diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi dalam PAUD - UD403
Dosen pengampu :
Disusun oleh :
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Komunikasi
dalam PAUD yang berjudul “Permasalahan Komunikasi dalam PAUD” dengan
tepat waktu. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi para
pembaca serta dapat memperluas pengetahuan tentang “Permasalahan
Komunikasi dalam PAUD”. Penulis juga menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam makalah ini dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
menjadi acuan agar penulis dapat lebih baik lagi di masa mendatang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
3.1 Kesimpulan...................................................................................................10
3.1 Saran.............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
akademik bahkan dapat membuat anak mengalami masalah perilaku dan
psikososial (Afifah & Latifah, 2022, hlm. 122–126).
1.3 Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
3
Perkembangan otak manusia dari sejak lahir sudah terhubung dengan
perkembangan bahasa. Tangisan bayi yang baru lahir diatur oleh
adanya brain sistem dan pons, yang merupakan bagian paling penting
dan paling cepat perkembang dalam otak manusia. Adanya hubungan
antara pengukuran kecerdasan dengan pengukuran kemampuan
berbahasa pada anak yang terdiri dari kosakata, kemampuan artikulasi
dan indikasi kematangan dalam kemampuan berbahasa. Menurut
Vygotsky, bahwa bahasa menjadi alat bantu dalam belajar, hasil dari
pembelajaran yang didapat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa
anak. Artinya anak yang mengalami perkembangan bahasa yang cepat
akan menjadi anak yang pandai. Tetapi, terdapat berbagai hal yang
harus dipertikan yaitu bahwa anak yang bicara dengan aktif bukan
menjadi tolak ukur kemampuan berbahasa yang baik. Begitu juga
dengan anak yang berbicara dengan pasif bukan berarti anak tersebut
kurang dalam aspek kognitif atau memiliki kemampuan berbahasa
yang rendah.
2. Kondisi fisik
Perkembangan serta pemerolehan bahasa mensyaratkan bermacam-
macam keadaan fisik diantaranya jika anak tersebut tidak memiliki
masalah pada organ bicaranya (tenggorokan, lidah, gigi, bibir, dan pita
suara) dan organ pendengaran (telinga). Agar perkembangan bahasa
anak dapat berjalan dengan normal, maka semua alat tersebut
diharuskan berfungsi dengan baik dan efektif.
3. Anak yang mengalami gangguan psikologis
Hambatan psikologis merupakan unsur-unsur dari hambatan psikis
pada manusia. Berbagai masalah psikologis dapat membatasi
kemampuan anak dalam berbicara dan mendalami bahasa. Bukan
hanya penderita autisme, anak yang terlalu pemalu juga berpotensi
mempunyai kesulitan dalam bahasanya, karena mereka akan
mengalami kesulitan menangkap ekspresi dalam berbahasa. Untuk
mengatasi hal ini orang tua sebaiknya berkonsultasi ke ahli medis.
4
Setiap perkebangan pada anak bisa terjadi suatu masalah atau gangguan,
begitu juga dengan perkembangan bahasa anak. Gangguan bahasa anak
merupakan tidak dapatnya anak atau keterbatasan anak dalam memakai simbol
linguistik saat melakukan komunikasi lisan atau ketertinggaan dalam
perkembangan bahasa dan bicara pada anak. Seorang anak dikatakan memiliki
ketertinggalan dalam komunikasi jika pengungkapan bahasa dan katanya
masih terletak rendah dari kemampuan individu anak pada seumurannya.
Adapun faktor internal yang cenderung menyebabkan terjadinya gangguan
komunikasi pada diri anak, diantaranya:
1. Gangguan pendengaran
Hambatan pada pendengaran berkaitan dengan keterlambatan
berbicara dan berbahasa pada anak. Jika anak mengalami kesulitan
dalam pendengarannya, mereka akan mengalami hambatan dalam
meniru, memahami, dan menggunakan bahasa. Salah satu penyebab
terjadinya hambatan dalam pendengaran anak ialah karena adanya
infeksi pada telinga. Dampak yang terjadi dari hambatan pendengaran
tersebut ialah anak menjadi kurang mampu mendengar apapun yang
diucapkan oleh orang lain, baik itu guru, orang tua maupun teman
sekelasnya. Sulinya dalam berkomunikasi dengan orang lain
menyebabkan anak mengambil langkah dengan membaca gerak bibir
lawan bicaranya ketika berbicara. Artikulasi dalam ujaran yang tidak
jelas merupakan dampak dari gangguan yang dideritanya (Martina,
2014, hlm. 33).
