Anda di halaman 1dari 47

Makalah Psikologi Konseling A

“Cognitive Behavior Therapy”

Oleh Kelompok 5

Resti Yuliani (1810321013)


Ayana Mey Surya (1810321025)
Faulina Adma (1810322020)
Miftahatun Najaah (1810323012)

Dosen Pengampu :
Kuswardani Susari Putri, M.Psi., Psikolog
Dwi Puspasari, M.Psi., Psikolog
Diny Amenike, M.Psi., Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
ucapkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Tidak lupa pula
sholawat beserta salam selalu ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah membawa
kita keluar dari zaman kebodohan hingga kita dapat menikmati ilmu pengetahuan seperti
sekarang.

Makalah ini telah kami susun dengan merujuk berbagai buku dan sumber relevan
terpercaya lainnya, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Kami juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak yang berkontribusi.
Dengan selesainya makalah ini, kami harap dapat menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai pendekatan humanistik.

Terlepas dari semua itu, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih sangat banyak kekurangan dan kekhilafan dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karenanya, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Musulah.......................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................2
BAB II PENDAHULUAN.......................................................................................................3
2.1 Terapi Perilaku Emosional Rasional Albert Ellis.............................................................3
2.2 Konsep Utama..................................................................................................................4
2.2.1 Pandangan Gangguan Emosional..............................................................................4
2.2.2 Kerangka Kerja A-B-C..............................................................................................5
2.3 The Therapeutic Process..................................................................................................5
2.3.1 Tujuan Terapeutik......................................................................................................5
2.3.2 Fungsi dan Peran Terapis...........................................................................................6
2.3.3 Pengalaman Klien dalam Terapi................................................................................6
2.3.4 Hubungan Antara Terapis dan Klien.........................................................................7
2.4 Application: Therapeutic Techniques and Procedures....................................................7
2.4.1 Praktek Terapi Perilaku Emosional Rasional............................................................7
2.4.2 Penerapan REBT sebagai Terapi Singkat................................................................12
2.4.3 Aplikasi untuk Konseling Kelompok......................................................................13
2.5 Aaron Beck’s Cognitive Therapy....................................................................................13
2.5.1 Introduction.............................................................................................................13
2.5.2 Model Kognitif Generik...........................................................................................15
2.5.3 Prinsip Dasar Terapi Kognitif..................................................................................18
2.5.4 Beberapa Perbedaan Antara CT dan REBT.............................................................19
2.5.5 Hubungan Klien-Terapis..........................................................................................20
2.5.6 Aplikasi Terapi Kognitif..........................................................................................22

ii
2.6 Christine Padesky and Kathleen Mooney’s Strengths-Based Cognitive Behavioral
Therapy.................................................................................................................................25
2.6.1 Prinsip Dasar SB-CBT.............................................................................................25
2.6.2 Hubungan Klien-Terapis..........................................................................................27
2.6.3 Pengaplikasian SB-CBT..........................................................................................27
2.7 Modifikasi Perilaku Kognitif Donald Meichenbaum.....................................................30
2.7.1 Langkah Perubahan Perilaku...................................................................................31
2.7.2 Pelatihan Stres Inokulasi..........................................................................................32
2.8 Terapi Perilaku Kognitif Dari Perspektif Multikultural.................................................37
2.8.1 Kekuatan dari Keberagaman Perspektif..................................................................37
BAB III PENUTUP................................................................................................................41
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................41
3.2 Saran...............................................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................42

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui, terapi perilaku tradisional telah meluas dan sebagian besar
bergerak ke arah terapi perilaku kognitif. Beberapa pendekatan perilaku kognitif yang
lebih menonjol ditampilkan dalam bab ini, termasuk terapi perilaku emosional rasional
Albert Ellis (REBT), terapi kognitif Aaron T. Beck dan Judith Beck (CT), CBT (SB-
CBT) berbasis kekuatan Christine Padesky, dan terapi perilaku kognitif Donald
Meichenbaum. Pendekatan ini semua termasuk dalam payung umum terapi perilaku
kognitif (CBT).
Semua pendekatan perilaku kognitif memiliki karakteristik dasar dan asumsi yang
sama dengan terapi perilaku tradisional. Meskipun pendekatannya cukup beragam,
mereka berbagi atribut ini: (1) hubungan kolaboratif antara klien dan terapis, (2) premis
bahwa tekanan psikologis sering dipertahankan oleh proses kognitif, (3) fokus pada
perubahan kognisi untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam pengaruh dan
perilaku, (4) fokus terbatas waktu yang berpusat saat ini, (5) sikap aktif dan direktif oleh
terapis, dan (6) perawatan pendidikan yang berfokus pada masalah target spesifik dan
terstruktur (A. Beck & Weishaar , 2014). Selain itu, terapi kognitif dan terapi perilaku
kognitif didasarkan pada model psikoedukasi terstruktur, memanfaatkan pekerjaan rumah,
menempatkan tanggung jawab pada klien untuk mengambil peran aktif baik selama dan
di luar sesi terapi, menekankan mengembangkan aliansi terapeutik yang kuat, dan
menarik dari berbagai strategi kognitif dan perilaku untuk membawa perubahan. Terapis
membantu klien memeriksa bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dan dunia
mereka dan menyarankan cara klien dapat bereksperimen dengan cara-cara baru untuk
berperilaku (Dienes, Torres-Harding, Reinecke, Freeman, & Sauer, 2011).
Untuk tingkat yang besar, terapi kognitif dan terapi perilaku kognitif didasarkan pada
asumsi bahwa keyakinan, perilaku, emosi, dan reaksi fisik semuanya terkait timbal balik.
Perubahan dalam satu area menyebabkan perubahan di area lain. Perubahan keyakinan
bukan satu-satunya target terapi, tetapi perubahan yang bertahan biasanya membutuhkan
perubahan keyakinan. Terapis CBT menerapkan teknik perilaku seperti mengkondisikan
operan, pemodelan, dan latihan perilaku hingga proses pemikiran dan dialog internal yang
lebih subjektif. Selain itu, terapis membantu klien secara aktif menguji keyakinan mereka
dalam terapi, di atas kertas, dan melalui eksperimen perilaku. Terapi kognitif dan

1
pendekatan perilaku kognitif termasuk berbagai strategi perilaku serta strategi kognitif
sebagai bagian dari repertoar integratif mereka.

1.2 Rumusan Musulah

Adapun rumusan masalah atas makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Apa itu Terapi Perilaku Emosional Rasional Albert Ellis (REBT)?
2. Bagaimana proses terapi?
3. Apa saja aplikasi terapi (teknik dan prosedur terapi)?
4. Apa itu Terapi Kognitif Aaron Beck?
5. Apa itu Terapi Perilaku Kognitif Berbasis Kekuatan Christine Padesky dan Kathleen
Mooney?
6. Apa saja modifikasi perilaku kognitif Donald Meichenbaum?
7. Bagaimana terapi perilaku kognitif dari perspektif multikultural?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui Terapi Perilaku Emosional Rasional Albert Ellis (REBT)
2. Mengetahui proses terapi
3. Mengetahui aplikasi terapi (teknik dan prosedur terapi)
4. Mengetahui Terapi Kognitif Aaron Beck
5. Mengetahui Terapi Perilaku Kognitif Berbasis Kekuatan Christine Padesky dan
Kathleen Mooney
6. Mengetahui modifikasi perilaku kognitif Donald Meichenbaum
7. Mengetahui terapi perilaku kognitif dari perspektif multikultural

2
BAB II
PENDAHULUAN

2.1 Terapi Perilaku Emosional Rasional Albert Ellis

Terapi perilaku emosional rasional (REBT) adalah terapi pertama yang ada pada
terapi perilaku kognitif, dan terus menjadi pendekatan perilaku kognitif utama. REBT
memiliki banyak kesamaan dengan terapi yang berorientasi pada kognisi dan perilaku karena
juga menekankan pada pemikiran, penilaian, pengambilan keputusan, analisis, dan tindakan.
Asumsi dasar REBT adalah bahwa orang berkontribusi pada masalah psikologis mereka
sendiri, serta gejala tertentu, oleh keyakinan kaku dan ekstrem yang mereka pegang tentang
peristiwa dan situasi. REBT didasarkan pada asumsi bahwa kognisi, emosi, dan perilaku
berinteraksi secara signifikan dan memiliki hubungan sebab-akibat timbal balik. REBT
secara konsisten menekankan ketiga modalitas ini dan interaksinya, sehingga memenuhi
syarat sebagai pendekatan holistik dan integratif (A. Ellis & Ellis, 2011, 2014; D. Ellis,
2014).

Meskipun REBT secara umum diakui sebagai induk dari pendekatan perilaku kognitif
saat ini, hal itu didahului oleh aliran pemikiran yang ada 9’sebelumnya. Ellis memberikan
penghargaan kepada Alfred Adler sebagai pendahulu REBT yang berpengaruh, dan gagasan
Karen Horney (1950) tentang "tirani dari keharusan" tampak jelas dalam kerangka konseptual
REBT. Ellis juga mengakui utangnya kepada beberapa filosofi Timur dan Yunani kuno,
terutama filsuf Stoic Epictetus, yang berkata sekitar 2.000 tahun yang lalu: "Orang-orang
tidak terganggu bukan oleh peristiwa, tetapi oleh pandangan yang mereka ambil tentang
peristiwa itu" (seperti dikutip dalam A. Ellis, 2001a, hal. 16). Reformulasi Ellis atas diktum
Epictetus dapat dinyatakan sebagai, "Orang-orang mengganggu diri mereka sendiri sebagai
akibat dari keyakinan yang kaku dan ekstrim yang mereka pegang tentang peristiwa lebih
dari peristiwa itu sendiri."

Hipotesis dasar REBT adalah bahwa emosi kita terutama diciptakan dari keyakinan
kita, yang memengaruhi evaluasi dan interpretasi yang kita buat dan memicu reaksi yang kita
miliki terhadap situasi kehidupan. Melalui proses terapeutik, klien diajari keterampilan yang
memberi mereka alat untuk mengidentifikasi dan membantah keyakinan irasional yang telah
diperoleh dan dibangun sendiri dan sekarang dipelihara dengan indoktrinasi diri. Mereka
belajar bagaimana mengganti cara berpikir yang merugikan dengan kognisi yang efektif dan

3
rasional, dan sebagai hasilnya mereka mengubah pengalaman emosional dan reaksi mereka
terhadap situasi. Proses terapeutik memungkinkan klien untuk menerapkan prinsip REBT
untuk perubahan tidak hanya pada masalah yang muncul sebelumnya tetapi juga untuk
banyak masalah lain dalam hidup atau masalah masa depan yang mungkin mereka hadapi.

Sebagian besar terapi dipandang sebagai proses pendidikan. Fungsi terapis dalam
banyak hal seperti guru, berkolaborasi dengan klien pada tugas pekerjaan rumah dan
memperkenalkan strategi untuk berpikir konstruktif. Klien adalah pembelajar yang kemudian
mempraktikkan keterampilan baru ini dalam kehidupan sehari-hari.

2.2 Konsep Utama

2.2.1 Pandangan Gangguan Emosional

REBT didasarkan pada premis bahwa kita belajar keyakinan irasional dari orang lain
yang signifikan selama masa kanak-kanak dan kemudian menciptakan kembali keyakinan
irasional ini sepanjang hidup kita. Kami secara aktif memperkuat keyakinan kami yang
mengalahkan diri sendiri melalui proses autosuggestion dan pengulangan diri, dan kami
kemudian berperilaku dengan cara-cara yang konsisten dengan keyakinan ini. Oleh karena
itu, sebagian besar pengulangan kita sendiri dari keyakinan irasional awal-indoktrinasi,
daripada pengulangan orang tua, yang menjaga sikap disfungsional hidup dan operasi dalam
diri kita.

Ellis menegaskan bahwa menyalahkan bisa menjadi inti dari banyak gangguan
emosional. Jika kita ingin menjadi sehat secara psikologis, kita lebih baik berhenti
menyalahkan diri kita sendiri dan orang lain dan belajar untuk sepenuhnya dan tanpa syarat
menerima diri kita sendiri meskipun kita tidak sempurna. Ellis (A. Ellis & Blau, 1998; A.
Ellis & Harper, 1997; A. Ellis & Ellis, 2011) berhipotesis bahwa kita memiliki
kecenderungan kuat untuk mengubah keinginan dan preferensi kita menjadi "harus"
dogmatik, "harus," "seharusnya," tuntutan, dan perintah (A. Ellis, 2001a, 2004a).

Berikut adalah tiga dasar keharusan (atau keyakinan irasional) kami menginternalisasi yang
pasti menyebabkan kekalahan diri (A. Ellis & Ellis, 2011):

1. "Saya harus melakukannya dengan baik dan dicintai dan disetujui oleh orang lain."

2. "Orang lain harus memperlakukan saya dengan adil, ramah, dan baik."

4
3. "Dunia dan kondisi kehidupan saya harus nyaman, memuaskan, dan adil, memberi saya
semua yang saya inginkan dalam hidup."

Kami memiliki kecenderungan yang kuat untuk membuat dan menjaga diri kita secara
emosional terganggu dengan menginternalisasi dan melanggengkan keyakinan mengalahkan
diri sendiri seperti ini, yang merupakan salah satu alasannya adalah tantangan nyata untuk
mencapai dan menjaga kesehatan psikologis yang baik (A. Ellis, 2001a, 2001b).

2.2.2 Kerangka Kerja A-B-C

Kerangka kerja A-B-C adalah pusat teori dan praktik REBT. Model ini menyediakan alat
yang berguna untuk memahami perasaan, pikiran, peristiwa, dan perilaku klien (A. Ellis &
Ellis, 2011). A adalah adanya peristiwa atau kesulitan yang mengaktifkan, atau kesimpulan
tentang peristiwa oleh seseorang. C adalah konsekuensi emosional dan perilaku atau reaksi
individu; reaksinya bisa sehat atau tidak sehat. A (peristiwa aktivasi) tidak menyebabkan C
(konsekuensi emosional). Sebaliknya, B, yang merupakan kepercayaan orang tentang A,
sebagian besar menciptakan C, reaksi emosional.

