Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH PSIKOLOGI ABNORMAL

“Children Disorder”

Dosen Pengampu:

Dwi Puspasari, M.Psi., Psikolog


Amatul Firdausa Nasa, M.Psi., Psikolog

Oleh:
Kelompok 8 Kelas A
Taufik Hidayat Almedy (1810322008)
Zahra Fiqri Riz (1810322021)
Rafifah Nabila Said (1810322022)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala karena
dengan rahmat, karunia, taufiq dan hidayah-Nya kami dan usaha kami dalam
merangkum materi sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Child
Disorder. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kami. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Padang, 24 Januari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................3

1.3 Tujuan.............................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................2

2.1 ADHD.............................................................................................................4

2.2 Conduct Disorder.........................................................................................14

2.3 Learning Disabilities....................................................................................22

2.4 Intelectual Developmental Disorder............................................................30

BAB III PENUTUP...........................................................................................40

3.1 Kesimpulan...................................................................................................40

3.2 Saran.............................................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................41

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak-anak memiliki berbagai gangguan yang dapat dideteksi sejak awal.
Seperti ADHD Istilah hiperaktif sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang,
terutama orang tua dan guru. Anak yang terus bergerak, menggoyangkan jari,
menggoyangkan kaki, menyentuh orang lain tanpa alasan yang jelas, banyak
berbicara, dan gelisah, hal tersebut sering disebut hiperaktif.
Ketika masalah seperti itu parah dan terus-menerus, anak-anak ini mungkin
memenuhi kriteria untuk diagnosis Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder
(ADHD).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang diajukan dalam penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa itu ADHD?
2. Apa itu Conduct Disorder ?
3. Apa itu Learning Disabilities ?
4. Apa itu Intellectual Developmental Disorder?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa itu ADHD?
2. Untuk mengetahui apa itu Conduct Disorder ?
3. Untuk mengetahui apa itu Learning Disabilities ?
4. Untuk mengetahui apa itu Intellectual Developmental Disorder?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder)


2.1.1. Pengertian
Istilah hiperaktif sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang,
terutama orang tua dan guru. Anak yang terus bergerak, menggoyangkan
jari, menggoyangkan kaki, menyentuh orang lain tanpa alasan yang jelas,
banyak berbicara, dan gelisah, hal tersebut sering disebut hiperaktif.
Seringkali, anak-anak ini juga mengalami kesulitan berkonsentrasi pada
tugas yang sedang dikerjakan selama jangka waktu tertentu. Ketika
masalah seperti itu parah dan terus-menerus, anak-anak ini mungkin
memenuhi kriteria untuk diagnosis Attention-Deficit/Hyperactivity
Disorder (ADHD). Menyadari dampak ADHD pada anak-anak dan
keluarga, Kongres AS menciptakan Hari Kesadaran ADHD Nasional,
dengan hari pertama pada 7 September 2004 (Davison et al, 2014).
Attention deficit / hyperactivity disorder (ADHD) adalah gangguan
perkembangan saraf yang paling umum didiagnosis di masa kanak-
kanak, dan ini ditandai dengan gejala kronis kurangnya perhatian,
impulsif, dan atau hiperaktif yang menyebabkan gangguan fungsional
yang dialami di banyak orang (American Psychiatric Association, 2013).
Anak-anak dan remaja dengan ADHD lebih cenderung mengalami
berbagai hasil negatif dibandingkan dengan teman sebayanya tanpa
gangguan, termasuk pencapaian akademis yang lebih rendah, gangguan
fungsi sosial, peningkatan risiko masuk rumah sakit dan cedera,
peningkatan penggunaan zat dan risiko gangguan penggunaan zat, dan
mengurangi pendapatan dan partisipasi di pasar tenaga kerja saat dewasa
(Danielson et al, 2018).
Kriteria untuk diagnosis ADHD diatur dalam Manual Diagnostik dan
Statistik Gangguan Mental (DSM) dan direvisi untuk edisi kelima yang
diterbitkan pada tahun 2013 (American Psychiatric Association, 2013).

4
Perubahan ini termasuk menggeser persyaratan usia onset dari
munculnya gejala dan gangguan pada usia 7 tahun menjadi munculnya
beberapa gejala pada usia 12 tahun, mengurangi jumlah gejala yang
diperlukan untuk diagnosis untuk individu berusia 17 tahun ke atas, dan
memberikan contoh klinis gejala yang lebih sesuai usia untuk remaja dan
orang dewasa yang lebih tua. Anak-anak dengan ADHD paling sering
didiagnosis oleh dokter anak atau dokter perawatan primer lainnya
(53%); sekitar 14% anak-anak dengan ADHD menerima diagnosis
mereka dari seorang psikolog. Demikian pula, sekitar satu dari delapan
anak ADHD menerima layanan pengobatan dari psikolog, sedangkan
sebagian besar anak ADHD menerima perawatan dari dokter (Danielson
et al, 2018).

2.1.2. Karakteristik ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder)


Menurut DSM IV(Baihaqi & Sugiarman dalam Yasri, 2014) kriteria
ADHD adalah sebagai berikut :
a. Kurang Perhatian
Pada kriteria ini, penderita ADHD paling sedikit mengalami
enam atau lebih dari gejala-gejala berikutnya, dan berlangsung
selama paling sedikit 6 bulan sampai suatu tingkatan yang maladaptif
dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan.
1) Seringkali gagal memperhatikan baik-baik terhadap sesuatu
yang detail atau membuat kesalahan yang sembrono dalam
pekerjaan sekolah dan kegiatan-kegiatan lainnya.
2) Seringkali mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian
terhadap tugas-tugas atau kegiatan bermain.
3) Seringkali tidak mendengarkan jika diajak bicara secara
langsung
4) Seringkali tidak mengikuti baik-baik instruksi dan gagal dalam
menyelesaikan pekerjaan sekolah, pekerjaan, atau tugas ditempat

5
kerja (bukan disebabkan karena perilaku melawan atau gagal
untuk mengerti instruksi).
5) Seringkali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan
kegiatan
6) Sering kehilangan barang/benda penting untuk tugas-tugas dan
kegiatan, misalnya kehilangan permainan; kehilangan tugas
sekolah; kehilangan pensil, buku, dan alat tulis lainnya.
7) Seringkali menghindar, tidak menyukai atau enggan untuk
melaksanakan tugas-tugas yang menyentuh usaha mental yang
didukung, seperti menyelesaikan pekerjaan sekolah atau
pekerjaan rumah.
8) Seringkali bingung/terganggu oleh rangsangan dari luar, dan
9) Sering lekas lupa dan menyelesaikan kegiatan sehari-hari.
b. Hiperaktivitas Impulsifitas
Paling sedikit enam atau lebih dari gejala-gejala hiperaktivitas
impulsifitas berikutnya bertahan selama paling sedikit 6 samapai
dengan tingkat yang maladaptif dan tidak dengan tingkat
perkembangan.
1) Hiperaktivitas
a) Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan
sering menggeliat di kursi
b) Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau
dalam situasi lainnya dimana diharapkan anak tetap duduk
c) Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam
situasi dimana hal ini tidak tepat. (pada masa remaja atau
dewasa terbatas pada perasaan gelisah yang subjektif)
d) Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat
dalam kegiatan senggang secara tenang
e) Sering bergerak atau bertindak seolah-olah dikendalikan
oleh motor, dan
f) Sering berbicara berlebihan

6
2) Impulsifitas
a) Mereka sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai
b) Mereka sering mengalami kesulitan menanti giliran
c) Mereka sering menginterupsi atau mengganggu orang lain,
misalnya memotong pembicaraan atau permainan
c. Beberapa gejala hiperaktivitas impulsifitas atau kurang perhatian
yang menyebabkan gangguan muncul sebelum anak berusia 7 tahun
d. Ada suatu gangguan di dua atau lebih setting/situasi
e. Harus ada gangguan yang secara klinis, signifikan di dalam fungsi
sosial, akademik, atau pekerjaan
f. Gejala - gejala tidak terjadi selama berlakunya PDD, skizofrenia,
atau gangguan psikotik lainnya, dan tidak dijelaskan dengan lebih
baik oleh gangguan mental lainnya.

