Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS B

“Anak dengan Gangguan Komunikasi ”

Dosen Pengampu :

Amatul Firdausa Nasa, M.Psi, Psikolog

Meria Susanti, M.Psi, Psikolog

Kelompok 8

Khairunnisa 1810321028

Aulia Rahmatika 1810322001

Mutmainnah Fauziah 1810322007

Ghina Wardia 1810322011

Meylinda Tiffany 1910321036

Lailatul Fitria 1910323028

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. Atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus
B yang berjudul “Anak dengan Gangguan Komunikasi”. Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan sekaligus wawasan
kepada pembaca mengenai karakteristik, etiologi, jenis dan intervensi anak
dengan gangguan komunikasi.

Pada kesempatan ini kami mengucapakan terimakasih kepada Ibu Amatul


Firdaus N, M.Psi., Psikolog dan Ibu Meria Susanti, M.Psi., Psikolog sebagai
dosen pengampu dalam mata kuliah anak berkebutuhan khusus.

Dalam pembuatan makalah, kami menyadari bahwa masih banyak terdapat


kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini. Oleh sebab itu, kritikan
dan saran yang membangun sangat diperlukan demi perbaikan penulisan dimasa
yang akan datang. Semoga dengan makalah ini, dapat memberikan manfaat
kepada pembaca, baik itu manfaat secara teoritis maupun dapat diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari.

Padang, November 2021

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................1
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Definisi Gangguan Komunikasi.........................................................................3
2.2 Karakteristik Anak dengan Gangguan Komunikasi...........................................4
2.2.1 Characteristics of Languange Disorder......................................................4
2.2.2 Characteristics of Speech Disorder.............................................................9
2.3 Etiologi Anak Mengalami Gangguan Komunikasi .........................................10
2.3.1 Gangguan Komunikasi.............................................................................10
2.3.2 Gangguang Bahasa...................................................................................11
2.3.3 Gangguan Bicara......................................................................................12
2.4 Jenis Gangguan Komunikasi............................................................................13
2.4.1 Languange Disorder..................................................................................13
2.4.2 Speech Disorder.........................................................................................16
2.5 Intervensi untuk Anak dengan Gangguan Komunikasi...................................21
2.5.1 Early Intervention in Delayed Language Development.............................21
2.5.2 Procedures for Students with Language Disorder.....................................26
2.5.3 Procedures for Students with Speech Disorder.........................................27
BAB III PENUTUP..............................................................................................28
3.1 Kesimpulan......................................................................................................28
3.2 Saran.................................................................................................................28
Daftar Pustaka......................................................................................................29

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak dengan gangguan komunikasi memiliki masalah dalam bahasa baik


verbal maupun nonverbal. Anak dengan gangguan komunikasi biasanya memiliki
masalah seperti gagap, gangguan artikulasi, gangguan bahasa atau gangguan suara
yang mempengaruhi kinerja anak (Taylor, 2009). Sehingga, anak yang mengalami
gangguan komunikasi memiliki kendala dalam membangun interaksi sosial,
berbagai ide, perasaan, bertukar pendapat, dan menolak suatu objek
/ interaksi.

Anak dengan gangguan komunikasi memiliki karakteristik-karakteristik


yang bisa dilihat sejak dini. Sehingga pengetahuan mengenai karakteristik,
etiologi, jenis dan intervensi gangguan komunikasi perlu dipahami. Agar, mampu
mendeteksi dan memberikan treatment yang tepat. Oleh karena itu, di dalam
makalah ini kami menjelaskan mengenai apa itu anak dengan gangguan
komunikasi, apa penyebab gangguan ini muncul, bagaimana karakteristiknya, dan
bagaimana intervensi yang tepat. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai anak dengan gangguan komunikasi.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan anak dengan gangguan komunikasi?
2. Bagaimana karakteristik anak dengan gangguan komunikasi?
3. Apa penyebab anak dengangangguan komunikasi?
4. Bagaimana intervensi terhadap anak dengan gangguan komunikasi?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah:

ii
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan anak dengan gangguan
komunikasi?
2. Mengetahui karakteristik anak dengan gangguan komunikasi?

3. Mengetahui penyebab anak dengan gangguan komunikasi?


4. Mengetahui intervensi terhadap anak dengan gangguan komunikasi?

ii
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Gangguan Komunikasi

Bahasa baik verbal atau nonverbal dan ucapan (speech) adalah


alat yang menjadi komponen penting untuk komunikasi antar manusia.
Komunikasi adalah proses berbagi informasi dengan orang lain yang
melibatkan banyak fungsi komunikatif seperti membangun interaksi s
osial, berbagai ide, perasaan, bertukar pendapat, dan menolak suat
u objek/ interaksi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi,
dibutuhkan proses pengiriman pesan dalam bentuk hal yang dapat dim
engerti (encoding) dan proses menerima serta memahami pesan ( deco
ding). Gangguan komunikasi dapat merusak kemampuan individu untuk
mengirimkan atau menerima ide, fakta, perasaan, dan keinginannya
(Taylor et al, 2009).
Bahasa adalah simbol arbiter yang digunakan berdasarkan atur
an tertentu yang membentuk suatu makna dan digunakan untuk mengiri
m dan menerima gagasan. Encoding atau pengiriman pesan disebut jug
a sebagai bahasa ekspresif, sedangkan decoding atau memahami pesan,
disebut sebagai bahasa reseptif. Speech adalah sistem atau produk
ekspresif suara dari simbol (bahasa) itu sendiri. Speech mencakup
artikulasi, kelancaran, suara, dan kualitas resonansi. Dengan demi
kian, ketika individu mengungkapkan suatu gagasan secara lisan, ga
gasan itu pertama-tama dikonseptualisasikan (thought), kemudian di
rumuskan kedalam kode (bahasa) dan menghasilkan serangkaian bunyi
yang dapat di dengar (speech). Tentu saja bahasa juga dapat dieksp
resikan dengan cara manual seperti American Sign Language (ASL) ya
ng merupakan bahasa isyarat tanpa suara yang digunakan para komuni
tas tuli (Hallan et al., 2014). Kategori diagnostik gangguan komun
ikasi meliputi, language disorder, speech disorder, childhood-ons
et fluency disorder (gagap), social (pragmatic) communication dis

6
order dan gangguan komunikasi tertentu dan tidak spesifik lainnya
(American psychology association, 2013).
American Speech Language Hearing Association (ASHA) mendefin
isikan speech disorder sebagai gangguan dalam artikulasi bunyi, ke
lancaran, dan/atau voice. Sedangkan language disorder adalah gangg
uan atau penyimpangan perkembangan dalam pemahaman dan ekspresi. K
eteraturan dalam berbahasa umumnya meliputi, bentuk bahasa (fonolo
gi, morfologi, dan sintaksis), isi (semantik) dan penggunaan bahas
a (pragmatik). Fonologi berkaitan dengan sistem bunyi dan aturan y
ang menggatur penggunaannya. Morfologi adalah aturan yang mengatur
perubahan kata, seperti menambahkan kata imbuhan di awal, tengah a
tau akhir untuk membuat bentuk jamak yang tepat, kata kerja dan se
bagainya. Sintaks adalah aturan pengorganisasian kalimat yang berm
akna, menempatan subjek dan predikat dan pengubahannya yang benar.
Sedangkan semantik adalah aturan tentang melapirkan makna dan kons
ep kata-kata. Pragmatik adalah aturan tentang penggunaan bahasa un
tuk tujuan sosial.

2.2 Karakteristik Anak dengan Gangguan Komunikasi


Bahasa yang diucapakan individu dapat dianggap terganggu jik
a secara signifikan bahasa yang keluar berbeda dari bahasa orang l
ain pada usianya, jenis kelamin, atau latar belakang regional, bud
aya/etnis. Riper dan Erickson (dalam Taylor et al., 2009) mengemuk
akan bahwa speech seseorang dikatakan terganggu ketika hal yang di
utarakannya menyimpang begitu jauh dari pembicaraan orang lain seh
ingga perhatian orang yang mendengarkan jadi tertuju pada dirinya
sendiri, komunikasi menjadi terganggu, dan atau membuat pendengar
menjadi kesulitan memahami. Dengan kata lain, cara bicaranya yang
terganggu begitu mencolok, tidak bisa dipahami orang lain dan unp
leasant (Taylor et al., 2009).