2.3 The Therapeutic Process

2.3.1 Tujuan Terapeutik

Banyak jalan yang diambil dalam terapi perilaku emosional rasional mengarah ke tujuan
klien meminimalkan gangguan emosional dan perilaku merugikan diri mereka sendiri dengan
memperoleh filosofi hidup yang lebih realistis, bisa diterapkan, dan penuh kasih. Proses
terapeutik REBT melibatkan upaya kolaboratif antara terapis dan klien untuk memilih tujuan
terapeutik yang realistis dan meningkatkan kehidupan. Tugas terapis adalah membantu klien
membedakan antara tujuan yang realistis dan tidak realistis dan juga antara tujuan yang
mengalahkan diri sendiri dan meningkatkan kehidupan. Tujuan dasarnya adalah untuk
mengajari klien bagaimana mengubah emosi dan perilaku disfungsional mereka menjadi yang
sehat. Menurut Ellis dan Ellis (2011) tujuan lain dari REBT adalah membantu klien dalam
proses mencapai penerimaan diri tanpa syarat (USA), penerimaan lain tanpa syarat (UOA),
dan penerimaan hidup tanpa syarat (ULA). Ketika klien menjadi lebih mampu menerima diri
mereka sendiri, mereka lebih cenderung menerima orang lain tanpa syarat dan menerima
hidup apa adanya. Pepatah terkenal dari Ellis (A. Ellis & Ellis, 2011) adalah: “Hidup
memiliki penderitaan dan kesenangan yang tak terhindarkan. Dengan berpikir, merasakan,
dan bertindak secara realistis untuk menikmati apa yang Anda bisa, dan dengan tidak

5
marah dan tidak merengek menerima aspek-aspek menyakitkan yang tidak dapat diubah,
Anda membuka diri terhadap banyak kegembiraan”

2.3.2 Fungsi dan Peran Terapis

Terapis memiliki tugas khusus, dan langkah pertama adalah menunjukkan kepada klien
bagaimana mereka telah memasukkan banyak "keharusan" mutlak yang tidak rasional,
"kewajiban", dan "keharusan" ke dalam pemikiran mereka. Terapis membantah keyakinan
irasional klien dan mendorong klien untuk terlibat dalam aktivitas yang akan melawan
keyakinan mereka yang merugikan diri sendiri dengan mengganti "keharusan" mereka yang
kaku dengan preferensi. Langkah kedua dalam proses terapi adalah untuk menunjukkan
bagaimana klien menjaga emosi mereka aktif dengan terus berpikir tidak logis dan tidak
realistis. Dengan kata lain, ketika klien terus melakukan reindoktrinasi, mereka menciptakan
masalah psikologis mereka sendiri. Ellis mengingatkan kita bahwa kita bertanggung jawab
atas takdir emosional kita sendiri (A. Ellis, 2004b, 2010). Untuk melampaui pengenalan
pikiran irasional belaka, terapis mengambil langkah ketiga yaitu membantu klien mengubah
pemikiran mereka dan meminimalkan ide irasional mereka. Meskipun kecil kemungkinannya
kita dapat sepenuhnya menghilangkan kecenderungan untuk berpikir irasional, kita dapat
terus berupaya untuk mengurangi frekuensi pemikiran semacam itu. Terapis mendorong klien
untuk mengidentifikasi keyakinan irasional mereka telah diterima tanpa ragu, menunjukkan
bagaimana mereka terus untuk mengindoktrinasi diri dengan keyakinan ini, dan
mengingatkan mereka bahwa perubahan adalah mungkin dengan usaha yang terus
menerus. Langkah keempat dalam proses terapeutik adalah dengan sangat mendorong klien
untuk mengembangkan filosofi hidup yang rasional sehingga di masa depan mereka dapat
menghindari menyakiti diri sendiri lagi dengan mempercayai keyakinan irasional
lainnya. Mengatasi masalah atau gejala tertentu saja tidak dapat memberikan jaminan bahwa
ketakutan baru yang melumpuhkan tidak akan muncul. Maka, sangat diharapkan bagi terapis
untuk membantah pemikiran irasional dan untuk mengajari klien bagaimana mengganti
keyakinan menjadi rasional.

2.3.3 Pengalaman Klien dalam Terapi

Proses terapeutik sebagian besar berfokus pada pengalaman klien saat ini. Seperti
pendekatan yang berpusat pada orang dan eksistensial untuk terapi, REBT menekankan di
pengalaman dan kemampuan klien saat ini untuk mengubah pola berpikir dan emosi yang
mereka bangun sebelumnya. Terapis mungkin tidak mencurahkan banyak waktu untuk

6
mengeksplorasi riwayat awal klien dan membuat hubungan antara perilaku masa lalu dan
sekarang mereka kecuali jika hal itu akan membantu proses terapeutik. REBT berbeda dari
banyak pendekatan terapeutik lainnya karena tidak terlalu menghargai asosiasi bebas, bekerja
dengan mimpi, atau menangani fenomena pemindahan. Ellis dan Ellis (2014) berpendapat
bahwa pemindahan tidak dianjurkan, dan ketika itu terjadi, terapis cenderung menghadapinya
karena umumnya didasarkan pada kebutuhan klien yang mengerikan untuk disukai dan
disetujui oleh terapis. Setiap kebutuhan klien yang tidak sehat dapat menjadi kontraproduktif
dan mendorong ketergatungan pada persetujuan dari terapis.

Klien didorong untuk secara aktif bekerja di luar sesi terapi. Dengan melaksanakan
tugas pekerjaan rumah perilaku, klien menjadi semakin mahir dalam meminimalkan
pemikiran irasional dan gangguan dalam perasaan dan perilaku. Pekerjaan rumah dirancang
dan disepakati dengan hati-hati dan ditujukan untuk membuat klien melakukan tindakan
produktif yang berkontribusi pada perubahan emosional dan sikap. Tugas-tugas ini diperiksa
di sesi selanjutnya, dan klien terus fokus dalam mempelajari cara-cara efektif untuk
membantah pemikiran yang merugikan diri sendiri. Menjelang akhir terapi, klien meninjau
kemajuan mereka, membuat rencana, dan mengidentifikasi strategi untuk mencegah, atau
mengatasi tantangan baru yang muncul.

2.3.4 Hubungan Antara Terapis dan Klien

Karena REBT adalah proses perilaku kognitif dan direktif, hubungan hangat antara


terapis dan klien tidak diperlukan, tetapi ini dapat meningkatkan proses untuk
beberapa. Paling tidak, hubungan yang saling menghormati direkomendasikan. Seperti halnya
terapi Rogers yang berpusat pada orang, praktisi REBT berusaha untuk menerima tanpa
syarat semua klien dan mengajari mereka untuk menerima orang lain dan diri mereka sendiri
tanpa syarat. Terapis mengeluarkan misteri dari proses terapeutik, mengajar klien tentang
hipotesis gangguan kognitif dan membantu klien memahami bagaimana mereka terus
menyabotase diri mereka sendiri dan apa yang dapat mereka lakukan untuk
berubah. Wawasan saja biasanya tidak mengarah pada perubahan psikoterapi, tindakan juga
diperlukan. Terapis sering kali mengakui kemajuan yang dicapai klien karena usaha mereka
sendiri. 

2.4 Application: Therapeutic Techniques and Procedures

2.4.1 Praktek Terapi Perilaku Emosional Rasional

7
Terapis perilaku emosi rasional bersifat multimodal dan integratif. Praktisi
REBT menggunakan sejumlah modalitas yang berbeda (kognitif, emosi, perilaku, dan
interpersonal) untuk menghilangkan kognisi yang merusak diri sendiri dan untuk mengajari
orang bagaimana memperoleh pendekatan rasional untuk hidup. Terapis didorong untuk
menjadi fleksibel dan kreatif dalam penggunaan metode, memastikan untuk menyesuaikan
teknik dengan kebutuhan unik setiap klien (A. Ellis & Ellis, 2011; D. Ellis, 2014). Untuk
ilustrasi konkret tentang bagaimana Dr. Ellis bekerja dengan klien Ruth yang diambil dari
teknik kognitif, emosi, dan perilaku, lihat Pendekatan Kasus untuk Konseling dan Psikoterapi
(Corey, 2013, chap. 8). Berikut ini adalah ringkasan singkat dari teknik kognitif, emosi, dan
perilaku utama yang dijelaskan Ellis (A. Ellis, 2004a; A. Ellis & Crawford, 2000; A. Ellis &
Ellis, 2011).

Metode Kognitif : Praktisi REBT biasanya menggabungkan metodologi kognitif


persuasif dalam proses terapeutik. Mereka menunjukkan kepada klien, seringkali dengan cara
yang cepat dan langsung, apa yang terus mereka katakan pada diri mereka sendiri. Kemudian
mereka mengajari klien bagaimana menantang pernyataan diri ini sehingga mereka tidak lagi
mempercayainya, mendorong mereka untuk memperoleh filosofi berdasarkan fakta. REBT
sangat bergantung pada berpikir, membantah, berdebat, menantang,
menafsirkan, menjelaskan, dan mengajar. Cara paling efisien untuk membawa perubahan
emosi dan perilaku yang langgeng adalah dengan mengubah cara berpikir klien (A. Ellis &
Ellis, 2011, 2014). Berikut beberapa teknik kognitif yang tersedia untuk terapis.

a. Disputing irrational beliefs . Metode kognitif paling umum dari REBT terdiri dari
terapis yang secara aktif membantah keyakinan irasional klien dan mengajari mereka
bagaimana melakukan tantangan ini sendiri. Klien memperdebatkan "keharusan",
"harus" mutlak, atau "seharusnya" sampai mereka tidak lagi memegang keyakinan
irasional tersebut, atau setidaknya sampai kekuatannya berkurang. Berikut beberapa
contoh pertanyaan atau pernyataan yang dipelajari klien untuk diceritakan kepada diri
mereka sendiri ketika mereka membantah gagasan irasional mereka: “Mengapa orang
harus memperlakukan saya dengan adil?”, “Bagaimana saya menjadi gagal total jika
saya tidak berhasil pada tugas penting yang saya coba?”, “Jika saya tidak
mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan, itu mungkin mengecewakan, tapi saya
pasti bisa bertahan”, "Jika hidup tidak selalu berjalan seperti yang saya inginkan, itu
tidak buruk, hanya tidak nyaman."       

8
b. Doing cognitive homework. Klien REBT diharapkan membuat daftar masalah mereka,
mencari keyakinan absolut mereka, dan membantah keyakinan ini. Klien didorong
untuk mencatat dan memikirkan tentang bagaimana keyakinan mereka berkontribusi
pada masalah pribadi mereka dan diminta untuk bekerja keras untuk mencabut
kognisi yang merusak diri sendiri ini. Pekerjaan rumah adalah cara melacak dan
memperhatikan "seharusnya" dan "keharusan" yang merupakan bagian dari pesan diri
mereka yang diinternalisasi. Dengan cara ini, klien secara bertahap belajar untuk
mengurangi kecemasan dan untuk menantang pemikiran irasional dasar. Mereka
sering mengisi Formulir Bantuan Mandiri REBT, yang direproduksi dalam Panduan
Siswa untuk Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi (Corey, 2017). Komentar
mereka tentang formulir ini dapat memfokuskan sesi terapi karena mereka
mengevaluasi secara kritis perselisihan keyakinan mereka. Klien mungkin didorong
untuk menempatkan diri mereka dalam situasi pengambilan risiko yang akan
memungkinkan mereka untuk menantang keyakinan yang membatasi diri. Sebagai
contoh, klien dengan kemampuan yang takut untuk bertindak di depan penonton
karena takut gagal mungkin akan diminta untuk mengambil bagian kecil dalam drama
panggung. Pekerjaan dalam sesi terapi dapat dirancang sedemikian rupa sehingga
tugas-tugas di luar sesi dapat dilakukan dan klien memiliki keterampilan untuk
menyelesaikan tugas-tugas ini. Membuat perubahan cenderung membutuhkan kerja
keras. Melakukan pekerjaan di luar sesi adalah nilai nyata dalam merevisi pemikiran,
perasaan, dan perilaku klien.

c. Bibliotherapy. REBT, dan pendekatan CBT lainnya, dapat memanfaatkan terapi biblio


sebagai bentuk pengobatan tambahan. Ada keuntungan biblioterapi, seperti
keefektifan biaya, ketersediaan luas, dan potensi menjangkau spectrum populasi yang
luas. Pendekatan bibliotherapeutic memiliki dukungan empiris untuk berbagai
masalah klinis, termasuk pengobatan depresi dan banyak gangguan kecemasan
(Jacobs, 2008). Karena terapi dipandang sebagai proses pendidikan, klien didorong
untuk membaca buku-buku bantuan mandiri REBT seperti Rational Emotive
Behavior Therapy: It Works for Me It Can Work for You (A. Ellis, 2004a) dan buku-
buku lain oleh Ellis (1999 , 2000, 2001a, 2001b, 2005, 2010; A. Ellis & Ellis, 2011).

d. Changing one’s language. REBT bertumpu pada premis bahwa bahasa tidak tepat
adalah salah satu penyebab dari proses berfikir yang menyimpang. Klien belajar
bahwa "seharusnya", "kewajiban", dan "keharusan" mutlak dapat diganti dengan

9
preferensi. Alih-alih mengatakan "Akan sangat mengerikan jika ..." mereka belajar
untuk mengatakan "Akan merepotkan jika ..." Klien yang menggunakan pola bahasa
yang mencerminkan ketidakberdayaan dan penghukuman diri dapat belajar untuk
menggunakan pernyataan diri baru, yang membantu mereka berpikir dan berperilaku
berbeda . Akibatnya, mereka juga mulai merasa berbeda.

e. Psychoeducational methods. Program REBT memperkenalkan klien ke


berbagai materi pendidikan seperti buku, DVD, dan artikel. Terapis mendidik klien
tentang sifat masalah mereka dan bagaimana pengobatan akan dilanjutkan. Mereka
bertanya kepada klien bagaimana konsep tertentu berlaku untuk mereka. Klien lebih
cenderung bekerja sama dengan program perawatan jika mereka memahami
bagaimana proses terapi bekerja dan jika mereka memahami mengapa teknik tertentu
digunakan ( Ledley , Marx, & Heimberg , 2010).

