Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PSIKOLOGI FORENSIK

Conversation Management

Oleh Kelompok 3B:

Sylvia Dewiriza (1810321026)

Aulia Rahmatika (1810322001)

Miftahatun Najaah (1810323012)

Adinda Naila Syafitri (1810323013)

Dosen Pengampu :

Nila Anggreiny, M.Psi., Psikolog

Septi Mayang Sarry, M.Psi., Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan limpahan rahmat dan karunia sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Conversation Management dengan tepat waktu. Makalah
ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Forensik.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Kami juga
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dengan segala
kerendahan hati, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari
para pembaca guna meningkatkan dan memperbaiki pembuatan makalah pada
tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Padang, September 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Definisi Conversation Management (CM).....................................................3

2.2 Elements Managing Conversation..................................................................3

2.3 The Conversation Management Model...........................................................4

2.4 The Forensic Psychologist and Police Interrogations...................................7

2.5 The Psychology of False Confession..............................................................7

2.5.1 Three Types of False Confession.............................................................7

2.5.2 How Many Confessions Are False?........................................................8

2.5.3 False Confessions in the Real World.......................................................9

2.5.4 False Confessions in the Laboratory.....................................................10

2.6 The Role of Police in Generating Confessions.............................................10

2.6.1 The Goals of Interrogations..................................................................11

2.6.2 What Can Police Do and What Can’t They Do?...................................11

2.6.3 What Can Psychologists Contribute?....................................................15

BAB III PENUTUP...............................................................................................22

3.1 Kesimpulan...................................................................................................22

3.2 Saran.............................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengakuan terdakwa (pengakuan bersalah) adalah bukti paling penting
yang dapat dihadirkan di persidangan terdakwa (Kassin, 1997). Oleh karena
sifatnya yang sangat penting, pengadilan perlu waspada dengan keadaan di
mana pengakuan diperoleh. Pencarian pengakuan dari tersangka oleh polisi
dan jaksa sangat sengit dan kadang-kadang bahkan hiruk pikuk. Dalam
semangat mereka untuk mendapatkan pengakuan bersalah, polisi dapat
mengintimidasi tersangka yang tidak bersalah.
Selain itu, teknik yang dirancang dan diajarkan kepada petugas polisi
untuk mendapatkan pengakuan bekerja terlalu baik dimana mereka
mendapatkan lebih banyak pengakuan yang benar, tetapi juga lebih banyak
yang palsu. Tidak semua pengakuan mewakili kebenaran, dan salah satu tugas
psikolog forensik adalah meyakinkan aparat penegak hukum untuk
memeriksa kembali prosedur interogasi mereka.

Makalah ini akan membahas salah satu topik paling penting dalam
psikologi forensik. Makalah berisi bagaimana polisi menggunakan interogasi
untuk mendapatkan pengakuan, apa yang diizinkan pengadilan untuk
dilakukan dan dilarang oleh polisi, dan bidang psikologis apa yang harus
diterapkan pada tugas detektif polisi.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan conversation management?
2. Apa saja elemen dari managing conversation?
3. Apa saja model dari managing conversation?
4. Apa peran yang tepat psikolog forensik ketika diminta untuk meninjau
proses atau hasil dari interogasi polisi?
5. Apa saja jenis pengakuan palsu yang biasa dilakukan tersangka?
6. Bagaimana peran polisi dalam memunculkan pengakuan tersangka?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui definisi conversation management.
2. Mengetahui elemen dari managing conversation.
3. Mengetahui model dari managing conversation.
4. Mengetahui peran psikolog forensik ketika diminta untuk meninjau proses
atau hasil dari interogasi polisi.
5. Mengetahui jenis pengakuan palsu yang biasa dilakukan tersangka.
6. Mengetahui peran polisi dalam memunculkan pengakuan tersangka.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 `Definisi Conversation Management (CM)


Conversation Management adalah teknik wawancara, yang
diusulkan oleh Eric Shepherd, yang menekankan kesadaran interviewer dan
manajemen wawancara, baik secara verbal maupun non-verbal (Davies &
Beech, 2017). Eric Shepherd, menciptakan istilah Conversation Management
pada tahun 1983 ketika dia menjadi anggota pelatihan Kepolisian Kota
London. Conversation management dikembangkan secara khusus untuk
digunakan pada orang yang tidak ingin diwawancarai (unwilling
interviewees). Dalam wawancara ini interviewer harus mengambil kendali
lebih awal dalam wawancara dan mengelolanya secara berbeda.

Wawancara pada dasarnya adalah percakapan dengan tujuan


sehingga perlu dikelola dengan tepat. Conversation management bertujuan
untuk memberi interviewer kerangka kerja yang tepat untuk mengelola
percakapan. Interviewer harus mampu mengelola perilaku verbal dan non-
verbal dari diri mereka sendiri, interviewee dan mungkin pihak ketiga.
Conversation management didasarkan pada penelitian memori yang ekstensif.
Pendekatan ini paling sering digunakan dengan tersangka namun juga ada
yang digunakan pada saksi.

2.2 Elements Managing Conversation


Ada lima elemen kunci yang digunakan untuk conversation
management yang tepat (Forensic Interview Solutions) :
1. Kontak (Contact) yaitu menjalin hubungan dan menetapkan maksud dan
tujuan pertemuan.
2. Isi (Content) yaitu untuk memperoleh fakta menggunakan pertanyaan
yang tepat.
3. Perilaku (Conduct) yaitu cara mendapatkan isi/konten
4. Kredibilitas (Credibility) yaitu terkait cara persepsi interviewer.

3
5. Kontrol (Control) yaitu terkait keseluruhan alur wawancara.