2. Gangguan atau kerusakan organ artikulasi
Menurut Masitoh (dalam Afifah & Latifah, 2022, hlm. 130),
gangguan artikulasi (Disartria) merupakan gangguan bahasa yang
terjadi karena kerusakan pada sistem saraf pusat yang bisa
mengakibatkan kelumpuhan, kelemahan, kekakuan, atau gangguan
koodinasi pada organ bicara atau otot-otot organ bicara. Gangguan
artikulasi terlihat pada pelafalan yang kurang jelas baik dari konsonan
maupun vokal. Kondisi tersebut dikarenakan otot-otot pada anak
tersebut aktif namun ketika berbicara menjadi lemah dan sulit
4
dikendalikan. Otot-otot yang dimaksud tersebut ialah otot bibir, lidah,
pita suara, dan diafragma. Gangguan pada otot bicara anak menjadi ciri
utama penyebab adanya gangguan dalam berkomunikasi. Meskipun
pengucapakan tidak terlalu jelas, terkadang otak sudah memerintahkan
untuk menjawab dengan benar tetapi yang dikeluarkan dari mulut
masih belum jelas.
Dalam contoh lain, masalah artikulasi bisa menunjukkan cacat
fisik, seperti bibir sumbing, sumbing kangit-langit, lidah terikat.
Masing-masing cacat fisik tersebut diakibatkan oleh ketidaknormalan
yang terjadi selama perkembangan pra kelahiran dan kemudian
mempengaruhi artikulasi. Bibir sumping merupakan terpisah atau
terbelahnya bibir bagian atas. Penyebab bibir sumping bisa genetic
atau pra-kelahiran (Moller, Starr & Johson, dalam Otto, 2015).
3. Gangguan Kefasihan
Gangguan kefasihan yang paling umum adalah gagap. Dimana
gagap merupakan pengulangan pada bunyi atau suku kata yang
terisolasi, bunyi diperpanjang, atau dijeda panjang pada suatu ujaran.
Biasanya ini terjadi pada awal kata. Menurut Weir & Bianchet (dalam
Otto, 2015) gagap menunjukkan kurangnya koordinasi antara maksud
maksud linguistic dan motoric artikulasi ketika anak belajar berbicara
dan berpikir di waktu yang sama.
Kegagapan sering kali ditunjukkan di wajah, bahasa tubuh yang
menunjukkan tekanan emosional, dan dengan nada yang naik atau
suara yang keras. Kegapapan dapat sembuh seiring terapi dan mediasi
yang dilakukan berulang. Di dalam kelas guru bisa mencontohkan
ucapan yang pelan dan tenang, memahami kapan ujaran itu susah
dilafalkan dan menciptakan waktu khusus untuk bercakap-cakap.
4. Gangguan Bahasa Khusus/Keterlambatan Berbahasa
Gangguan bahasa lebih tepat diterapkan kepada anak yang berusia
5 tahun ke atas. Anak dengan gangguan ini memiliki ciri yaitu kosa
kata yang dimiliki lebih sedikit (semantic), kalimat lebih kompleks
6
banyak kesalahan tata bahasa yang terjadi secara sering, dan
menunjukkan sedikit variasi (sintaksis). Gangguan ini biasnya
diidentifikasi sejak prasekolah, yaitu saat anak menunjukkan kesulitan
dalam percakapan, kesulitan dalam memahami dan menyusun baik
bahasa lisan maupun tulisan.
Menyiapkan lingkungan bahasa yang positif yang berfokus pada
komunikasi interaktif sangat diperlukan sebagai upaya yang bisa
dilakukan untuk menstimulus agar anak tidak terlambatan dalam aspek
perkembangan bahasanya. Selain itu memberikan pertanyaan juga bisa
digunakan untuk mendapatkan partisipasi linguistic dari anak.
5. Gangguan Kognitif
Faktor genetic seperti Down Syndrome, cedera otak atau pengaruh
lingkungan (kekurangan nutrisi seperti dalam kandungan)bisa menjadi
penyebab gangguan kognitif. Gejalanya anak yang memiliki gangguan
kognitif akan kurang dalam memperoleh bahasa yang efektif, kesulitan
dalam menaruh perhatian terhadap ujaran orang lain, memprosesnya
dan mengingat apa yang diuacapkan.