Teknik Emosi : Praktisi REBT menggunakan berbagai prosedur emosi, termasuk


penerimaan tanpa syarat, permainan peran emosional rasional, pemodelan, citra emosi
rasional, dan latihan menyerang rasa malu. Teknik emosi ini cenderung hidup dan
menggugah, dan tujuannya adalah untuk membantah keyakinan irasional klien. Strategi ini
digunakan selama sesi terapi dan sebagai pekerjaan rumah dalam kehidupan sehari-
hari. Tujuan mereka tidak hanya untuk memberikan pengalaman katarsis tetapi untuk
membantu klien mengubah beberapa pikiran, emosi, dan perilaku mereka (A. Ellis, 2001b; A.
Ellis & Ellis, 2011). 

a. Rational emotive imagery. Ini adalah bentuk latihan mental yang intens yang
dirancang untuk membangun pola emosi baru untuk menggantikan pola yang
mengganggu dengan berpikir secara sehat (A. Ellis, 2001a, 2001b). Dalam gambaran
emosi rasional, klien diminta untuk secara jelas membayangkan salah satu hal
terburuk yang mungkin terjadi pada mereka dan untuk menggambarkan perasaan
gelisah mereka. Klien diperlihatkan bagaimana melatih diri mereka sendiri untuk
mengembangkan emosi yang sehat, dan ketika perasaan mereka tentang kesulitan
berubah, mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengubah perilaku
mereka dalam situasi tersebut. Teknik ini dapat diterapkan secara berguna pada situasi
interpersonal dan situasi lain yang bermasalah bagi individu. Klien yang
mempraktikkan perumpamaan emosi rasional beberapa kali seminggu selama

10
beberapa minggu dapat mencapai titik di mana mereka tidak lagi merasa kesal atas
peristiwa negatif ini (A. Ellis, 2001a; A. Ellis & Ellis, 2011; D. Ellis, 2014).

b. Humor. Ellis berpendapat bahwa gangguan emosional sering kali diakibatkan oleh
sikap terlalu serius. Dia membuat ratusan “Rational Humorous Songs" (A. Ellis,
2005) dan sering memimpin peserta lokakarya untuk menyanyikannya. Salah satu
aspek yang menarik dari REBT adalah bahwa hal itu mendorong perkembangan rasa
humor yang lebih baik dan membantu menempatkan hidup dalam perspektif yang
sehat (A. Ellis 2004a, 2010). Humor memiliki manfaat kognitif dan emosional dalam
menghasilkan perubahan. Humor menunjukkan absurditas dari ide-ide tertentu yang
dipelihara dengan teguh oleh klien, dan itu mengajarkan klien
untuk tidak menertawakan diri mereka sendiri tetapi pada cara berpikir mereka yang
merugikan diri sendiri.

c. Role playing. Bermain peran memiliki komponen emosi, kognitif, dan


perilaku. Terapis mungkin menyela untuk menunjukkan kepada klien apa yang
mereka katakan pada diri mereka sendiri untuk menciptakan gangguan mereka dan
apa yang dapat mereka lakukan untuk mengubah perasaan tidak sehat menjadi
perasaan sehat. Klien dapat melatih peran tertentu untuk menunjukkan apa yang
mereka rasakan dalam suatu situasi. Misalnya, Dawson mungkin menunda mendaftar
ke sekolah pascasarjana karena dia takut tidak akan diterima. Hanya pikiran untuk
tidak diterima di sekolah pilihannya memunculkan perasaan malu yang mendalam
karena "menjadi bodoh". Fokusnya adalah bekerja melalui keyakinan irasional yang
mendasari terkait dengan perasaan tidak menyenangkannya. Dawson berperan dalam
wawancara dengan dekan mahasiswa pascasarjana, mencatat kecemasannya dan
keyakinan spesifik yang mengarah padanya, dan menantang keyakinannya bahwa ia
mutlak harus diterima dan bahwa tidak mendapatkan penerimaan seperti itu berarti ia
adalah orang yang bodoh dan tidak kompeten.

d. Shame-attacking exercises. Ellis mengembangkan latihan untuk membantu orang


mengurangi rasa malu dan kecemasan karena berperilaku dengan cara tertentu. Dia
menegaskan bahwa kita dapat dengan keras kepala menolak untuk merasa malu
dengan mengatakan pada diri kita sendiri bahwa bukanlah bencana jika seseorang
menganggap kita bodoh. Mempraktikkan latihan yang menyerang rasa malu dapat
mengurangi, meminimalkan, dan mencegah perasaan malu, bersalah, cemas, dan

11
depresi (A. Ellis, 1999, 2000, 2001a, 2001b, 2005, 2010; A. Ellis & Ellis, 2011,
2014). Latihan-latihan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan diri dan
tanggung jawab yang matang, serta membantu klien melihat bahwa banyak hal yang
mereka anggap memalukan berkaitan dengan cara mereka mendefinisikan realitas
untuk diri mereka sendiri. Klien mungkin mengambil risiko melakukan sesuatu yang
biasanya mereka takuti karena apa yang mungkin dipikirkan orang lain. Melalui
praktik pekerjaan rumah, klien akhirnya belajar bahwa mereka dapat memilih untuk
tidak membiarkan reaksi orang lain atau kemungkinan ketidaksetujuan menghentikan
mereka melakukan hal-hal yang ingin mereka lakukan. Misalnya, klien mungkin
mengenakan pakaian "keras" yang dirancang untuk menarik perhatian, bernyanyi
dengan keras, mengajukan pertanyaan konyol saat kuliah, atau meminta kunci inggris
di toko bahan makanan. Dengan melakukan penugasan seperti itu, klien cenderung
mengetahui bahwa orang lain tidak terlalu tertarik dengan perilaku mereka. Ingatlah
bahwa latihan ini tidak melibatkan aktivitas atau tindakan ilegal yang akan
membahayakan diri sendiri, orang lain, atau yang akan terlalu mengkhawatirkan
orang lain.

Teknik Perilaku : Praktisi REBT menggunakan sebagian besar prosedur terapi


perilaku standar, terutama pengkondisian operan, prinsip manajemen diri, desensitisasi
sistematis, teknik relaksasi, dan pemodelan. Pekerjaan rumah perilaku yang dilakukan dalam
situasi kehidupan nyata sangat penting. Tugas ini dilakukan secara sistematis dan dicatat dan
dianalisis. Pekerjaan rumah memberi klien kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan
baru di luar sesi terapi, yang mungkin lebih berharga bagi klien daripada pekerjaan yang
dilakukan selama jam terapi (Ledley et al., 2010). Melakukan pekerjaan rumah mungkin
melibatkan desensitisasi in-vivo dan paparan langsung dalam situasi kehidupan sehari-
hari. Klien sebenarnya melakukan hal-hal baru dan sulit, dan dengan cara ini mereka
menggunakan wawasan mereka untuk digunakan dalam bentuk tindakan nyata. Bertindak
secara berbeda membantu mereka memasukkan keyakinan fungsional.

2.4.2 Penerapan REBT sebagai Terapi Singkat

Ellis awalnya mengembangkan REBT untuk mencoba membuat psikoterapi lebih efisien
daripada sistem terapi lain. Dia berpendapat bahwa terapi terbaik dan paling efektif dengan
cepat mengajarkan klien bagaimana menangani masalah saat ini dan juga masa depan. REBT
sangat cocok sebagai bentuk terapi singkat, baik itu diterapkan pada individu, kelompok,

12
pasangan, atau keluarga. Klien mempelajari teknik terapi mandiri yang dapat terus mereka
terapkan melalui pekerjaan dan praktik berkelanjutan mereka sendiri (A. Ellis & Ellis, 2011).

2.4.3 Aplikasi untuk Konseling Kelompok

Kelompok terapi perilaku kognitif (CBT) adalah salah satu perawatan paling populer di
klinik dan pengaturan lembaga komunitas. Salah satu pendekatan kelompok CBT yang paling
umum didasarkan pada prinsip dan teknik REBT. Praktisi REBT menggunakan peran aktif
dalam mendorong anggota berkomitmen untuk mempraktikkan apa yang mereka pelajari
dalam sesi kelompok dikehidupan sehari-hari. Apa yang terjadi selama kelompok itu
berharga, tetapi terapis tahu bahwa kerja yang konsisten antara sesi kelompok dan setelah
kelompok berakhir sangat penting. Konteks kelompok memberi anggota alat yang dapat
mereka gunakan untuk menjadi mandiri dan menerima diri sendiri, dan orang lain, tanpa
syarat saat mereka menghadapi masalah baru dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam terapi kelompok, para anggota diajarkan bagaimana menerapkan prinsip REBT
satu sama lain. Ellis merekomendasikan agar beberapa klien menjalani terapi kelompok serta
terapi individu.Anggota kelompok (1) mempelajari bagaimana keyakinan mereka
mempengaruhi apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka lakukan, (2) mencari cara
untuk mengubah pemikiran yang merugikan diri sendiri dalam berbagai situasi konkret, dan
(3) belajar untuk meminimalkan gejala melalui perubahan nyata dalam diri mereka. Ellis dan
Ellis (2011, 2014) berpendapat bahwa REBT kelompok sering merupakan perlakuan pilihan
karena memberi banyak kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan ketegasan,
mengambil risiko dengan mempraktikkan perilaku yang berbeda, untuk menantang pemikiran
yang merugikan diri sendiri, untuk belajar dari pengalaman orang lain, dan untuk berinteraksi
secara terapeutik dan sosial satu sama lain dalam sesi setelah kelompok. Semua teknik
kognitif, emosi, dan perilaku yang dijelaskan sebelumnya dapat diterapkan pada konseling
kelompok.

2.5 Aaron Beck’s Cognitive Therapy

2.5.1 Introduction

Aaron T. Beck mengembangkan cognitive therapy (CT) kira-kira pada waktu yang sama
ketika Ellis mengembangkan REBT. Mereka tidak menyadari pekerjaan satu sama lain dan
menciptakan pendekatan mereka secara mandiri. Ellis mengembangkan REBT berdasarkan
prinsip filosofis, sedangkan CT Beck didasarkan pada penelitian empiris ( Padesky & Beck,

13
2003). Seperti REBT, CT menekankan pada pendidikan dan pencegahan tetapi menggunakan
metode khusus yang disesuaikan dengan masalah tertentu. Kekhususan CT memungkinkan
terapis untuk menghubungkan penilaian, konseptualisasi, dan strategi pengobatan.

Beck (A. Beck 1963, 1967) berangkat untuk menciptakan sebuah terapi berbasis bukti
untuk depresi, dan dia diuji masing-masing konstruk teori nya dengan studi empiris dan
menyalurkan hasil studi terkontrol untuk menentukan bagaimana hasil CT dibandingkan
dengan psikoterapi yang ada dan pengobatan farmakoterapi untuk depresi. Pendekatan
empiris Beck yang cermat akhirnya diadopsi oleh rekan-rekannya di seluruh
dunia. Pendekatan CT yang didukung bukti dikembangkan untuk banyak gangguan termasuk
depresi, gangguan kecemasan, kecemasan sosial, fobia, gangguan stres pasca trauma,
skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya, hipokondriasis, gangguan dysmorphic tubuh,
gangguan makan, insomnia, masalah kemarahan, stres, nyeri kronis dan kelelahan, dan
kesusahan akibat masalah medis umum seperti kanker (Hofmann, Asnaani , Vonk , Sawyer,
& Fang, 2012; White & Freeman, 2000).

Penelitian awal tentang depresi Beck mengungkapkan bahwa klien yang depresi
memiliki bias negatif dalam interpretasi mereka terhadap peristiwa kehidupan tertentu, yang
dihasilkan dari proses aktif distorsi kognitif (A. Beck, 1967). Hal ini membuat Beck percaya
bahwa terapi yang membantu klien yang depresi menjadi sadar dan mengubah pemikiran
negatif mereka dapat membantu. Tidak seperti Ellis, Beck tidak menegaskan bahwa pikiran
negatif adalah satu-satunya penyebab depresi. Penelitian Beck menunjukkan bahwa depresi
dapat disebabkan oleh pemikiran negatif, tetapi juga dapat dipicu oleh perubahan genetik,
neurobiologis, atau lingkungan. Salah satu kontribusi awal Beck adalah untuk mengenali
bahwa terlepas dari penyebab depresi, begitu orang menjadi depresi, pemikiran mereka
mencerminkan apa yang disebut Beck sebagai tiga serangkai kognitif negatif: pandangan
negatif tentang diri (kritik diri), dunia (pesimisme), dan masa depan (keputusasaan). Beck
percaya tiga serangkai kognitif negatif ini mempertahankan depresi, bahkan ketika pikiran
negatif bukanlah penyebab asli suatu episode depresi (A. Beck 1967; A. Beck, Rush, Shaw,
& Emery, 1979).

Terapi kognitif (CT) memiliki sejumlah kemiripan dengan terapi perilaku emosional
rasional dan terapi perilaku. Semua terapi ini aktif, direktif, terbatas waktu, berpusat pada
saat ini, berorientasi pada masalah, kolaboratif, terstruktur, dan empiris. Mereka termasuk
pekerjaan rumah dan memerlukan klien secara eksplisit mengidentifikasi masalah dan situasi

14
di mana mereka terjadi (A. Beck & Weishaar 2014). Mirip dengan REBT dan tidak seperti
terapi perilaku, CT didasarkan pada alasan teoretis bahwa cara orang merasa dan berperilaku
dipengaruhi oleh cara mereka memandang dan menempatkan makna pada pengalaman
mereka. Tiga asumsi teoritis CT adalah (1) bahwa proses berpikir orang dapat diakses oleh
introspeksi, (2) bahwa kepercayaan orang memiliki makna yang sangat pribadi, dan (3)
bahwa orang dapat menemukan makna ini sendiri daripada diajari atau ditafsirkan oleh
terapis (Weishaar, 1993).