2.1.3. Etiologi
a. Genetic Factors

7
Bukti substansial menunjukkan bahwa faktor genetik berperan
dalam ADHD. Studi adopsi dan banyak studi kembar skala besar
menunjukkan komponen genetik untuk ADHD, dengan perkiraan
heritabilitas setinggi 70 sampai 80 persen. Studi genetika molekuler
yang berusaha mengidentifikasi gen yang terkait dengan ADHD
sedang dilakukan. Beberapa temuan yang lebih menjanjikan
melibatkan gen yang terkait dengan neurotransmitter dopamin.
Secara khusus, dua gen dopamin yang berbeda telah terlibat dalam
ADHD: gen reseptor dopamin (dopamine receptor gene) yang
disebut DRD4 dan gen pengangkut dopamin (dopamine transporter
gene) yang disebut DAT1. Bukti yang mendukung hubungan DRD4
dengan ADHD lebih kuat pada saat ini, karena beberapa penelitian
berbeda secara konsisten menemukan hubungan antara gen ini dan
ADHD. Temuan untuk DAT1 lebih beragam, dengan beberapa studi
menemukan hubungan dan yang lainnya tidak menemukan hubungan
dengan ADHD. Bahkan dengan temuan yang menjanjikan ini,
kebanyakan peneliti setuju bahwa satu gen pada akhirnya tidak akan
ditemukan untuk menyebabkan ADHD. Sebaliknya, beberapa gen
yang berinteraksi dengan faktor lingkungan akan memberikan
gambaran paling lengkap tentang peran gen dalam ADHD. Misalnya,
penelitian terbaru menemukan bahwa gen DRD4 atau DAT1
dikaitkan dengan peningkatan risiko ADHD hanya di antara mereka
yang juga memiliki faktor lingkungan tertentu yaitu, penggunaan
nikotin atau alkohol pada ibu sebelum melahirkan. Studi gen-
lingkungan tambahan sedang dilakukan, dan jika temuan ini
direplikasi, kami akan memiliki gambaran yang lebih jelas tentang
bagaimana gen dan lingkungan berkontribusi pada ADHD (Davison
et al, 2014).
b. Neurobiological Factors
Studi menunjukkan bahwa struktur dan fungsi otak berbeda pada
anak-anak dengan dan tanpa ADHD, terutama di area otak yang

8
terkait dengan neurotransmitter dopamin. Misalnya, studi tentang
struktur otak telah menemukan bahwa area dopaminergik otak,
seperti inti kaudatus (caudate nucleus), globus pallidus, dan lobus
frontal (frontal lobes), lebih kecil pada anak-anak dengan ADHD
daripada anak-anak tanpa ADHD. Studi fungsi otak telah
menemukan bahwa anak-anak dengan ADHD menunjukkan sedikit
aktivasi di area frontal otak saat melakukan tugas kognitif yang
berbeda.
1) Perinatal and Prenatal Factors
Faktor risiko neurobiologis lain untuk ADHD termasuk
sejumlah komplikasi perinatal dan prenatal. Berat badan lahir
rendah, misalnya, adalah prediktor perkembangan ADHD.
Namun, dampak berat badan lahir rendah pada gejala ADHD di
kemudian hari dapat dikurangi dengan kehangatan ibu yang
lebih besar. Komplikasi lain yang terkait dengan persalinan,
serta penggunaan zat-zat seperti tembakau dan alkohol oleh ibu,
juga merupakan prediksi gejala ADHD.
2) Environmental Toxins
Teori awal ADHD di tahun 1970-an melibatkan peran racun
lingkungan dalam perkembangan hiperaktif. Salah satu teori
hiperaktif mendapat banyak perhatian di pers populer selama
bertahun-tahun. Feingold (1973) mengusulkan bahwa aditif dan
pewarna buatan dalam makanan mengganggu sistem saraf pusat
anak-anak yang hiperaktif, dan dia meresepkan diet bebas dari
mereka. Namun, studi yang terkontrol dengan baik dari apa yang
disebut diet Feingold telah menemukan bahwa sangat sedikit
anak-anak dengan ADHD yang merespon secara positif.
Meskipun temuan awal ini tidak mendukung teori Feingold, para
peneliti terus meneliti bagaimana berbagai elemen makanan,
terutama zat aditif, dapat mempengaruhi perilaku hiperaktif.
Studi selanjutnya ini menggunakan desain penelitian yang lebih

9
canggih, seperti studi buta-ganda (double blind studies) dan
terkontrol plasebo (placebo-controlled), tetapi hasilnya tetap
sederhana. Sebagai contoh, meta-analisis dari 15 penelitian
menemukan ukuran efek yang kecil untuk pewarna makanan
buatan pada perilaku hiperaktif di antara anak-anak dengan
ADHD. Sebuah studi baru-baru ini menemukan efek kecil yang
serupa dari bahan tambahan makanan dan pewarna makanan
buatan pada perilaku hiperaktif di antara anak-anak di
masyarakat. Jadi, ada bukti terbatas bahwa zat tambahan
makanan berdampak pada perilaku hiperaktif. Pandangan
populer bahwa gula rafinasi dapat menyebabkan ADHD belum
didukung oleh penelitian yang cermat.
Timbal adalah racun lingkungan lain yang telah dipelajari.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa kadar timbal dalam darah
yang lebih tinggi dapat dikaitkan pada tingkat kecil dengan
gejala hiperaktif dan masalah perhatian, sebagai serta dengan
diagnosis ADHD. Namun, kebanyakan anak dengan kadar
timbal dalam darah yang lebih tinggi tidak mengembangkan
ADHD, dan sebagian besar anak dengan ADHD tidak
menunjukkan peningkatan kadar timbal tersebut. Namun
demikian, mengingat frekuensi yang tidak menguntungkan di
mana anak-anak terpapar pada kadar timbal yang rendah, para
peneliti terus meneliti bagaimana paparan timbal dapat berperan,
mungkin dengan mempengaruhi kemampuan kognitif lainnya.
Satu studi baru-baru ini menemukan bahwa kadar timbal dalam
darah dikaitkan dengan kedua defisit dalam kontrol kognitif
(misalnya, kemampuan untuk menghambat respons atau
mengalihkan perhatian ke tempat lain) dan dengan gejala
hiperaktif ADHD.
Nikotin, khususnya ibu yang merokok adalah racun
lingkungan yang mungkin berperan dalam perkembangan

10
ADHD. Satu studi menemukan bahwa 22 persen ibu dari anak-
anak dengan ADHD melaporkan merokok satu bungkus rokok
per hari selama kehamilan, dibandingkan dengan 8 persen ibu
yang anaknya tidak mengembangkan ADHD. Efek ini tetap ada
bahkan setelah mengontrol depresi ibu dan penggunaan alkohol.
Sebuah studi yang mirip menemukan bahwa ibu yang merokok
memprediksi gejala ADHD bahkan setelah mengendalikan
pengaruh genetik dan faktor risiko lingkungan lainnya.
Akhirnya, tinjauan dari 24 studi yang meneliti hubungan antara
ibu yang merokok dan ADHD menemukan bahwa paparan
tembakau dalam rahim dikaitkan dengan gejala ADHD.
Beberapa penelitian pada hewan yang dilakukan sejak 1980-an
menunjukkan bahwa paparan kronis terhadap nikotin
meningkatkan pelepasan dopamin di otak dan menyebabkan
hiperaktif. Selain itu, penarikan diri dari nikotin dikaitkan
dengan penurunan pelepasan dopamin di otak dan menyebabkan
iritabilitas. Berdasarkan data ini, para peneliti berhipotesis
bahwa ibu yang merokok dapat mempengaruhi sistem
dopaminergik janin yang sedang berkembang, meningkatkan
risiko perkembangan disinhibisi perilaku dan ADHD.
c. Psychological Factors in ADHD
Faktor psikologis juga penting dalam ADHD, terutama dalam
interaksinya dengan faktor neurobiologis. Misalnya, hubungan orang
tua-anak berinteraksi dengan faktor-faktor neurobiologis dalam cara
yang kompleks untuk berkontribusi pada ekspresi gejala ADHD.
Sama seperti orang tua dari anak-anak dengan ADHD yang dapat
memberi mereka lebih banyak perintah dan memiliki interaksi
negatif dengan mereka, sehingga anak-anak ini telah ditemukan
kurang patuh dan lebih negatif dalam interaksi dengan orang tua
mereka.

11
2.1.4. Treatment
a. Stimulant Medications
Obat Stimulan, seperti methylphenidate, atau Ritalin, telah
diresepkan untuk ADHD sejak awal 1960-an. Obat lain yang
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk
mengobati ADHD termasuk Adderall, Concerta, dan Strattera. Pada
tahun 2006, diperkirakan 2,5 juta anak di Amerika Serikat
menggunakan obat stimulan (Survei Nasional Kesehatan Anak
Amerika, 2003), termasuk hampir 10 persen dari semua anak laki-
laki berusia 10 tahun. Resep obat-obatan ini terkadang berlanjut
hingga remaja dan dewasa karena semakin banyak bukti yang
menunjukkan bahwa gejala ADHD biasanya tidak hilang seiring
berjalannya waktu.
Uji coba terkontrol acak yang dirancang terbaik untuk
pengobatan ADHD adalah penelitian Pengobatan Multimodal Anak
dengan ADHD (Multimodal Treatment of Children with ADHD)
(MTA). Dilakukan di enam lokasi berbeda selama 14 bulan dengan
hampir 600 anak dengan ADHD, studi ini membandingkan
perawatan berbasis komunitas standar dan tiga perawatan lainnya:
(1) pengobatan saja, (2) pengobatan ditambah perawatan perilaku
intensif, yang melibatkan orang tua dan guru, dan (3) perawatan
perilaku intensif saja. Selama periode 14 bulan, anak-anak yang
menerima pengobatan saja memiliki lebih sedikit gejala ADHD
daripada anak-anak yang menerima pengobatan perilaku intensif
saja. Pengobatan gabungan sedikit lebih unggul daripada pengobatan
saja dan memiliki keuntungan karena tidak memerlukan dosis tinggi
Ritalin untuk mengurangi gejala ADHD. Selain itu, pengobatan
gabungan menghasilkan peningkatan fungsi di bidang-bidang seperti
keterampilan sosial lebih banyak daripada pengobatan saja.
Pengobatan sendiri dan pengobatan gabungan lebih unggul dari

