Anda di halaman 1dari 26

Makalah Pendidikan Agama

Mazhab-Mazhab dalam Syariat Islam

Disusun oleh:

Nama : Khairunnisa

Bp : 1810321028

DALAM RANGKA MENGIKUTI PELAJARAN AGAMA

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

TH 2018/2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Panyayang, Kami ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,

yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga

kami dapat menyelesaikan makalah klasifikasi bidang psikologi

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan

bantuan dari berbagai sumber buku, jurnal dan sumber lainnya

sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Karena keterbatasan pengetahuan maupun

pengalaman kami, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.

Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran

dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini

menjadi lebih baik.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang klasifikasi bidang

psikologi ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap

pembaca.

Padang, September 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….. i

DAFTAR ISI………………………..………………………………..…………………ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………..……………………..1

1.1 Latar Belakang…………………………………….………..……………….1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………...………...….2

1.3 Tujuan Pembahasan………...………………………………………………..2

BAB II MAZHAB-MAZHAB DALAM ISLAM……………………….……………..3

2.1 Pengertian Mazhab………………………………….................……….........3

2.2 Latar Belakang Lahirnya Mazhab ………………………………...………...4

2.3 Sejarah Perkembangan Mazhab…………………………………….……….8

2.4 Macam-Macam Mazhab………………………………………...…....……..11

2.5 Perbedaan Mazhab-Mazhab………………………........................………...18

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………….21

3.1 KESIMPULAN .............................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..........23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hukum-

hukum islam diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Begitu banyaknya hukum islam,

hingga banvak ulama yang memberikan penjelasan tentang hukum-hukum itu.

Akhirnya, hukum islam ini terbagi dalam beberapa mazhab, yang kita kenal sekarang.

Mazhab secara bahasa berarti jalan yang dilalui dan dilewati sesuatu yang menjadi

tujuan seseorang. Sedangkan menurut para ulama dan ahli agama islam, mazhab adalah

metode (manhaj) yang dibuat setelah melalui pemikiran dan penelitian sebagai pedoman

yang jelas untuk kehidupan umat. Lain lagi menurat para ulama fiqih. Menurat mereka,

yang dimaksud dengan mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani

oleh seorang ahfi fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang

mengantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.

Sebenamya mazhab dalam islam cukup banyak. Hal mi karena begitu banyaknya ulama-

ulama sejak masa para sababat yang berijtihad. Namun dari sekian banyak mazhab yang

ada tersebut, hanya sedikit yang mampu bertahan dan masih terus dijadikan panduan

hingga saat ini. Mazhab yang digunakan saat ini terbagi atas dua kelompok besar, yaitu

mazhab golongan Sunni (Ahlus-sunnah wal Jamaah) dan mazhab golongan Syi'ah.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian mazhab?

2. Bagaimana latar belakang lahirnya mazhab?

3. Bagaimana sejarah perkembangan mazhab?

4. agaimanaa macam-macam mazhab?

5. Bagaimana perbedaan mazhab-mazhab?

C. Tujuan Pembahasan

1. Dapat memahami pengertian mazhab

2. Dapat mengetahui latar belakang lahirnya mazhab

3. Dapat memahami sejarah mazhab

4. Dapat menjelaskan macam-macam mazhab

5. Dapat menjelaskan perbedaan mazhab-mazhab

2
BAB II

Mazhab-Mazhab dalam Islam

A. Pengertian Mazhab

Kata-kata madzhab adalah merupakan shighat (bentuk) isim makan (kata yang

menunjukkan tempat) yang terambil dari Fi‟il Madhi Dzahaba ( )‫ذهب‬yang memiliki arti

pergi. Untuk itu madzhab berarti: tempat pergi atau jalan. Adapun kata lain yang

semakna dengan madzhab ini adalah: Maslak ( ,) ‫مسلك‬tharîqah ( ) ‫طريقة‬dan sabîl ( ) ‫سبيل‬

yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Demikianlah kata madzhab dalam pengertian

bahasa.

Madzhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam : Sejumlah fatwa-fatwa dan

pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun

lainnya. Sedangkan menurut Siradjuddin Abbas madzhab adalah “Fatwa atau pendapat

seorang imam mujtahid”.3 Dalam buku yang sama Syeikh M.Said Ramadlan al-Buthi

menandaskan bahwa pengertian madzhab menurut istilah ialah jalan

pikiran/paham/pendapat yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid di dalam

menetapkan suatu hukum Islam dari al-Qur`an dan al-Hadits.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan

bahwa yang dimaksud dengan madzhab itu mengandung dua pengertian yaitu: Pertama,

madzhab berarti jalan pikiran atau metode ijtihad yang ditempuh seseorang imam

mujtahid dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa berdasarkan al-Qur`an dan as-

sunnah. Kedua, madzhab dalam arti fatwa-fatwa atau pendapat-pendapat seorang imam

3
mujtahid tentang suatu hukum terhadap suatu masalah yang digali dari al-Quran dan al-

hadist.