Sejak awal Beck mengembangkan protokol perlakuan khusus untuk setiap masalah


sedangkan Ellis mungkin mengajarkan prinsip filosofis yang serupa kepada orang-orang
dengan kecemasan, depresi, atau kemarahan. Terlepas dari perbedaan ini, terapis yang
mempraktikkan terapi perilaku, REBT, dan CT belajar dari satu sama lain, dan terdapat
banyak tumpang tindih dalam metode yang digunakan oleh ketiga sekolah terapi dalam
praktik klinis kontemporer. Standar praktik tertinggi saat ini adalah menawarkan "praktik
berbasis bukti" terbaik terlepas dari asalnya, sehingga terapis dapat menggunakan metode
perilaku untuk mengobati fobia dan metode kognitif untuk mengobati gangguan panik karena
penelitian telah menunjukkan metode ini paling efektif dalam menangani masalah
ini. Banyak terapis menyebut diri mereka, menawarkan terapi perilaku kognitif terlepas dari
apakah pelatihan awal mereka terutama dalam terapi perilaku, REBT, atau CT.

2.5.2 Model Kognitif Generik

Berkaca pada 50 tahun penelitian dan berbagai aplikasi terapi kognitif, Beck telah
mengusulkan model kognitif generik untuk menggambarkan prinsip-prinsip yang berkaitan
dengan semua aplikasi CT dari depresi dan perawatan kecemasan hingga terapi untuk
berbagai macam masalah lain termasuk psikosis dan penggunaan zat (A. Beck & Haigh,
2014). Dengan menghubungkan kesulitan psikologis dengan tanggapan manusia adaptif,
Beck percaya model kognitif generik “memiliki potensi untuk menjadi satu-satunya secara
empiris didukung teori umum psikopatologi” (A. Beck & Haigh, 2014). Model kognitif
generik menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk mengerti tekanan psikologis,
dan beberapa prinsip utama yang dijelaskan di sini. Beck mendorong orang lain untuk
merancang penelitian untuk menyelidiki komponen modelnya dalam upaya mencapai
pemahaman terbaik tentang kognisi, perilaku, dan emosi manusia. Mari kita lihat beberapa
prinsip yang mendasari model ini.

15
Gangguan psikologis dapat dianggap sebagai melebih-lebihkan fungsi manusia adaptif
normal. Ketika orang berfungsi dengan baik, mereka mengalami banyak emosi
berbeda sebagai respons terhadap peristiwa kehidupan dan berperilaku dengan cara yang
membantu mereka memecahkan masalah, mencapai tujuan, dan melindungi diri dari
bahaya. Terkadang wajar untuk menarik diri dari hubungan, menghindari situasi yang tidak
siap kita tangani, atau khawatir tentang masalah dalam mencari solusi. Gangguan psikologis
dimulai ketika emosi dan perilaku normal ini menjadi tidak proporsional dengan peristiwa
kehidupan dalam derajat atau frekuensi. Sebagai contoh, ketika seseorang mulai khawatir
sebagian besar waktu, bahkan tentang situasi yang kebanyakan orang mengambil dengan
tenang, orang itu menunjukkan tanda-tanda umum- terwujud gangguan kecemasan.

Pemrosesan informasi yang salah adalah penyebab utama sikap berlebihan dalam reaksi
emosi dan perilaku adaptif. Pemikiran kita terhubung langsung dengan reaksi emosional,
perilaku, dan motivasi kita. Ketika kita memikirkan hal-hal dengan cara yang salah atau
menyimpang, kita juga mengalami reaksi emosi dan perilaku yang berlebihan atau
terdistorsi. Beck mengidentifikasi beberapa distorsi kognitif yang umum:

a. Kesimpulan sewenang-wenang adalah kesimpulan yang diambil tanpa bukti


pendukung. Ini termasuk " bencana ," atau sebagian dari skenario terburuk mutlak dan
hasil untuk kebanyakan situasi. Anda dapat memulai pekerjaan pertama Anda sebagai
konselor dengan keyakinan bahwa Anda tidak akan disukai atau dihargai. Anda yakin
bahwa Anda menipu profesor Anda dan entah bagaimana berhasil mendapatkan gelar
Anda, tetapi sekarang orang pasti akan melihat melalui diri Anda.

b. Abstraksi selektif terdiri dari pembentukan kesimpulan berdasarkan detail terisolasi


dari suatu peristiwa sambil mengabaikan informasi lainnya. Arti penting dari konteks
total terlewatkan. Sebagai seorang konselor, Anda dapat mengukur nilai Anda dengan
kesalahan dan kelemahan Anda daripada dengan kesuksesan Anda.

c. Generalisasi yang berlebihan adalah proses memegang keyakinan ekstrem atas dasar
satu insiden dan menerapkannya secara tidak tepat pada peristiwa atau latar yang
berbeda. Jika Anda mengalami kesulitan dalam menangani seorang remaja, misalnya,
Anda mungkin menyimpulkan bahwa Anda tidak akan efektif
dalam membimbing remaja mana pun. Anda juga mungkin menyimpulkan bahwa
Anda tidak akan efektif bekerja dengan klien.

16
d. Pembesaran dan minimisasi terdiri dari mengamati kasus atau situasi dalam cahaya
yang lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya. Anda mungkin membuat
kesalahan kognitif ini dengan mengasumsikan bahwa kesalahan kecil dalam konseling
kepada klien dapat dengan mudah menciptakan krisis bagi individu dan
dapat mengakibatkan kerusakan psikologis.

e. Personalisasi adalah kecenderungan individu untuk menghubungkan peristiwa


eksternal dengan diri mereka sendiri, bahkan ketika tidak ada dasar untuk membuat
hubungan ini. Jika klien tidak kembali untuk sesi konseling kedua, Anda mungkin
benar-benar yakin bahwa ketidakhadiran ini disebabkan oleh kinerja buruk
Anda selama sesi awal. Anda mungkin berkata pada diri sendiri, "Situasi ini
membuktikan bahwa saya benar-benar mengecewakan klien itu, dan sekarang dia
mungkin tidak akan pernah mencari bantuan lagi”.

f. Pelabelan dan kesalahan pelabelan melibatkan penggambaran identitas seseorang


atas dasar ketidaksempurnaan dan kesalahan yang dibuat di masa lalu dan
memungkinkan mereka untuk mendefinisikan identitas sejati seseorang. Jika Anda
tidak dapat memenuhi semua harapan klien, Anda dapat berkata pada diri sendiri,
"Saya sama sekali tidak berharga dan harus menyerahkan lisensi profesional saya
segera."

g. Pemikiran dikotomis melibatkan pengkategorian pengalaman dalam salah satu atau


ekstrem. Dengan pemikiran terpolarisasi seperti itu, Anda mungkin melihat diri Anda
sebagai konselor yang sangat kompeten (Anda selalu berhasil dengan semua klien)
atau sebagai kegagalan total jika Anda tidak sepenuhnya kompeten (tidak ada ruang
untuk kesalahan).         

Keyakinan kita memainkan peran utama dalam menentukan jenis tekanan psikologis apa
yang akan kita alami. Setiap gangguan emosi dan perilaku disertai dengan keyakinan khusus
untuk masalah itu. Pertimbangkan dua siswa yang mendaftar ke perguruan tinggi dan tidak
diterima di sekolah pilihan pertama mereka. Salah satu siswa menjadi tertekan, yang lainnya
menjadi cemas. Depresi disertai dengan pikiran negatif tentang diri sendiri ("Saya telah
gagal", "Tidak ada yang berhasil untuk saya", "Saya tidak akan pernah masuk sekolah
kedokteran"). Pikiran cemas mencerminkan penilaian yang berlebihan tentang ancaman atau
bahaya ("Semua orang akan berpikir lebih sedikit tentang saya ketika mereka tahu saya tidak
diterima di perguruan tinggi itu") dan meremehkan cara seseorang mengatasi ("Saya tidak

17
tahu harus berkata apa kepada orang-orang tentang hal itu") dan meremehkan sumber daya
("Perguruan tinggi lain ini tidak akan mempersiapkan saya dengan cukup baik untuk sekolah
kedokteran").

Pusat terapi kognitif adalah observasi yang didukung secara empiris bahwa "perubahan
keyakinan menyebabkan perubahan dalam perilaku dan emosi" (A. Beck & Haigh,
2014). Jika siswa pada contoh sebelumnya dapat mengubah cara berpikir mereka tentang
tidak diterima di sekolah pilihan pertama mereka, depresi dan kecemasan mereka
kemungkinan besar akan berkurang. Murid pertama pasti akan merasa tidak terlalu tertekan
begitu pandangan yang lebih seimbang tentang surat penolakan diterima ("Lebih banyak
siswa yang baik mendaftar daripada yang dapat diterima. Penolakan saya tidak berarti saya
gagal. Saya yakin banyak siswa dari sekolah pilihan kedua saya pergi untuk menghadiri
sekolah kedokteran”). Demikian pula, siswa yang cemas akan mendapat manfaat dari
keyakinan baru juga ("Saya dapat memberi tahu orang lain bahwa saya kecewa karena saya
tidak masuk ke perguruan tinggi pilihan pertama saya. Beberapa orang mungkin menganggap
saya kurang, tetapi mereka yang benar-benar peduli akan memahami bahwa tidak semua
orang mendapatkan pilihan pertama mereka dan mereka akan mendukung”).

Jika keyakinan tidak diubah, kondisi klinis kemungkinan akan terulang kembali. Bahkan


tanpa konseling atau perubahan keyakinan, orang sering kali pulih dari perasaan depresi atau
kecemasan dan kembali ke fungsi sehat mereka yang biasa. Namun, perasaan ini dapat
kembali pada saat stres atau kekecewaan di masa depan jika keyakinan dasar mereka tidak
berubah. Dalam studi tentang efek jangka panjang dari pengobatan untuk gangguan depresi
dan kecemasan, terapi kognitif dan jenis terapi CBT lainnya memiliki tingkat kekambuhan
yang paling rendah (Hollon, Stewart, & Strunk , 2006). Banyak yang percaya ini karena
terapi ini mengarah pada perubahan keyakinan yang bertahan lama.

2.5.3 Prinsip Dasar Terapi Kognitif

Terapi kognitif (CT) memandang masalah psikologis sebagai respons adaptif yang
berlebihan yang dihasilkan dari distorsi kognitif yang umum. Seperti REBT, CT adalah terapi
yang berfokus pada wawasan dengan komponen psikoedukasi yang kuat yang menekankan
pada pengenalan dan perubahan pemikiran yang tidak realistis dan keyakinan
maladaptif. Terapi kognitif sangat kolaboratif dan melibatkan perancangan pengalaman
belajar khusus untuk membantu klien memahami hubungan antara pikiran, perilaku, emosi,
respons fisik, dan situasi mereka (Greenberger & Padesky , 2016). Tujuan CT adalah untuk

18
membantu klien mempelajari keterampilan praktis yang dapat mereka gunakan untuk
membuat perubahan dalam pikiran, perilaku, dan emosi mereka dan bagaimana
mempertahankan perubahan ini dari waktu ke waktu.

Dalam terapi kognitif, klien belajar bagaimana mengidentifikasi pemikiran disfungsional


mereka. Begitu klien mengidentifikasi distorsi kognitif, mereka diajarkan untuk memeriksa
dan menimbang bukti yang mendukung dan menentangnya. Proses pemikiran kritis
memeriksa melibatkan secara empiris menguji mereka dengan melihat bukti, secara aktif
terlibat dalam dialog Sokrates dengan terapis, melaksanakan tugas pekerjaan rumah,
melakukan eksperimen perilaku, mengumpulkan data tentang asumsi yang dibuat, dan
membentuk alternatif interpretasi (Dattilio , 2000a ; Freeman & Dattilio , 1994; Tompkins,
2004, 2006). Dari awal pengobatan, klien belajar menggunakan keterampilan pemecahan
masalah dan koping yang spesifik. Melalui proses penemuan terpandu, klien memperoleh
wawasan tentang hubungan antara pemikiran mereka dan cara mereka bertindak dan merasa.

Terapi kognitif difokuskan pada masalah saat ini, terlepas dari diagnosis klien. Masa lalu
dapat dibawa ke dalam terapi ketika terapis menganggap penting untuk memahami
bagaimana dan kapan keyakinan disfungsional inti tertentu berasal dan bagaimana ide-ide ini
memiliki dampak saat ini pada kesulitan klien (Dattilio , 2002a). Tujuan dari terapi singkat
ini termasuk meredakan gejala, membantu klien dalam menyelesaikan masalah mereka yang
paling mendesak, mengubah cara dan perilaku yang menjadi penahan masalah, dan
mengajarkan keterampilan klien yang berfungsi sebagai strategi pencegahan kekambuhan.

2.5.4 Beberapa Perbedaan Antara CT dan REBT 

Baik dalam CT maupun REBT, pengujian realitas sangat terorganisir. Klien menyadari


pada tingkat pengalaman bahwa mereka telah salah memahami situasi. Namun ada beberapa
perbedaan penting antara kedua pendekatan ini, terutama yang berkaitan dengan metode dan
gaya terapi.

REBT seringkali sangat direktif, persuasif, dan konfrontatif, dan peran mengajar terapis


ditekankan. Model terapis berpikir rasional dan membantu klien untuk mengidentifikasi dan
membantah keyakinan irasional. Sebaliknya, CT menggunakan dialog Socrates, mengajukan
pertanyaan terbuka kepada klien dengan tujuan membuat klien merefleksikan masalah pribadi
dan sampai pada kesimpulan mereka sendiri. CT lebih menekankan pada membantu klien
mengidentifikasi kesalahpahaman untuk diri mereka sendiri daripada diajarkan. Melalui

19
proses pertanyaan reflektif ini, terapis kognitif bekerja sama dengan klien dalam menguji
validitas kognisi mereka (proses yang disebut empirisme kolaboratif). Perubahan terapeutik
adalah hasil dari klien mengevaluasi ulang keyakinan yang salah berdasarkan bukti
kontradiktif yang telah mereka kumpulkan.