12
perawatan berbasis komunitas, meskipun pengobatan perilaku saja
tidak.
b. Psychological Treatment
Perawatan lain yang menjanjikan untuk ADHD melibatkan
pelatihan orang tua dan perubahan dalam manajemen kelas.
Program-program ini setidaknya telah menunjukkan keberhasilan
jangka pendek dalam meningkatkan perilaku sosial dan akademis.
Dalam perlakuan ini, perilaku anak-anak dipantau di rumah dan di
sekolah, dan mereka diperkuat untuk berperilaku dengan benar
misalnya, untuk tetap di tempat duduk mereka dan mengerjakan
tugas. Sistem poin dan kartu laporan harian (Point systems and daily
report cards) (DRCs) adalah komponen tipikal dari program ini.
Anak-anak mendapatkan poin atau bintang karena berperilaku
dengan cara tertentu; anak-anak kemudian dapat membelanjakan
penghasilan mereka untuk imbalan. DRCs juga memungkinkan
orang tua untuk melihat bagaimana prestasi anak mereka di sekolah.
Fokus dari program-program ini adalah meningkatkan pekerjaan
akademis, menyelesaikan tugas rumah tangga, atau mempelajari
keterampilan sosial tertentu, daripada mengurangi tanda-tanda
hiperaktif, seperti berlarian dan bergoyang. Akumulasi bukti
mendukung kemanjuran program pelatihan orang tua, meskipun
tidak jelas apakah mereka meningkatkan perilaku anak di luar efek
pengobatan dengan pengobatan.
Intervensi sekolah untuk anak-anak dengan ADHD termasuk
pelatihan guru untuk memahami kebutuhan unik anak-anak ini dan
untuk menerapkan teknik operan di kelas, memberikan bimbingan
sebaya dalam keterampilan akademik, dan meminta guru
memberikan laporan harian kepada orang tua tentang perilaku di
sekolah, yang ditindaklanjuti dengan penghargaan di rumah.
Penelitian telah menunjukkan bahwa struktur kelas tertentu dapat
membantu anak-anak dengan ADHD. Idealnya, guru memvariasikan

13
format presentasi dan bahan yang digunakan untuk tugas, membuat
tugas tetap singkat dan memberikan umpan balik langsung tentang
apakah mereka telah dilakukan dengan benar, memiliki gaya yang
antusias dan fokus pada tugas, memberikan istirahat untuk latihan
fisik, dan menjadwalkan pekerjaan akademis di pagi hari. jam.
Perubahan lingkungan seperti itu dirancang untuk mengakomodasi
batasan yang diberlakukan oleh gangguan ini daripada untuk
mengubah gangguan itu sendiri.
Temuan dari studi MTA menunjukkan bahwa terapi perilaku
intensif dapat sangat membantu anak-anak dengan ADHD. Dalam
penelitian tersebut, beberapa anak berpartisipasi dalam program
musim panas selama 8 minggu yang intensif yang mencakup
sejumlah perawatan perilaku yang divalidasi. Pada akhir program
musim panas, anak-anak yang menerima pengobatan gabungan
memiliki sedikit perbaikan yang signifikan dibandingkan anak-anak
yang menerima pengobatan perilaku intensif saja. Temuan ini
menunjukkan bahwa terapi perilaku intensif mungkin sama
efektifnya dengan Ritalin yang dikombinasikan dengan terapi
perilaku yang kurang intensif.

2.2. Conduct Disorder (Gangguan Perilaku)


2.2.1. Pengertian
Gangguan perilaku adalah gangguan eksternalisasi lainnya. Kriteria
DSM-5 untuk gangguan perilaku berfokus pada perilaku yang melanggar
hak-hak dasar orang lain dan melanggar norma sosial utama. Hampir
semua perilaku semacam itu juga ilegal. Gejala gangguan perilaku ini
cukup parah untuk melampaui kenakalan di antara anak-anak dan remaja.
Perilaku ini termasuk agresi dan kekejaman terhadap manusia atau
hewan, merusak properti, berbohong, dan mencuri. Seringkali perilaku
tersebut ditandai dengan sifat tidak berperasaan, sifat kejam, dan
kurangnya penyesalan. DSM-5 kemungkinan akan mencakup penentu

14
diagnosis "sifat tidak berperasaan dan tidak emosional (callous and
unemotional trait)" untuk anak-anak yang menunjukkan jenis
karakteristik ini karena sifat-sifat ini dikaitkan dengan lebih banyak
masalah individu dan keluarga. Sebuah studi longitudinal baru-baru ini
menemukan bahwa anak-anak dengan tingkat masalah tingkah laku yang
tinggi dan tingkat sifat tidak berperasaan dan tidak emosional yang tinggi
memiliki lebih banyak masalah dengan gejala, teman sebaya, dan
keluarga dibandingkan dengan anak-anak dengan masalah perilaku tetapi
tingkat sifat tidak berperasaan dan tidak emosional yang rendah.
Gangguan eksternalisasi yang terkait tetapi kurang dipahami dengan
baik di DSM-IV-TR adalah gangguan menentang oposisi (oppositional
defiant disorder) (ODD). Ada beberapa perdebatan mengenai apakah
ODD berbeda dari gangguan perilaku. ODD didiagnosis jika seorang
anak tidak memenuhi kriteria untuk gangguan perilaku terutama,
agresivitas fisik yang ekstrem tetapi menunjukkan perilaku seperti
kehilangan kesabaran, berdebat dengan orang dewasa, berulang kali
menolak untuk mematuhi permintaan dari orang dewasa, dengan sengaja
melakukan sesuatu untuk mengganggu orang lain, dan menjadi marah,
pendendam, sensitif, atau pendendam.
Biasanya penyerta (comorbid) ODD adalah ADHD, gangguan
belajar, dan gangguan komunikasi, tetapi ODD berbeda dari ADHD
karena perilaku menantang tidak dianggap muncul dari defisit perhatian
atau impulsif semata. Salah satu manifestasi perbedaannya adalah bahwa
anak-anak dengan ODD lebih berhati-hati dalam berperilaku tidak patuh
daripada anak-anak dengan ADHD. Meskipun gangguan perilaku tiga
hingga empat kali lebih umum di antara anak laki-laki daripada di antara
anak perempuan, penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki hanya
sedikit lebih mungkin untuk menderita ODD, dan beberapa penelitian
tidak menemukan perbedaan dalam tingkat prevalensi ODD antara anak
laki-laki dan perempuan.
2.2.2. Kriteria

15
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Oposisi Menentang Menurut
DSM-5 (Wahyuni, 2019) :
a. Pola marah/ suasana hati mudah tersinggung, argumentatif/ perilaku
menantang, atau balas dendam yang berlangsung setidaknya 6 bulan
yang dibuktikan dengan setidaknya empat gejala dari salah satu
kategori berikut, dan dipamerkan selama interaksi dengan setidaknya
satu individu yang bukan saudara kandung.
b. Gangguan perilaku berhubungan dengan stress dalam individu atau
orang lain dalam nya konteks sosial langsung (misalnya, keluarga,
kelompok sebaya, rekan kerja), atau dampak negatif pada bidang
sosial, pendidikan, pekerjaan, atau penting berfungsi.
c. Perilaku tidak terjadi secara eksklusif selama, gunakan psikotik
substansi, depresi, atau gangguan bipolar. Juga, kriteria tidak
terpenuhi untuk gangguan mood disregulasi mengganggu.
2.2.3. Etiologi
a. Genetic Factors
Bukti pengaruh genetik dalam kelainan perilaku beragam,
meskipun kemungkinan heritabilitas berperan. Terdapat sebuah
penelitian terhadap lebih dari 3.000 pasangan kembar menunjukkan
hanya pengaruh genetik yang sederhana pada perilaku antisosial
masa kanak-kanak; pengaruh keluarga-lingkungan lebih signifikan.
Namun, sebuah studi terhadap lebih dari 2.600 pasangan kembar di
Australia menemukan pengaruh genetik yang substansial dan hampir
tidak ada pengaruh keluarga-lingkungan untuk gejala gangguan
perilaku pada masa kanak-kanak.
b. Neuropsychological Factors and the Autonomic Nervous System
Defisit neuropsikologis telah terlibat dalam profil masa kanak-
kanak anak-anak dengan gangguan perilaku. Kekurangan ini
termasuk keterampilan verbal yang buruk, kesulitan dengan fungsi
eksekutif (kemampuan untuk mengantisipasi, merencanakan,
menggunakan pengendalian diri, dan memecahkan masalah), dan

16
masalah dengan memori. Selain itu, anak-anak yang
mengembangkan gangguan perilaku pada usia yang lebih dini (yaitu,
tipe persisten jalan hidup) memiliki skor IQ 1 standar deviasi di
bawah teman sebaya tanpa gangguan perilaku, dan defisit IQ ini
tampaknya tidak disebabkan oleh sosial ekonomi yang lebih rendah.
status atau kegagalan sekolah.
Penelitian lain menunjukkan bahwa kelainan sistem saraf
otonom berhubungan dengan perilaku antisosial pada remaja. Secara
khusus, tingkat konduktansi kulit istirahat dan detak jantung yang
lebih rendah (lower levels of resting skin conductance and heart
rate) ditemukan di antara remaja dengan gangguan perilaku,
menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat gairah yang lebih
rendah daripada remaja tanpa gangguan perilaku. Mengapa gairah
rendah penting? Serupa dengan temuan tentang ciri-ciri kepribadian
antisosial orang dewasa, penelitian ini menunjukkan bahwa remaja
yang menunjukkan perilaku antisosial mungkin tidak takut akan
hukuman seperti remaja yang tidak menunjukkan perilaku tersebut.
Dengan demikian, anak-anak ini mungkin lebih cenderung
berperilaku antisosial tanpa rasa takut akan ketahuan. Rasa takut
ketahuan membuat kebanyakan anak tidak melanggar hukum.
c. Psychological Factors
Bagian penting dari perkembangan anak yang khas adalah
pertumbuhan kesadaran moral, perolehan perasaan tentang apa yang
benar dan salah dan kemampuan, bahkan keinginan, untuk mematuhi
aturan dan norma. Kebanyakan orang menahan diri untuk tidak
menyakiti orang lain bukan hanya karena itu ilegal tetapi juga karena
itu akan membuat mereka merasa bersalah. Anak-anak dengan
gangguan perilaku tampaknya kurang dalam kesadaran moral ini,
kurang penyesalan atas kesalahan mereka.
Teori perilaku yang mengacu pada pemodelan dan
pengkondisian operan memberikan penjelasan yang berguna tentang

