksi sosial individu
dengan teman sebaya. Misalnya, dalam studi penggunaan teknologi ponsel
remaja, siswa dengan SLI mengirim sms teman-teman mereka lebih jarang
daripada rekan-rekan mereka tanpa SLI, sehingga lebih sedikit kesempatan
untuk mengembangkan jaringan sosial (Conti-Ramsden, Durkin, & Simkin,
2010).
16
memiliki representasi internal konsonan di akhir kata akan mengucapkan
hat sebagai ha dan dog sebagai do.
Fonologi berkaitan dengan literasi. Belajar membaca membutuhkan
pemahaman dalam kaidah alfabet. Kesadaran fonologis merupakan sebuah
pemahaman mengenai struktur suara suatu bahasa yang mencakup
kemampuan untuk meleburkan suara ke dalam kata-kata, untuk
mengelompokkan kata-kata menjadi suara dan sebaliknya memanipulasi
suara bahasa lisan. Tanpa kesadaran fonologis, anak-anak tidak dapat
memahami kaidah alfabet yang mana, yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk memecahkan kode kata. Selain itu, defisit dalam
memori kerja dan pengambilan kata dianggap sebagai gangguan
pemrosesan fonologis.
17
tidak mungkin. Perubahan struktural yang relatif kecil seperti kehilangan
gigi dapat menghasilkan kesalahan sementara. Artikulasi yang buruk juga
dapat disebabkan oleh gangguan pendengaran.
Sebagian besar sekolah di Barat menyaring murid baru terkait
dengan masalah bicara dan bahasa, dan dalam banyak kasus, seorang anak
yang masih membuat kesalahan dalam artikulasi di kelas tiga atau empat
akan dirujuk untuk evaluasi. Keputusan untuk memasukkan atau tidak
memasukkan seorang anak dalam terapi wicara-bahasa bergantung pada
sejumlah faktor seperti usia anak, karakteristik perkembangan, dan
penilaian ahli patologi tentang kemungkinan bahwa anak akan mengoreksi
kesalahan secara mandiri dan adanya hukuman sosial seoerti ejekan dan rasa
malu yang dialami sang anak. Apabila anak salah mengartikulasikan hanya
pada beberapa suara, tetapi melakukannya secara konsisten dan merasa
malu atau adanya penolakan sosial, maka perlu diberikan program
intervensi.
18
3. Gangguan neurologis: gangguan yang diakibatkan oleh
disfungsi sistem saraf.
Gangguan suara yang berkaitan dengan resonansi-kualitas vokal-
dapat disebabkan oleh kelainan fisik rongga mulut (seperti celah langit-
langit mulut) atau kerusakan pada otak atau saraf yang mengendalikan
rongga mulut. Infeksi pada amandel, kelenjar gondok, atau sinus juga dapat
mempengaruhi resonansi suara. Kebanyakan orang yang memiliki
gangguan pendengaran parah memiliki masalah dalam mencapai suara
resonansi yang tepat, sehingga seseorang tidak belajar dengan suara
resonansi yang benar.
Seorang guru perlu untuk mengamati anak-anak terkait gejala umum
dari gangguan suara seperti suara serak, sesak napas, afonia, nada aneh
(suara terlalu tinggi atau terlalu rendah), atau suara keras atau lembut yang
tidak tepat. Guru yang mencatat kemungkinan adanya masalah pada anak
harus meminta ahli patologi wicara-bahasa untuk melakukan evaluasi.
19
dini penting untuk mencegah perkembangan gagap kronis. Apabila gagap
persisten tidak diobati, dapat mengakibatkan gangguan gagap seumur hidup
yang berefek pada kemampuan komunikasi, mengembangkan perasaan
positif tentang diri sendiri, dan mengejar peluang pendidikan dan pekerjaan
tertentu (Conture, 2001).
20
memperbaikinya, tetapi usaha untuk memperbaiki itu justru membuat
orang lain malah kesulitan untuk memahami apa yang dia bicarakan.