Ada juga perbedaan dalam cara Ellis dan Beck memandang pemikiran yang
salah. Melalui proses perselisihan rasional, Ellis bekerja untuk meyakinkan klien bahwa
keyakinan tertentu mereka tidak rasional dan tidak berfungsi. Beck memandang keyakinan
kliennya yang terdistorsi sebagai hasil dari kesalahan kognitif dan bukan hanya didorong
oleh keyakinan irasional . Beck meminta kliennya untuk melakukan eksperimen perilaku
untuk menguji keakuratan keyakinan mereka ( Hollon & DiGiuseppe , 2011). Terapis
kognitif melihat keyakinan disfungsional sebagai masalah ketika mereka mendistorsi
keseluruhan gambar, atau ketika mereka terlalu absolut, luas, dan ekstrim (A. Beck
& Weishaar , 2014). Bagi Beck, orang hidup berdasarkan aturan (asumsi yang
mendasari); mereka mendapat masalah ketika mereka memberi label, menafsirkan, dan
mengevaluasi dengan seperangkat aturan yang tidak realistis atau ketika mereka
menggunakan aturan secara tidak tepat atau berlebihan. Jika klien memutuskan bahwa
mereka hidup dengan aturan yang cenderung mengarah pada penderitaan, terapis meminta
klien untuk mempertimbangkan dan menguji aturan alternatif. Meskipun terapi kognitif
beroperasi dalam kerangka acuan klien, terapis terus meminta klien untuk memeriksa bukti
yang mendukung dan menentang sistem kepercayaan mereka .

2.5.5 Hubungan Klien-Terapis

Hubungan terapeutik adalah dasar penerapan terapi kognitif. Melalui tulisannya, jelas


bahwa Beck percaya bahwa terapis yang efektif harus menggabungkan empati dan kepekaan
dengan kompetensi teknis (A. Beck, 1987). Kondisi terapeutik inti yang dijelaskan oleh
Rogers dalam pendekatannya yang berpusat pada orang dipandang oleh terapis kognitif
sebagai perlu, tetapi tidak cukup, untuk menghasilkan efek terapeutik yang optimal. Aliansi
terapeutik merupakan langkah pertama yang diperlukan dalam terapi kognitif, terutama
dalam konseling pasien yang sulit dijangkau. Tanpa kerja sama, teknik yang diterapkan tidak
akan efektif (Dattilio & Hanna, 2012; Dienes et al., 2011). Terapis harus memiliki
konseptualisasi kognitif kasus, menjadi kreatif dan aktif, mampu melibatkan klien melalui
proses pertanyaan Socrates, dan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penggunaan

20
strategi kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk membimbing klien dalam penemuan diri
yang signifikan yang akan memimpin perubahan (A. Beck & Weishaar , 2014).

Terapis kognitif terus aktif dan dengan sengaja berinteraksi dengan klien, membantu
klien menyusun kesimpulan mereka dalam bentuk hipotesis yang dapat diuji. Fungsi terapis
kognitif sebagai katalisator dan panduan yang membantu klien memahami bagaimana
keyakinan dan sikap mereka mempengaruhi cara mereka merasa dan bertindak. Klien
diharapkan mengidentifikasi distorsi dalam pemikiran mereka, meringkas poin penting dalam
sesi, dan secara kolaboratif menyusun tugas pekerjaan rumah yang mereka setujui untuk
dilaksanakan. Terapis kognitif menekankan peran klien dalam penemuan diri. Asumsinya
adalah bahwa perubahan yang berlangsung lama dalam pemikiran dan perilaku
klien kemungkinan besar akan terjadi dengan inisiatif, pemahaman, kesadaran, dan upaya
klien (A. Beck & Weishaar , 2014; J. Beck, 2005, 2011a; J. Beck & Butler, 2005).

Terapis kognitif mengidentifikasi tujuan yang spesifik dan terukur dan bergerak langsung
ke area yang paling menyebabkan kesulitan bagi klien ( Dienes et al., 2011). Biasanya,
seorang terapis akan mendidik klien tentang sifat dan jalannya masalah mereka, tentang
proses terapi kognitif, dan bagaimana pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku
mereka. Salah satu cara mendidik klien adalah melalui terapi biblio, di mana klien
menyelesaikan bacaan yang mendukung dan memperluas pemahaman mereka tentang prinsip
dan keterampilan terapi kognitif. Bacaan ini ditugaskan sebagai tambahan untuk terapi dan
dirancang untuk meningkatkan proses terapeutik dengan memberikan fokus pendidikan
( Dattilio & Free man, 2007; Jacobs, 2008). 

PR sering digunakan sebagai bagian dari terapi kognitif karena berlatih kognitif
keterampilan perilaku dalam kehidupan nyata memfasilitasi keuntungan yang lebih cepat dan
bertahan lama (Diena et al., 2011). Tujuan pekerjaan rumah tidak hanya untuk mengajarkan
klien keterampilan baru tetapi juga untuk memungkinkan mereka menguji keyakinan mereka
dan mencoba perilaku yang berbeda dalam situasi kehidupan sehari-hari. Pekerjaan rumah
umumnya disajikan kepada klien sebagai eksperimen yang berfungsi untuk melanjutkan
pekerjaan pada masalah yang dibahas dalam sesi terapi ( Dattilio , 2002b). Terapis kognitif
menyadari bahwa klien lebih mungkin menyelesaikan pekerjaan rumah jika disesuaikan
dengan kebutuhan mereka, jika mereka berpartisipasi dalam merancang pekerjaan rumah, jika
mereka memulai pekerjaan rumah di sesi terapi, dan jika mereka berbicara tentang potensi
masalah dalam melaksanakan pekerjaan rumah (J Beck, 2005). Tompkins (2004, 2006)

21
menunjukkan bahwa ada keuntungan yang jelas bagi terapis dan klien yang bekerja secara
kolaboratif dalam menegosiasikan tugas pekerjaan rumah yang disetujui bersama. Salah satu
indikator aliansi terapeutik yang baik adalah apakah pekerjaan rumah dilakukan dengan baik
(Kazantzis, Dattilio, Cummins, & Clayton, 2014).

2.5.6 Aplikasi Terapi Kognitif

Terapi kognitif awalnya mendapat pengakuan sebagai pendekatan untuk mengobati


depresi , tetapi penelitian ekstensif telah dikhususkan untuk studi dan pengobatan banyak
gangguan kejiwaan lainnya. Popularitas terapi kognitif sebagian disebabkan oleh "dukungan
empiris yang kuat untuk kerangka teoritisnya dan sejumlah besar hasil studi dengan populasi
klinis" (A. Beck & Weishaar , 2014, hlm. 260). Ratusan studi penelitian telah
mengkonfirmasi dasar-dasar teoritis CT, dan ratusan hasil uji coba telah membuktikan
kemanjurannya untuk berbagai gangguan kejiwaan, masalah psikologis, dan kondisi medis
dengan komponen psikologis. (Hofmann et al., 2012).

Terapi kognitif telah berhasil digunakan untuk mengatasi depresi, masing-masing


gangguan kecemasan, ketergantungan ganja, hipokondriasis , gangguan dysmorphic tubuh,
gangguan makan, amarah, skizofrenia, insomnia, dan nyeri kronik ( Chambless & Peterman,
2006; Dattilio & Kendall, 2007; Hofmann et al., 2012; Riskind , 2006); perilaku bunuh diri,
gangguan kepribadian ambang, gangguan kepribadian narsistik, dan gangguan skizofrenia
( Dattilio & Freeman, 2007); gangguan kepribadian ( Pretzer & Beck, 2006); penyalahgunaan
substansi (Newman, 2006); penyakit medis ( Dattilio & Castaldo , 2001); Krisis
antar campur ( Dattilio & Freeman, 2007); pasangan dan terapi keluarga ( Dattilio , 1993,
1998, 2001, 2005, 2010; Dattilio & Padesky , 1990; Epstein, 2006); dan penganiaya anak,
konseling perceraian, pelatihan keterampilan, dan manajemen stres ( Dattilio ,
1998; Granvold , 1994; Reinecke , Dattilio , & Freeman, 2002). Pada anak-anak dan remaja,
CT telah terbukti efektif dalam pengobatan gangguan depresi dan kecemasan dan lebih
efektif daripada pengobatan untuk masalah ini. Jelas, program terapi kognitif telah dirancang
untuk segala usia dan untuk berbagai populasi klien.

Selain itu, efek CT untuk depresi dan gangguan kecemasan tampaknya lebih bertahan
daripada efek pengobatan lain, dengan pengecualian terapi perilaku, yang terkadang sesuai
dengan CT dalam durasi hasil yang positif. Orang-orang yang mendapatkan lebih baik
dengan menggunakan CT cenderung kambuh dibandingkan mereka yang meningkatkan
dengan medica - tion (atau paling psikoterapi lainnya pendekatan Hollon . Et al, 2006). Untuk

22
sumber yang sangat baik tentang aplikasi klinis terapi kognitif untuk berbagai gangguan dan
populasi, lihat Terapi Kognitif Kontemporer (Leahy, 2006a).

a. Menerapkan Teknik Kognitif 

Beck dan Weishaar (2014) menggambarkan metode kognitif dan perilaku yang


merupakan bagian dari keseluruhan strategi yang digunakan oleh terapis
kognitif. Metode kognitif berfokus pada mengidentifikasi dan memeriksa keyakinan
klien, mengeksplorasi asal-usul keyakinan ini, dan memodifikasinya jika bukti tidak
mendukung keyakinan tersebut. Contoh teknik perilaku yang biasanya digunakan oleh
terapis kognitif termasuk penjadwalan aktivitas, eksperimen perilaku, pelatihan
keterampilan, bermain peran, latihan perilaku, dan terapi eksposur. Terlepas dari sifat
masalah spesifik, terapis kognitif terutama tertarik untuk menerapkan prosedur yang
akan membantu individu dalam membuat interpretasi alternatif dari peristiwa dalam
kehidupan sehari-hari mereka dan berperilaku dengan cara yang membuat mereka lebih
dekat dengan tujuan dan nilai mereka.

b. Pendekatan Pengobatan 

Lama dan jalannya terapi kognitif sangat bervariasi dan ditentukan oleh protokol
terapi yang digunakan untuk diagnosis spesifik. Misalnya, terapi kognitif untuk depresi
biasanya berlangsung selama 16 hingga 20 sesi dan dimulai dengan aktivasi
perilaku. Aktivitas memiliki efek antidepresan, terutama ketika klien terlibat dalam
campuran aktivitas yang menyenangkan, berhasil, dan anti-penghindaran. Klien menilai
suasana hati mereka dalam kaitannya dengan aktivitas yang mereka lakukan sepanjang
hari, dan pengamatan ini digunakan sebagai panduan untuk menemukan aktivitas yang
memberikan dorongan suasana hati di minggu-minggu berikutnya. Saat depresi mulai
terangkat, terapis memperkenalkan keterampilan tambahan seperti catatan pikiran, yang
membantu klien mengidentifikasi pikiran otomatis negatif dan mengujinya. Ketika bukti
tidak mendukung pemikiran otomatis, klien belajar untuk menghasilkan penjelasan
alternatif yang tidak terlalu menyedihkan. Ketika bukti memang mendukung pemikiran
bermasalah, klien dibantu untuk membuat rencana tindakan untuk memecahkan masalah
daripada merenungkannya (Greenberger & Padesky , 2016). Sebelum pengobatan
berakhir, asumsi mendasar yang membuat klien berisiko kambuh diperiksa seperti
asumsi perfeksionis ("Jika saya membuat kesalahan, maka saya tidak berharga"). Asumsi
ini diuji dengan eksperimen perilaku. Misalnya, klien yang perfeksionis mungkin sengaja

23
membuat kesalahan saat melakukan tugas tertentu dan mengevaluasi apakah masih ada
nilai dan nilai pada hasilnya.

Sebaliknya, terapi kognitif untuk gangguan panik umumnya berlangsung hanya 6


sampai 12 sesi dan menargetkan keyakinan katastropik tentang sensasi fisik dan mental
internal (Clark et al., 1999). Klien dibantu untuk mengidentifikasi sensasi yang memicu
serangan panik dan keyakinan katastropik tentang sensasi tersebut. Misalnya, klien
mungkin berpikir, “Jantung saya berdebar kencang (sensasi). Itu berarti saya memiliki
serangan jantung (keyakinan bencana)”. Terapis membantu klien menghasilkan hipotesis
alternatif untuk menjelaskan sensasi yang ditakuti ini. Misalnya, “Jantung yang berdegup
kencang tidak berbahaya. Ini bisa disebabkan oleh olahraga, kecemasan, kafein, dan
banyak hal lainnya. Jantung adalah otot, dan dokter menyarankan agar Anda secara
teratur meningkatkan detak jantung saat berolahraga agar tetap sehat". Terapis kemudian
menuntun klien untuk melakukan serangkaian percobaan di sesi di mana klien
menciptakan sensasi alternatif hipotesi. Begitu klien mulai mempercayai hipotesis
alternatif dalam eksperimen ini, yang nantinya juga dilakukan di luar terapi, serangan
panik berkurang atau hilang.

c. Penerapannya untuk Terapi Keluarga 

Pendekatan perilaku kognitif berfokus pada kognisi, emosi, dan perilaku karena
keduanya saling mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan keluarga sehingga
menyebabkan disfungsi. Teori kognitif (A. Beck, 1976; A. Beck & Haigh , 2014)
menekankan skema, di tempat lain didefinisikan sebagai keyakinan inti, sebagai aspek
kunci dari proses terapeutik. Terapis membantu keluarga merestrukturisasi kepercayaan
(atau skema) yang menyimpang untuk mengubah perilaku disfungsional. Beberapa
terapis CT menempatkan penekanan kuat pada pemeriksaan kognisi di antara anggota
keluarga individu serta pada apa yang mungkin disebut "skema keluarga" (Dattilio ,
1993, 1998, 2001, 2010). Keyakinan yang dipegang bersama tentang keluarga ini telah
terbentuk sebagai hasil interaksi selama bertahun-tahun di antara anggota keluarga.
Skema ini dipengaruhi oleh asal keluarga orang tua dan berdampak besar pada
bagaimana setiap individu berpikir, merasa, dan berperilaku dalam sistem keluarga
(Dattilio , 2001, 2005, 2010).

Untuk ilustrasi konkret tentang bagaimana Dr. Dattilio menerapkan prinsip-prinsip


kognitif dan bekerja dengan skema keluarga, lihat pendekatan perilaku kognitifnya

24
dengan Ruth dalam Pendekatan Kasus untuk Konseling dan Psikoterapi (Corey, 2013,
chap. 8). Untuk diskusi tentang mitos dan kesalahpahaman tentang terapi keluarga
perilaku kognitif, lihat Dattilio (2001); untuk presentasi singkat tentang model perilaku
kognitif terapi keluarga, lihat Dattilio (2010). 