2.2.1 Characteristics of Language Disorders

7
Karakteristik gangguan bahasa terbagi dua, yaitu primary la
nguage disorders dan secondary language disorders. Ciri-ciri prima
ry language disorders dapat muncul pada salah satu atau beberapa d
ari lima komponen bahasa. Sedangkan karakteristik secondary langu
age disorders sangat berkaitan dengan disabilitas primer yang teri
dentifikasi.
a. Primary language disorders.
Anak-anak yang mengalami kesulitan bahasa baik lisan maupun
tulisan merupakan anak yang mengalami speech language impai
rment (SLI). Anak yang mengalami SLI memiliki masalah bahasa
pada salah satu atau lebih komponen bahasa (fonologi, morfol
ogi, syntax, semantic, pragmantics).
Gangguan fonologis. Gangguan dalam fonologi terbagi me
njadi dua kategori, yaitu gangguan artikulasi dan phonologi
cal processing disorder. Gangguan artikulasi berkaitan denga
n produksi kata, maka artikulasi termasuk ke dalam speech d
isorder. Phonological processing disorder merupakan kesulita
n dalam mempelajari dan mengatur pola suara di otak yang men
yebabkan ketidakmampuan untuk membentuk suara kata dengan be
nar. Tidak seperti individu dengan gangguan artikulasi, indi
vidu dengan gangguan fonologis dapat mengartikulasikan fonem
tetapi tidak menggunakannya dalam pengucapan. Misal, anak me
nghilangkan bunyi konsonan di akhir kata, “ca” bukan “ ca
t”, atau mengganti fonem tertentu untuk semua fonem awal ya
ng memiliki ciri artikulasi yang serupa seperti, mengatakan
“tin” untuk “thin, sin, fin, shin”. Atau anak mungkin me
ngartikulasikan fonem dengan benar dalam satu kata tetapi ti
dak dengan kata lainnya, seperti mengatakan “sip” untuk ka
ta “ship” dan kemudian menyebutkan “share” untuk kata
“chair”. Jika anak tetap menggunakan salah satu dari prose
s fonologis ini pada usia 4 tahun ke atas, maka anak mungkin
perlu untuk mendapatkan intervensi bahasa wicara.

8
Gangguan morfologis. Seorang individu yang mengalami
gangguan morfologis biasanya ditandai dengan menghilangkan a
tau menyalahgunakan morfem tertentu, seperti mengatakan “tw
o mouse” atau “two mouses” untuk bentuk jamak, “I fall
down” atau “I falled down” untuk past tense. Beberapa ana
k terkadang tidak menunjukkan kesulitan dalam bahasa saat be
rkomunikasi secara lisan, sampai mereka mencapai usia sekola
h. Di sekolah anak diminta untuk menggunakan struktur sintak
sis yang lebih kompleks. Syntactic disorder adalah gangguan
dimana seseorang menggunakan kalimat sederhana (simple sent
ences) ketika dia seharusnya menggunakan struktur yang lebih
kompleks atau mengalami kebingunggan dalam menyusun urutan k
ata untuk membentuk kalimat yang lebih kompleks. Misal seora
ng anak menyebutkan “My mom is picking up me today” bukan
“My mom picked me up today”.
Semantik disorder. Semantik disorder merupakan ganggua
n dimana seseorang hanya mengetahui jumlah kosa kata yang te
rbatas, menggunakan kosa kata yang salah, membuat kata-kata
baru, mengalami kesulitan dalam pencarian kata ( word retrie
val), serta bermasalah dengan banyak arti dan bahasa kiasan.
Beberapa anak juga mungkin baru terlihat mengalami kesulitan
bahasa disaat duduk dibangku sekolah, disaat mengharuskan me
reka untuk memahami konsep semantik yang lebih abstrak, sepe
rti bahasa metamoforis. Dalam berbahasa, pengetahuan bahasa
isyarat non-lingusitik dan penggunaanya perlu diajarkan pada
individu. Misal, isyarat mengangguk saat menerima kritikan,
dan sebagainya. Pragmatik merupakan area pertumbuhan bahasa
yang paling penting selama usia sekolah (Lue, 2001 dalam Tay
lor et al., 2009).
Pragmatic disorder merupakan gangguan dimana seseorang
mengalami kesulitan yang signifikan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial karena kesulitan dalam penggunaan b

9
ahasa. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengala
mi SLI lebih sedikit berbicara, lebih sedikit disapa, lebih
sedikit berkolaborasi dibandingnya temannya dalam berkomunik
asi dengan teman sebayanya (Brinton et al., 1997 dalam Taylo
r et al, 2009). Anak yang mengalami pragmatic disorder dapat
terlihat dari kesulitannya dalam memahami prespektif pendeng
ar, sulit mengidentifikasi tema atau konsep, sulit dalam men
ggunakan humor, dan sulit dalam mempertahankan topik percaka
pan.
Latar belakang daerah, sosial, dan budaya/etnis anak p
erlu dipertimbangkan dalam menganalisis sesuatu yang tampak
tidak biasa dari bahasanya. Setiap perbedaan dalam pengguan
bahasa yang dapat diamati dalam komunitas latar belakang ana
k tidak dapat diaggap sebagai language disorder. Siswa yang
telah belajar bahasa baru artinya dia baru saja mempelajari
aturan yang berbeda, sehingga mungkin bahasa pertama dapat m
enggangu bahasa baru, seperti kelainan bahasa dalam dialek,
atau mungkin bahasa pertama yang dimilikiya membuat semakin
sulit untuk belajar bahasa kedua. Anak yang mengalami langua
ge disorder, akan berdampak pada semua bidang akademiknya. M
eskipun seorang yang mengalami SLI dianggap sebagai gangguan
dalam bahas lisan, tetapi banyak juga anak dengan SLI yang m
enunjukkan kesulitan dalam membaca dan menulis. Seorang anak
yang mengalami kesulitan dalam fonologi, memberikan kemungki
nan untuk kesulitan dalam memahami asosiasi simbol suara dan
mengelompokkan kata-kata menjadi suku kata. Sedangkan anak y
ang mengalami kesulitan pada domain semantik, biasanya menga
lami encoding yang circumlocution (berbicara di sekitar topi
k), atau penggunaan kata-kata tertentu yang berlebihan. Sese
orang yang memiliki kemampuan dalam membaca materi yang kebi
h kompleks, biasanya memiliki pemahaman prespektif penulis
(pragmatic), mampu mengidentifikasi konsep sentral (semantik

10
dan pragmatik), dan mampu menggunakan bahasa metafora (seman
tik). Sedangkan kemampuan seseorang untuk menulis materi yan
g lebih kompleks, dapat dilihat dari kemampuan pragmatik unt
uk memahami kebutuhan pembaca agar dapat memasukkan infromas
i selektif yang diperlukan.

b. Secondary language disorders


Anak yang mengalami secondary language disorder merupa
kan anak yang kesulitan dalam belajar dan kesulitan dalam me
nggunakan bahasa lisan sebagai akibat dari disabilitas lain
yang dimilikinya. Baik itu anak dengan intelektual disabilit
as, emotional or behavioral disorder, learning disability, a
taupun autism. Anak yang mengalami intelektual disabilitas m
emiliki keterampilan yang luas di bidang perkembangan, terma
suk bahasa dan speech. Namun, karena bahasa sangat berkaitan
erat dengan kognitif maka kemampuan bahasa dan speech anak a
kan dipengaruhi oleh kemampuan kognitifnya atau sindorm yang
mendasarinya, seperti down sindrom, Williams sindrom, atau f
ragile X. Individu yang mengalami intelektual disabilitas da
pat melalui tahapan perkembangan bahasa yang sama seperti an
ak-anak norma lainnya, tetapi mungkin kemajuannya dalam berb
ahasa akan sangat lambat dan tidak sama dengan pekermbangan
bahasa anak sesusianya. Anak intelektual disabilitas dilapor
kan mengalami kesulitan bahasa khususnya pada perkembangan m
orfologis dan sintaksis. Mereka juga dapat menunjukkan kelem
ahannya dalam kemampuan pragmatis seperti mempertahankan top
ik percakapan dan memperbaiki percakapan yang rusak. Kemudia
n, anak dengan tunagrahita akan kesulitan dalam menafsirkan
ekspresi idiomatic dan memiliki kosa kata yang terbatas. Sed
angkan, anak yang mengalami emotional or behavioral disorde
r akan mengalami kesulitan disemua bidang bahasa yang mana d
apat mengganggu proses pendidikannya. Mereka juga sering men