2.3 The Conversation Management Model


Ada dua tahapan conversation management dalam mewawancarai
tersangka yaitu
1. Akun (Account)
Interviewer memulai agenda tersangka (suspect agenda) dengan
mengajukan pertanyaan terbuka terkait dengan pelanggaran yang
dimaksud. Tersangka diizinkan untuk mengatakan apa pun yang mereka
inginkan tentang pengetahuan dan ingatan mereka tentang pelanggaran.
Interviewer mengizinkan tersangka untuk berbicara dengan kata-katanya
sendiri dan tidak menyela. Setelah itu dilanjutkan ke agenda penyidik
(investigator agenda).
Dalam agenda penyidik, tujuan interviewer adalah untuk
mengklarifikasi keterangan tersangka, bukan menantangnya, untuk
mendapatkan sedetail mungkin dan untuk mengeksplorasi topik dan
masalah yang menjadi perhatian penyidik yang tidak tercakup dalam
agenda tersangka. Pada tahap ini interviewer mencoba untuk mendapatkan
apa yang disebut detail halus tentang objek (fine-grained-detail about the
objects), yaitu terkait tindakan dan peristiwa yang dijelaskan dalam akun
tersangka. Misalnya, jika tersangka menyatakan bahwa ia sedang
mengendarai mobil kuning, interviewer akan menanyakan lebih detail
mobil tersebut; nomor platnya, warna interior dll. Keuntungannya adalah
semakin detail interviewer menyelidik maka akan semakin banyak
informasi yang ada untuk melanjutkan penyelidikan yang dapat digunakan
sebagai petunjuk baru dan/atau untuk menguji akun tersangka. Jika
tersangka tidak memberikan penjelasan selama fase agenda tersangka,
wawancara akan langsung beralih ke fase agenda investigator
2. Tantangan - Fase tantangan (Challenge – Challenge phase)
Fase tantangan dapat dilaksanakan apabila agenda investigator
telah dilaksanakan. Dalam fase tantangan atau 'tantangan' penyelidik
mengeksplorasi akun tersangka menggunakan inkonsistensi dan
ketidakakuratan yang diidentifikasi dari sumber lain (termasuk bukti

4
forensik). Dengan sampai pada tahap ini, kemungkinan kecil bahwa proses
wawancara akan menciptakan ketidakpastian yang mencurigakan tentang
tersangka yang akan meningkatkan risiko sugesti dan/atau omong kosong.
Selain itu, juga membatasi kemungkinan tersangka menipu yang sengaja
mengubah keterangannya untuk mengakomodasi informasi yang diberikan
oleh interviewer.
Tuntutan/permintaan klarifikasi harus disampaikan dengan tenang
dan terkendali yang hanya meminta tersangka untuk
mempertanggungjawabkan keterangannya. Kemarahan atau ancaman
harus dihindari karena ini meningkatkan risiko sugestibilitas. Pendekatan
terhadap tantangan/klarifikasi ini juga membatasi kemungkinan bahwa
bukti wawancara akan dikeluarkan dari pengadilan dengan alasan taktik
wawancara yang menindas atau memaksa.
Di antara masing-masing dari ketiga fase tersebut, struktur
conservation management menyarankan untuk mengambil jeda agar
memberikan waktu bagi interviewer untuk mengevaluasi proses dan hasil
dari fase tersebut. Evaluasi ini dapat membentuk pengembangan
pertanyaan lebih lanjut dan memastikan bahwa semua bidang telah
tercakup sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya; misalnya, jeda setelah
agenda investigator yang memungkinkan interviewer untuk merenungkan
sejauh mana mereka telah meliput semua bidang yang ingin mereka liput.
Dengan CM, interviewer memperoleh informasi secara sistematis
dan terencana. CM berbeda dengan pendekatan tanya jawab biasa karena
wawancara dimulai dengan kesempatan bagi tersangka untuk memberikan
versi kejadiannya tanpa gangguan. Metode ini juga tidak bertujuan untuk
mendapatkan pengakuan atau mempermalukan tersangka dengan bukti
yang bertentangan dengan akun mereka. Sebaliknya, tujuannya adalah
untuk memaksimalkan informasi dan menyoroti ketidakkonsistenan hanya
ketika tersangka telah memberikan versi mereka sendiri tentang peristiwa
tersebut.
3. Proses Pasca Wawancara

5
Interviewer perlu melengkapi ringkasan wawancara yang akurat
dan memutuskan melalui mekanisme pemrosesan informasi apakah
penyelidikan lebih lanjut diperlukan. Tugas ini sulit dan akan
membutuhkan pendekatan berpikiran terbuka. Wawancara adalah proses
yang rumit, kompleks dan sulit Sehingga dengan adanya CM berusaha
keras untuk menguraikan cara yang terstruktur dan sistematis untuk
mewawancarai dengan tepat.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian integral dari wawancara, sama seperti
fase lainnya. wawancara hanya efektif jika :
1. Mengetahui mengapa dan bagaimana pelaksanaannya (Perencanaan
dan Persiapan);
2. Menilai signifikansinya (Evaluasi)
a. Evaluasi prosedur wawancara
Interviewer perlu mengevaluasi dari wawancara:
1. informasi yang diperoleh
2. seluruh penyelidikan berdasarkan informasi yang diperoleh
3. kinerja interviewer, baik sendiri atau bersama-sama dalam kasus
lebih dari satu interviewer
b. Evaluasi Informasi yang Diperoleh
Evaluasi informasi yang diberikan selama wawancara dan tanyakan
pada diri Anda (interviewer) pertanyaan berikut: "Apa pengaruh
informasi baru ini terhadap penyelidikan secara keseluruhan?".
Seringkali ini dapat dicapai dengan mengajukan serangkaian
pertanyaan kepada diri sendiri dan mengevaluasi jawabannya.
c. Tujuan dan sasaran
Pertimbangkan terlebih dahulu rencana wawancara dan tujuan awal :
1. Apakah ini direvisi selama wawancara? Jika demikian, mengapa?
2. Apakah Anda telah mencapai tujuan Anda (mungkin direvisi)?
3. Sudahkah Anda membahas poin-poin yang diperlukan untuk
membuktikan pelanggaran yang dimaksud?
d. Informasi baru

6
Interviewer harus mempertimbangkan:
1. Informasi baru apa yang Anda miliki sekarang?
2. Apakah konsisten dengan bukti yang sudah diperoleh?
3. Apakah ada konflik yang harus diselesaikan?
4. Pertanyaan lebih lanjut apa yang perlu Anda buat?
e. Evaluasi kembali Bukti dalam Investigasi
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan membantu interviewer menilai
dampak wawancara terhadap investigasi dan tindakan apa yang perlu
interviewer ambil selanjutnya.