17
pengembangan dan pemeliharaan masalah perilaku. Misalnya, anak-
anak yang dianiaya secara fisik oleh orang tua cenderung menjadi
agresif ketika mereka dewasa. Anak-anak juga dapat meniru
tindakan agresif yang terlihat di tempat lain, seperti di televisi.
Karena agresi sering kali merupakan cara yang efektif, meskipun
tidak menyenangkan, untuk mencapai suatu tujuan, agresi
kemungkinan besar akan diperkuat. Dengan demikian, perilaku
agresif cenderung dipertahankan. Pemodelan dapat membantu
menjelaskan timbulnya perilaku nakal di antara remaja yang
sebelumnya tidak menunjukkan masalah perilaku. Mungkin para
remaja ini meniru perilaku teman sebaya yang terus-menerus
antisosial yang dipandang menikmati kepemilikan status tinggi dan
peluang seksual
Perspektif sosial-kognitif tentang perilaku agresif (dan,
selanjutnya, gangguan perilaku) berasal dari karya Kenneth Dodge
dan rekannya. Dodge telah membangun teori pemrosesan informasi
sosial tentang perilaku anak yang berfokus pada bagaimana anak-
anak memproses informasi tentang dunia mereka dan bagaimana
kognisi ini secara nyata mempengaruhi perilaku mereka. Dalam
salah satu studi awalnya, Dodge menemukan bahwa proses kognitif
anak-anak yang agresif memiliki bias tertentu; anak-anak ini
menafsirkan tindakan ambigu, seperti terbentur antrean, sebagai
bukti niat bermusuhan. Persepsi semacam itu dapat menyebabkan
anak-anak ini membalas secara agresif atas tindakan yang mungkin
tidak dimaksudkan sebagai provokatif. Hal ini dapat menciptakan
lingkaran setan: teman-teman mereka, mengingat perilaku agresif ini,
mungkin cenderung lebih sering agresif terhadap mereka, yang
selanjutnya membuat marah anak-anak yang sudah agresif.
Kekurangan dalam pemrosesan informasi sosial juga memprediksi
perilaku antisosial di kalangan remaja. Baru-baru ini, Dodge dan
rekannya mengaitkan defisit dalam pemrosesan informasi sosial

18
dengan detak jantung di kalangan remaja yang menunjukkan
perilaku antisosial. Secara khusus, detak jantung yang rendah
memprediksi perilaku antisosial di antara remaja laki-laki yang tidak
bergantung pada kekurangan pemrosesan informasi sosial, sebuah
temuan yang konsisten dengan penelitian yang ditinjau sebelumnya
tentang masalah perilaku dan gairah yang rendah. Namun, hubungan
antara detak jantung yang tinggi dan perilaku antisosial
diperhitungkan oleh defisit pemrosesan informasi sosial untuk
remaja pria dan wanita.
d. Peer Influences
Investigasi tentang bagaimana teman sebaya mempengaruhi
perilaku agresif dan antisosial pada anak-anak telah difokuskan pada
dua area luas: (1) penerimaan atau penolakan oleh teman sebaya dan
(2) afiliasi dengan teman sebaya yang menyimpang. Penelitian telah
menunjukkan bahwa ditolak oleh teman sebaya secara kausal terkait
dengan perilaku agresif, terutama dalam kombinasi dengan ADHD.
Penelitian lain menunjukkan bahwa ditolak oleh teman sebaya dapat
memprediksi perilaku agresif di kemudian hari, bahkan setelah
mengontrol tingkat perilaku agresif sebelumnya. Bergaul dengan
teman sebaya yang menyimpang juga meningkatkan kemungkinan
perilaku nakal.
Apakah anak-anak dengan gangguan perilaku memilih untuk
bergaul dengan teman sebaya yang berpikiran sama, sehingga
melanjutkan jalur perilaku antisosial mereka (yaitu, pandangan
seleksi sosial), atau apakah hanya berada di sekitar teman sebaya
yang menyimpang membantu memulai perilaku antisosial (yaitu,
pandangan pengaruh sosial)? Studi terbaru yang meneliti interaksi
gen-lingkungan telah menjelaskan pertanyaan ini, dan jawabannya
tampaknya bahwa kedua pandangan itu benar. Artinya, seperti yang
kita ulas sebelumnya, kita tahu bahwa faktor genetik berperan dalam
gangguan perilaku, dan faktor-faktor ini pada gilirannya berperan

19
dalam mendorong anak-anak dengan gangguan perilaku untuk
memilih teman sebaya yang lebih menyimpang untuk dikaitkan.
Namun, pengaruh lingkungan, terutama lingkungan (misalnya,
kemiskinan di lingkungan) dan keluarga (misalnya, pemantauan
orang tua) berperan dalam apakah anak-anak bergaul dengan teman
sebaya yang menyimpang, dan ini pada gilirannya mempengaruhi
dan memperburuk gangguan perilaku.
e. Sociocultural Factors
Kemiskinan dan kehidupan perkotaan dikaitkan dengan tingkat
kenakalan yang lebih tinggi. Pengangguran, fasilitas pendidikan yang
buruk, kehidupan keluarga yang terganggu, dan subkultur yang
menganggap kenakalan dapat diterima merupakan faktor-faktor yang
berkontribusi. Kombinasi perilaku antisosial awal pada anak dan
kerugian sosial ekonomi dalam keluarga memprediksi penangkapan
kriminal dini.
Sebuah studi tentang pemuda Afrika-Amerika dan kulit putih
yang diambil dari Pittsburgh Youth Study menunjukkan bahwa
tindakan nakal yang lebih parah yang umumnya ditemukan di antara
orang Afrika-Amerika tampaknya terkait dengan kehidupan mereka
di lingkungan yang lebih miskin, bukan dengan ras mereka. Para
peneliti menetapkan lingkungan sebagai "kelas bawah" atau "bukan
kelas bawah" berdasarkan faktor-faktor seperti kemiskinan keluarga,
keluarga tanpa seorang pun yang bekerja, dan pengangguran laki-
laki. Dalam sampel total — mengabaikan perbedaan dalam status
sosial ekonomi — pemuda Afrika-Amerika lebih cenderung
melakukan tindakan nakal yang serius daripada pemuda kulit putih
(misalnya, pencurian mobil, membobol dan masuk, penyerangan
yang diperparah). Tetapi pemuda Afrika-Amerika yang tidak tinggal
di lingkungan kelas bawah tidak berbeda dengan pemuda kulit putih
dalam perilaku nakal yang serius. Faktor sosial penting. Korelasi
yang paling kuat dari kenakalan selain lingkungan adalah hiperaktif

20
dan kurangnya pengawasan orang tua; Setelah faktor-faktor ini
dikendalikan, tempat tinggal di lingkungan kelas bawah secara
signifikan berhubungan dengan perilaku nakal, sedangkan etnis
tidak.

2.2.4. Treatment
a. Family Interventions
Beberapa pendekatan yang paling menjanjikan untuk mengobati
gangguan perilaku melibatkan campur tangan dengan orang tua dan
keluarga anak. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa campur tangan
lebih awal, meski hanya sebentar, dapat berdampak. Dalam uji coba
terkontrol secara acak, para peneliti membandingkan apa yang
disebut pengobatan pemeriksaan keluarga (family checkup) (FCU)
dengan tanpa pengobatan. FCU melibatkan tiga pertemuan untuk
mengenal, menilai, dan memberikan umpan balik kepada orang tua
tentang anak-anak mereka dan praktik pengasuhan. Dalam penelitian
ini, FCU ditawarkan kepada keluarga dengan balita yang berisiko
tinggi mengalami masalah perilaku (berdasarkan adanya masalah
perilaku atau penyalahgunaan zat pada orang tua atau tanda-tanda
awal perilaku berperilaku pada anak). Intervensi singkat tiga sesi ini
dikaitkan dengan perilaku yang kurang mengganggu dibandingkan
dengan tanpa pengobatan, bahkan 2 tahun setelah intervensi.
b. Multisystemic Treatment (MST)
Perawatan lain yang menjanjikan untuk pelaku remaja yang
serius adalah pengobatan multisistemik (MST). MST melibatkan
penyampaian layanan terapi yang intensif dan komprehensif di
masyarakat, dengan sasaran remaja, keluarga, sekolah, dan, dalam
beberapa kasus, kelompok sebaya. Perawatan tersebut didasarkan
pada pandangan bahwa masalah perilaku dipengaruhi oleh banyak
faktor dalam keluarga serta antara keluarga dan sistem sosial lainnya.