Developmental apraxia merupakan gangguan yang muncul saat
anak mengembangkan perkembangan berbicara dan bahasanya. Anak-
anak dengan gangguan ini menunjukkan keterlambatan yang
signifikan dalam kemampuan untuk menghasilkan suara ucapan dan
untuk mengatur suara menjadi kata-kata untuk percakapan yang
efektif. Sementara itu, acquired apraxia memiliki gejala yang mirip,
tetapi terjadi karena stroke atau jenis kerusakan otak lainnya setelah
belajar bicara. Biasanya, penderita apraksia tahu bahwa dia membuat
kesalahan dan ingin memperbaikinya, tahu apa yang ingin dia ucapkan
tapi tidak bisa melakukannya. Hal itu membuat mereka jadi frustrasi.
21
menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka memahami bahasa dan tidak
menggunakan bahasa secara spontan. Mereka mungkin membuat suara, tetapi
mereka menggunakannya untuk berkomunikasi dengan cara yang mungkin menjadi
ciri komunikasi bayi dan balita sebelum mereka belajar berbicara. Dengan kata lain,
mereka mungkin menggunakan komunikasi pralinguistik. Misalnya, mereka
mungkin menggunakan gerakan atau suara vokal untuk meminta objek atau
tindakan dari orang lain, untuk memprotes, untuk meminta rutinitas sosial
(misalnya, membaca), atau untuk menyapa seseorang.
A. Keterlibatan Keluarga
Para peneliti menjadi semakin sadar bahwa perkembangan bahasa dimulai
pada interaksi ibu-anak yang paling awal. Kepedulian terhadap perkembangan
kemampuan berkomunikasi anak tidak lepas dari kepedulian terhadap
perkembangan di bidang lain. Oleh karena itu, ahli patologi adalah bagian penting
dari tim multidisiplin yang mengevaluasi bayi atau anak kecil penyandang cacat
dan mengembangkan rencana layanan keluarga individual (IFSP). Program
intervensi dini melibatkan perluasan peran orang tua. Ini berarti banyak permainan
sederhana dengan verbalisasi yang menyertainya. Ini berarti berbicara dengan anak
tentang objek dan aktivitas seperti kebanyakan ibu berbicara dengan bayinya. Tapi
itu juga berarti memilih objek, aktivitas, kata, dan konsekuensi untuk vokalisasi
anak dengan sangat hati-hati untuk meningkatkan kemungkinan bahwa anak akan
belajar bahasa fungsional (Fey, Catts, & Larrivee, 1995).
Spesialis anak usia dini sekarang menyadari bahwa intervensi pralinguistik
sangat penting untuk perkembangan bahasa—yaitu, intervensi harus dimulai
sebelum bahasa anak muncul. Fondasi untuk bahasa diletakkan dalam beberapa
bulan pertama kehidupan melalui pengalaman yang merangsang dengan orang tua
dan pengasuh lainnya (Koury, 2007). Pada tahun-tahun awal penerapan IFSP, para
pendidik menekankan penilaian kekuatan dan kebutuhan keluarga dan melatih
orang tua bagaimana mengajar dan mengelola anak-anak mereka. Orang tua
memang bisa dibantu oleh tenaga profesional untuk berperan penting dalam
perkembangan bahasa anak-anaknya. Tetapi penekanannya saat ini adalah bekerja
22
dengan orang tua sebagai mitra yang berpengetahuan dan kompeten yang preferensi
dan keputusannya dihormati (Hammer & Weiss, 2000).