2.4 The Forensic Psychologist and Police Interrogations


Apa peran yang tepat psikolog forensik ketika diminta untuk
meninjau proses atau hasil dari interogasi polisi? Penjelasan singkatnya
adalah bahwa ada banyak peran. Bagian ini menyelidiki peran potensial
dengan berfokus pada klien yang mungkin diterima oleh psikolog. Seorang
psikolog berperan untuk mendidik penyelidik polisi tentang kemungkinan
pengakuan palsu saat berfungsi sebagai konsultan atau karyawan departemen
kepolisian. Terakhir, psikolog forensik mungkin merasa bahwa tanggung
jawab utamanya adalah kepada masyarakat secara umum dan, karenanya,
mungkin mencoba mendidik masyarakat tentang bahaya interogasi yang
menyesatkan.

2.5 The Psychology of False Confession


Orang berasumsi bahwa sebagian besar pengakuan adalah spontan dan
hampir semuanya benar. Kenyataannya, banyak pengakuan dinegosiasikan,
dan 20% ditarik kembali; yaitu, tersangka yang telah membuat pernyataan
memberatkan kepada polisi kemudian menyatakan bahwa itu tidak benar. Di
antara alasan orang mengaku adalah keinginan untuk melarikan diri dari
interogasi lebih lanjut; mereka mungkin berasumsi, "Saya akan memberi tahu
polisi apa pun yang mereka inginkan, untuk menghindari situasi yang
mengerikan ini, dan menyangkalnya nanti."

2.5.1 Three Types of False Confession

7
Pengakuan yang ditarik kembali atau dibantah belum tentu
merupakan pengakuan palsu. Berkenaan dengan itu, Kassin dan
Wrightsman (1985; Wrightsman & Kassin, 1993)—mengandalkan analisis
perubahan opini Kelman (1958)—mengidentifikasi tiga jenis pengakuan
palsu:
1. Voluntary false confessions
Pengakuan ini ditawarkan dengan sukarela, tanpa elisitasi.
Mereka mungkin dipicu oleh keinginan untuk publisitas atau oleh rasa
bersalah umum, atau mereka mungkin mencerminkan beberapa bentuk
perilaku psikotik. Setiap kejahatan yang dipublikasikan secara luas
menghasilkan orang-orang yang maju ke depan, mengaku telah
melakukan kejahatan tersebut.
2. Coerced-compliant confessions
Pengakuan-pengakuan ini adalah pengakuan di mana tersangka
mengaku, meskipun mengetahui bahwa dia tidak bersalah; pengakuan
yang sesuai dengan paksaan dapat diberikan untuk menghindari
interogasi lebih lanjut, untuk mendapatkan keuntungan yang dijanjikan,
atau untuk menghindari ancaman hukuman. Orang tersebut secara pribadi
tidak percaya bahwa dia melakukan tindak pidana. Secara umum,
kepatuhan mengacu pada ketidakkonsistenan antara perilaku publik
seseorang dan opini pribadi seseorang.
3. Coerced-internalized confessions
Pengakuan ini adalah pengakuan di mana tersangka yang tidak
bersalah mengaku dan menjadi percaya bahwa dia bersalah. Interogasi
oleh polisi adalah pengalaman yang sangat menegangkan yang dapat
menciptakan sejumlah reaksi, termasuk keadaan sugestibilitas yang
meningkat di mana "kebenaran dan kepalsuan menjadi bingung tanpa
harapan dalam pikiran tersangka" (Foster, 1969, hlm. 690-691). Dalam
tipe ini, Gudjonsson menyimpulkan bahwa "setelah mengaku untuk
keuntungan instrumental, pertanyaan terus-menerus berlanjut dan
terdakwa menjadi semakin bingung dengan keyakinan nyata interogator
atas kesalahan terdakwa" (1992, hlm. 273).

8
2.5.2 How Many Confessions Are False?
1. Wrongful Convictions
Seperti yang diamati Kassin (1997), menentukan jumlah itu sulit
karena dua alasan: (a) Bahkan jika dipaksa dan terdakwa menariknya
kembali, pengakuan mungkin benar, dan (b) “pengakuan mungkin salah
bahkan jika terdakwa dihukum, dipenjara, dan tidak pernah terdengar
kabarnya lagi” (Kassin, 1997, hlm. 224). Tetapi ada bukti independen
bahwa beberapa pengakuan salah.
Di antara kasus-kasus orang yang dihukum secara salah atas
kejahatan, beberapa kasus yang didokumentasikan mencerminkan
pengakuan yang salah sebagai penyebabnya (Bedau & Radelet, 1987;
Borchard, 1932; Rattner, 1988). Sebagai contoh, Rattner (1988; Huff,
Rattner, & Sagarin, 1996) menganalisis 205 kasus keyakinan salah yang
diketahui dan menyimpulkan bahwa 16, atau 8%, adalah hasil dari
pengakuan yang dipaksakan. Meskipun persentase ini rendah, pengakuan
palsu lebih sering terjadi dalam kasus-kasus yang sangat dipublikasikan
yang berhubungan dengan kejahatan besar.
2. People’s Self Expectation
Apakah interogasi oleh polisi mengarah pada pengakuan palsu,
bahkan jika tidak ada intimidasi? Kadang-kadang—tidak selalu, bahkan
tidak hampir sepanjang waktu, tetapi kadang-kadang—orang-orang
mengakui kepada polisi bahwa mereka melakukan kejahatan padahal
mereka sebenarnya tidak bersalah. Kesimpulan ini sulit bagi kebanyakan
dari kita untuk diterapkan pada diri kita sendiri; banyak yang bahkan
bertanya, “Mengapa ada orang yang mengakui sesuatu yang tidak dia
lakukan?”

Hasil ini, menunjukkan ketidakpercayaan umum pada


kemungkinan pengakuan palsu, relevan dengan keputusan juri dalam
persidangan yang melibatkan bukti pengakuan yang diperebutkan; seperti
yang ditulis Wakefield dan Underwager, "Kepercayaan diri yang
berlebihan terhadap kemampuan pribadi untuk melawan paksaan dapat

9
menyebabkan juri memberikan bobot yang tidak semestinya dan salah
pada pengakuan yang dipaksakan" (1998, hlm. 424).