2.6 Christine Padesky and Kathleen Mooney’s Strengths-Based Cognitive


Behavioral Therapy

Terapi perilaku kognitif berbasis kekuatan (SB-CBT) merupakan salah satu jenis
terapi kognitif yang dikebangkan oleh Christine Padesky dan koleganya Kathleen Mooney
berdasarkan terapi kognitif yang telah dikemukakan oleh Aaron Beck sebelumnya. Semua
prinsip yang dikemukakan oleh Aaron Beck dikembangkan menjadi CBT yang berbasis
kekuatan oleh Christine Padesky dan Kathleen Mooney (Coray, 2016).

Penekanan pada SB-CBT ialah pada identifikasi dan integrasi dari kekuatan klien
tersebut pada setiap sesi terapi. Ide utama dalam SB-CBT ini ialah penggabungan dari berapa
aktifnya kekuatan klien yang mendorongnya untuk terlibat secara penuh dalam terapi dan
memberikan jalan untuk berubah. Selanjutnya, SB-CBT diperluas dengan model
memasukkan metode yang bertujuan untuk membantu klien untuk berkembang dengan cara
kualitas yang positif. Ide-ide mereka berkembang seiring dengan psikologi positif, bidang
penelitian yang menyelidiki kebahagiaan, ketahanan, altruisme, dan sejumlah hal positif
emosi dan perilaku (Lopez & Snyder, 2011). Dalam sebuah konderensi internasional,
Padesky mengemukakan bahwa dalam psikoterapi SB-CBT ia akan mengembangkan metode
untuk meningkatkan pengalaman dan kekuatan manusia yang bukan hanya sekedar
meringankan penderitaan klien (Coray, 2016).

2.6.1 Prinsip Dasar SB-CBT

Seperti terapi kognitif, SB-CBT didasarkan pada empiris. Ini berarti bahwa (Coray,
2016):

(1) Terapis harus memiliki pengetahuan tentang bukti yang berkaitan dengan klien masalah
yang dibahas dalam terapi

(2) Klien diminta untuk melakukan observasi dan mendeskripsikan rincian pengalaman hidup
mereka sehingga apa yang dikembangkan dalam terapi didasarkan pada kenyataan data
kehidupan klien

25
(3) Terapis dan klien berkolaborasi dalam menguji keyakinan dan bereksperimen dengan
perilaku baru untuk melihat apakah mereka membantu mencapai tujuan yang diinginkan.

Kekuatan diintegrasikan ke dalam setiap fase pengobatan di SB-CBT yang dimulai


dengan wawancara. Setelah alasan untuk mencari terapi dijelaskan dan dieksplorasi, terapis
SB-CBT mengungkapkan minatnya pada aspek positif dari kehidupan klien:

“Terima kasih telah memberi tahu saya tentang alasan Anda datang ke terapi. Meski begitu
adalah waktu yang sulit bagi Anda, saya ingin tahu apakah ada beberapa hal yang berjalan
baik dalam diri Anda atau yang memberi Anda kebahagiaan, bahkan sekarang. Jika Anda
bersedia memberi tahu saya tentang beberapa hal-hal itu, itu akan membantuku mengenalmu
lebih banyak secara keseluruhan. "

Dalam Konseptualisasi Kasus Kolaboratif: Bekerja Secara Efektif Dengan Klien di


CBT, Kuyken, Padesky, dan Dudley (2009) menunjukkan betapa positifnya minat dan
kekuatan diidentifikasi dalam sesi terapi awal dapat memberikan banyak informasi untuk
membantu terapis dan klien secara kolaboratif mengintegrasikan kekuatan ke dalam
konseptualisasi kasus dan pengobatan. Misalnya, klien sering kali menemukan bahwa mereka
menggunakan strategi yang lebih tangguh ketika mereka menghadapi hambatan di bidang
minat positif daripada yang mereka hadapi dalam masalah bidang kehidupan mereka. Strategi
ini dapat ditambahkan ke rencana untuk menangani bidang masalah secara positif. Seorang
klien yang depresi belajar menjadi lebih aktif untuk meningkatkan mood akan mengalami
waktu lebih mudah untuk terlibat dalam aktivitas yang merupakan bagian dari hobi atau hobi
positif daripada berpartisipasi dalam aktivitas yang tidak terlalu menarik bagi klien (Coray,
2016).

Terapis SB-CBT membantu klien mengembangkan dan membangun cara baru yang
positif untuk berinteraksi di dunia. Model SB-CBT untuk membangun dan memperkuat
pribadi ketahanan dapat digunakan sendiri atau diintegrasikan dengan CBT berbasis bukti
pengobatan untuk gangguan diagnostik (Padesky & Mooney, 2012). Untuk klien dengan
kesulitan kronis yang telah terbukti tahan terhadap perubahan, SB-CBT mengusulkan untuk
seringkali lebih mudah untuk membangun cara yang sama sekali baru dalam melakukan
sesuatu daripada memecahkan masalah atau memodifikasi cara kronis dalam melakukan
sesuatu. Ketika klien tidak menanggapi standar pengobatan, terapis SB-CBT membantu klien
bersama-sama menciptakan "Paradigma BARU," yaitu visi mereka tentang bagaimana

26
mereka ingin menjadi dan bagaimana mereka menyukai area yang sulit dari hidup mereka
(Coray, 2016).

2.6.2 Hubungan Klien-Terapis

Seperti terapi kognitif Beck, terapis SB-CBT adalah kolaboratif, aktif, yang berarti
fokus terapi ini ialah here and now, dan berpusat pada klien. Terapis SB-CBT mendorong
klien mereka dan harus tulus, peduli, dan bersedia terlibat dengan klien sebagai manusia
seutuhnya dalam perjuangan dan kesuksesan. Terapis SB-CBT tidak mengambil sikap "ahli"
tetapi berfungsi sebagai asisten atau pemandu yang ingin tahu untuk klien mereka terkait
penemuan dan pertumbuhannya sendiri.

Namun, praktisi SB-CBT meminta perumpamaan dan metafora klien untuk


menggambarkan pengalaman mereka, baik positif maupun negatif. Lebih dari sekedar
menangkap kata-kata, citra dan metafora dan mengintegrasikan aspek emosional, kognitif,
fisiologis, dan perilaku dari pengalaman. Selain mendekonstruksi keyakinan dan masalah,
SB-CBT menekankan pada penggunaan pertanyaan secara konstruktif. Terapis SB-CBT
mengajukan pertanyaan konstruktif seperti, “Anda ingin menjadi seperti apa? “Bagaimana
Anda menyukai bagian hidup Anda ini atau hubungan menjadi? ” Ketika klien terjebak dalam
pola berulang, SB-CBT mengajar kepada mereka bahwa kita melakukan sesuatu "untuk
alasan yang baik" dan menunjukkan kepada klien betapa bahkan merusak perilaku (seperti
melukai diri sendiri saat tertekan) dilakukan untuk alasan perlindungan diri dan sebagai
upaya untuk mengatasinya. Misalnya "Jika saya memotong diri saya sendiri, maka saya akan
merasakan kelegaan emosional." (Coray, 2016).

2.6.3 Pengaplikasian SB-CBT

Pengaplikasian saat ini untuk SB-CBT adalah (Coray, 2016):

(1) Add-on untuk CBT klasik

(2) Model empat langkah untuk membangun ketahanan dan kualitas positif lainnya

(3) Paradigma baru untuk kesulitan kronis dan gangguan kepribadian.

SB-CBT beroperasi sebagai tambahan pada CBT klasik ketika klien datang ke terapi
dengan tujuan untuk mengurangi masalah suasana hati (depresi, kecemasan, kemarahan),
perilaku (gangguan makan, penyalahgunaan zat) atau kesulitan lain (psikosis, hipokondriasis)

27
yang sudah mapan dan protokol CBT yang efektif. Dalam kasus tersebut, terapis SB-CBT
membantu klien mengidentifikasi kekuatan mereka dan mengandalkan ini kapan pun berguna
untuk memandu pilihan terapi (Coray, 2016).

Model empat langkah untuk membangun ketahanan menyediakan kerangka untuk


membangun yang positif kualitas (Padesky & Mooney, 2012). Empat langkah mereka adalah

(1) pencarian

(2) membangun,

(3) menerapkan, dan

(4) praktik.

Padesky dan Mooney menunjukkan bahwa biasanya ada hanya beberapa jalur umum
menuju gangguan psikologis, tetapi ada ribuan jalur menuju ketahanan. Daripada mengajari
klien cara-cara tertentu untuk menjadi tangguh, Padesky dan Mooney menyarankan agar
terapis menanyakan tentang aktivitas dalam kehidupan klien yang berjalan dengan baik dan
yang dilakukan klien secara teratur. Dalam aktivitas sehari-hari ini, klien termotivasi untuk
melakukan adalah area kekuatan. Pencarian kekuatan ini yang pertama ialah melangkah
dalam model mereka. Langkah kedua adalah menemukan hambatan apa yang ditemui klien
saat melakukannya kegiatan ini dan bagaimana mereka mengelola hambatan tersebut (Coray,
2016).

Ide utamanya adalah setiap orang menemui kendala dalam setiap aktivitas yang sering
dipraktikkan tetapi kami mengelola hambatan tanpa kita sadari itulah yang kita lakukan saat
kita menikmati aktivitas tersebut. Misalnya, Yusuf suka bermain video game. Dia
menggunakan berbagai strategi untuk mengelola hambatan saat terjadi dalam game dan dari
penyebab eksternal (seperti kehilangan file daya ke perangkat elektroniknya). Strategi Joseph
mencakup pemecahan masalah, pencarian bantuan dari teman, mengingatkan dirinya sendiri
bahwa "Saya pernah terjebak sebelumnya dan selalu ditemukan jalan melalui, ”dan musik
untuk menjaga energinya. Strategi-strategi ini dituliskan sebagai Personal Model of
Resilience (PMR) (Coray, 2016).

Langkah ketiga, ialah melibatkan terapis yang membantu Joseph secara kreatif
mempertimbangkan bagaimana dia dapat menerapkan PMR-nya agar tetap tangguh di area
yang lebih bermasalah dalam hidupnya, seperti kencan. Joseph membuat rencana tentang

28
bagaimana menggunakan strategi ini untuk membantunya bertemu orang yang dia ingin ajak
berkencan, mengajak mereka kencan, dan memecahkan berbagai kesulitan kencan daripada
sebelumnya terbukti menantang baginya di masa lalu (Coray, 2016).

Tahap keempat melibatkan Joseph melakukan serangkaian percobaan penanggalan


sementara dia berlatih mempertahankan fokus pada ketahanan. Kunci dari tahap terapi ini
adalah bahwa Joseph menetapkan tujuan untuk "tangguh dalam menghadapi tantangan",
bukan untuk berhasil saat berkencan. Karena tujuannya adalah untuk "tetap tangguh", dia
memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengalaminya kencannya dengan cara yang
positif. Meskipun dia dan teman kencannya tidak cocok, dia bisa merasa senang tentang tetap
tangguh. Ini dapat membantu Joseph merasa termotivasi apa pun yang terjadi. Seiring waktu,
ketahanannya akan diekspresikan baik dalam ketekunan (pemecahan masalah, mendapatkan
bantuan dari teman-teman) dan dalam penerimaan bahwa tidak setiap kencan akan menjadi
seperti dia ingin (tapi dia tetap bisa menikmati musik) (Coray, 2016).

Prinsip yang sama dapat digunakan untuk membangun kualitas positif lainnya seperti
altruisme, kreativitas, dan keberanian. Kuncinya adalah menemukan area kehidupan sehari-
hari orang tersebut dimana kualitas ini sudah terbukti. Misalnya, malah egois seseorang
mungkin sangat baik dan peduli pada hewan peliharaan atau teman tertentu. Dari ini
pengalaman sehari-hari, orang tersebut dapat dibantu untuk membangun Model Pribadi X
(misalnya, altruisme) dan kemudian pertimbangkan bagaimana menerapkan dan
mempraktikkan kualitas positif ini dalam pengaturan kehidupan lain (Coray, 2016).

Penerapan akhir dari SB-CBT adalah Paradigma BARU untuk masalah kronis dan
gangguan kepribadian. Pendekatan ini lebih komprehensif dan mengharuskan klien untuk
melakukannya dengan jelas membangun cara baru untuk merasa, berpikir, dan berperilaku
dalam hidup mereka. Empat langkah model ini adalah (Coray, 2016):

(1) Mengkonseptualisasikan Sistem operasi lama dan membantu klien memahami bahwa
mereka melakukan sesuatu "untuk alasan yang baik"

(2) membangun sistem baru tentang bagaimana klien ingin menjadi apa

(3) memperkuat sistem baru menggunakan eksperimen perilaku untuk mencoba tentang cara
baru menjadi dan mengeditnya sesuai kebutuhan

(4) manajemen kekambuhan.

29
Terapis membutuhkan pelatihan yang signifikan untuk mempraktikkan Paradigma
baru karena itu penting bahwa terapis tetap waspada untuk mengidentifikasi kapan Sistem
yang lama mengganggu klien untuk belajar. Terapis harus dapat membantu klien belajar dari
setiap pengalaman dan proses pembelajaran ini melalui sistem baru, bukan sistem yang lama
(Coray, 2016).

2.7 Modifikasi Perilaku Kognitif Donald Meichenbaum

Modifikasi perilaku kognitif (CBM) Donald Meichenbaum berfokus pada mengubah


pembicaraan-diri klien. Menurut Meichenbaum (dalam Coray, 2016), pernyataan diri
mempengaruhi perilaku seseorang sama seperti pernyataan yang dibuat oleh orang lain.
Sebuah premis dasar CBM adalah bahwa klien, sebagai prasyarat untuk perubahan perilaku,
harus memperhatikan bagaimana mereka berpikir, merasakan, dan berperilaku serta
dampaknya terhadap orang lain. Untuk perubahan yang terjadi, klien perlu mengganggu sifat
skrip perilaku mereka sehingga mereka bisa mengevaluasi perilaku mereka dalam berbagai
situasi (Meichenbaum, dalam Coray 2016).