Intervensi pada anak usia dini kemungkinan akan didasarkan pada penilaian
perilaku anak terkait dengan isi, bentuk, dan terutama penggunaan bahasa dalam
interaksi sosial. Untuk anak yang belum belajar bahasa, penilaian dan intervensi
akan fokus pada imitasi, permainan ritual dan khayalan, bermain dengan benda-
benda, dan penggunaan benda-benda secara fungsional. Pada tahap awal penting
untuk mengevaluasi sejauh mana anak melihat atau mengambil objek ketika
dirujuk, melakukan sesuatu dengan objek ketika diarahkan oleh orang dewasa, dan
menggunakan suara untuk meminta atau menolak sesuatu dan menarik perhatian
pada objek. Di prasekolah, pengajaran wacana (keterampilan percakapan) adalah
fokus penting dari intervensi bahasa. Anak-anak harus belajar, misalnya, untuk
melaporkan pengalaman mereka secara rinci dan menjelaskan mengapa sesuatu
terjadi, bukan hanya menambah kosa kata mereka. Mereka harus belajar tidak
hanya bentuk kata dan makna tetapi juga bagaimana bergiliran dalam percakapan
dan mempertahankan topik percakapan atau mengubahnya dengan cara yang tepat.
Tren saat ini diarahkan untuk memberikan intervensi bicara dan bahasa di
lingkungan anak-anak. Ini berarti bahwa guru kelas dan ahli patologi wicarabahasa
harus mengembangkan hubungan kerja yang erat. Ahli patologi wicara-bahasa
mungkin bekerja secara langsung dengan anak-anak di dalam kelas dan menasihati
guru tentang intervensi yang dapat ia lakukan sebagai bagian dari kegiatan kelas
reguler. Atau, ahli patologi wicara-bahasa mungkin bekerja dengan guru secara
langsung untuk membantunya menggabungkan praktik instruksional yang efektif
untuk siswa ini.
Biasanya teman sebaya yang sedang berkembang telah diajarkan untuk
membantu perkembangan bahasa anak-anak seperti permainan sosiodramatis.
Anak-anak diajari dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang, termasuk anak
penyandang disabilitas, untuk memerankan peran sosial seperti yang mungkin
dilakukan orang-orang tersebut di berbagai tempat (misalnya, restoran atau toko
sepatu). Pelatihan ini mencakup skrip yang menentukan apa yang harus dilakukan
23
dan dikatakan setiap anak, yang dapat dimodifikasi oleh anak-anak dengan cara
yang kreatif.
Untuk guru dan profesional lain yang melayani siswa penyandang cacat,
pemahaman tentang gangguan komunikasi dan intervensi sangat penting karena
tiga alasan dasar: (1) kemampuan bahasa berhubungan dengan keberhasilan
akademik, (2) ada hubungan yang kuat antara siswa penyandang cacat dan
kekurangan bahasa, dan (3) kekurangan bahasa mungkin merupakan indikator
paling awal dari masalah lain.
1. Instructional Content
Saat merencanakan konten instruksional untuk siswa dengan
gangguan komunikasi, pertimbangan utama terkait dengan intervensi bicara
dan/atau bahasa. Implikasi dari gangguan komunikasi pada prestasi
pendidikan, keterampilan perilaku sosial, dan keberhasilan pekerjaan harus
ditangani. Gangguan bahasa dapat mengakibatkan kemampuan pemecahan
masalah yang buruk dan penyimpanan dan pengambilan informasi yang
buruk, yang secara signifikan dapat mempengaruhi keberhasilan akademis.
Selain itu, kemampuan bahasa anak dapat mempengaruhi hasil sosial seperti
hubungan teman sebaya, hubungan keluarga, dan pekerjaan di kemudian
hari. Misalnya, kosakata baru dan pengetahuan tentang interaksi yang tepat
dalam konteks pekerjaan tertentu mungkin perlu diajarkan.