11
galami gangguan pragmatis ekspresif yang sigifikan, memiliki
kesempatan yang sedikit dalam berinteraksi dengan orang lain,
dan memiliki lebih sedikit alat untuk berpartisipasi dengan
tepat dalam berinteraksi dengan orang lain.
Anak yang mengalami learning disability akan mengalami
kesulitan pada satu atau lebih komponen bahasa. Mereka kesul
itan dalam fonologis, penggunaan akhiran di morfologis, pema
haman dan penggunaan sintaksis, konsep semantik, pencarian k
ata, dan bahasa figurative. Kemudian anak yang mengalami au
tism, kesulitan dalam berkomunikasi dan menjalin interkasi s
osial merupakan suatu deficit yang dialaminya. Defisit ini a
kan mempengaruhi kemampuan individu untuk membangun hubungan
yang bermakna dengan orang lain. Anak autism biasanya memili
ki kelemahan pada semantik dan pragmatik, tetapi kuat pada b
agian artikulasi dan sintaksis. Mereka cenderung mengalami k
esulitan dalam menggunakan bahasa untuk fungsi sosial, memil
iki kesulitan dalam kontak mata yang baik, memiliki afek yan
g lemah, dan sulit dalam permainan simbolik. Anak dengan aut
ism akan menunjukkan salah satu atau semua hal berikut pada
saat berbicara, yaitu echolalia atau pengulangan suara atau
kata yang di dengar, keterampilan repair yang buruk, meghind
ari interaksi sosial, penggunaan kata “kamu” pada maksud
“aku”, kelainan nada, tekanan, kecepatan, ritme dan intona
si.

2.2.2 Characteristics of Speech Disorders


Karakteristik dari speech disorder yaitu yang berhubungan de
ngan suara, artikulasi bunyi, dan kefasihan yang dimiliki seseoran
g.
a. Voice disorder
Voice disorder adalah gangguan pada produksi atipikial kuali
tas suara, nada, atau kenyaringan. Individu yang mengalami

12
voice disorder umumnya memiliki suara yang berbeda secara si
gnifikan dari suara individu yang seusianya, jenis kelamin,
latar belakang budaya, dan kelompok ras/etnis yang sama (Ste
mpel et al., 1995 dalam Taylor et al, 2009). Perbedana terse
but dapat mengurangi kinerja individu di sekolah, rumah, mas
yrakat atau pekerjaan. Misal, anak memiliki suara yang sanga
t serak, atau nada yang sangat tinggi, nada yang monoton tan
pa perubahan nada, dan atau berbicara terlalu keras atau lem
but.
b. Articulation disorder
Articulation disorder adalah gangguan pada produksi suara bi
cara yang tidak biasa. Individu mungkin akan mensubtitusi su
atu suara untuk suara lainnya (seperti mengucapkan “Tham Th
miley” untuk “Sam Smiley”), distorsi suara (menyebut “s
up” dengan “s” bersiul), penambahan suara (seperti menguc
apkan “sumber” untuk kata “summer”), atau omission /peng
hilangan suara (misal “yeterday” untuk “yesterday”). Ind
ividu yang mengalami gangguan artikulasi biasanya memiliki k
esulitan dalam satu atau dua suara tertentu saja. Kesalahan
artikulasi yang paling umum adalah “r” dan “s”/”z”.
c. Fluency disorder
Fluency disorder adalah aliran ekspresi verbal atipikal yang
ditandai dengan gangguan laju dan ritme pada seseorang, sepe
rti gagap. Fluency disorder dimanifestasikan dalam perilaku
yang mengganggu atau mencegah aliran pembicaraan ke depan. S
ecara khusus, perilaku perilaku yang dimaksud yaitu interjek
si ( I umm need to ah see), revisions (I have I need to see),
frasa yang tidak lengkap (I need and then−), broken words
(I n−[pause]−eed to see), bunyi yang berkepanjangan (I nee
eeed to see), dan repitisi (I nnnnnneed to see) bunyi, suku
kata, kata dan frasa. Pola kerusakan tertentu dapat digunaka
n untuk mengidentfikasi fluency disorder yang berbeda. Flue

13
ncy disorder yang paling umum adalah gagap (stuttering), dis
ebut juga sebagai developmental stuttering. Terdapat beberap
a definisi gagap yang berbeda, namun hampir semuanya mengata
kan pengulangan sebagian kata baik itu bunyi atau suku kata,
dan bunyi yang berkepanjangan sebagai ciri utama dari gagap
itu sendiri. Setiap repetition dan prolongation (perpanjanga
n) disebut sebagai dysfluency. Agar dapat meningkatkan kefas
ihan individu yang gagap, bisa dilakukan dengan kegiatan men
yanyi, berakting dari naskah yang dihafal, membaca, dan padu
an suara. Selain ketidaklancaran, individu yang gagap hampir
selalu menampilkan perilaku struggle yang sejalan dengan sp
eech disorder mereka. Seperti ayunan lengan, kedipan mata, d
an mengetukkan kaki ke lantai. Perilaku tersebut merupakan u
paya untuk menghindari dysfluency. Gangguan ini paling banya
k terjadi pada anak usia 2 tahun dan 10 tahun (Craig et al.,
2006 dalam Taylor et al., 2009). Dalam sebagian besar kasus
language disorder dan speech disorder dengan hanya mengetahu
i penyebab terjadinya tidak membuat kita bisa menentukan keb
utuhan pendidikan anak yang teapt, tetapi dengan mengidentif
ikasi karakteristik dan kebutuhan setiap siswa, barulah renc
ana intervensi yang tepat dapat dikembangkan.

2.3 Etiologi Anak Mengalami Gangguan Komunikasi


2.3.1 Gangguan Komunikasi
Penyebab gangguan komunikasi penting dalam pengobatan dari beberapa
kasus dan dapat menyebabkan pencegahan pada orang lain. Gangguan bicara dan
bahasa dapat bersifat bawaan, yang dibawa sejak lahir, seperti pada gangguan
komunikasi yang berhubungan dengan cerebral palsy; atau didapat, bila onsetnya
setelah lahir, seperti pada gangguan komunikasi yang berhubungan dengan cedera
otak traumatis. Selain itu, gangguan bicara dan bahasa dapat diklasifikasikan
sebagai organik atau fungsional. Gangguan komunikasi organik dapat terjadi
akibat struktur yang menyimpang atau malfungsi neuromuskular pada organ

14
bicara, seperti langit-langit mulut sumbing. Penyebab organik mungkin terkait
dengan keturunan, faktor selama kehamilan, trauma kelahiran, kecelakaan, atau
penyakit (Hall et al., 2001). Gangguan bicara dan bahasa lainnya mungkin
fungsional, tanpa penyebab organik yang diidentifikasi untuk menjelaskan
gangguan tersebut; saat ini mereka dianggap sebagai hasil belajar, psikologis, atau
faktor lingkungan (Hulit & Howard, 2002). Dalam praktiknya, penyebab
gangguan bicara atau bahasa tertentu jarang mudah ditentukan. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan gangguan komunikasi termasuk kurangnya perawatan
prenatal yang memadai, penyalahgunaan zat selama kehamilan, kelahiran
prematur, kemiskinan, anomali kraniofasial, kurangnya stimulasi di masa kanak-
kanak, genetika, dan gangguan pendengaran (Hall et al., 2001).
2.3.2 Gangguan Bahasa
Penyebab gangguan bahasa bagi banyak anak-anak lainnya muncul tanpa a
danya gangguan perkembangan lainnya maupun masalah struktural atau neurologi
s yang jelas. Jenis gangguan bahasa ini disebut gangguan bahasa spesifik (SLI).
Anak-anak dengan SLI merupakan jumlah terbesar dari mereka yang menerima
layanan intervensi bahasa. Para peneliti telah berusaha untuk menunjukkan
dengan tepat penyebab dan sifat SLI selama beberapa dekade tanpa banyak
keberhasilan. Faktor lingkungan tertentu, seperti kemiskinan dan keterbatasan
input bahasa, telah lama diketahui meningkatkan risiko SLI. Bukti terbaru
menunjukkan faktor biologis atau genetik yang mempengaruhi beberapa individu
untuk SLI. Sekitar 20% sampai 40% anak dengan SLI memiliki saudara kandung
atau orang tua dengan gangguan bahasa (Justice, 2006).
Selain anak-anak yang diidentifikasi memiliki SLI, anak-anak lain yang
menerima layanan bahasa di sekolah memiliki disabilitas seperti keterbatasan
kognitif, motorik, atau sensorik sebagai disabilitas utama mereka. Cacat ini sering
mengakibatkan gangguan komunikasi sekunder. Misalnya, gangguan bahasa
sering terjadi pada anak-anak dengan gangguan perkembangan seperti cacat
intelektual dan autisme. Anak-anak dengan gangguan bahasa sekunder ini masing-
masing menyajikan profil kesulitan dan etiologi bahasa yang unik.