21
Strategi yang digunakan oleh terapis MST bervariasi,
menggabungkan teknik perilaku, kognitif, sistem keluarga, dan
manajemen kasus. Keunikan terapi terletak pada penekanan pada
kekuatan individu dan keluarga, mengidentifikasi konteks sosial
untuk masalah perilaku, menggunakan intervensi yang berfokus pada
saat ini dan berorientasi pada tindakan, dan menggunakan intervensi
yang membutuhkan upaya harian atau mingguan oleh anggota
keluarga. Perawatan diberikan dalam pengaturan yang “sah secara
ekologis”, seperti rumah, sekolah, atau pusat rekreasi lokal, untuk
memaksimalkan kemungkinan perbaikan akan terbawa ke dalam
kehidupan sehari-hari anak-anak dan keluarga mereka. MST telah
terbukti efektif dalam sejumlah penelitian.
2.3 Learning Disabilities
2.3.1 Definisi Learning Disabilities
Learning Disabilities adalah suatu kondisi di mana seseorang
menunjukkan suatu masalah dalam bidang akademik, bahasa, ucapan,
atau keterampilan motorik tertentu yang bukan disebabkan oleh
gangguan perkembangan intelektual, atau kurangnya kesempatan
pendidikan. Anak-anak dengan learning disabilities biasanya memiliki
kecerdasan rata-rata atau di atas rata-rata, tetapi mereka mengalami
kesulitan mempelajari beberapa keterampilan khusus di area yang
terpengaruh (misalnya, berhitung atau membaca), serta dengan demikian
kemajuan mereka di sekolah menjadi terhambat.
Istilah learning disabilities tidak digunakan oleh DSM, tetapi
digunakan oleh sebagian besar profesional kesehatan mental untuk
mengelompokkan tiga kategori gangguan yang muncul di DSM, yaitu
learning disorders, communication disorders, dan motor disorders. Salah
satu gangguan ini mungkin berlaku untuk anak yang gagal berkembang
ke tingkat yang sesuai dengan tingkat intelektualnya dalam bidang
akademik, bahasa, atau keterampilan motorik tertentu. Learning

22
Disabilities sering kali diidentifikasi dan ditangani dalam sistem sekolah
daripada melalui klinik kesehatan mental.

2.3.2 Jenis dan Simtom Learning Disabilities


1) Learning disorders meliputi:
a. Dyslexia (sebelumnya disebut reading disorder), melibatkan
kesulitan yang signifikan dengan pengenalan kata, pemahaman
bacaan, dan juga ejaan tertulis.
b. Dyscalculia (sebelumnya disebut mathematics disorder),
melibatkan kesulitan dalam menghasilkan atau memahami
bilangan, besaran, atau operasi aritmatika dasar.
2) Communication disorders meliputi:
a. Speech sounds disorder (sebelumnya disebut phonological
disorder), melibatkan pemahaman yang benar dan penggunaan
kosa kata yang memadai, tetapi ucapan yang tidak jelas dan
artikulasi yang tidak tepat. Misalnya, pengucapan blue seperti bu,
dan rabbit seperti wabbit. Dengan terapi wicara, pemulihan total
terjadi di hampir semua kasus, dan kasus yang lebih ringan dapat
pulih secara spontan pada usia 8 tahun.
b. Childhood onset fluency disorder (sebelumnya disebut
stuttering/gagap) adalah gangguan kefasihan verbal yang ditandai
dengan satu atau beberapa pola bicara, yaitu pengulangan atau
perpanjangan suara yang sering, jeda panjang antar kata,
menggantikan kata-kata mudah dengan kata-kata yang sulit
mengartikulasikan. Misalnya, kata-kata yang dimulai dengan
konsonan tertentu, mengulangi seluruh kata seperti, mengucapkan
"go-go-go-go", bukan hanya satu pengucapan "go". DSM-IV-TR
memperkirakan bahwa hingga 80% orang dengan stuttering pulih,
kebanyakan dari mereka tanpa intervensi profesional sebelum
usia 16 tahun.

23
Terdapat 5 communication disorders baru diusulkan untuk
DSM-5, antara lain yaitu language impairment disorder, late
language emergence disorder, specific language impairment
disorder, social communication disorder, dan voice disorder.
3) Motor disorders meliputi:
a. Tourette’s disorder, melibatkan satu atau lebih vokal dan
beberapa gerakan motorik (gerakan tiba-tiba, cepat atau
vokalisasi) yang dimulai sebelum usia 18 tahun.
b. Developmental coordination disorder (sebelumnya disebut motor
skills disorder), melibatkan gangguan yang nyata dalam
perkembangan koordinasi motorik yang tidak dapat dijelaskan
oleh gangguan perkembangan intelektual atau gangguan seperti
cerebral palsy.

2.3.3 Etiologi Learning Disabilities


Sebagian besar penelitian tentang learning disabilities berkaitan
dengan dyslexia, mungkin karena dyslexia adalah yang paling umum dari
kelompok gangguan ini. Dyslexia mempengaruhi 5-10% anak usia
sekolah. Penelitian telah berkembang lebih lambat pada dyscalculia.
1) Etiology of Dyslexia

Studi terkait keluarga dan kembar mengkonfirmasi bahwa ada


komponen yang diwariskan untuk dyslexia (Pennington, 1995;
Raskind, 2001). Gen yang berhubungan dengan dyslexia adalah gen
yang sama yang diasosiasikan dengan kemampuan membaca yang
khas (Plomin & Kovas, 2005). Jadi, gen generalis ini penting untuk
memahami kemampuan membaca normal maupun abnormal.
Penelitian juga telah memeriksa interaksi gen dan lingkungan pada
dyslexia, lalu bukti menunjukkan bahwa heritabilitas masalah
membaca bervariasi tergantung pada pendidikan orang tua. Gen
berperan lebih besar dalam dyslexia pada anak yang orang tuanya

24
berpendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang orang
tuanya berpendidikan rendah (Friend, DeFries, Olson, et al., 2009;
Kremen, Jacobson, Xian, et al., 2005). Rumah dengan pendidikan
orang tua yang tinggi cenderung menekankan membaca dan
memberikan banyak kesempatan bagi anak untuk membaca. Dengan
demikian, dalam jenis lingkungan ini, risiko seorang anak untuk
mengembangkan dyslexia lebih didorong oleh kombinasi gen yang
dapat diwariskan.
Ada konsensus yang cukup baik di antara para peneliti bahwa
defisit inti pada dyslexia termasuk masalah dalam pemrosesan
bahasa. Bukti dari studi psikologis, neuropsikologis, dan
neuroimaging mendukung pendapat ini. Penelitian menunjukkan
satu atau lebih masalah dalam pemrosesan bahasa yang mungkin
mendasari dyslexia, termasuk persepsi bicara dan analisis suara
bahasa lisan dan hubungannya dengan kata-kata tercetak (Mann &
Brady, 1988), kesulitan mengenali rima dan aliterasi (Bradley &
Bryant , 1985), masalah dengan penamaan objek yang dikenal
dengan cepat (Scarborough, 1990; Wolf, Bally, & Morris, 1986), dan
keterlambatan dalam mempelajari aturan sintaksis (Scarborough,
1990). Banyak dari proses ini berada di bawah kesadaran fonologis,
yang diyakini penting untuk pengembangan keterampilan membaca
(Anthony & Lonigan, 2004).
Studi yang menggunakan brain-imaging techniques
mendukung gagasan bahwa anak-anak penderita dyslexia memiliki
masalah dalam kesadaran fonologis. Studi ini menunjukkan bahwa
daerah di daerah temporal, parietal, dan oksipital otak kiri penting
untuk kesadaran fonologis, dan daerah yang sama ini terlibat secara
sentral dalam dyslexia. Sebagai contoh, sebuah studi menggunakan
fMRI menemukan bahwa, dibandingkan dengan anak-anak tanpa
dyslexia, anak-anak dengan dyslexia gagal mengaktifkan area
temporoparietal selama tugas pemrosesan fonologis (Temple,

25
Poldrack, Salidas, et al., 2001). Sebuah studi yang lebih besar
menggunakan fMRI menemukan bahwa dibandingkan dengan anak-
anak tanpa dyslexia, anak-anak dengan dyslexia menunjukkan lebih
sedikit aktivasi di daerah temporoparietal dan oksipitotemporal kiri
saat melakukan sejumlah tugas yang relevan dengan membaca,
seperti mengidentifikasi huruf dan mengucapkan kata-kata
(Shaywitz, Shaywitz, Pugh et al., 2002). Sebuah studi pengobatan
menunjukkan bahwa setelah satu tahun perawatan intensif untuk
masalah membaca, anak-anak dengan dyslexia menjadi pembaca
yang lebih baik dan juga menunjukkan aktivasi yang lebih besar di
daerah temporoparietal dan oksipitotemporal kiri saat menyelesaikan
tugas membaca, dibandingkan dengan sekelompok anak yang
menerima pelajaran yang kurang intensif. pengobatan (Shaywitz,
Shaywitz, Blachman, et al., 2004).
Temuan serupa menggunakan fMRI telah ditemukan di antara
orang dewasa dengan dyslexia (Horwitz, Rumsey, & Donahue, 1998;
Klingberg, Hedehus, Temple, et al., 2000). Sebuah studi fMRI
dengan orang dewasa meneliti tiga jenis pembaca yang berbeda
(Shaywitz, Shaywitz, Fulbright, et al., 2003). Kelompok pertama
disebut persistently poor readers (PPR) yaitu mereka yang kesulitan
membaca di awal sekolah (kelas dua) dan kemudian di sekolah
(kelas sembilan atau sepuluh). Kelompok kedua disebut accuracy
improved (AI) yaitu mereka yang mengalami kesulitan membaca di
awal sekolah, tetapi tidak di kemudian hari di sekolah. Kelompok
ketiga disebut nonimpaired readers (NI) yaitu mereka yang tidak
mengalami kesulitan membaca baik di awal maupun di akhir
sekolah.
Pada tugas behavioral reading yang diselesaikan di luar
pemindai, kinerja kelompok PPR lebih buruk daripada kelompok AI
dan NI. Pada banyak tes, kelompok AI tampil sebaik kelompok NI,
menunjukkan bahwa mereka telah mengompensasi masalah