Cara yang bisa dilakukan oleh guru untuk anak yang memiliki
gangguan kognitif yaitu fokus terlebih dahuu pada tingkat linguistic
anak dibandingkan fokus pada usia mereka. Selain itu anak juga perlu
diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan kebutuhan dan
keinginannya .
6. Autisme
Menurut Pusponegoro (2014, hlm. 75) Autisme merupakan
gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan gangguan
komunikasi dan interaksi sosial disertai perilaku, minat, dan aktivitas
yang terbatas dan repetitif. Gangguan bahasa pada autisme sangat
bervariasi, mulai daringangguan bahasa non-verbal yang sangat
mencolok, ekolalia, bicara dengan bahasa yang aneh, sampai tidak
dapat mempertahankan komunikasi untuk waktu yang lama. Autisme
bisa diidentifikasi awal melalui :
a) Kontak mata dan saling berbagai rujukan yang sama
7
b) Perilaku meniru baik tindakan maupun bunyi
c) Perilaku mencari perhatian yang dilakukan melalui bahasa
tubuh, tunjukkan atau bunyi
d) Giliran prakata pada interaksi menggunakan suara berisik atau
bahasa tubuh untuk berkomunikasi
e) Kebertanggapan pada namanya sendiri
f) Senyum sosial
g) Permainan sandiwara dan fungsional, justru pola permainan
berulang yang terjadi
Jika dihadapkan dengan anak autisme di dalam kelas guru bisa
memberikan stimulus atau membuat rencana penanganan yang
terfokus pada kemampuan interaksi dan komunikasi dengan
menyesuaikan kurikulum dan cara berinteraksi. Kegiatan yang bisa
dilakukan adalah dengan membacakan cerita dengan harapan saat
dibacakan cerita secara nyaring akan terjadi kontak mata antara guru
dan anak juga akan menstimulus bahasa tubuh anak. Selain itu, bisa
juga dengan melibatkan anak secara langsung dalam pembelajaran,
bisa melalui kegiatan bermain peran.
7
bahasa Indonesia saja, padahal bahasa di lingkungan keluarga dan
masyarakatnya menggunakan bahasa sunda.
Penguasaan dua bahasa merupakan hal yang paling populer dan
menjadi trend belakangan ini. Orang tua khususnya di perkotaan besar
mulai berbondong-bondong memasukkan anaknya pada lembaga
sekolah yang menggunakan dua bahasa atau lebih dengan alasan agar
tidak tertinggal zaman. Yang menjadi maslah ialah apabila anak harus
"berbahsa dua‟ pada usia yang masih tergolong muda (kurang dari 2
tahun) pada saat perkembangan "bahasa ibu‟ belum sepenuhnya
mantap. Hal ini akan menyebabkan anak mengalami kesulitan pada
pengucapan kata (pronounciation) dan penguasaan kata (Lilis
Sumaryanti, 2017, pp. 83–84)
2. Lingkungan yang tidak menunjang perkembangan bicara anak
Lingkungan adalah tempat dimana seorang anak tumbuh dan
berkembang. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang yang
sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak karena pada
hakekatnya proses pemerolehan bahasa anak diawali dengan
kemampuan mendengar kemudian meniru suara yang didengarnya
yaitu dari lingkungan dimana tempat ia tinggal. Seorang anak tidak
akan mampu berbahasa dan berbicara jika anak tidak diberi
kesempatan untuk mengungkapkan yang pernah didengarnya. Oleh
karena itu keluarga merupakan salah satu lingkungan terdekat dimana
anggota keluarga harus memberi kesempatan kepada anak untuk
belajar dari pengalaman yang pernah didengarnya. Kemudian
berangsur-angsur ketika anak mampu mengekspresikan pengalaman,
baik dari pengalaman mendengar, melihat, membaca dan diungkapkan
kembali dengan bahasa lisan.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1 Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, N., & Latifah, N. (2022). Gangguan Artikulasi pada Anak Usia 5-6
Tahun. 1, 121–140.
Bahri H. (2018). Strategi Komunikasi terhadap Anak Usia Dini. Nuansa, XI(1),
51–53.
Ganur, M. H., Bunga, B. N., & Kiling, I. Y. (2014). Pola Komunikasi Anak Usia
Dini Tunarungu Bukan Bawaan. Jurnal Transformasi Edukasi, 3(2), 63–69.
Pusponegoro, H. D. (2014). What to do when you find a child with speech and
language delay. What l Why l How in Child Neurology, 70–78.
11