15
2.3.3 Gangguan Bicara
Beberapa penyebab gangguan suara telah diidentifikasi, yaitu sebagai beriku
t:
1. Gangguan artikulasi mungkin karena penyebab organik seperti malfor
masi struktural di atau sekitar mulut, atau penyebab fungsional. Perbe
daan ini menjadi penting karena jika malformasi memang ada, itu perl
u dikoreksi atau dikompensasikan sebelumnya intervensi wicara bisa b
erhasil (Hulit & Howard, 2002). Misalnya, celah langit-langit adalah c
acat struktural organik yang disebabkan oleh kegagalan bagian-bagian
mulut dan/atau bibir (bibir sumbing) menyatu dengan tepat selama per
kembangan janin. Hal ini menyebabkan anak dengan lubang di langit-l
angit mulut dapat mengalami banyak masalah bicara. Penyebab sumbi
ng antara lain faktor keturunan, kekurangan oksigen, pola makan ibu,
dan obat-obatan yang dikonsumsi ibu selama kehamilan. Sampai cacat
organik diperbaiki melalui operasi plastik atau dikompensasi dengan p
enyisipan obturator untuk menutup lubang di langit-langit mulut, anak
tidak akan bisa mengontrol udara di mulut dengan benar membentuk b
anyak bunyi ujaran. Misalnya, suara "b" mengharuskan udara ditahan
di mulut sebelum dilepaskan di antara bibir. Tanpa koreksi, anak deng
an a langit-langit mulut sumbing tidak akan mampu menahan udara di
dalam mulut.
2. Gangguan suara dapat disebabkan oleh sejumlah faktor organik dan fu
ngsional yang berinteraksi, seperti perbedaan struktural, masalah neur
omuskular, atau salah pola pernapasan yang dipelajari. Gangguan pen
dengaran, defisit psikologis, dan pertumbuhan pada pita suara/akord s
emuanya telah dikaitkan dengan perubahan suara. Jadi, juga punya per
ilaku yang kasar pada pita suara, seperti merokok dan minum atau, an
ak usia sekolah, berteriak atau membuat suara mobil. Banyak siswa de
ngan sekolah dasar dengan disabilitas cerebral palsy memiliki ganggu
an suara sekunder karena kurangnya kontrol neuromuskular respirasi.

16
Misalnya, pernapasan yang lemah dapat menyebabkan suara yang tida
k cukup keras.
3. Kerusakan neurologis dan faktor psikologis, di antara penyebab lainny
a, dapat menyebabkan: gangguan kelancaran. Beberapa teori yang did
asarkan pada penyebab organik telah diajukan, biasanya berpusat pada
sistem saraf atau pada pernapasan, suara, atau artikulatoris aspek siste
m bicara. Beberapa berpendapat bahwa gagap adalah perilaku yang di
pelajari. Studi terbaru menunjukkan bahwa faktor genetik berperan da
n banyak, jika tidak sebagian besar, individu mewarisi sifat-sifat yang
mempengaruhi mereka untuk mengembangkan gagap. Genetik ini sifa
t merusak kemampuan untuk menyatukan berbagai gerakan otot yang
diperlukan untuk menghasilkan kalimat yang fasih (ASHA, 2006b). S
etelah gagap berkembang, lainnya faktor, seperti frustrasi, kecemasan,
dan tanggapan pendengar, dapat mempertahankan atau memperburuk
disfluency.

2.4 Jenis Gangguan Komunikasi


Jenis gangguan komunikasi pada anak dapat kita bagi ke dalam dua jenis,
yaitu gangguan bicara dan gangguan bahasa.
2.4.1 Gangguan Bahasa (Language Disorder)
Bahasa merupakan sarana dalam mengirim dan menerima gagasan melalui
symbol dan aturan tertentu yang memiliki makna. Saat orang berpikir tentang “ba
hasa”, kebanyakan kita akan memikirkn bahasa lisan Gangguan bahasa meliputi s
alah satu atau kombinasi dari subsistem dalam berbahasa. Subsistem itu antara lai
n phonology, morphology, syntax, semantics, pragmatic.
Tidak ada yang tahu persis bagaimana anak-anak belajar bahasa, tetapi kita
tahu bahasa itu perkembangan berhubungan secara umum dengan pematangan fisi
k, perkembangan kognitif, dan sosialisasi. Detail prosesnya khususnya apa yang te
rjadi secara fisiologis, kognitif, dan sosial dalam pembelajaran bahasa masih diper
debatkan. Nelson (1998) membahas enam teori bahasa yang telah mendominasi st
udi komunikasi manusia di berbagai waktu. Enam teori tersebut antara lain :

17
1. Pembelajaran bahasa tergantung pada perkembangan otak dan fungsi otak
yang tepat. Gangguan bahasa terkadang merupakan akibat dari disfungsi ot
ak,
2. Pembelajaran bahasa dipengaruhi oleh konsekuensi perilaku bahasa. Keter
aturan bahasa dapat merupakan hasil dari pembelajaran yang tidak tepat.
3. Bahasa dapat dianalisa sebagai input dan output yang berhubungan dengan
cara informasi itu diproses. Pemrosesan yang salah dapat menyebabkan be
berapa gangguan bahasa
4. Bahasa diperoleh melalui proses biologis yang menentukan aturan yang m
engatur bentuk, isi, dan penggunaan bahasa.
5. Bahasa adalah salah satu dari banyak keterampilan kognitif. Gangguan bah
asa mencerminkan masalah dasar dalam berpikir dan belajar
6. Bahasa muncul dari kebutuhan untuk berkomunikasi dalam interaksi sosial
Gangguan bahasa adalah gangguan dalam kemampuan untuk berhubunga
n secara efektif dengan lingkungan
Gangguan bahasa dapat diklasifikasikan menurut dua dimensi utama yaitu do
main (sub sistem atau jenis) dan etiologi (penyebab).
1. Domain (subsistem)
a. fonologis (bunyi), bunyi yang digunakan dalam berbahasa dan akan m
enunjukkan suara apa yang terjadi, kombinasi suara apa yang akan ter
bentuk
b. morfologis (bentuk kata), mempelajari kata dan pembentukan kata sert
a melibatkan aturan yang mengatur penggunaan unit signifikan terkeci
l
c. sintaksis (urutan kata dan struktur kalimat), urutan kata atau mencaku
p aturan untuk membentuk frasa, klausa, dan berbagai jenis dari kalim
at.
d. semantik (makna kata dan kalimat), makna kata termasuk pada kiasan
e. pragmatik (penggunaan) penggunaan kata dalam berbahasa
2. Etiology (penyebab)