26
membaca awal mereka. Namun, hasil brain-imaging berbeda. Secara
khusus, kelompok NI mengaktifkan area tradisional otak yang terkait
dengan membaca yaitu wilayah temporal-parietal-oksipital kiri.
Namun, kelompok AI tidak menunjukkan banyak aktivasi di area ini
tetapi menunjukkan aktivasi di area di sisi kanan otak, menunjukkan
bahwa kompensasi mereka untuk masalah membaca awal
bergantung pada area otak yang secara tradisional tidak terlibat
dalam membaca. Paradoksnya, kelompok PPR juga mengaktifkan
sisi kiri otak yang terkait dengan membaca. Namun, kelompok
pembaca yang ini juga mengaktifkan area lain di otak yang terkait
dengan memori, menunjukkan bahwa mereka mencoba
mengandalkan menghafal kata-kata untuk membaca daripada area
bahasa yang lebih efisien digunakan dalam membaca. Perlu dicatat
bahwa studi fMRI yang dibahas di atas dilakukan dengan anak-anak
dan orang dewasa di Amerika Serikat yang berbicara bahasa Inggris.
2) Etiology of Dyscalculia

Ada bukti pengaruh genetik pada variasi individu dalam


keterampilan matematika. Secara khusus, jenis ketidakmampuan
dalam matematika (math disability) yang melibatkan memori
semantik yang buruk kemungkinan besar dapat diwariskan. Sebuah
studi terhadap lebih dari 250 pasangan kembar yang dilakukan
melalui Colorado Learning Disabilities Research Center
menunjukkan bahwa faktor genetik yang umum mendasari defisit
membaca dan matematika pada anak-anak dengan kedua gangguan
tersebut (Gillis & DeFries, 1991; Plomin & Kovas, 2005).
Selanjutnya, bukti menunjukkan bahwa setiap gen yang terkait
dengan dyscalculia juga terkait dengan kemampuan matematika
(Plomin & Kovas, 2005). Studi functional brain imaging pada orang
dengan dyscalculia menunjukkan bahwa area lobus parietal kurang
aktif selama tugas yang membutuhkan matematika. Secara khusus,

27
area yang disebut intraparietal sulcus telah terlibat dalam
dyscalculia (Wilson & Dehaene, 2007).
Para peneliti telah menyelidiki apakah dyscalculia mungkin
terkait dengan dyslexia dalam hal defisit kognitif yang terkait dengan
kedua gangguan belajar ini. Artinya, anak-anak yang memiliki
masalah dengan kesadaran fonologis mungkin tidak hanya
bermasalah dengan membaca tetapi juga dengan simbol dan angka
dalam matematika. Bukti menunjukkan bahwa kedua learning
disorders ini agak independen (Jordan, 2007). Jika ada, mengalami
dyslexia dapat membuat dyscalculia menjadi lebih buruk, tetapi
mereka tampaknya memiliki beberapa defisit kognitif yang berbeda.
Anak-anak dengan dyslexia dan dyscalculia mengalami defisit dalam
kesadaran fonologis, tetapi anak-anak dengan dyscalculia saja tidak.
Anak-anak dengan dyscalculia memiliki masalah dengan tugas-tugas
yang membutuhkan manipulasi angka, baik dengan angka
sebenarnya atau dengan penggunaan perhitungan, seperti dalam
memperkirakan ukuran, tetapi anak-anak dengan dyslexia tidak
(Landerl et al., 2009).

2.3.4 Treatment Learning Disabilities


Beberapa strategi digunakan untuk mengatasi learning disabilities,
baik dalam program sekolah maupun dalam bimbingan privat.
Pendekatan linguistik tradisional digunakan tertama dalam kasus-kasus
reading and writing difficulties, fokus pada pengajaran dalam
keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis secara
logis, berurutan, dan multisensor, seperti membaca dengan suara keras di
bawah pengawasan ketat. Pada anak-anak kecil, keterampilan kesiapan,
seperti diskriminasi huruf, analisis fonetik, dan pembelajaran
korespondensi bunyi huruf, mungkin perlu diajarkan sebelum instruksi
eksplisit dalam membaca dicoba.

28
Pengajaran fonik (phonics instruction) membantu anak-anak
menguasai tugas mengubah suara menjadi kata-kata (National Institute of
Child Health and Human Development, 2000). Temuan dari National
Reading Panel, tinjauan komprehensif dari penelitian mengajar anak-
anak membaca, menunjukkan bahwa pengajaran fonik bermanfaat bagi
anak-anak dengan kesulitan membaca. Seperti Kasus Klinis Tim yang
dijelaskan sebelumnya, penderita dyslexia sering kali berhasil di
perguruan tinggi dengan bantuan dukungan instruksional, seperti
ceramah podcast atau webcast yang dapat ditinjau ulang, tutor, dan tes
tanpa batas waktu. Perguruan tinggi diwajibkan oleh undang-undang
untuk menyediakan layanan khusus untuk membantu siswa tersebut, dan
sekolah umum sekarang diharuskan menyediakan perencanaan kejuruan
dan karier transisi untuk remaja yang lebih tua dengan ketidakmampuan
belajar. Salah satu perkembangan yang menjanjikan dalam menangani
gangguan komunikasi (Merzenich, Jenkins, Johnson, et al., 1996; Tallal,
Miller, Bedi, et al., 1996) didasarkan pada temuan sebelumnya bahwa
anak-anak dengan gangguan tersebut mengalami kesulitan dalam
membedakan suara tertentu. Peneliti mengembangkan permainan
komputer dan kaset audio khusus yang memperlambat suara ucapan.
Setelah pelatihan intensif dengan rangsangan bicara yang dimodifikasi
ini selama 1 bulan, anak-anak dengan gangguan bahasa yang parah dapat
meningkatkan keterampilan bahasa mereka ke titik di mana mereka
berfungsi seperti biasanya pada anak-anak yang sedang berkembang.
Pelatihan serupa menggunakan rangsangan bicara yang tidak
dimodifikasi hanya menghasilkan sedikit kemajuan.
Berdasarkan temuan awal, para peneliti memperluas pengobatan
yang disebut dengan Fast ForWord, dan melakukan penelitian yang lebih
besar termasuk 500 anak dari Amerika Serikat dan Kanada. Anak-anak
menerima pelatihan harian selama 6 sampai 8 minggu, dan hasilnya
kembali menunjukkan bahwa intervensi itu efektif. Anak-anak meningkat
dalam keterampilan bicara, bahasa, dan pemrosesan pendengaran sekitar

29
11 - 2 tahun kemampuan (Tallal, Merzenich, Miller, et al., 1998). Para
peneliti berspekulasi bahwa metode pelatihan ini bahkan dapat
membantu mencegah dyslexia, karena banyak anak dengan gangguan
membaca mengalami kesulitan memahami bahasa saat masih kecil.
Kebanyakan anak dengan ketidakmampuan belajar mungkin pernah
mengalami banyak frustrasi dan kegagalan, yang mengikis motivasi dan
kepercayaan diri mereka. Apapun desainnya, program perawatan harus
memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengalami perasaan
menguasai dan percaya diri. Memberi penghargaan pada langkah-
langkah kecil dapat berguna dalam meningkatkan motivasi anak,
membantu anak memusatkan perhatian pada tugas belajar, dan
mengurangi masalah perilaku yang disebabkan oleh frustrasi.

2.4 Intellectual Developmental Disorder


2.4.1 Definisi Intellectual Developmental Disorder
Dalam DSM-IV-TR, mental retardation atau keterbelakangan
mental adalah nama gangguan yang kemungkinan akan disebut
intellectual developmental disorder di DSM-5. Sebagian besar
profesional kesehatan mental mengikuti pedoman American Association
on Intellectual and Developmental Disabilities (AAIDD) lebih dari
kriteria DSM. AAIDD adalah organisasi yang misinya adalah untuk
“mempromosikan kebijakan progresif, penelitian yang baik, praktik yang
efektif, dan hak asasi manusia universal bagi orang-orang dengan
disabilitas intelektual” (AAIDD: www.aaidd.org). Kelompok ini
mengubah namanya pada tahun 2006 (sebelumnya dikenal sebagai
American Association of Mental Retardation) sebagian besar untuk
mengakui bahwa disabilitas intelektual sekarang lebih disukai daripada
retardasi mental (Schalock, Luckasson, Shogren, et al., 2007). AAIDD
telah ada sejak 1876 dan secara rutin menerbitkan pedoman untuk
mengklasifikasikan dan mendefinisikan disabilitas intelektual yang
kurang fokus pada tingkat keparahan disabilitas dan lebih pada

30
menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memfasilitasi fungsi
yang lebih tinggi. Edisi ke 11 AAIDD untuk diterbitkan pada tahun 2010
untuk mendefinisikan intellectual disability. Perbedaan utama antara
pedoman 2010 dan tahun 2002 adalah perubahan nama. Artinya, istilah
intellectual disability sekarang digunakan sebagai pengganti mental
retardation.
Disability Intellectual Disability dicirikan oleh adanya keterbatasan
yang signifikan, baik dalam fungsi intelektual maupun perilaku adaptif
yang diekspresikan dalam keterampilan adaptif konseptual, sosial, dan
praktis. Cacat ini dimulai sebelum usia 18 tahun.
Terdapat 5 asumsi penting untuk penerapan definisi tersebut, antara
lain :
1) Batasan dalam fungsi saat ini harus dipertimbangkan dalam konteks
lingkungan komunitas yang khas dari usia, teman sebaya, dan
budaya individu.
2) Penilaian yang valid dalam mempertimbangkan keragaman budaya
dan bahasa, serta perbedaan dalam komunikasi, sensorik, motorik,
dan faktor perilaku.
3) Dalam diri seseorang, keterbatasan sering kali berdampingan dengan
kekuatan.
4) Tujuan penting dari mendeskripsikan batasan adalah untuk
mengembangkan profil dukungan yang dibutuhkan.
5) Dengan dukungan pribadi yang sesuai selama periode berkelanjutan,
fungsi kehidupan penyandang intellectual disability secara umum
akan meningkat.