2.5.3 False Confessions in the Real World


Pengakuan palsu telah terbukti hadir dalam sejumlah kasus nyata
dari keyakinan yang salah. Sebuah studi tentang hukuman pembunuhan
yang salah di Illinois menemukan bahwa pengakuan palsu merupakan faktor
dalam sepertiga dari 45 hukuman yang salah. Pada saat penelitian mereka,
25% dari keyakinan salah yang kemudian dibersihkan melibatkan
pengakuan palsu.

2.5.4 False Confessions in the Laboratory


Pedoman etika mencegah peneliti menempatkan subjek penelitian
dalam situasi di mana mereka tunduk pada keyakinan bahwa mereka
melakukan tindakan kriminal. Solusi untuk tantangan tersebut, yang
dijelaskan di sini, mungkin bagi sebagian orang dianggap dibuat-buat dan
tidak dapat digeneralisasikan untuk interogasi terkait kejahatan yang
sebenarnya. Tapi itu adalah awal.
Sosiolog Saul Kassin dan Kiechel (1997) mengembangkan
paradigma berikut untuk menguji usulan bahwa orang dapat diyakinkan
bahwa mereka melakukan tindakan yang tidak diinginkan bahkan ketika
mereka tidak melakukannya. Mereka memiliki pasangan siswa yang
berpartisipasi dalam tugas waktu reaksi di komputer, dengan peserta
mengetik huruf pada keyboard. Sebelum memulai sesi, peserta
diinstruksikan untuk tidak menekan tombol ALT di dekat bilah spasi, karena
akan menyebabkan komputer crash. Tetapi selama percobaan, komputer
mogok dan peneliti yang tampaknya tertekan menuduh peserta menekan
kunci terlarang.
Ketika seorang peserta secara tidak sengaja menekan tombol yang
salah pada keyboard eksperimen, konfederasi eksperimen bertanya kepada
peserta apa yang terjadi. Ketika ini terjadi, 75 peserta awalnya menyangkal
menekan tombol ALT yang salah. Dua pertiga dari mereka yang dalam
kondisi kritis menunjukkan bahwa mereka telah melakukan kesalahan dan

10
menekan tombol kanan. Beberapa bahkan membuat penjelasan tentang
bagaimana mereka membuat "kesalahan".

2.6 The Role of Police in Generating Confessions

2.6.1 The Goals of Interrogations


Buku pedoman polisi menyatakan bahwa tujuan utama interogasi
polisi terhadap tersangka oleh polisi adalah untuk mendapatkan informasi
yang dapat melanjutkan penyelidikan. "Interogasi bukan sekadar sarana
untuk mendorong pengakuan bersalah," tulis O'Hara dan O'hara (1980, hlm.
111). Inbau, Reid, dan Buckley (1986) menyarankan, "Hindari menciptakan
impresario penyidik yang mencari pengakuan atau keyakinan" (hal. 36).

Penyidik polisi harus terus menekan tersangka sampai titik optimal


dalam pemeriksaan, kata seorang ahli. Polisi perlu mengenali bahwa
tersangka mengaku karena berbagai alasan, beberapa di antaranya mungkin
tidak dapat diandalkan. Nilai terbesar dari memperoleh pengakuan mungkin
adalah bahwa hal itu mengarah pada bukti lain yang memberatkan, tetapi
bahkan pernyataan yang salah pun berguna, kata sang pakar. Dalam situasi
ini, para ahli telah menyarankan bahwa interogator membawa tersangka
menjauh dari pilihan akhir dan dengan demikian menghilangkan tekanan.

2.6.2 What Can Police Do and What Can’t They Do?


1. Methods of Interrogation
Istilah interogasi digunakan secara umum untuk menggambarkan
semua pemeriksaan oleh polisi, terlepas dari apakah itu dilakukan di
tahanan atau di lapangan. Istilah ini lebih disukai daripada wawancara
karena menyiratkan peran yang jauh lebih aktif oleh detektif polisi
(Macdonald & Michaud, 1987). Terlepas dari kontroversi seputar aspek
investigasi kriminal ini, secara mengejutkan hanya ada sedikit
dokumentasi empiris tentang praktik interogasi. Pada tahun 1931, Komisi
Nasional Penegakan dan Penegakan Hukum A.S. menerbitkan laporan
temuannya dan mengkonfirmasi ketakutan terburuk tentang
penyalahgunaan polisi.

11
Sebagai contoh, komisi menyebut penggunaan kekerasan fisik
yang biasa, metode intimidasi yang memanfaatkan pemuda atau
kemampuan mental terdakwa, penolakan untuk memberikan akses ke
penasihat hukum, janji palsu yang tidak dapat dipenuhi, dan penahanan
ilegal yang berkepanjangan. Beberapa dekade kemudian, Mahkamah
Agung dalam keputusannya Miranda v. Arizona meminta bukti atas apa
yang terjadi pada kasus-kasus yang dilaporkan yang melibatkan
pengakuan paksa. Beberapa dekade kemudian, dalam upaya untuk
mengkarakterisasi proses interogasi, Mahkamah Agung dalam
keputusannya Miranda v. Arizona (1966) — tidak memiliki data
pengamatan atau wawancara langsung — beralih ke bukti tentang apa
yang terjadi pada kasus-kasus yang dilaporkan yang melibatkan
pengakuan paksa dan untuk meninjau kembali dari manual paling
populer yang tersedia untuk menasihati pejabat penegak hukum tentang
taktik yang berhasil untuk memperoleh pengakuan (lih. Aubry & Caputo,
1965; Inbau & Reid, 1962; Inbau, Reid, & Buckley, 1986; Inbau et al.,
2001; O 'Hara & O'Hara, 1956).
A. Proses introgasi psikologis dan pengakuan
Peneliti seperti Richard Leo, Richard Ofshe,Saul Kassin, dan
Gisli Gudjonnson  mengungkapkan ahwa proses introgasi psikologis
dimulai dengan taktik dasar-dasar psikologis dan teknik introgasi
polisi. Metode amerika kontemporer mengungkapkan bahwa metode
introgasi disusun untuk membujuk mereka yang tahu bahwa dirinya
bersalah dengan memikirkan kembali keputusan mereka yang
menyangkal kesalahannya. Sedangkan metode introgasi modern
measih menerapkan teknik dengan memberikan tekanan interpersonal
dalam meningkatkan kemungkinan bahwa di pelaku untuk mengakui
kesalahannya.
Dalam 50 tahun terakhir para introgator telah mengembangkan
strategi dan taktik untuk mendapatkan pengakuan yang seringkali
lebih halus dan canggih. Teknik ini mencoba untuk mengubah
persepsi tersangka tentang keadaannya saatini, mengubah harapannya