18
Klasifikasi berdasarkan etiologi menyediakan dua subtipe: primer dan se
kunder. Gangguan bahasa primer tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan ga
ngguan sekunder disebabkan oleh kondisi lain, seperti cacat intelektual,
a. Primary Language Disorders
Specific language impairment (SLI)
Anak-anak dengan SLI merupakan yang terbesar jumlah mereka ya
ng menerima layanan intervensi bahasa. Anak-anak dengan SLI m
ungkin memiliki masalah bahasa terutama dalam satu komponen b
ahasa, atau mereka mungkin memiliki kesulitan di beberapa kompo
nen bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmati
k. Gangguan bahasa adalah jenis gangguan komunikasi yang palin
g umum mempengaruhi anak-anak (Justice, 2006). Para peneliti tel
ah mencoba untuk menentukan penyebab dan sifat SLI selama beb
erapa dekade tanpa banyak keberhasilan. Faktor lingkungan tertent
u, seperti kemiskinan dan keterbatasan input bahasa, telah lama dik
etahui meningkatkan risiko SLI. Bukti terbaru telah menunjukkan
biologis atau faktor genetik yang mempengaruhi beberapa individu
untuk SLI.
Early expressive language delay (EELD)
Keterlambatan bahasa ekspresif awal (EELD) mengacu pada keterl
ambatan yang signifikan dalam bahasa ekspresif
Language-based reading impairment
Melibatkan masalah membaca berdasarkan gangguan bahasa. Gang
guan ini tidak dapat diidentifikasi sampai anak mulai belajar memb
aca dan memiliki masalah.
b. Secondary Language Disorders
Literatur tentang gangguan bahasa sering kali mencakup diskusi te
ntang gangguan komunikasi tertentu dari individu dengan kondisi d
isabilitas spesifik lainnya, Misalnya, gangguan bahasa sekunder ser
ing terjadi pada anak-anak dengan gangguan perkembangan seperti
cacat intelektual dan autisme (Owens, 2004). Kesulitan dalam men

19
ggunakan bahasa dalam interaksi dan hubungan sosial sekarang dili
hat sebagai masalah dasar di banyak gangguan emosional dan peril
aku, misalnya, dapat berkisar dari keengganan sosial atau penarika
n untuk bertindak parah dan agresi (McCabe & Marshall, 2006; Ro
gers-Adkinson & Griffith, 1999).
Gangguan bahasa juga dapat membatasi interaksi sosial individu deng
an teman sebaya. Misalnya, dalam studi penggunaan teknologi ponsel remaja,
siswa dengan SLI mengirim sms teman-teman mereka lebih jarang daripada r
ekan-rekan mereka tanpa SLI, sehingga lebih sedikit kesempatan untuk meng
embangkan jaringan sosial (Conti-Ramsden, Durkin, & Simkin, 2010).

2.4.2 Gangguan Berbicara (Speech Disorder)


Gangguan berbicara cukup beragam; banyak tipenya, tingkatan,
dan adanya kombinasi. Gangguan berbicara menimbulkan berbagai
tantangan kemampuan komunikasi anak sekolah. Berikut adalah beberapa
jenis gangguan berbicara:
1. Gangguan Fonologis (Phonological Disorders)
Gangguan ini terjadi pada anak yang kurang dari usia 9 tahun.
Penyebab gangguan ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi untuk
sejumlah alasan anak-anak dengan gangguan fonologis tidak memahami
aturan untuk menghasilkan bunyi bahasa mereka. Anak-anak tersebut
kemungkinan tidak tahu bagaimana membedakan dan menghasilkan
fonem/bunyi bahasa untuk menyusun kata-kata yang dapat dipahami
orang lain. Gangguan ini sendiri terjadi pada 4 atau 5 dari 100 anak, dan
kadang lebih banyak dialami oleh anak laki-laki daripada anak
perempuan.
Anak-anak dengan gangguan fonologis tampaknya mempunyai
representasi suara bahasa yang tidak bagus. Ada kemungkinan mereka
tidak bisa membedakan antara suara dengan kekhasan suara yang
menimbulkan masalah bagaimana suara pengucapan dihasilkan. Misal,

20
mereka yang tidak memiliki representasi internal konsonan di akhir kata
akan mengucapkan hat sebagai ha dan dog sebagai do.
Fonologi berkaitan dengan literasi. Belajar membaca
membutuhkan pemahaman dalam kaidah alfabet. Kesadaran fonologis
merupakan sebuah pemahaman mengenai struktur suara suatu bahasa yang
mencakup kemampuan untuk meleburkan suara ke dalam kata-kata, untuk
mengelompokkan kata-kata menjadi suara dan sebaliknya memanipulasi
suara bahasa lisan. Tanpa kesadaran fonologis, anak-anak tidak dapat
memahami kaidah alfabet yang mana, yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk memecahkan kode kata. Selain itu, defisit dalam
memori kerja dan pengambilan kata dianggap sebagai gangguan
pemrosesan fonologis.

2. Gangguan Artikulasi (Articulation Disorders)


Gangguan artikulasi melibatkan kesalahan dalam menghasilkan
suara. Masal dari gangguan ini yaitu dimana individu menghilangkan,
mengganti, mendistorsi, atau menambahkan suara ucapan. Lisping,
misalnya, melibatkan substitusi atau distorsi hurus /s/ contohnya thunthine
atau shunshine untuk kata sunshine. Bunyi kata yang hilang atau
dihasilkan dengan buruk dapat membuat orang yang mendengar tidak
memahami apa yang diucapkan si pembicara.
Kurangnya kemampuan dalam mengartikulasikan bunyi ujaran
dengan benar dapat disebabkan oleh faktor biologis. Contohnya, kerusakan
otak atau kerusakan pada saraf yang mengontrol otot-otot yang digunakan
dalam berbicara dapat membuat sulit, bahkan tidak mungkin untuk
mengartikulasikan suara (Bernthal & Bankson, 1998; Cannito, Yorkston,
& Beukelman, 1998). anak-anak dengan disabilitas lainnya, terutama
disabilitas intelektual dan gangguan neurologis seperti serebral palsi,
prevalensi gangguan artikulasinya lebih tinggi banding anak-anak pada
umumnya. Adanya kelainan struktur mulut, seperti kelainan pada celah
langit-langit mulut, dapat membuat bicara secara normal menjadi sulit atau

21
tidak mungkin. Perubahan struktural yang relatif kecil seperti kehilangan
gigi dapat menghasilkan kesalahan sementara. Artikulasi yang buruk juga
dapat disebabkan oleh gangguan pendengaran.
Sebagian besar sekolah di Barat menyaring murid baru terkait
dengan masalah bicara dan bahasa, dan dalam banyak kasus, seorang anak
yang masih membuat kesalahan dalam artikulasi di kelas tiga atau empat
akan dirujuk untuk evaluasi. Keputusan untuk memasukkan atau tidak
memasukkan seorang anak dalam terapi wicara-bahasa bergantung pada
sejumlah faktor seperti usia anak, karakteristik perkembangan, dan
penilaian ahli patologi tentang kemungkinan bahwa anak akan mengoreksi
kesalahan secara mandiri dan adanya hukuman sosial seoerti ejekan dan
rasa malu yang dialami sang anak. Apabila anak salah mengartikulasikan
hanya pada beberapa suara, tetapi melakukannya secara konsisten dan
merasa malu atau adanya penolakan sosial, maka perlu diberikan program
intervensi.

3. Gangguan Suara (Voice Disorders)


Gangguan suara merupakan karakteristik nada, kenyaringan atau
kualitas yang mengganggu laring; menghambat komunikasi; atau dianggap
sangat berbeda dari kebiasaan seseorang pada usia, jenis kelamin, dan latar
belakang budaya tertentu (Robinson & Crowe, 2001). Gangguan suara
dapat disebabkan karena merokok atau menghirup zat yang dapat
mengiritasi pita suara. Orang yang memiliki masalah psikologis terkadang
menyebabkan hilangnya suara total (afonia) atau kelainan suara yang
parah.
Gangguan suara juga bisa disebabkan dan dikelompokkan menjadi
tiga kategori utama:
1. Gangguan fungsional: gangguan yang diakibatkan oleh
kerusakan laring (yaitu, trauma).

22
2. Gangguan organik: kondisi fisik termasuk pertumbuhan
laring (misalnya nodul, polip) yang telah mempengaruhi
struktur atau fungsi laring.
3. Gangguan neurologis: gangguan yang diakibatkan oleh
disfungsi sistem saraf.
Gangguan suara yang berkaitan dengan resonansi-kualitas vokal-
dapat disebabkan oleh kelainan fisik rongga mulut (seperti celah langit-
langit mulut) atau kerusakan pada otak atau saraf yang mengendalikan
rongga mulut. Infeksi pada amandel, kelenjar gondok, atau sinus juga
dapat mempengaruhi resonansi suara. Kebanyakan orang yang memiliki
gangguan pendengaran parah memiliki masalah dalam mencapai suara
resonansi yang tepat, sehingga seseorang tidak belajar dengan suara
resonansi yang benar.
Seorang guru perlu untuk mengamati anak-anak terkait gejala
umum dari gangguan suara seperti suara serak, sesak napas, afonia, nada
aneh (suara terlalu tinggi atau terlalu rendah), atau suara keras atau lembut
yang tidak tepat. Guru yang mencatat kemungkinan adanya masalah pada
anak harus meminta ahli patologi wicara-bahasa untuk melakukan
evaluasi.