Jika guru dan bahasa wicara patolog memahami bahasa dan
manifestasinya dalam tugas sosial dan akademik, mereka dapat menerapkan
program yang terintegrasi bahasa dan bermanfaat bagi siswa dengan
gangguan komunikasi. Area yang kemungkinan besar akan menjadi fokus
adalah literasi. Ada semakin banyak bukti bahwa pengajaran awal yang
berfokus pada bahasa dan keterampilan komunikasi dapat meningkatkan
keberhasilan akademis anak-anak dengan gangguan komunikasi, terutama
dalam membaca (Moats, 2001). Tanpa intervensi, gangguan komunikasi
mungkin memiliki konsekuensi serius yang luas. Maka tidak mengherankan
jika anak-anak yang mengalami kesulitan belajar bahasa sering mengalami
kesulitan membaca dan bahasa lainnya. keterampilan seni.
24
Tujuan dan sasaran untuk siswa dengan gangguan komunikasi harus
dirancang dalam konteks kurikulum pendidikan umum untuk mendukung
pembelajaran konten dan untuk mengambil keuntungan dari konteks
komunikasi sosial di kelas (Dodge, 2004). Untuk siswa dengan gangguan
yang lebih parah, intervensi harus fokus pada peningkatan keterampilan
komunikasi daripada pengembangan kejelasan bicara dan bahasa. Hal ini
membutuhkan penilaian fungsional lingkungan untuk menentukan
kebutuhan komunikasi anak. Fokus intervensi harus fungsional,
mengajarkan anak keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi penuh
dalam lingkungan di mana dia tinggal, bekerja, dan menghabiskan waktu
luang. Untuk membantu dalam pengembangan dan implementasi intervensi
bahasa, ada banyak materi dan program perangkat lunak komputer yang
tersedia di semua area untuk siswa dari segala usia. Salah satu kurikulum
paling terkenal untuk pengembangan bahasa adalah Peabody Language
Development Kits-Revised (Dunn, Smith, Dunn, & Horton, 1981).
Kurikulum ini mencakup gambar, wayang, bentuk, dan materi
lainnya untuk meningkatkan kemampuan bahasa lisan pada anak usia
prasekolah hingga usia 7 tahun. Materi juga tersedia secara komersial yang
berfokus pada bunyi ujaran tertentu, seperti kartu fl yang berisi fonem
tertentu atau konsep bahasa tertentu. Misalnya, Pembuat Kalimat Fokes
(Sumber Pengajaran DLM) menggunakan strip kalimat dirancang untuk
membantu siswa di kelas 1 hingga 6 mengembangkan kalimat yang semakin
panjang dan kompleks. Perangkat Bahasa Nonverbal (Linguisystems)
menyediakan kurikulum untuk kelas 2 sampai 11, dan banyak lagi.
2. Instructional Procedures
Prosedur untuk mengajarkan target bicara dan bahasa kepada siswa
dengan gangguan komunikasi akan bervariasi berdasarkan masalah spesifik
dan individu. Untuk membantu hal ini, kelas harus dirancang untuk
mendorong partisipasi verbal, idealnya dengan melibatkan siswa dengan
materi dan aktivitas yang menarik. Perhatikan interaksi berikut, di mana
guru berusaha agar anak menghasilkan bentuk kata kerja progresif “saat ini”
25
Guru: (Menunjukkan gambar seorang anak laki-laki mengendarai
sepedanya.) Apa yang dilakukan anak laki-laki itu?Siswa: Naik sepeda.
Guru: Gunakan kalimat lengkap.
Siswa: Anak laki-laki itu sedang mengendarai sepeda.
Respon pertama siswa adalah cara alami untuk menjawab
pertanyaan seperti itu. Namun, dengan minat guru dalam mempraktekkan
bentuk “is + ing”, siswa dituntut untuk merespon dengan cara yang berbeda
(Smiley & Goldstein, 1998). Intervensi dalam lingkungan alami seperti
ruang kelas anak memberikan banyak kesempatan untuk berlatih bahasa
dalam bentuk alaminya. Selain guru kelas, teman sebaya dan anggota
keluarga dapat berperan sebagai agen penting untuk intervensi bahasa.