12
untuk masa depan dan mengubah motivasinya untuk mengaku.
Introgasi polisi bersifat kumulatif, terstruktur, dan memerlukan waktu
berurut. Tujuan dari teknik introgasi polisi adalah untuk mendapatkan
pengakuan dengan memimpin tersangka untuk memberikan
pengakuan yang tidak bertentangan dengan diri sendiri. Keberhasilan
dari introgasi sendiri memerlukan dua langkah pertama, introgator
berusaha untuk membuat tersangka melihat situasinya saat ini sebagai
tersangka tanpa harapan dengan adanya proses pengkapan dan
hukuman dimasa yang akan datang. Kedua, introgator erusaha untuk
membujuk tersangka bahwa pengakuan tidak akan memperburuk
keadaan dimasa yang akan datang, dan memungkinkan akan
menguntungkan serta setidaknya akan meningkatkan reputasinya
dalam pikiran introgator dan memungkinkan hakin, juri, media serta
publik.
a. Teknik manipulatif.
Teknik ini biasanya dilakukan oleh detektif yang telah
menerima pelatiahan dalam praktek dan hukum introgasi dengan
belajar menerapkan, menyempurnakan dan mengasah kemampuan
merekan melalui pengalamam kasus, pengawasan, atau pelatihan
lanjutan. Banyak metode introgasi yang dipelajari oleh detektif,
tetapi ada tiga metode tama, yaitu :
1) Minimalisasi, merupakan teknik dimana introgator menawarkan
rasa simpati dengan alasan menyelamatkan muka si pelaku atau
moral. Contohnya seperti detektif memberikan pernyataan “
saya telah melihat ribuan lainnya dalam situasi yang sama” atau
“ gadis ini telah berkembang dengan baik di usianya. Dia ungkin
telah belajar banyak mengenai seks dari anak laki-laki dan
sengaja mencoba meggoda anda untuk melihat apa yang akan
anda lakukan”
2) Maksimalisasi, merupakan teknik dengan menggunakan takti
menakut-nakuti tersangka. Teknik ini biasnaya digunakan
dengan melebih-lebihkan keseriusan pelanggaran dan besar

13
denda yang di tanggung. Contoh dari teknik ini seperti dalam
kasusu pencurian, dilaporkan bahwa kerugian dari kejadian ini
sekitar 1 jt tetapi untuk menakuti si pelaku, introgator akan
memberikan nominal yang lebih besar dari kerugian yang
sebenarnya.
3) Membangun hubungan. Teknik ini dilakukan berdasarkan
pengembangan hubungan pribadi dengan tersangka. Teknik ini
merujuk kepada hubungan emosional. Biasanya introgator akan
menunjukkan simol kesabaran, pengertian dan rasa hormat
melalui sanjungan atau gerakan tubuh.
b. Data pengamatan langsung
Data pengamatan langsung merupakan salah satu teknik
yang biasnya digunakan oleh introgator pada saat introgasi
dilakukan. teknik ini biasanya dilakuakn dengan melihat
keakuratan data tidak langsung dengan proses intrograsi.
Biasanya,eknik ini dikombinasikan dengan sikap yang bermusuhan
dan introgasi yang panjang, maka biasanya akan memunculkan
hasil. Leo mencirikan introgasi ini sebagai permainan kepercayaan.
Dimana, melibatkan manipulasi dan persepsi dengan pengkhiatan
kepercayaan.
c. Introgasi lainnya
Introgasi lainnya yang telah dikembangkan adalah introgasi
dengan mengungkapkan simpati, pengertian dan empati terhadap
tindakan tersangka. Sehingga mampu melepaskan perasaan yang
telah ditekan oleh tersangka. Pro dan contra teknik ini :
1) Status saat ini di pengadilan banding.
Beberapa pengadilan banding telah menunjuukan
keengganan mereka untuk teknik introgasi dengan melakukan
tipu daya. Meskipun begitu, Frazier mengungkapkan faktor yang
relevan dengan penggunaan teknik ini. Dia mengunggkapkan
bahwa teknik tipu daya sangatlah coock dengan pengadilan yang
berurusan dengan terdakwa yang telah dihukum atau mereka

14
yang tidak diragukan lagi bersalah atas kejahatan mereka. Tidak
ada pengadilan banding untuk ini, Frazier menambahkan bahwa
tiknik tipu daya dalam kasusu penjahat jelas meningkatkan
kemungkinan bahwa adanya rasaya ketidak bersalahan sehingga
memungkinkan mereka menjadi takger penipuan dari taktik
introgasi ini.
2) Mahkamah agung
Dalam pengadilan mahkamah agung kebanyakan akan
diam. Biasanya detektif yang akan melakukan tipu muslihat
dalam mendorong tersangka untuk mengakui kejahatannya.
Pengadilan mengakui bahwa pengakuan tersengaka, karna tipu
daya yang di gunakan detektif dapat ditrima. Keputusan
pengadilan tidak akan diterima jika polisi menggunakan teknik
tipu daya dengan membohongi pelaku. Misalnya polisi
mengungkapkan bahwa tersangka terlihat di lokasi kejadian
sedangakan kenyataanya tersangak belum pernah ke lokasi
kejadian. Hal-hal seperti inilah yang tidak akan diterima
dipengadilan.
d. Teknik illegal
Beberapa yang termasuk kepada teknik ilegal seperti
penggunaan kekuatan fisik, pelecehan, penyiksaan,ancaman dengan
adanya indikasi bahaya, isolasi berkepanjangan, janji keringan
hukungan, dsb. Introgasi yang menggunakan teknik ini di dalam
pengadilakn akan dianggap sebgai kesalahan yang tidak berbahaya,
jika ada bukti lain yang cukup untuk menhukum terdakwa.