2.4.2 Kriteria Intellectual Developmental Disorder


1) Defisit intelektual sebanyak 2 atau lebih deviasi standar dalam IQ
di bawah skor rata-rata untuk kelompok usia dan budaya seseorang,
yang biasanya skor IQ kurang dari 70.

31
2) Defisit signifikan dalam fungsi adaptif relatif terhadap usia
seseorang dan kelompok budaya di satu atau lebih bidang yaitu
komunikasi, partisipasi sosial, pekerjaan atau sekolah, kemandirian
di rumah atau di masyarakat, yang membutuhkan kebutuhan
dukungan di sekolah, tempat kerja, atau hidup mandiri.
3) Mulai sebelum usia 18 tahun.

2.4.3 Diagnosis dan Assessmen Intellectual Developmental Disorder


Kriteria diagnostik DSM-5 untuk intellectual developmental
disorder mencakup tiga kriteria yaitu :
1) Secara signifikan di bawah fungsi intelektual rata-rata
2) Defisit dalam perilaku adaptif
3) Onset sebelum usia 18 tahun

Namun, perubahan pada dua kriteria pertama juga diusulkan untuk


membuat DSM-5 lebih konsisten dengan pendekatan AAIDD. Pertama,
kemungkinan akan ada pengakuan eksplisit bahwa skor IQ harus
dipertimbangkan dalam konteks budaya seseorang. Kedua, fungsi adaptif
juga kemungkinan besar akan dinilai dan dipertimbangkan berdasarkan
usia orang dan kelompok budaya. Akhirnya, DSM-5 kemungkinan tidak
akan lagi membedakan antara mild, moderate, dan severe intellectual
disability berdasarkan skor IQ saja seperti yang dilakukan di DSM-IV-
TR. Bahkan dengan perubahan DSM-5 ini, pendekatan AAIDD masih
melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mendorong identifikasi
kekuatan dan kelemahan individu pada dimensi psikologis, fisik, dan
lingkungan dengan tujuan menentukan jenis dan tingkat dukungan yang
diperlukan untuk meningkatkan kemampuan seseorang. berfungsi di
domain yang berbeda.
Pertimbangkan Roger, seorang pria berusia 24 tahun dengan IQ 45
yang telah mengikuti program khusus untuk penyandang disabilitas
intelektual sejak berusia 6 tahun. Dari DSM, dia tidak diharapkan untuk

32
dapat hidup mandiri, berkeliling miliknya sendiri, atau maju melebihi
kelas dua. Pendekatan AAIDD, bagaimanapun, akan menekankan apa
yang dibutuhkan untuk memaksimalkan fungsi Roger. Dengan demikian,
seorang dokter mungkin menemukan bahwa Roger dapat menggunakan
sistem bus jika dia mengambil rute yang dia kenal, dan dengan demikian
dia mungkin dapat pergi ke bioskop sendirian dari waktu ke waktu. Dan
meskipun dia tidak bisa menyiapkan makanan yang rumit, dia mungkin
bisa belajar menyiapkan hidangan beku dalam oven microwave.
Asumsinya adalah dengan mengembangkan apa yang bisa dia lakukan,
Roger akan membuat lebih banyak kemajuan. Di sekolah, individualized
educational program (IEP) didasarkan pada kekuatan dan kelemahan
orang tersebut dan pada jumlah pengajaran yang dibutuhkan. Siswa
dikenali dari lingkungan kelas yang mereka butuhkan. Pendekatan ini
dapat mengurangi efek stigmatisasi dari gangguan perkembangan
intelektual dan juga dapat mendorong fokus pada apa yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran siswa.

2.4.4 Etiologi Intellectual Developmental Disorder


1) Genetic or Chromosomal Abnormalities

Salah satu kelainan kromosom yang telah dikaitkan dengan


intellectual developmental disorder adalah trisomi 21, yang mengacu
pada memiliki salinan tambahan (yaitu, tiga, bukan dua) dari
kromosom 21. Ini juga dikenal sebagai Down syndrome. Perkiraan
prevalensi Down syndrome menunjukkan bahwa itu terjadi pada
sekitar 1 dari setiap 850 kelahiran hidup di Amerika Serikat (Shin,
Besser, Kucik, et al., 2009). Orang dengan Down syndrome mungkin
mengalami intellectual developmental disorder serta beberapa tanda
fisik yang khas, seperti perawakan pendek dan kekar; mata lonjong,
miring ke atas; perpanjangan lipatan kelopak mata atas di atas sudut
mata bagian dalam; rambut jarang, halus, lurus; hidung lebar dan

33
datar; telinga berbentuk persegi; lidah yang besar dan berkerut; dan
tangan pendek dan lebar.
Kelainan kromosom lain yang dapat menyebabkan intellectual
developmental disorder adalah fragile X syndrome, yang melibatkan
mutasi pada gen fMRI pada kromosom X (National Fragile X
Foundation: www.fragilex.org). Gejala fisik yang terkait dengan
fragile X syndrome termasuk telinga besar dan tidak berkembang,
serta wajah yang panjang dan kurus. Banyak orang dengan fragile X
syndrome mengalami intellectual developmental disorder. Orang
lain mungkin tidak memiliki intellectual developmental disorder,
tetapi tetap memiliki learning disabilities, kesulitan pada tes
neuropsikologis, dan perubahan suasana hati. Sekitar sepertiga dari
anak-anak dengan fragile X syndrome juga menunjukkan perilaku
spektrum autisme, menunjukkan bahwa gen fMRI mungkin salah
satu dari banyak gen yang berkontribusi pada autisme (Hagerman,
2006).
2) Recessive-Gene Diseases

Banyak recessive-gene diseases yang telah diidentifikasi, dan


di antaranya dapat menyebabkan intellectual developmental
disorder. Di sini dibahas tentang satu recessive-gene diseases, yaitu
phenylketonuria. Pada phenylketonuria (PKU), bayi yang lahir tanpa
tanda-tanda kesulitan yang jelas, segera mulai menderita kekurangan
enzim hati yakni phenylalanine hydroxylase. Enzim ini diperlukan
untuk mengubah phenylalanine, asam amino yang terkandung dalam
protein, menjadi tirosin, asam amino yang penting untuk produksi
hormon tertentu, seperti epinefrin. Karena kekurangan enzim ini,
phenylalanine dan turunannya, asam fenilpiruvat, tidak dipecah dan
malah menumpuk di dalam cairan tubuh. Penumpukan ini pada
akhirnya merusak otak karena asam amino yang tidak
termetabolisme mengganggu proses mielinisasi, selubung akson
neuron, yang penting untuk fungsi saraf. Mielinisasi mendukung

34
transmisi impuls saraf yang cepat. Neuron dari lobus frontal, tempat
dari banyak fungsi kognitif penting, seperti pengambilan keputusan,
sangat terpengaruh, dan disabilitas intelektual bisa sangat parah.
Meskipun PKU jarang terjadi, dengan kejadian sekitar 1 dari 15.000
kelahiran hidup, diperkirakan 1 dari 70 kelahiran hidup merupakan
pembawa gen resesif. Tes darah tersedia untuk calon orang tua yang
memiliki alasan untuk mencurigai bahwa mereka mungkin pembawa
penyakit. Wanita hamil yang membawa gen resesif harus memantau
pola makannya dengan cermat agar janin tidak terpapar kadar racun
phenylalanine (Baumeister & Baumeister, 1995).
Undang-undang negara bagian mewajibkan pengujian bayi
baru lahir untuk PKU. Setelah bayi baru lahir dengan PKU
mengkonsumsi susu selama beberapa hari, jumlah phenylalanine
yang tidak diubah dalam jumlah berlebih dapat dideteksi di dalam
darah. Jika tesnya positif, orang tua diajari untuk memberi bayi diet
rendah phenylalanine. Para orang tua didorong untuk
memperkenalkan pola makan khusus ini sedini mungkin dan
menjaganya tanpa batas. Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-
anak yang pantangan makanannya berhenti pada usia 5-7 tahun
mulai menunjukkan penurunan fungsi yang halus, terutama dalam
IQ, membaca, dan mengeja (Fishler, Azen, Henderson, et al., 1987;
Legido, Tonyes, Carter, et. al., 1993). Bahkan di antara anak-anak
dengan PKU yang mempertahankan pola makan, bagaimanapun,
defisit dalam kemampuan persepsi, memori, dan perhatian telah
diamati (Banich, Passarotti, White, et al., 2000; Huijbregts, de
Sonneville, Licht, et al., 2002).
3) Infectious Diseases

Selama dalam kandungan, janin berisiko mengalami


intellectual developmental disorder akibat penyakit infeksi pada ibu
seperti rubella (campak Jerman). Konsekuensi dari penyakit ini
paling serius selama trimester pertama kehamilan, ketika janin tidak