4. Gangguan Kefasihan (Fluency Disorders)


Tipe gangguan kefasihan yang paling sering adalah gagap. Gagap
berbeda dari disfluensi normal, baik dalam tingkat maupun jenis
disfluensi. Anak yang gagap menghasilkan ketidakfasihan pada tingkatan
yang lebih besar dibanding anak yang tidak gagap. Ketidakfasihan ini
termasuk pengulangan kata seperti “sa-sa-saya ingin ma-ma-makan”,
perpanjangan suara dan blok suara. Gagap juga dapat terdiri dari perilaku
sekunder terkait yang dimaksudkan untuk menghindari ketidaklancaran,
seperti gerak tubuh, anggukan kepala, dan kedipan mata. Selain itu juga
mencakup perasaan negatif mengenai komunikasi bagi mereka yang
gagap.

23
Gagap bukanlah gangguan umum; sekitar 1% anak-anak dan orang
dewasa yang dianggap gagap. Gagap lebih banyak dialami oleh anak laki-
laki dibandingkan anak perempuan. Anak-anak yang gagap selama lebih
dari 1,5 sampai 2 tahun berisiko menjadi gagap kronis. Jika anak
mengalami gagap, maka harus dievaluasi oleh ahli patologi wicara-bahasa.
Diagnosis dini penting untuk mencegah perkembangan gagap kronis.
Apabila gagap persisten tidak diobati, dapat mengakibatkan gangguan
gagap seumur hidup yang berefek pada kemampuan komunikasi,
mengembangkan perasaan positif tentang diri sendiri, dan mengejar
peluang pendidikan dan pekerjaan tertentu (Conture, 2001).

5. Gangguan Motor-Speech (Motor-Speech Disorders)


Otot-otot yang bertanggungjawab untuk berbicara berada di bawah
kendali volunter. Ketika kerusakan terjadi pada area otak yang mengontrol
otot-otot ini atau pada saraf yang menuju ke otot, kemampuan berbicara
secara normal terganggu. Gangguan ini mungkin melibatkan pengendalian
suara bicara (disartria) atau perencanaan dan koordinasi bicara (apraksia).
Disatria dan apraksia mempengaruhi produksi bicara seseorang,
memperlambat kecepatan bicara, dan mengurangi kejelasan (Owens dkk,
2000).
a. Disatria
Kesulitan dalam bicara bisa terjadi karena individu tidak
mampu mengontrol secara tepat otot-otot yang mengatur
pernapasan, laring, tenggorokan, lidah, rahang, atau bibir.
Tergantung pada sifat cedera otak, seseorang mungkin dapat
mengalami gangguan bahasa selain gangguan bicara.
Disartria ditandai dengan bicara yang lambat, sulit, cadel, dan
tidak benar. Akibat dari cedera otak, dukungan pernapasan orang
tersebut untuk membuat suara bicara menjadi terpengaruh, dan
bicaranya mungkin ditandai dengan pernapasan yang pendek, suara
serak, dan kenyaringan suara kurang.

24
b. Apraksia
Apraksia ditandai dengan gangguan pada perencanaan dan
pemograman motorik sehingga bicara menjadi lambat, penuh usaha,
dan tidak konsisten. Orang yang mengalami apraksia mungkin sadar
bahwa mereka melakukan kesalahan saat berbicara dan mencoba
untuk memperbaikinya, tetapi usaha untuk memperbaiki itu justru
membuat orang lain malah kesulitan untuk memahami apa yang dia
bicarakan.
Developmental apraxia merupakan gangguan yang muncul saat
anak mengembangkan perkembangan berbicara dan bahasanya.
Anak-anak dengan gangguan ini menunjukkan keterlambatan yang
signifikan dalam kemampuan untuk menghasilkan suara ucapan dan
untuk mengatur suara menjadi kata-kata untuk percakapan yang
efektif. Sementara itu, acquired apraxia memiliki gejala yang mirip,
tetapi terjadi karena stroke atau jenis kerusakan otak lainnya setelah
belajar bicara. Biasanya, penderita apraksia tahu bahwa dia membuat
kesalahan dan ingin memperbaikinya, tahu apa yang ingin dia
ucapkan tapi tidak bisa melakukannya. Hal itu membuat mereka jadi
frustrasi.

2.5 Intervensi untuk Anak dengan Gangguan Komunikasi


2.5.1 Early Intervention in Delayed Language Development
Anak-anak dengan gangguan bahasa dapat mengikuti urutan perkembanga
n yang sama seperti kebanyakan anak-anak tetapi mencapai setiap keterampilan p
ada usia yang lebih lambat dari rata-rata. Beberapa anak dengan gangguan bahasa
mencapai tingkat perkembangan akhir yang jauh di bawah anak-anak sebayanya y
ang tidak menyandang disabilitas. Beberapa anak mengembangkan bicara terlamb
at tetapi pada akhirnya akan mengembangkan bicara dan bahasa yang sesuai deng
an usia (Vinson, 2007). Namun banyak anak yang perkembangan bahasanya tertu
nda menunjukkan kelambatan perkembangan yang tidak akan mereka lewati (Owe
ns, 2004). Mereka sering didiagnosis memiliki cacat intelektual atau cacat perkem

25
bangan lainnya. Kadang-kadang anak-anak ini berasal dari lingkungan di mana m
ereka telah kehilangan banyak pengalaman, termasuk stimulasi bahasa dari orang
dewasa yang diperlukan untuk perkembangan bahasa yang normal, atau mereka te
lah disalahgunakan atau diabaikan.
Terlepas dari alasan keterlambatan bahasa anak, penting untuk memahami
sifat keterlambatan dan intervensi untuk memberikan kesempatan optimal belajar
menggunakan bahasa secara efektif. Beberapa anak usia 3 tahun atau lebih tidak
menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka memahami bahasa dan tidak menggunak
an bahasa secara spontan. Mereka mungkin membuat suara, tetapi mereka mengg
unakannya untuk berkomunikasi dengan cara yang mungkin menjadi ciri komunik
asi bayi dan balita sebelum mereka belajar berbicara. Dengan kata lain, mereka m
ungkin menggunakan komunikasi pralinguistik. Misalnya, mereka mungkin meng
gunakan gerakan atau suara vokal untuk meminta objek atau tindakan dari orang l
ain, untuk memprotes, untuk meminta rutinitas sosial (misalnya, membaca), atau u
ntuk menyapa seseorang.
A. Keterlibatan Keluarga
Para peneliti menjadi semakin sadar bahwa perkembangan bahasa dimulai
pada interaksi ibu-anak yang paling awal. Kepedulian terhadap perkembangan ke
mampuan berkomunikasi anak tidak lepas dari kepedulian terhadap perkembanga
n di bidang lain. Oleh karena itu, ahli patologi adalah bagian penting dari tim mult
idisiplin yang mengevaluasi bayi atau anak kecil penyandang cacat dan mengemb
angkan rencana layanan keluarga individual (IFSP). Program intervensi dini melib
atkan perluasan peran orang tua. Ini berarti banyak permainan sederhana dengan v
erbalisasi yang menyertainya. Ini berarti berbicara dengan anak tentang objek dan
aktivitas seperti kebanyakan ibu berbicara dengan bayinya. Tapi itu juga berarti m
emilih objek, aktivitas, kata, dan konsekuensi untuk vokalisasi anak dengan sanga
t hati-hati untuk meningkatkan kemungkinan bahwa anak akan belajar bahasa fun
gsional (Fey, Catts, & Larrivee, 1995).
Spesialis anak usia dini sekarang menyadari bahwa intervensi pralinguistik
sangat penting untuk perkembangan bahasa—yaitu, intervensi harus dimulai sebel
um bahasa anak muncul. Fondasi untuk bahasa diletakkan dalam beberapa bulan p