Pendekatan ini berbagi asumsi dengan REBT dan terapi kognitif Beck bahwa emosi
yang mengganggu seringkali merupakan hasil dari pikiran yang maladaptif. REBT adalah
sebuah konseling yang lebih langsung dan konfrontatif dalam mengungkap dan membantah
pemikiran-pemikiran irasional, sedangkan pelatihan pembelajaran mandiri Meichenbaum
lebih berfokus pada membantu klien menjadi sadar akan pembicaraan diri mereka dan cerita
yang mereka ceritakan tentang diri mereka sendiri. REBT dan CT berfokus pada perubahan
proses berpikir, tetapi Meichenbaum menyarankannya mungkin lebih mudah dan lebih efektif
untuk mengubah perilaku kita daripada cara berpikir kita.

Lebih jauh, emosi dan pemikiran kita adalah dua sisi dari mata uang yang sama: jalan
kita merasa dapat memengaruhi cara berpikir kita, sama seperti cara kita berpikir dapat
memengaruhi cara kita merasa. Proses terapeutik terdiri dari mengajar klien untuk membuat
pernyataan diri dan melatih klien untuk mengubah instruksi yang mereka berikan kepada diri
mereka sendiri dapat mengatasi masalah yang mereka hadapi dengan lebih efektif.
Restrukturisasi kognitif memainkan peran sentral dalam pelatihan instruksional diri
Meichenbaum (Coray, 2016).

Dia menggambarkan struktur kognitif sebagai aspek pengorganisasian pemikiran,


yang memantau dan mengarahkan pilihan pikiran melalui "prosesor eksekutif" yang

30
"memegang cetak biru pemikiran ”yang menentukan kapan harus melanjutkan, mengganggu,
atau berubah berpikir. Bersama-sama, terapis dan klien mempraktikkan instruksi diri dan
perilaku yang diinginkan dalam situasi permainan peran yang mensimulasikan situasi
masalah di klien dalam kehidupan sehari-hari. Penekanannya adalah pada memperoleh
keterampilan koping praktis untuk situasi bermasalah seperti perilaku impulsif dan agresif,
kecemasan dalam situasi sosial, ketakutan akan mengambil tes, masalah makan, dan takut
berbicara di depan umum (Coray, 2016).

2.7.1 Langkah Perubahan Perilaku

Meichenbaum (Coray 2016) mengemukakan bahwa “perubahan perilaku terjadi


melalui urutan proses mediasi yang melibatkan interaksi pembicaraan batin, struktur kognitif,
dan perilaku dan hasil yang dihasilkannya ”. Dia menjelaskan bahwa terdapat tiga fase
perubahan di mana ketiga aspek tersebut saling terkait dan ia percaya bahwa fokus hanya
pada satu aspek mungkin tidak cukup.

Tahap 1: Pengamatan diri.

Klien belajar bagaimana mengamati perilaku mereka sendiri. Ketika klien memulai
terapi, dialog internal mereka ditandai dengan pernyataan diri dan citra negatif. Faktor
penting adalah kesediaan mereka dan kemampuan untuk mendengarkan diri mereka sendiri.
Proses ini melibatkan peningkatan kepekaan untuk pikiran, perasaan, tindakan, reaksi
fisiologis, dan cara mereka bereaksi terhadap orang lain. Jika klien yang depresi berharap
untuk membuat perubahan yang konstruktif. Misalnya, mereka harus terlebih dahulu
menyadari bahwa mereka bukanlah “korban” negatif dari pikiran dan perasaan. Sebaliknya,
mereka sebenarnya berkontribusi pada depresi mereka melalui hal-hal yang mereka katakan
pada diri mereka sendiri. Meskipun observasi diri diperlukan jika perubahan akan terjadi, itu
tidak cukup untuk perubahan (Coray, 2016).

Tahap 2: Memulai dialog internal baru.

Sebagai hasil dari klien awal kontak terapis, klien belajar memperhatikan perilaku
maladaptif mereka, dan mereka mulai melihat peluang untuk alternatif perilaku adaptif. Jika
klien berharap untuk mengubah apa yang mereka katakan pada diri mereka sendiri, mereka
harus memulai rantai perilaku baru, yang tidak sesuai dengan perilaku maladaptif mereka.
Klien belajar bahwa tekanan psikologis adalah akibat dari saling ketergantungan kognisi,
emosi, perilaku, dan konsekuensi yang dihasilkan. Dalam terapi, klien belajar untuk

31
mengubah dialog internal mereka yang berfungsi sebagai panduan untuk perilaku baru
(Coray, 2016).

Tahap 3: Mempelajari keterampilan baru.

Klien belajar mengganggu spiral ke bawah berpikir, merasa, dan berperilaku, dan
terapis mengajar klien lebih banyak cara adaptif untuk mengatasi menggunakan sumber daya
yang mereka bawa ke terapi. Klien mempelajari keterampilan koping yang lebih efektif, yang
dipraktikkan dalam situasi kehidupan nyata. Karena mereka berperilaku berbeda dalam
situasi, mereka biasanya menjadi berbeda dari reaksi orang lain. Stabilitas dari apa yang
mereka pelajari sangat dipengaruhi dengan apa yang mereka katakan kepada diri mereka
sendiri tentang perilaku baru mereka dan perilaku itu memiliki konsekuensi (Coray, 2016).

2.7.2 Pelatihan Stres Inokulasi

Penerapan khusus dari program keterampilan koping adalah mengajarkan stres klien
bagaimana teknik manajemen dengan cara strategi yang dikenal sebagai pelatihan inokulasi
stress. Hal ini meggunakan teknik kognitif, Meichenbaum (Coray, 2016) telah berkembang
bahwa stres prosedur inokulasi yang merupakan analog psikologis dan perilaku imunisasi
pada tingkat biologis. Individu diberi kesempatan untuk berurusan rangsangan stres yang
relatif ringan dengan cara yang berhasil, dan secara bertahap mengembangkan toleransi
terhadap rangsangan yang lebih kuat. Pelatihan ini didasarkan pada asumsi bahwa kami bisa
memengaruhi kemampuan kita untuk mengatasi stres dengan mengubah keyakinan dan
pernyataan diri kita tentang kinerja kami dalam situasi stres.

Inokulasi stres Meichenbaum berkaitan dengan lebih dari sekedar mengajar orang
keterampilan koping dengan khusus. Programnya dirancang untuk mempersiapkan klien
untuk intervensi dan memotivasi mereka berubah, dan berurusan dengan masalah seperti
resistensi dan kekambuhan. Pelatihan inokulasi stres adalah kombinasi dari pemberian
informasi, penyelidikan berorientasi penemuan, restrukturisasi kognitif, pemecahan masalah,
relaksasi pelatihan, latihan perilaku, pemantauan diri, instruksi diri, penguatan diri, dan
memodifikasi situasi lingkungan (Meichenbaum, dalam Coray 2016). Tujuan
kolaboratifditetapkan yang memelihara harapan, keterampilan tindakan langsung, dan
keterampilan koping berbasis penerimaan.

Keterampilan koping ini dirancang untuk diterapkan pada masalah saat ini dan
kesulitan masa depan. Klien dibantu dalam menggeneralisasi apa yang telah mereka pelajari

32
sehingga mereka bisa menggunakan keterampilan ini dalam kehidupan sehari-hari, dan
strategi pencegahan kekambuhan yang telah diajarkan. Meichenbaum (Coral, 2016)
menjelaskan pelatihan inokulasi stres sebagai intervensi perilaku kognitif yang kompleks,
multifaset, yang merupakan pendekatan pencegahan dan pengobatan.

Klien dapat memperoleh strategi yang lebih efektif dalam menghadapi situasi stress
dengan belajar bagaimana memodifikasi "set" kognitif mereka, atau keyakinan inti. Prosedur
berikut dirancang untuk mengajarkan keterampilan mengatasi ini:

1. Ekspos klien pada situasi yang memicu kecemasan melalui permainan peran dan citra
2. Mewajibkan klien untuk mengevaluasi tingkat kecemasan mereka
3. Ajari klien untuk menyadari kognisi yang memicu kecemasan mereka serta
pengalaman dalam situasi stress
4. Bantu klien memeriksa pemikiran ini dengan mengevaluasi ulang mereka pernyataan
diri
5. Minta klien mencatat tingkat kecemasan setelah evaluasi ulang ini

The Phases of Stress Inoculation Training, Meichenbaum (Coray, 2016) telah


merancang tiga model tahap untuk pelatihan inokulasi stres:

(1) konseptual-pendidikan fase

(2) fase akuisisi dan konsolidasi keterampilan, dan

(3) aplikasi dan fase tindak lanjut.

Selama fase konseptual-pendidikan, fokus utamanya adalah menciptakan aliansi


terapeutik dengan klien. Ini dilakukan dengan membantu klien mendapatkan pemahaman
yang lebih baik tentang sifat stres dan merekonseptualisasikannya dalam istilah interaktif
sosial. Awalnya, klien diberikan kerangka kerja konseptual dalam istilah sederhana yang
dirancang untuk mendidik mereka tentang cara-cara menanggapi berbagai situasi stres.
Mereka belajar tentang peran kognisi dan emosi dalam menciptakan dan memelihara stres
melalui presentasi didaktik, dengan pertanyaan penasaran, dan dengan proses penemuan diri
terpandu. Hubungan kolaboratif dibuat selama fase awal ini, dan bersama-sama mereka
memikirkan kembali stres yang dialami klien untuk memahami sifat alami dari masalah
tersebut (Coray, 2016).

33
Klien sering memulai pengobatan dengan perasaan bahwa mereka adalah korban dari
keadaan eksternal, pikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak dapat mereka kendalikan.
Sebagai jalan untuk memahami dunia subjektif klien, terapis umumnya memunculkan cerita
yang dikatakan klien pada diri mereka sendiri. Pelatihan termasuk mengajar klien untuk
menyadari peran mereka sendiri dalam menciptakan stres dan kisah hidup mereka. Mereka
memperoleh kesadaran ini dengan secara sistematis mengamati pernyataan yang mereka buat
secara internal maupun oleh memantau perilaku maladaptif yang mengalir dari dialog batin
ini.

Self-monitor terus berlanjut di semua fase. Seperti yang terjadi dalam terapi kognitif,
klien biasanya membuat buku harian terbuka di mana mereka memantau secara sistematis
dan catat pikiran, perasaan, dan perilaku spesifik mereka. Dalam mengajarkan koping
tersebut keterampilan, terapis berusaha untuk fleksibel dalam penggunaan teknik dan peka
keadaan individu, budaya, dan situasional klien mereka. Selama fase akuisisi dan konsolidasi
keterampilan, fokusnya adalah memberi klien berbagai keterampilan koping perilaku dan
kognitif untuk diterapkan pada situasi stres. Fase ini melibatkan tindakan langsung, seperti
mengumpulkan informasi tentang ketakutan mereka, belajar khususnya situasi apa yang
menyebabkan stres, mengatur cara-cara untuk mengurangi stress dengan melakukan sesuatu
yang berbeda, dan metode pembelajaran fisik dan psikis relaksasi.

Pelatihan ini melibatkan koping kognitif; klien diajari bahwa adaptif dan perilaku
maladaptif terkait dengan dialog batin mereka. Melalui pelatihan ini, klien memperoleh dan
melatih serangkaian pernyataan diri baru. Meichenbaum (Coray, 2016) memberikan beberapa
contoh pernyataan koping yang dilatih dalam fase SIT ini:

1. “Bagaimana saya bisa mempersiapkan diri untuk stresor?” ("Apa yang harus saya
lakukan? Dapatkah saya mengembangkan rencana untuk mengatasi stres? ")
2. “Bagaimana saya dapat menghadapi dan menghadapi apa yang membuat saya
stres?” ("Apa beberapa cara saya dapat menangani stresor? Bagaimana saya bisa
memenuhi tantangan ini? ”)
3. “Bagaimana saya bisa mengatasi perasaan kewalahan?” (“Apa yang bisa saya
lakukan dengan benar sekarang? Bagaimana saya bisa mengendalikan ketakutan
saya? ”)
4. “Bagaimana saya bisa memperkuat pernyataan diri?” (“Bagaimana saya bisa
memberikan diri saya sendiri kredit?")

34
Klien juga dihadapkan pada berbagai intervensi perilaku, seperti relaksasi pelatihan,
pelatihan keterampilan sosial, instruksi manajemen waktu, dan pembelajaran mandiri latihan.
Mereka dibantu untuk membuat perubahan gaya hidup dengan mengevaluasi kembali
prioritas, mengembangkan sistem pendukung, dan mengambil tindakan langsung untuk
mengubah situasi stres. Melalui pengajaran, demonstrasi, dan praktik terpandu, klien
mempelajari keterampilan relaksasi progresif dan praktikkan secara teratur untuk mengurangi
gairah akibat stres.

Selama fase aplikasi dan tindak lanjut, fokusnya adalah pada pengaturan yang cermat
untuk transfer dan pemeliharaan perubahan dari situasi terapeutik ke kehidupan sehari-hari.
Klien mempraktikkan pernyataan diri baru mereka dan menerapkan keterampilan baru
mereka setiap hari kehidupan. Untuk mengkonsolidasikan pelajaran yang dipetik dalam sesi
pelatihan, klien berpartisipasi berbagai aktivitas, termasuk perumpamaan dan latihan
perilaku, bermain peran, pemodelan, dan pemaparan in-vivo bertingkat. Begitu klien menjadi
mahir dalam kognitif dan keterampilan mengatasi perilaku, mereka mempraktikkan tugas
perilaku, yang menjadi semakin menuntut. Mereka diminta menuliskan tugas pekerjaan
rumah mereka bersedia menyelesaikannya. Hasil dari tugas ini dengan cermat diperiksa pada
pertemuan berikutnya, dan jika klien tidak menindaklanjutinya, terapis dan klien secara
kolaboratif mempertimbangkan alasan kegagalan tersebut.

Pencegahan kambuh, yang terdiri dari prosedur untuk menangani kemunduran yang
tak terhindarkan yang mungkin dialami klien saat mereka menerapkan apa yang mereka
pelajari. kehidupan sehari-hari, diajarkan pada tahap ini (Marlatt & Donovan, 2005). Klien
belajar untuk melihat apapun penyimpangan yang terjadi sebagai "kesempatan belajar" dan
bukan sebagai "kegagalan bencana."

Klien mengeksplorasi berbagai kemungkinan situasi berisiko tinggi dan stres yang
mungkin mereka alami kembali. Secara kolaboratif dengan terapis, dan dengan klien lain di
kelompok, klien berlatih dan berlatih menerapkan keterampilan yang telah mereka pelajari
untuk mempertahankan keuntungan yang telah mereka buat. Sesi tindak lanjut dan booster
biasanya berlangsung pada pukul 3.