B. Latar Belakang Timbulnya Mazhab

Latar Belakang Timbulnya Mazhab Imam Yahya (2009: 32-34) dalam bukunya

Dinamika Ijtihad NU mendasarkan paling tidak ada dua pandangan dalam melihat

realitas sosial timbulnya mazhab hukum dalam Islam, yaitu dalam perspektif politik dan

perspektif teologi.

1. Perspektif politik, pengaruh peristiwa politik dengan perkembangan fikih terjadi

pada abad II H sejak akhir pemerintahan Bani Umayyah hingga masa munculnya

khalifah Bani Abasiyyah. Kemudian pada masa Bani Abbasiyah ulama dibagi menjadi

dua kelompok, yaitu kelompok ulama Kuffah dan Madinah, di mana pemerintahan Bani

Abasiyah lebih mendukung pada kelompok ulama Kuffah. Setelah itu pada abad III H

kelompok ulama tersebut lebih mengarah pada penokohan pribadi ssebagai contoh:

Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (terkenal dengan fikih personal). Awal

abad ketiga hijriyah ini telah berkembang di masyarakat muslim lebih dari lima ratus

mazhab, namun yang mampu bertahan hanya ada beberapa mazhab yang berkembang,

di antaranya Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali, Zaidiyah, Imamiyah, dan

Ibadiyah (Imbabi, tt: 140).

Selanjutnya Huzaemah Tahido Yanggo (1997: 76) mengelompokkan fikih pada pada

mazhab:

a) Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah: (1) ahl al-Ra’yi dikenal dengan Mazhab Hanafi, (2) ahl

al-Hadits dikenal dengan Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali.

4
b) Syi’ah: Syiah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah

c) Khawarij

d) Sedangkan Mazhab yang telah musnah yaitu: Mazhab al-Auza’I, al-Zhahiri, al-

Thabari, dan al-Laitsi

2. Perspektif teologi, Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 122

sebagai berikut:

ِ ‫طائِفَةٌ ِليَتَفَ َّق ُهوا فِي الد‬


‫ِين َو ِليُ ْنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم إِذَا َر َجعُوا‬ َ ‫َو َما َكانَ ْال ُمؤْ ِمنُونَ ِليَ ْن ِف ُروا كَافَّةً ۚ فَلَ ْو ََل نَفَ َر ِم ْن ُك ِل فِ ْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم‬

َ‫إِلَ ْي ِه ْم لَعَلَّ ُه ْم يَحْ ذَ ُرون‬

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk

memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan

kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat

menjaga dirinya.

AyatAyat tersebut menjelaskan dua kelompok dalam setiap golongan untuk memahami

ajaran agama dan pengalamannya. Pertama, bagian kecil dari golongan umat yang

mendalami agama, setelah selesai dari usahanya, mereka memiliki tugas kewajiban

mengajarkan ilmu pengetahuan kepada umatnya. Kedua, bagian besar dari golongan

umat yang tidak mendalami agama, dengan demikian dalam hal agama mereka

mendapatkan pengajaran dari golongan pertama. Golongan pertama ini disebut sebagai

mujtahid, sementara golongan yang kedua disebut sebagai golongan awam. Golongan

awam ini sudah semestinya mengamalkan agamanya melalui bertanya pada golongan

5
mujtahid yang lebih mengetahui soal agama. Sebagaimana Allloh SWT juga berfirman

dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 43 berikut:

َ‫الذ ْك ِر إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ََل تَ ْعلَ ُمون‬ ِ ُ‫س ْلنَا ِم ْن قَ ْبلِكَ ِإ ََّل ِر َج ًاَل ن‬
ِ ‫وحي ِإلَ ْي ِه ْم ۚ فَا ْسأَلُوا أ َ ْه َل‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬

Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang

kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai

pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui,[828] Yakni: orang-orang yang

mempunyai pengetahuan tentang nabi dan kitab-kitab.

Berarti ada perhatian khusus terhadap orang yang tidak tahu untuk menanyakan kepada

orang yang tahu. Hal ini agar sebanding amalan yang dijalankan orang yang bertanya

sama sebagaimana dengan orang yang ditanya. Syarifudin (2002: 102-103) menjelaskan

golongan awam yang bertanya sebagian kecil memiliki pemahaman dan kemampuan

menganalisa serta menyaring jawaban yang diberikan oleh orang yang ditanya (mufti)

untuk diamalkan. Sering kali sebagian besar mereka yang bertanya (mustafti) mengikuti

apa saja yang dikatakan oleh mufti istilah ini dalam ushul fikih dikenal dengan istilah

muqallid, sedangkan usaha mengikutinya dinamakan taqlid.