26
ertama kehidupan melalui pengalaman yang merangsang dengan orang tua dan pe
ngasuh lainnya (Koury, 2007). Pada tahun-tahun awal penerapan IFSP, para pendi
dik menekankan penilaian kekuatan dan kebutuhan keluarga dan melatih orang tu
a bagaimana mengajar dan mengelola anak-anak mereka. Orang tua memang bisa
dibantu oleh tenaga profesional untuk berperan penting dalam perkembangan baha
sa anak-anaknya. Tetapi penekanannya saat ini adalah bekerja dengan orang tua se
bagai mitra yang berpengetahuan dan kompeten yang preferensi dan keputusannya
dihormati (Hammer & Weiss, 2000).
Intervensi pada anak usia dini kemungkinan akan didasarkan pada penilaia
n perilaku anak terkait dengan isi, bentuk, dan terutama penggunaan bahasa dalam
interaksi sosial. Untuk anak yang belum belajar bahasa, penilaian dan intervensi a
kan fokus pada imitasi, permainan ritual dan khayalan, bermain dengan benda-ben
da, dan penggunaan benda-benda secara fungsional. Pada tahap awal penting untu
k mengevaluasi sejauh mana anak melihat atau mengambil objek ketika dirujuk,
melakukan sesuatu dengan objek ketika diarahkan oleh orang dewasa, dan mengg
unakan suara untuk meminta atau menolak sesuatu dan menarik perhatian pada ob
jek. Di prasekolah, pengajaran wacana (keterampilan percakapan) adalah fokus pe
nting dari intervensi bahasa. Anak-anak harus belajar, misalnya, untuk melaporka
n pengalaman mereka secara rinci dan menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, buka
n hanya menambah kosa kata mereka. Mereka harus belajar tidak hanya bentuk ka
ta dan makna tetapi juga bagaimana bergiliran dalam percakapan dan mempertaha
nkan topik percakapan atau mengubahnya dengan cara yang tepat.
Tren saat ini diarahkan untuk memberikan intervensi bicara dan bahasa di l
ingkungan anak-anak. Ini berarti bahwa guru kelas dan ahli patologi wicarabahasa
harus mengembangkan hubungan kerja yang erat. Ahli patologi wicara-bahasa mu
ngkin bekerja secara langsung dengan anak-anak di dalam kelas dan menasihati g
uru tentang intervensi yang dapat ia lakukan sebagai bagian dari kegiatan kelas re
guler. Atau, ahli patologi wicara-bahasa mungkin bekerja dengan guru secara lang
sung untuk membantunya menggabungkan praktik instruksional yang efektif untu
k siswa ini.

27
Biasanya teman sebaya yang sedang berkembang telah diajarkan untuk me
mbantu perkembangan bahasa anak-anak seperti permainan sosiodramatis. Anak-a
nak diajari dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang, termasuk anak penyandan
g disabilitas, untuk memerankan peran sosial seperti yang mungkin dilakukan ora
ng-orang tersebut di berbagai tempat (misalnya, restoran atau toko sepatu). Pelatih
an ini mencakup skrip yang menentukan apa yang harus dilakukan dan dikatakan
setiap anak, yang dapat dimodifikasi oleh anak-anak dengan cara yang kreatif.
Untuk guru dan profesional lain yang melayani siswa penyandang cacat, p
emahaman tentang gangguan komunikasi dan intervensi sangat penting karena tig
a alasan dasar: (1) kemampuan bahasa berhubungan dengan keberhasilan akademi
k, (2) ada hubungan yang kuat antara siswa penyandang cacat dan kekurangan bah
asa, dan (3) kekurangan bahasa mungkin merupakan indikator paling awal dari ma
salah lain.
1. Instructional Content
Saat merencanakan konten instruksional untuk siswa dengan gangg
uan komunikasi, pertimbangan utama terkait dengan intervensi bicara dan/
atau bahasa. Implikasi dari gangguan komunikasi pada prestasi pendidikan,
keterampilan perilaku sosial, dan keberhasilan pekerjaan harus ditangani.
Gangguan bahasa dapat mengakibatkan kemampuan pemecahan masalah y
ang buruk dan penyimpanan dan pengambilan informasi yang buruk, yang
secara signifikan dapat mempengaruhi keberhasilan akademis. Selain itu, k
emampuan bahasa anak dapat mempengaruhi hasil sosial seperti hubungan
teman sebaya, hubungan keluarga, dan pekerjaan di kemudian hari. Misaln
ya, kosakata baru dan pengetahuan tentang interaksi yang tepat dalam kont
eks pekerjaan tertentu mungkin perlu diajarkan.
Jika guru dan bahasa wicara patolog memahami bahasa dan manife
stasinya dalam tugas sosial dan akademik, mereka dapat menerapkan progr
am yang terintegrasi bahasa dan bermanfaat bagi siswa dengan gangguan k
omunikasi. Area yang kemungkinan besar akan menjadi fokus adalah liter
asi. Ada semakin banyak bukti bahwa pengajaran awal yang berfokus pada
bahasa dan keterampilan komunikasi dapat meningkatkan keberhasilan aka

28
demis anak-anak dengan gangguan komunikasi, terutama dalam membaca
(Moats, 2001). Tanpa intervensi, gangguan komunikasi mungkin memiliki
konsekuensi serius yang luas. Maka tidak mengherankan jika anak-anak ya
ng mengalami kesulitan belajar bahasa sering mengalami kesulitan memba
ca dan bahasa lainnya. keterampilan seni.
Tujuan dan sasaran untuk siswa dengan gangguan komunikasi haru
s dirancang dalam konteks kurikulum pendidikan umum untuk mendukung
pembelajaran konten dan untuk mengambil keuntungan dari konteks komu
nikasi sosial di kelas (Dodge, 2004). Untuk siswa dengan gangguan yang l
ebih parah, intervensi harus fokus pada peningkatan keterampilan komuni
kasi daripada pengembangan kejelasan bicara dan bahasa. Hal ini membut
uhkan penilaian fungsional lingkungan untuk menentukan kebutuhan kom
unikasi anak. Fokus intervensi harus fungsional, mengajarkan anak ketera
mpilan yang diperlukan untuk berpartisipasi penuh dalam lingkungan di m
ana dia tinggal, bekerja, dan menghabiskan waktu luang. Untuk membantu
dalam pengembangan dan implementasi intervensi bahasa, ada banyak mat
eri dan program perangkat lunak komputer yang tersedia di semua area unt
uk siswa dari segala usia. Salah satu kurikulum paling terkenal untuk peng
embangan bahasa adalah Peabody Language Development Kits-Revised
(Dunn, Smith, Dunn, & Horton, 1981).
Kurikulum ini mencakup gambar, wayang, bentuk, dan materi lain
nya untuk meningkatkan kemampuan bahasa lisan pada anak usia prasekol
ah hingga usia 7 tahun. Materi juga tersedia secara komersial yang berfoku
s pada bunyi ujaran tertentu, seperti kartu fl yang berisi fonem tertentu ata
u konsep bahasa tertentu. Misalnya, Pembuat Kalimat Fokes (Sumber Pen
gajaran DLM) menggunakan strip kalimat dirancang untuk membantu sis
wa di kelas 1 hingga 6 mengembangkan kalimat yang semakin panjang da
n kompleks. Perangkat Bahasa Nonverbal (Linguisystems) menyediakan k
urikulum untuk kelas 2 sampai 11, dan banyak lagi.
2. Instructional Procedures

29
Prosedur untuk mengajarkan target bicara dan bahasa kepada siswa
dengan gangguan komunikasi akan bervariasi berdasarkan masalah spesifi
k dan individu. Untuk membantu hal ini, kelas harus dirancang untuk men
dorong partisipasi verbal, idealnya dengan melibatkan siswa dengan mater
i dan aktivitas yang menarik. Perhatikan interaksi berikut, di mana guru be
rusaha agar anak menghasilkan bentuk kata kerja progresif “saat ini”
Guru: (Menunjukkan gambar seorang anak laki-laki mengendarai sepedan
ya.) Apa yang dilakukan anak laki-laki itu?Siswa: Naik sepeda.
Guru: Gunakan kalimat lengkap.
Siswa: Anak laki-laki itu sedang mengendarai sepeda.
Respon pertama siswa adalah cara alami untuk menjawab pertanya
an seperti itu. Namun, dengan minat guru dalam mempraktekkan bentuk “i
s + ing”, siswa dituntut untuk merespon dengan cara yang berbeda (Smiley
& Goldstein, 1998). Intervensi dalam lingkungan alami seperti ruang kelas
anak memberikan banyak kesempatan untuk berlatih bahasa dalam bentuk
alaminya. Selain guru kelas, teman sebaya dan anggota keluarga dapat ber
peran sebagai agen penting untuk intervensi bahasa. Setiap tindakan komu
nikatif berpotensi meningkatkan keterampilan komunikasi. Orang tua dapa
t memilih untuk mengambil peran yang lebih langsung dalam intervensi bi
cara dan bahasa dengan melayani sebagai tutor atau membantu anak meng
erjakan pekerjaan rumah.