35
memiliki respons imunologis yang terdeteksi, yaitu sistem
kekebalannya tidak cukup berkembang untuk menangkal infeksi.
Cytomegalovirus, toxoplasmosis, rubella, herpes simplex, HIV, dan
syphilis adalah semua infeksi ibu yang dapat menyebabkan kelainan
bentuk fisik dan gangguan perkembangan intelektual. Ibu mungkin
mengalami sedikit atau tidak ada gejala akibat infeksi, tetapi efeknya
pada janin yang sedang berkembang bisa sangat merusak. Penyakit
infeksi juga dapat mempengaruhi perkembangan otak anak setelah
lahir. Encephalitis dan meningococcal meningitis dapat
menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian jika tertular pada
masa bayi atau anak usia dini. Di masa dewasa, infeksi ini biasanya
tidak terlalu serius. Ada beberapa bentuk meningitis pada masa
kanak-kanak, penyakit di mana selaput pelindung otak meradang
akut dan demam sangat tinggi.
4) Environmental Hazards

Beberapa polutan lingkungan terlibat dalam intellectual


developmental disorder. Salah satu polutan tersebut adalah merkuri,
yang dapat tertelan dengan memakan ikan yang terkena dampak.
Lain adalah timbal, yang ditemukan dalam cat berbahan dasar
timbal, kabut asap, dan knalpot dari mobil yang membakar bensin
bertimbal. Keracunan timbal dapat menyebabkan kerusakan ginjal
dan otak serta anemia, cacat intelektual, kejang, dan kematian. Cat
berbahan dasar timbal sekarang dilarang di Amerika Serikat, tetapi
masih ditemukan di rumah-rumah yang lebih tua, di mana anak-anak
dapat memakan potongan yang terkelupas.

2.4.5 Treatment Intellectual Developmental Disorder


1) Residential Treatment

Sejak 1960-an, ada upaya serius dan sistematis untuk mendidik


anak-anak dengan intellectual developmental disorder semaksimal

36
mungkin. Meskipun banyak orang dapat memperoleh kompetensi
yang dibutuhkan untuk berfungsi secara efektif dalam komunitas,
beberapa orang memerlukan dukungan ekstra dari program
perawatan residensial. Sejak tahun 1975, orang dengan gangguan
perkembangan intelektual memiliki hak hukum untuk mendapatkan
perawatan yang tepat dalam lingkungan yang paling tidak ketat
(untuk informasi lebih lanjut tentang masalah hukum dan etika ini,
lihat Bab 16). Idealnya, orang dewasa dengan gangguan
perkembangan intelektual tinggal di hunian kecil hingga menengah
yang terintegrasi ke dalam komunitas. Perawatan medis disediakan,
dan pengawas dan asisten yang tinggal di dalam dan terlatih
membantu dengan kebutuhan khusus penghuni sepanjang waktu.
Warga didorong untuk berpartisipasi dalam rutinitas rumah tangga
sebaik mungkin. Banyak orang dewasa dengan intellectual
developmental disorder memiliki pekerjaan dan mampu hidup
mandiri di apartemen mereka sendiri. Yang lainnya tinggal semi-
mandiri di apartemen yang menampung tiga sampai empat orang
dewasa; Biasanya, seorang konselor memberikan bantuan pada
malam hari.
2) Behavioral Treatments

Program intervensi dini menggunakan teknik perilaku telah


dikembangkan untuk meningkatkan tingkat fungsi orang dengan
intellectual developmental disorder. Tujuan perilaku khusus
didefinisikan, dan anak-anak diajarkan keterampilan dalam langkah-
langkah kecil yang berurutan (Reid, Wilson, & Faw, 1991). Anak-
anak dengan intellectual developmental disorder yang lebih parah
biasanya membutuhkan instruksi intensif untuk dapat memberi
makan, toilet, dan merawat diri sendiri. Untuk mengajari anak
rutinitas tertentu, terapis biasanya memulai dengan membagi
perilaku yang ditargetkan, seperti makan, menjadi komponen yang
lebih kecil, seperti mengambil sendok, menyendok makanan dari

37
piring ke sendok, mendekatkan sendok ke mulut, mengeluarkan
makanan dengan bibir, mengunyah, dan telan makanan. Prinsip
pengkondisian operan kemudian diterapkan untuk mengajari anak
komponen makan ini. Misalnya, anak mungkin diperkuat untuk
perkiraan berturut-turut untuk mengambil sendok sampai dia mampu
melakukannya. Pendekatan operan ini, terkadang disebut analisis
perilaku terapan, juga digunakan untuk mengurangi perilaku yang
tidak pantas dan merugikan diri sendiri. Memperkuat perilaku
pengganti seringkali dapat mengurangi perilaku ini. Studi tentang
program ini menunjukkan peningkatan yang konsisten dalam
keterampilan motorik halus, penerimaan oleh orang lain, dan
keterampilan membantu diri sendiri. Namun, program tersebut
tampaknya memiliki sedikit pengaruh pada keterampilan motorik
kasar dan kemampuan linguistik, dan tidak ada peningkatan jangka
panjang dalam IQ atau kinerja sekolah yang telah dibuktikan.
3) Cognitive Treatments

Banyak anak dengan intellectual developmental disorder gagal


menggunakan strategi dalam memecahkan masalah, dan ketika
mereka menggunakan strategi, mereka seringkali tidak
menggunakannya secara efektif. Pelatihan instruksional mandiri
mengajarkan anak-anak ini untuk membimbing upaya pemecahan
masalah mereka melalui pidato. Misalnya, satu kelompok peneliti
mengajar siswa sekolah menengah dengan gangguan perkembangan
intelektual untuk membuat roti panggang mentega mereka sendiri
dan membersihkan diri mereka sendiri (Hughes, Hugo, & Blatt,
1996). Seorang guru akan mendemonstrasikan dan mengungkapkan
secara lisan langkah-langkah yang terlibat dalam memecahkan
masalah, seperti pemanggang roti yang terbalik atau dicabut. Anak-
anak muda belajar berbicara sendiri melalui langkah-langkah
menggunakan instruksi lisan atau tanda tangan. Misalnya, ketika
pemanggang roti disajikan terbalik, orang tersebut akan diajari untuk

38
menyatakan masalah terlebih dahulu, lalu menyatakan tanggapan,
evaluasi diri, dan memperkuat diri. Mereka diberi penghargaan
dengan pujian dan tos ketika mereka mengungkapkan dan
menyelesaikan masalah dengan benar. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa bahkan orang dengan intellectual
developmental disorder yang parah dapat mempelajari pendekatan
instruksional diri untuk pemecahan masalah dan kemudian
menggeneralisasi strategi untuk tugas-tugas baru, termasuk
menerima pesanan makan siang di kafetaria dan melakukan tugas
kebersihan (Hughes & Agran, 1993).
4) Computer-Assisted Instruction

Instruksi dengan bantuan komputer semakin banyak ditemukan


dalam pengaturan pendidikan dan perawatan dari semua jenis,
mungkin sangat cocok untuk pendidikan orang dengan intellectual
developmental disorder. Komponen visual dan auditori dari
komputer dapat membantu menjaga perhatian siswa yang tidak dapat
dilacak; tingkat materi dapat disesuaikan dengan individu,
memastikan pengalaman yang sukses, dan komputer dapat
memenuhi kebutuhan akan banyak pengulangan materi tanpa
menjadi bosan atau tidak sabar, seperti yang mungkin dilakukan oleh
seorang guru manusia. Misalnya, komputer telah digunakan untuk
membantu orang dengan intellectual developmental disorder belajar
menggunakan ATM (Davies, Stock, & Wehmeyer, 2003). Ponsel
pintar dapat sangat membantu dengan berfungsi sebagai alat bantu
untuk pengingat, petunjuk arah, instruksi, dan tugas sehari-hari.

39
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Setiap gangguan pada anak memiliki kriteria yang tampak dan juga
memiliki etiologic yang bisa dibantu dengan berbagai treatment. Peran
Lingkungan dan juga perhatian orang sekitar untuk membantu akan sangat
berarti untuk tumbuh kembang anak yang mengalami abnormalitas.
Berbagai gangguan ini akan mengakibatkan tidak berjalan dengan
lancarnya aktifitas anak sehari-hari, sehingga perlu pendampingan dalam
menghadapi masalah-masalah pada anak yang bersangkutan.
2. Saran
Penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekeliruan dalam
penulisan makalah ini, maka penulis mengharapkan masukan serta kritikan
yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Atas masukan kritikan dan sarannya, penulis ucapkan terima kasih.

40
DAFTAR PUSTAKA

Danielson, M. L., Bitsko, R. H., Ghandour, R. M., Holbrook, J. R., Kogan, M. D.,
& Blumberg, S. J. (2018). Prevalence of parent-reported ADHD diagnosis and
associated treatment among US children and adolescents, 2016. Journal of
Clinical Child & Adolescent Psychology, 47(2), 199-212.
Davison, Gerald., & Neale, John. (2014). Abnormal Psychology. 12th Edition.
New York: John Wiley & Sons, Inc.
Wahyuni Endah Sri. (2019). Hubungan Antara Gangguan Perilaku Menentang
Dengan Perilaku Belajar Pada Siswa Sekolah Dasar. Skripsi. Fakultas Ilmu
Pendidikan. Jurusan Psikologi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Yasri, Hayyin Tazkiyatil. (2014). Efektivitas Terapi Sensori Integrasi Terhadap
Penurunan Perilaku Hiperaktif Anak ADHD (Attention Deficit Hyperactive
Disorder) Di Pusat Terapi Fajar Mulia Ponorogo. Skripsi. Fakultas Psikologi.
Jurusan Psikologi. Universitas Malik Ibrahim Malang. Malang.

41

Anda mungkin juga menyukai