2.6.3 What Can Psychologists Contribute?


1. Polisi sebagai klien
Polisi dan psikolog memiliki hubungan yang komplek, psikolog
ingin membantu polisi dalam meningkatkan prosedur introgasi mereka,
ketika mereka mengarah ke pengakuan otentik, tetapi pada saat yang
sama banyak psikolog yang terkejut dengan proses pemaksaan yang
sering menggunakan teknik manipulasi dan kepalsuan yang akan

15
mengarah pada pengakuan palsu. Beberapa cara dalam memperkuat
introgasi dengan adanya peran psikologi.
a. Konsep sugestibilitis introgatif.
Psikolog memperkenalkan konsep pengakuan paksaaan yang
diinternalilasi. Konsep ini memerlukan polisi mengatahui fakta bahwa
tersangka memiliki rasa cemas dan mereka akan benar-enar percaya
jika polisi memberitahu mereka suatu tuduhan. Untuk itu dalam proses
introgasi polisi diminta untuk meminta saran dari seorang psikolog
agar meningkatnya akurasi introgasi.
b. Prior planning atau perencanaan sebelumnya.
Perencanaan sebelumnya adalah salah satu fasailitator deri
inveitigasi kejahatan yang sukses. Psikolog dapat membantu dengan
mendorong detektif untuk meminta penyebutan tersangka secara
potensial atau menanyakan informasi yang diinginkan dengan kaadaan
yang ada. Jika diputuskan terlebih dahulu makan detektif akan diminta
membeca surat pernyataan invertigasi yang telah diambil, kemudian
mengunjungi tkp, memeriksa alibi tersangka, memeriksa catatan
kriminal tersangka sebelumnya, dan menanyakan kepada orang lain
yang memungkinkan memiliki infomasi yang relevan.
2. Pengadilan sebagai Klien
Terkait pengakuan tersangka, psikolog forensik bisa berperan
memberi nasihat kepada hakim pengadilan dan juga polisi. Pengadilan
telah melakukan banding, selama bertahun-tahun, membuat sejumlah
keputusan yang relevan dengan diterimanya bukti pengakuan.
Apa yang Ingin Diketahui Pengadilan?
Dalam menentukan apakah pengakuan akan diakui sebagai alat
bukti, pertanyaan mendasar yang diajukan oleh hakim adalah pengakuan
itu secara sukarela atau tidak (Rutledge, 1996). Mahkamah Agung AS
memutuskan bahwa kesukarelaan sebuah pengakuan harus ditentukan
oleh "keseluruhan keadaan" (Culombe v. Connecticut, 1961). Pengakuan
yang tidak disengaja, biasanya dibuat dengan paksaan, dianggap palsu
oleh pengadilan dan karenanya tidak dapat diterima. Tapi di mana kita

16
menarik garis antara tidak sukarela dan sukarela? Kita mungkin setuju
bahwa kebrutalan fisik atau penyiksaan berkontribusi pada pengakuan
yang tidak disengaja, tetapi seringkali polisi dan terdakwa tidak setuju
apakah tindakan polisi tersebut terjadi.
Keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Lego v. Twomey
(1972) adalah ilustrasi. Uraian berikut diambil dari pendapat Mahkamah
(hlm. 480–481); perhatikan bahwa pencari fakta disajikan dengan
kesaksian yang bertentangan dari terdakwa dan polisi mengenai apa yang
terjadi selama interogasi:
Pemohon Lego dihukum karena perampokan bersenjata pada tahun 1961
setelah pengadilan juri. . . .Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara
selama 25 sampai 50 tahun. Bukti yang diajukan terhadap Lego di
persidangan termasuk pengakuan yang dia buat kepada polisi setelah
penangkapan dan saat ditahan di rumah kantor. Sebelum diadili, Lego
berusaha untuk menyembunyikan pengakuannya. Dia tidak menyangkal
membuatnya tetapi menantang bahwa dia melakukannya secara sukarela.
Hakim pengadilan melakukan sidang, di luar kehadiran juri, di mana
Lego bersaksi bahwa polisi telah memukulinya di kepala dan leher
dengan popor senjata . . . Lego menunjukkan bukti sebuah foto yang
diambil darinya di penjara county pada hari setelah penangkapannya.
Foto itu menunjukkan bahwa wajah pemohon telah bengkak dan ada
bekas darah di atasnya. Lego mengakui bahwa wajahnya telah tergores
dalam perkelahian dengan korban perampokan tetapi mempertahankan
bahwa pertemuan itu tidak menjelaskan kondisi yang ditunjukkan dalam
foto. Kepala polisi dan empat petugas juga bersaksi. Mereka menyangkal
memukul atau mengancam pemohon dan menyangkal pengetahuan
bahwa petugas lain telah melakukannya. Hakim pengadilan
menyelesaikan masalah kredibilitas ini demi polisi dan memutuskan
pengakuan itu dapat diterima. (Lego v. Twomey, 1972, hlm. 480–481)
Konflik seperti itu sering terjadi, dan pencari fakta dipaksa untuk
memilih dalam kasus "siapa yang Anda percayai". Dalam putusan
sebelumnya, Pengadilan tidak hanya menegaskan keyakinan tetapi