2.5.2 Procedures for Students with Language Disorders


Teknik-teknik yang dapat digunakan untuk merangsang pemahaman dan p
roduksi dalam perkembangan bahasa adalah sebagai berikut (Hall et al., 2001):
a. Pemodelan: Mengulang kembali apa yang dikatakan siswa dengan cara y
ang sedikit lebih maju. Misalnya mengoreksi verb tense atau irregular plu
ral.
b. Ekspansi: Menyatakan kembali dengan penambahan informasi pada ujara
n anak sehingga bahasa atau kosa kata sedikit lebih maju. Misalnya, men
ambahkan kata sifat, kata keterangan, karena klausa, atau informasi lainn

30
ya. Guru mengikuti komentar Andrew bahwa “Wilbur adalah teman Char
lotte” dengan elaborasi, “Ya, Wilbur adalah teman Charlotte dan Templet
on, Avery, dan Fern adalah teman Charlotte juga.”
c. Menggunakan Self-Talk: Berbicara tentang apa yang Anda lakukan saat
Anda melakukannya dan mungkin mengapa Anda melakukannya. Misaln
ya, jika bentuk masa depan sedang dikerjakan, guru dapat menggunakan
pernyataan berpikir keras seperti, “Coba lihat, saya akan membutuhkan k
ertas untuk printer untuk menyelesaikan draf terakhir saya. Di mana saya
meletakkan kertas saya? Oh ya, aku harus pergi ke lemari persediaan. Di
situlah saya meletakkannya kemarin. ” Contoh ini juga menggunakan ben
tuk lampau, yang merupakan tujuan sebelumnya (Smiley & Goldstein, 19
98).
d. Menggunakan Pembicaraan Paralel: Berbicara tentang apa yang siswa lak
ukan saat dia melakukannya. Misalnya, jika klausa subordinatif difokusk
an pada, “Syrynthia akan memasukkan dua sendok makan mentega karen
a kita menggandakan resep."
e. Prosedur Cloze: Memulai ucapan dan membiarkan anak menyelesaikann
ya. Misalnya, menargetkan kosakata khusus, “Nama lain untuk mobil ada
lah ____.”
Permainan dan aktivitas dapat dikembangkan untuk fokus pada bentuk, str
uktur, atau kosa kata tertentu. Misalnya, bermain game Jeopardy in Social Studies
adalah cara terbaik untuk melatih pengembangan pertanyaan Wh. Bingo Jamak, K
onsentrasi Kosakata, atau papan permainan yang membutuhkan penggabungan du
a kalimat secara berurutan

2.5.3 Procedures for Students with Speech Disorders


Prosedur untuk menangani siswa dengan gangguan bicara akan bervariasi t
ergantung pada jenis gangguan dan kebutuhan spesifik siswa. Ahli patologi wicar
a-bahasa dan guru perlu sering berkolaborasi. Tujuan pidato perbaikan perlu ditek
ankan atau diperkuat di kelas pendidikan umum bahkan jika siswa dalam terapi pe
narikan, bahkan mungkin lebih penting jika hal ini terjadi.

31
a. Gangguan Suara. Sebelum terapi, siswa yang diidentifikasi dengan ganggu
an suara harus dinilai oleh dokter untuk mengidentifikasi penyebab gangg
uan tersebut. Umumnya, terapi untuk gangguan suara melibatkan pengajar
an perilaku vokal yang saat ini tidak ada, mengganti perilaku vokal baru y
ang sesuai dengan yang tidak pantas, atau memperkuat perilaku vokal yan
g lemah atau tidak konsisten (Andrews & Summers, 2002). Guru pendidik
an khusus atau umum dapat sangat membantu SLP dalam menangani masa
lah suara
b. Salah artikulasi. Tujuan dalam terapi artikulasi adalah agar seorang anak m
enghasilkan suara bicara yang benar dalam semua situasi berbicara (Hall et
al., 2001). Ini biasanya melibatkan perkembangan bertahap dari konteks ya
ng panjang seperti bergerak dari menghasilkan suara secara terpisah, kemu
dian menghasilkan suara dalam suku kata, menggunakan suara dalam kata-
kata, menggunakannya dalam kalimat pendek, hingga menggunakannya da
lam bahasa kalimat yang lebih panjang. Untuk menggeneralisasi produksi i
ni dari pengaturan terapi wicara ke semua pengaturan, kolaborasi antara S
LP yang memberikan terapi dan profesional lain dan anggota keluarga di li
ngkungan siswa diperlukan. Semua individu harus menyadari suara dan ko
nteks yang ditargetkan, dan harus memberikan model dan kesempatan unt
uk mempraktikkan suara ini baik dalam komunikasi akademis maupun spo
ntan.
c. Gangguan kelancaran. Yaitu ada modifikasi gagap. Dengan pendekatan m
odifikasi gagap, orang yang gagap belajar mengatur atau mengendalikan di
sfluencynya. Artinya, ketidakstabilan yang tegang dan tidak terkendali yan
g umum terjadi pada gagap digantikan oleh gangguan dalam kelancaran ya
ng lebih mudah dikendalikan oleh individu tersebut. Misalnya, pembicara
yang biasanya menghasilkan gangguan yang panjang dan tegang secara fis
ik belajar untuk memodifikasi gangguan ini menjadi jeda yang lebih singk
at dan relatif mudah dalam berbicara (ASHA, 2006b). Sebagian besar anak
yang gagap fasih ketika membaca nyaring bersama-sama dengan orang lai
n, sehingga kelas membaca berpasangan dapat menjadi prosedur yang berh

32
arga untuk digunakan selama waktu membaca lisan (Trautman, 2006). Sec
ara umum, siswa dengan masalah kefasihan harus diberikan materi dan tan
ggung jawab yang sama seperti anak-anak lain, dan SLP dan guru kelas ha
rus mendiskusikan tujuan tertentu

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Anak dengan gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami gangguan


dalam proses berbagi informasi dengan orang lain yang melibatkan ba
nyak fungsi komunikatif seperti membangun interaksi sosial, berbag
ai ide, perasaan, bertukar pendapat, dan menolak suatu objek/ inte
raksi. Karakteristik anak dengan gangguan komunikasi terbagi menjadi
karakteristik gangguan bahasa dan karakteristik gangguan ucapan. Anak yang
mengalami gangguan komunikasi bisa disebabkan oleh kurangnya perawatan
prenatal yang memadai, penyalahgunaan zat selama kehamilan, kelahiran
prematur, kemiskinan, anomali kraniofasial, kurangnya stimulasi di masa kanak-
kanak, genetika, dan gangguan pendengaran. Untuk menangani anak dengan
kondisi ini diperlukan inetervensi dengan teknik yang tepat. Intervensi dengan
gangguan bahasa dapat menggunakan teknik pemodelan, ekspansi, self-talk, dsb.

33
Sedangkan, intervensi dengan gangguan ucapan atau berbicara dapat
menggunakan teknikmodeifikasi gagap atau terapi artikulai.

3.2 Saran

Dalam penulisan ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan


baik dari segi penyampaian isi makalah, penulisan, dan kelengkapan sumber yang
digunakan. Untuk itu, penulis meminta kesediaan pembaca untuk menambah
sumber referensi lain untuk menambah dan melengkapi pemahaman pembaca
mengenai anak dengan gangguan komunikasi.

34
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statisti


cal Manual of Mental Disorders, 5th Ed. APA.
Hallahan, D. P., Pullen, P. C., Kauffman, J. M., & Badar, J. (2020). Exceptional
learners. In Oxford Research Encyclopedia of Education.
Hallan, D.P., Kauffman, J. M., & Pullen, P. C. (2014). Exceptiona
l Learners: An Introduction to Special Education. Pearson Educa
tion
Taylor, R.L., Smiley, L.R., Richards, S.B. (2009). Exceptional St
udents : Preparing Teachers for the21st Century. McGraw-Hill Hi
gher Education

35

Anda mungkin juga menyukai