Setiap tindakan komunikatif berpotensi meningkatkan keterampilan
komunikasi. Orang tua dapat memilih untuk mengambil peran yang lebih
langsung dalam intervensi bicara dan bahasa dengan melayani sebagai tutor
atau membantu anak mengerjakan pekerjaan rumah.
26
menggunakan pernyataan berpikir keras seperti, “Coba lihat, saya akan
membutuhkan kertas untuk printer untuk menyelesaikan draf terakhir saya.
Di mana saya meletakkan kertas saya? Oh ya, aku harus pergi ke lemari
persediaan. Di situlah saya meletakkannya kemarin. ” Contoh ini juga
menggunakan bentuk lampau, yang merupakan tujuan sebelumnya
(Smiley & Goldstein, 1998).
d. Menggunakan Pembicaraan Paralel: Berbicara tentang apa yang siswa
lakukan saat dia melakukannya. Misalnya, jika klausa subordinatif
difokuskan pada, “Syrynthia akan memasukkan dua sendok makan
mentega karena kita menggandakan resep."
e. Prosedur Cloze: Memulai ucapan dan membiarkan anak
menyelesaikannya. Misalnya, menargetkan kosakata khusus, “Nama lain
untuk mobil adalah ____.”
Permainan dan aktivitas dapat dikembangkan untuk fokus pada bentuk,
struktur, atau kosa kata tertentu. Misalnya, bermain game Jeopardy in Social
Studies adalah cara terbaik untuk melatih pengembangan pertanyaan Wh. Bingo
Jamak, Konsentrasi Kosakata, atau papan permainan yang membutuhkan
penggabungan dua kalimat secara berurutan
27
pendidikan khusus atau umum dapat sangat membantu SLP dalam
menangani masalah suara
b. Salah artikulasi. Tujuan dalam terapi artikulasi adalah agar seorang anak
menghasilkan suara bicara yang benar dalam semua situasi berbicara (Hall
et al., 2001). Ini biasanya melibatkan perkembangan bertahap dari konteks
yang panjang seperti bergerak dari menghasilkan suara secara terpisah,
kemudian menghasilkan suara dalam suku kata, menggunakan suara dalam
kata-kata, menggunakannya dalam kalimat pendek, hingga
menggunakannya dalam bahasa kalimat yang lebih panjang. Untuk
menggeneralisasi produksi ini dari pengaturan terapi wicara ke semua
pengaturan, kolaborasi antara SLP yang memberikan terapi dan profesional
lain dan anggota keluarga di lingkungan siswa diperlukan. Semua individu
harus menyadari suara dan konteks yang ditargetkan, dan harus memberikan
model dan kesempatan untuk mempraktikkan suara ini baik dalam
komunikasi akademis maupun spontan.
c. Gangguan kelancaran. Yaitu ada modifikasi gagap. Dengan pendekatan
modifikasi gagap, orang yang gagap belajar mengatur atau mengendalikan
disfluencynya. Artinya, ketidakstabilan yang tegang dan tidak terkendali
yang umum terjadi pada gagap digantikan oleh gangguan dalam kelancaran
yang lebih mudah dikendalikan oleh individu tersebut. Misalnya, pembicara
yang biasanya menghasilkan gangguan yang panjang dan tegang secara fisik
belajar untuk memodifikasi gangguan ini menjadi jeda yang lebih singkat
dan relatif mudah dalam berbicara (ASHA, 2006b). Sebagian besar anak
yang gagap fasih ketika membaca nyaring bersama-sama dengan orang lain,
sehingga kelas membaca berpasangan dapat menjadi prosedur yang
berharga untuk digunakan selama waktu membaca lisan (Trautman, 2006).
Secara umum, siswa dengan masalah kefasihan harus diberikan materi dan
tanggung jawab yang sama seperti anak-anak lain, dan SLP dan guru kelas
harus mendiskusikan tujuan tertentu
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
29
3.2 Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
31