Periode 6-, dan 12 bulan sebagai insentif bagi klien untuk terus berlatih dan
menyempurnakan keterampilan koping mereka. SIT dapat dianggap sebagai bagian dari
manajemen stres yang berkelanjutan program yang memperluas manfaat pelatihan ke masa
depan. Pelatihan inokulasi stres memiliki aplikasi yang berpotensi berguna untuk berbagai

35
variasi masalah dan klien dan untuk remediasi dan pencegahan. Aplikasi klinis SIT secara
individual disesuaikan dengan populasi target tertentu dan termasuk pengendalian amarah,
pengendalian nyeri, manajemen kecemasan, pelatihan pernyataan, peningkatan berpikir
kreatif, mengobati depresi, mengatasi masalah kesehatan, dan mempersiapkan untuk operasi.

Pelatihan inokulasi stres telah diterapkan pada pasien medis dan dengan pasien
psikiatri. Meichenbaum (Coray, 2016) berpendapat bahwa fleksibilitas format SIT telah
berkontribusi pada keefektifannya yang kuat. SIT telah berhasil digunakan dengan anak-anak,
remaja, dan orang dewasa yang memiliki masalah amarah, gangguan kecemasan, fobia,
ketidakmampuan sosial, kecanduan, alkoholisme, disfungsi seksual, penarikan sosial, atau
gangguan stres pasca trauma (PTSD), termasuk penggunaan dengan veteran yang mengalami
PTSD terkait pertempuran (Meichenbaum, dalam Coray, 2016).

Pendekatan Naratif Kognitif untuk Terapi Perilaku Kognitif, Meichenbaum


(Coray, 2016) menganut perspektif naratif kognitif, yang berfokus pada plot, karakter, dan
tema dalam cerita yang diceritakan orang tentang diri mereka sendiri dan lainnya tentang
peristiwa penting dalam hidup mereka. Terapis mendapatkan cerita dari klien mereka yang
dieksplorasi dalam proses terapi. Pendekatan ini dimulai dengan asumsi bahwa ada banyak
realitas. Salah satu tugas terapeutik adalah membantu klien menghargai bagaimana mereka
membangun realitas mereka dan bagaimana mereka menciptakan realitas cerita mereka
sendiri.

Meichenbaum mengklaim bahwa kita semua adalah "pendongeng" dan itu kita harus
menyadari cerita yang kita ceritakan pada diri kita sendiri dan orang lain. Misalnya, beberapa
klien mungkin melihat diri mereka sebagai "tahanan masa lalu" atau sebagai "korban yang
keras kepala". Frasa ini bukanlah metafora kosong; mereka adalah skema pengorganisasian
yang berwarna itu cara individu memandang diri mereka sendiri, dunia mereka, dan masa
depan mereka. Terapis membantu klien menghargai bagaimana mereka membangun realitas
dan memeriksa implikasi dan kesimpulan yang ditarik klien dari cerita mereka.

Menceritakan "sisa cerita" —apa yang mereka lakukan untuk bertahan dan mengatasi
— memperkuat kekuatan klien dan membantu mereka mengembangkan perilaku yang tahan
banting. Dengan cara ini, klien dapat beralih dari "korban keras kepala" menjadi "penyintas
yang ulet" dan mungkin "orang yang sukses secara mengesankan". Meichenbaum (Coray,
2016) bekerja secara kolaboratif dengan klien untuk mengembangkan keterampilan koping
yang diperlukan untuk mencapai tujuan pengobatan ini. Dia menggunakan pendekatan

36
berorientasi penemuan Socrates dan seni bertanya untuk membantu klien mencapai tujuan
mereka.

Meichenbaum (Coray, 2016) menggunakan pertanyaan-pertanyaan ini untuk


mengevaluasi hasil terapi:

1. Apakah klien sekarang dapat menceritakan kisah baru tentang diri mereka dan
dunia?
2. Apakah klien sekarang menggunakan metafora yang lebih positif untuk
menggambarkan diri mereka sendiri?
3. Apakah klien mampu memprediksi situasi berisiko tinggi dan menggunakan
keterampilan koping dalam menghadapi masalah yang muncul?
4. Apakah klien dapat menerima kredit atas perubahan yang mereka lakukan
membawa?

2.8 Terapi Perilaku Kognitif Dari Perspektif Multikultural

2.8.1 Kekuatan dari Keberagaman Perspektif

Pendekatan perilaku kognitif memiliki beberapa kekuatan dalam bekerja dengan


individu dari latar belakang budaya, etnis, dan ras yang beragam. Jika terapis memahami nilai
inti klien mereka yang beragam secara budaya, mereka dapat membantu klien
mengeksplorasi nilai-nilai ini dan mendapatkan kesadaran penuh akan perasaan mereka yang
saling bertentangan. Kemudian klien dan terapis dapat bekerja sama untuk mengubah
keyakinan dan praktik yang dipilih.

Terapi perilaku kognitif cenderung sensitif secara budaya karena menggunakan terapi
individu sistem kepercayaan, atau pandangan dunia, sebagai bagian dari metode eksplorasi
diri. Karena konselor dengan orientasi perilaku kognitif berfungsi sebagai guru, klien terlibat
aktif dalam mempelajari keterampilan untuk menghadapi masalah kehidupan. Saat berbicara
dengan rekan kerja yang bekerja dengan populasi yang beragam budaya, saya pernah
mengetahui bahwa klien mereka cenderung menghargai penekanan pada kognisi dan
tindakann serta stres pada masalah hubungan.

Pendekatan kolaboratif dari CBT menawarkan klien program terapi terstruktur,


namun terapis masih melakukan segala upaya untuk meminta kerja sama aktif dan partisipasi
klien. Menurut Spiegler (Coray, 2016), karena sifat dasarnya dan cara CBT dipraktikkan,

37
CBT secara inheren cocok untuk itu memperlakukan klien yang beragam. Beberapa faktor
yang diidentifikasi Spiegler yang membuat CBT keberagaman yang efektif termasuk
perlakuan individual, fokus pada lingkungan eksternal, sifat aktif, penekanan pada
pembelajaran, ketergantungan pada bukti empiris, perhatian dengan perilaku saat ini, dan
singkatnya. Kekuatan CBT adalah mengintegrasikan penilaian keyakinan klien, respons
emosional, dan pilihan perilaku selama terapi, yang mengomunikasikan rasa hormat untuk
sudut pandang klien tentang kemajuan mereka.

Hays (Coray, 2016) menegaskan ada "kesesuaian yang hampir sempurna" antara
terapi perilaku kognitif dan terapi multikultural karena perspektif ini memiliki kesamaan
asumsi yang memungkinkan integrasi. Aspek-aspek yang berkontribusi pada kerangka
integratif meliputi:

1. Intervensi disesuaikan dengan kebutuhan dan kekuatan unik dari individu.


2. Klien diberdayakan dengan mempelajari keterampilan khusus yang dapat mereka
terapkan setiap hari kehidupan (CBT) dan dengan penekanan pada pengaruh budaya
yang berkontribusi keunikan klien (terapi multikultural).
3. Sumber daya dan kekuatan klien diaktifkan untuk menghasilkan perubahan.
4. Klien membuat perubahan yang meminimalkan stres, meningkatkan pribadi kekuatan
dan dukungan, dan membangun keterampilan untuk menangani secara lebih efektif
dengan lingkungan fisik dan sosial (budaya) mereka.

2.8.2 Kekurangan dari Perspektif Keberagaman

Menjelajahi nilai-nilai dan keyakinan inti memainkan peran penting dalam semua
pendekatan perilaku kognitif, dan sangat penting bagi terapis untuk memiliki beberapa
pemahaman tentang latar belakang budaya klien dan peka terhadap perjuangan mereka.
Terapis REBT sebaiknya berhati-hati dalam memilih bahasa dan ekspresi saat menghadapi
klien tentang keyakinan dan perilaku mereka. REBT menyarankan bahwa tugas terapis
adalah membantu klien memeriksa secara kritis nilai-nilai budaya lama yang mengakibatkan
emosi atau perilaku disfungsional, tetapi potensi keterbatasan REBT adalah pandangan
negatifnya tentang ketergantungan.

Banyak budaya memandang saling ketergantungan diperlukan untuk kesehatan mental


yang baik. Klien dengan nilai-nilai budaya yang telah lama dijunjung yang berkaitan dengan
saling ketergantungan mungkin tidak merespons lebih disukai metode persuasi yang kuat

38
menuju kemerdekaan. Praktisi REBT dengan hati-hati memantau sikap, gaya, dan pilihan
kata mereka dan berkomunikasi jika memungkinkan dalam bahasa yang sesuai dengan
budaya klien.

Hays (Coray, 2016) mengemukakan bahwa terapis menghindari tantangan budaya inti
keyakinan klien kecuali jika klien secara jelas terbuka untuk ini. Dengan menekankan
kolaborasi daripada konfrontasi, seperti yang dilakukan oleh pendekatan perilaku kognitif,
terapis dapat menghindari kesan tidak sopan. Hays merekomendasikan menggambar
kekuatan klien yang terkait secara budaya dalam mengembangkan cara berpikir yang
bermanfaat menggantikan kognisi yang tidak membantu.

Misalnya, pertimbangkan klien Amerika keturunan Asia, Sung, dari budaya yang
menekankan nilai-nilai seperti melakukan yang terbaik, kerja sama, saling ketergantungan,
dan bekerja keras. Sung mungkin merasa bahwa dia membuat keluarganya malu jika dia akan
melalui perceraian, dan dia mungkin merasa bersalah jika dia melihatnya bahwa dia tidak
memenuhi harapan dan standar yang ditetapkan untuknya oleh keluarga dan komunitasnya.
Sung bisa terbantu untuk memikirkan bagaimana nilai-nilai budayanya kerjasama dan saling
ketergantungan memungkinkan keluarganya untuk mendukungnya selama perceraian yang
sulit.

Aturan untuk Sung kemungkinan besar akan berbeda dengan aturannya anggota laki-
laki dari budayanya. Konselor dapat membantu Sung dalam memahami dan mengeksplorasi
bagaimana gender dan budayanya menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan dalam dirinya
situasi. Jika Sung terlalu cepat dihadapkan pada hidup sesuai harapan atau aturan dari yang
lain, hasilnya cenderung kontraproduktif. Sung bahkan mungkin pergi konseling jika dia
merasa bahwa dia tidak dimengerti.

Penekanan CBT pada ketegasan, kemandirian, kemampuan verbal, rasionalitas,


kognisi, dan perubahan perilaku dapat membatasi penggunaannya dalam budaya yang
menghargai komunikasi halus atas ketegasan, saling ketergantungan atas kemandirian
pribadi, mendengarkan dan mengamati saat berbicara, dan penerimaan atas perilaku berubah
(Hays, dalam Coray 2016). Di CBT, fokusnya ada pada saat ini, yang bisa menghasilkan
terapis gagal mengenali peran masa lalu dalam perkembangan klien. Penilaian perilaku
kognitif melibatkan penyelidikan sejarah pribadi klien. Jika terapis tidak menyadari
keyakinan budaya klien, yang berakar di masa lalu, terapis mungkin mengalami kesulitan
menafsirkan pribadi klien mengalami secara akurat.

39
Batasan lain CBT dari perspektif multikultural melibatkan orientasi
individualistiknya. Seorang terapis yang tidak berpengalaman mungkin terlalu menekankan
kognitif restrukturisasi dengan mengabaikan intervensi lingkungan. Hays (2009)
menunjukkan bahwa keterbatasan potensial ini tidak menghalangi integrasi CBT dan
konseling multikultural. Sebaliknya, menyadari keterbatasan ini “memberikan peluang untuk
memikirkan kembali, menyempurnakan, beradaptasi, dan meningkatkan relevansi dan
efektivitas.psikoterapi”.

40
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Semua pendekatan perilaku kognitif menekankan pentingnya hubungan antara proses


kognitif, emosi, dan perilaku. Diasumsikan bahwa bagaimana perasaan orang dan apa yang
sebenarnya mereka lakukan sebagian besar dipengaruhi oleh penilaian subjektif dan
interpretasi situasi mereka. Karena penilaian situasi kehidupan ini dipengaruhi oleh
keyakinan, sikap, asumsi, dan dialog internal, kognisi semacam itu menjadi fokus utama
terapi.

REBT Ellis Salah satu kekuatan REBT adalah fokus mengajar klien cara untuk
melanjutkan terapi mereka sendiri tanpa intervensi langsung dari terapis. Konsep utama
Beck's Cognitive Therapy Beck memiliki kesamaan dengan REBT tetapi berbeda dalam
menjadi empiris daripada diturunkan secara filosofis, proses di mana terapi berlangsung, dan
formulasi dan pengobatan untuk gangguan yang berbeda. Padesky dan Mooney's Strengths-
Based CBT Beck's CT telah semakin diperluas dengan pendekatan CBT berbasis kekuatan
Padesky dan Mooney. Selain menggabungkan kekuatan pada setiap fase perawatan, SB-CBT
telah berhasil memasukkan berbagai modalitas termasuk citra, metafora, cerita, dan
pengalaman tubuh kinestis ke dalam repertoar intervensi CBT yang luas. Perilaku Kognitif
Meichenbaum Modifikasi pekerjaan Meichenbaum dalam selfinstruction dan pelatihan
inokulasi stres telah berhasil diterapkan pada berbagai populasi klien dan masalah spesifik.

Kontribusi dari semua pendekatan perilaku kognitif adalah penekanan pada


menempatkan wawasan yang baru diperoleh ke dalam tindakan. Pekerjaan rumah sangat
cocok untuk memungkinkan klien untuk mempraktikkan perilaku baru dan membantu mereka
dalam proses mempelajari keterampilan mengatasi yang lebih efektif.

3.2 Saran

Penulis menyadari banyak terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah ini, maka
penulis mengharapkan masukan dan kritikan dari para pembaca untuk kebaikan dan
pengembangan makalah ini dengan baik kedepannya.

41
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. (2017). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, 10thEdition.
United States: CENGANGE Learning

42

Anda mungkin juga menyukai