17
menetapkan standar yang rendah (standar pembuktian yang lebih besar)
untuk mengakui pengakuan “wilayah abu-abu” tersebut menjadi bukti.
Secara umum, hakim jarang menyimpulkan bahwa tipu daya polisi begitu
parah sehingga merusak kesukarelaan (Young, 1996). Penelitian Kassin
dan Wrightsman (1980, 1981; Wrightsman & Kassin, 1993)
menunjukkan bahwa hakim perlu lebih berhati-hati dalam mengakui
pengakuan yang disengketakan tersebut menjadi bukti. Ketika diberitahu
bahwa seorang tersangka mengaku, juri tiruan tidak selalu
mempertimbangkan keadaan atau memberi banyak bobot pada
kemungkinan bahwa paksaan menyebabkan pengakuan (Kassin &
Neumann, 1997; Kassin & Sukel, 1997); sebaliknya, mereka cenderung
mencerminkan penerapan kesalahan atribusi mendasar, menerima
atribusi disposisional dari tindakan seseorang tanpa sepenuhnya
memperhitungkan efek faktor situasional (Jones, 1990).
Psikolog forensik dapat melayani pengadilan sebagai saksi ahli
dengan menunjukkan bagaimana asumsi yudisial tentang kemampuan
juri terkadang bertentangan dengan temuan penelitian psikologis.
Keputusan Arizona v. Fulminante (1991) yang disebutkan sebelumnya
adalah contoh kasus, di mana keputusan tersebut mengasumsikan bahwa
juri dapat “dengan benar” menimbang nilai pengakuan yang dipaksakan
dalam pengambilan keputusan mereka (Kassin & Neumann, 1997).
Kesimpulan dari program penelitian oleh Saul Kassin dan rekan-
rekannya (lihat terutama Kassin & Sukel, 1997) adalah bahwa “bukti
pengakuan secara inheren merugikan dan bahwa orang tidak
mengabaikannya bahkan ketika itu secara logis dan sah secara hukum
pantas untuk dilakukan” (Kassin & Neumann, 1997, hlm.471).
Psikolog forensik dapat melayani pengadilan sebagai saksi ahli
dengan menunjukkan bagaimana asumsi yudisial tentang kemampuan
juri terkadang bertentangan dengan temuan penelitian psikologis.
Keputusan Arizona v. Fulminante (1991) yang disebutkan sebelumnya
adalah contoh kasus, di mana keputusan tersebut mengasumsikan bahwa
juri dapat “dengan benar” menimbang nilai pengakuan yang dipaksakan

18
dalam pengambilan keputusan mereka (Kassin & Neumann, 1997).
Kesimpulan dari program penelitian oleh Saul Kassin dan rekan-
rekannya (lihat terutama Kassin & Sukel, 1997) adalah bahwa “bukti
pengakuan secara inheren merugikan dan bahwa orang tidak
mengabaikannya bahkan ketika itu secara logis dan sah secara hukum
pantas untuk dilakukan” (Kassin & Neumann, 1997, hlm.471)
Memang benar bahwa ketika seorang pengacara pembela
mencoba untuk memperkenalkan kesaksian seorang psikolog mengenai
keadaan yang menyebabkan pengakuan yang diduga palsu, hakim
pengadilan tidak boleh mengakui kesaksian tersebut. Tetapi upaya-upaya
seperti itu harus dilanjutkan, jika tidak ada alasan lain selain alasan untuk
mengajukan banding. Dan seruan semacam itu mulai berhasil (lihat
Fulero, 2004). Misalnya, di Amerika Serikat v. Hall (1996), Pengadilan
Banding Sirkuit Ketujuh membatalkan keputusan hakim pengadilan
untuk tidak mengakui kesaksian Dr. Richard Ofshe. Pengadilan
memutuskan bahwa : begitu hakim pengadilan memutuskan bahwa
pengakuan Hall adalah sukarela, juri berhak untuk mendengar bukti yang
relevan tentang masalah kesukarelaan. . . .Putusan ini [oleh hakim
pengadilan] mengabaikan kegunaan ilmu sosial yang valid. Meskipun
juri mungkin memiliki keyakinan tentang subjek, pertanyaannya adalah
apakah keyakinan itu benar. Penelitian ilmu sosial yang dilakukan
dengan benar sering kali menunjukkan bahwa kepercayaan yang dianut
secara umum salah. Kesaksian Dr. Ofshe, dengan asumsi validitas
ilmiahnya, akan memberi tahu juri bahwa ada fenomena yang dikenal
sebagai pengakuan palsu, bagaimana mengenalinya, dan bagaimana
memutuskan apakah itu sesuai dengan fakta kasus yang diadili. (Amerika
Serikat v. Hall, 1996, hlm. 1344–1345)
Keputusan serupa diberikan baru-baru ini di Pengadilan Banding
Sirkuit Keempat di Amerika Serikat v. Beliea (2005). Kasus-kasus di
pengadilan negara bagian juga mulai memungkinkan para ahli tentang
pengakuan palsu untuk bersaksi (lihat Fulero, 2004 untuk pembahasan
lengkap tentang undang-undang kasus saat ini), meskipun pengadilan lain

19
telah mendukung pengecualian hakim pengadilan atas kesaksian ahli
(misalnya, Vent v. State , 67 P.3d 661 (Alaska Ct. App. 2003); State v.
Cobb, 30 Kan. App. 2d 544 (2002); State v. Free, 351 NJ Super. 203
(2002). Kasus penting baru-baru ini di New York (People v. Kogut,
2005) dibahas dalam Kotak 11.7. Setelah keputusan untuk mengizinkan
kesaksian ahli, Dr. Kassin bersaksi di persidangan ulang Kogut. Kogut
dibebaskan, dan jaksa memutuskan untuk tidak mengadili dua terdakwa
lainnya.
3. Masyarakat sebagai Klien
Orang awam pada umumnya tidak terlalu memikirkan pengakuan
tersangka sampai kasus yang dipublikasikan secara luas membuat
pengakuan yang diklaim dipertanyakan. Tetapi orang-orang memiliki
harapan dan standar tentang bagaimana polisi harus bersikap ketika
menginterogasi tersangka, dan beberapa orang khawatir ketika hakim
mengizinkan pengakuan bukti yang secara tidak adil menghukum
terdakwa.
Berbohong kepada Tersangka oleh Polisi. Penipuan umumnya
menjijikkan di masyarakat kita. Manual polisi berbeda tentang
penerimaannya selama interogasi. Macdonald dan Michaud menasihati
polisi, “Jangan membuat pernyataan palsu. Jangan katakan padanya sidik
jarinya ditemukan di TKP jika tidak ditemukan di TKP. Jangan katakan
padanya bahwa dia diidentifikasi oleh seorang saksi mata jika dia tidak
diidentifikasi oleh seorang saksi mata. Jika dia menangkap Anda dalam
pernyataan yang salah, dia tidak akan lagi mempercayai Anda, dia akan
berasumsi bahwa Anda tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan
kesalahannya, dan kepercayaan dirinya akan naik” (1978, hlm. 23).
Namun, seperti yang telah kita lihat, banyak interogator polisi
mengabaikan peringatan tersebut. Lebih jauh lagi, beberapa buku
pedoman polisi menyimpulkan bahwa tanpa menggunakan beberapa
tipuan—membuat tersangka percaya bahwa polisi memiliki bukti
kesalahan yang nyata atau spesifik—banyak interogasi akan sama sekali
tidak efektif. Ada kasus-kasus yang terdokumentasi tentang polisi yang

20
mengatakan jenis kebohongan yang diperingatkan oleh Macdonald dan
Michaud; perilaku seperti itu bahkan mungkin menjadi norma (Aronson,
1990). Dalam kasus Hawaii, seorang petugas polisi bersaksi bahwa dia
berbohong saat diinterogasi karena dia disuruh melakukannya di seminar
polisi (Wakefield & Underwager, 1998).
Bagaimana orang awam—calon juri—bereaksi terhadap taktik
semacam itu? Penelitian (Engelbrecht & Wrightsman, 1994)
menunjukkan bahwa ketika juri tiruan diberitahu bahwa polisi melakukan
kegiatan yang tidak pantas selama interogasi, mereka cenderung tidak
menemukan terdakwa bersalah daripada juri tiruan yang diberitahu
bahwa polisi bertindak dengan tepat. Pengaruh taktik polisi yang tidak
tepat terhadap vonis sama kuatnya apakah tersangka mengaku selama
interogasi atau tidak. Demikian pula, Skolnick dan Leo (1992) meminta
mahasiswa untuk menanggapi sketsa singkat yang menggambarkan
tersangka yang dihadapkan dengan bukti palsu oleh polisi; hanya 36%
siswa yang merasa bahwa taktik tersebut adil. Penambahan laporan
ilmiah palsu mengurangi rasa keadilan; hanya 17% siswa yang sekarang
menilai prosedur itu adil.

Pada tingkat yang lebih luas, pengkhianatan di ruang interogasi


tidak hanya menodai polisi tetapi juga masyarakat kita pada umumnya,
masyarakat yang dibangun di atas hubungan saling percaya (Paris, 1996;
Slobogin, 1997). Ketidakpercayaan umum terhadap interogator polisi
menciptakan keengganan di pihak warga yang tidak bersalah dan taat
hukum untuk bekerja sama dengan otoritas penegak hukum (Stuntz,
1989).

21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tujuan pemeriksaan tersangka oleh polisi adalah untuk memperoleh
informasi lebih lanjut tentang kejahatan dan pengakuan kesalahan oleh
tersangka. Pengakuan, sebagai bukti di persidangan, sangat berpengaruh;
namun, sejumlah pengakuan yang tidak pasti adalah palsu. Ini dapat terdiri
dari tiga jenis: sukarela, patuh-terpaksa, dan terinternalisasi paksa.
Polisi menggunakan sejumlah teknik selama interogasi yang
mencerminkan prinsip-prinsip psikologis; ini termasuk maksimalisasi dan
minimalisasi, "pertanyaan umpan," dan membangun hubungan baik.
Pengadilan enggan mengesampingkan penggunaan kebohongan dan tipu daya
oleh polisi, tampaknya dengan asumsi bahwa tersangka yang tidak bersalah
tidak akan menyerah pada tipu muslihat tersebut dan mengaku palsu.
Pendekaan yang digunakan dalam interogasi tersangka dikenal
dengan nama conversation management. Conversation management adalah
teknik wawancara, yang diusulkan oleh Eric Shepherd, yang menekankan
kesadaran interviewer dan manajemen wawancara, baik secara verbal maupun
non-verbal (Davies & Beech, 2017). Eric Shepherd, menciptakan istilah
Conversation Management pada tahun 1983 ketika dia menjadi anggota
pelatihan Kepolisian Kota London. Conversation management dikembangkan
secara khusus untuk digunakan pada orang yang tidak ingin diwawancarai
(unwilling interviewees). Dalam wawancara ini interviewer harus mengambil
kendali lebih awal dalam wawancara dan mengelolanya secara berbeda.
Salah satu kontribusi yang dapat dibuat oleh psikolog forensik
adalah untuk menekankan kepada polisi bahwa prosedur mereka dapat
menghasilkan pengakuan palsu dan bahwa beberapa tersangka rentan
terhadap apa yang disebut sugestibilitas interogatif; tersangka ini kadang-
kadang akan percaya informasi palsu tentang peran mereka dalam kejahatan.
Disarankan agar polisi merekam seluruh interogasi, sehingga hakim dan juri
dapat mengamati prosedur yang digunakan oleh interogator dan gaya serta isi
tanggapan tersangka.

22
Psikolog dapat dipanggil oleh pengacara pembela untuk bersaksi
sebagai saksi ahli sehubungan dengan efek paksaan dari teknik interogasi
tertentu; keputusan banding baru-baru ini menguatkan diterimanya kesaksian
tersebut. Psikolog forensik juga melayani masyarakat sebagai klien dengan
mengevaluasi reaksi publik terhadap penggunaan tipu daya dalam interogasi.
Ketidakpercayaan umum terhadap interogator polisi mengikis keinginan
warga yang tidak bersalah untuk bekerja sama dalam penyelidikan.

3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
baik dari segi penulisan maupun penyampaian materi dan referensi. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
pengembangan penulisan makalah ini ke depannya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Davies, G. M., & Beech, A. R. (2017). Forensic psychology: Crime, justice, law,


interventions. John Wiley & Sons.

Forensic Interview Solutions. The Science of Interviewing’ A Different Approach


to Investigative Interviewing. https://www.fis-international.com/

Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2009). Forensic psychology. Cengage


Learning.

24

Anda mungkin juga menyukai