Ibnu Qayyim pengikut dari mazhab Hanafi menjelaskan tidak ada keharusan untuk

mengikatkan diri pada imam mujtahid tertentu dalam segala aspek, ia dapat bertanya

dengan pendapat yang ia senangi. Bila dalam suatu masalah ia mengikuti imam yang

satu, pada masalah lain ia boleh bertanya dan mengikuti mujtahid lain. Hal ini tidak ada

keharusan untuk mengikuti mazhab tertentu.

Sementara di sisi lain berbeda halnya dalam mempertahankan eksistensi konsistensi

bermazhab. Para murid dan pengikutnya berusaha semaksimal mungkin agar orang

6
yang telah berada dalam mazhab itu tidak keluar dari mazhabnya. Di kalangan mazhab

Syafi’i menjelaskan “bila seorang awam mengikuti dan mengamalkan fatwa imam

mujtahid dalam permasalahan fikih ia tidak boleh meninggalkan mazhab dan beralih

mengikuti mazhab lain.” Ibnu Subki memaparkan sekalipun pada mulanya tidak ada

keharusan berpegang pada satu mazhab, akan tetapi ia telah bersedia untuk berpegang,

selanjutnya ia tetap mengikuti pendapat mujtahid dan tidak boleh keluar (Syarifuddin,

2002: 105-106).

Ibnu Subki memberikan alternatif bagi yang ingin meninggalkan dan keluar dari

mazhab lain secara keseluruhan dan mengikuti mazhab lain secara keseluruhan. Ia

menutup sama mencampuradukkan mazhab yakni beramal dalam satu mazhab dan

dengan beberapa mazhab yang berbeda disebut talfiq. Hal ini juga ditolak imam Syafi’i

kalau alasannya demi untuk mencari kemudahan dalam beramal. Berbeda pula dengan

berpegang teguh pada satu mazhab yang ditetapkan pada suatu tempat yang suatu waktu

akan mendatangkan kesulitan. Sebagai contoh dalam literatur mazhab Syafi’i yang

menjelaskan tentang bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim

hukumnya membatalkan wudhu. Thawaf mengelilingi ka’bah memiliki kedudukan

sebagaimana sholat yang harus suci dari hadats kecil maupun besar. Saat pelaksanaan

thawaf puluhan orang itu sangat mungkin tidak membatalkan, namun bila

pelaksanaannya jutaan orang bagaimana melindungi dari batalnya wudhu yang

diakibatkan bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Solusinya yaitu meninggalkan

pendapat yang selama ini diikuti dan berpindah ke pendapat yang mengatakan wudhu

tidak batal, karena bersentuhan sebagaimana yang diutarakan imam Hanafi.

7
Selanjutnya pada hal lain dari pembacaan munculnya mazhab di atas, penulis menutip

dalam bukunya Yahya (2009: 33) menjelaskan para sejarahwan Islam memandang

bahwa dinamika fikih tidak terlepas dari wacana teologi. Diskursus antara rasionalitas

dan tradisional yang dikenal dalam ilmu kalam, mulai banyak digunakan dalam hukum

Islam. Paham rasionalis memiliki corak liberal mempertahankan waktu sebagai daktrin

utama, meski kreatifitas rasio menempati tempat tertinggi sebagai pemicu dinamika

hukum Islam. Paham rasionalis ini dikembangkan oleh Wasil bin Atha, di mana paham

ini mendapatkan tempat pada masa pemerintahan Abbasiyyah-al-Makmun. Faham ini

menjadi faham resmi Negara, sehingga paham lain tidak mendapatkan tempat

kesempatan alias tidak boleh tumbuh. Puncak pemusnahan pemahaman ini ada.

C. Sejarah Perkembangan Mazhab

Abu Ameenah Philips (2005:xvii) membagi perkembangan Abu Ameenah Philips

(2005:xvii) membagi perkembangan fiqih secara tradisional dibagi dalam enam tahap:

(1) Masa Fondasi, masa Nabi Muhammad (609-632 M), (2) Masa Pembentukan, masa

khulafaurrasyidin, sejak wafatnya nabi Muhammad sampai pertengahan abad ke-7 M

(632-661 M). (3) Masa Pembangunan, sejak masa bani Umayyah 661 M sampai

kemundurannya pada pertengahan abad X M, (4) Masa Perkembangan, dari berdirinya

dinasti Abbasiyah pasca pertengahan abad ke-10, (5) Masa Konsolidasi, runtuhnya

dinasti Abbasiyah sejak sekitar 960 M sampai pembunuhan khalifah Abbasiyah terakhir

di tangan orang Mongol pada pertengahan abad ke-13 M, (6) Stagnansi dan

Kemunduran, sejak penjaran kota Baghdad 1258 M sampai sekarang.

8
Tahapann masa yang tertulis di atas, menjelaskan bahwa sebenarnya mazhab ini

berhubungan dengan fiqih, pada masa pertama Nabi Muhammad SAW dan masa kedua,

istilah fiqih belum begitu dikenal perbedaaannya dengan ‘ilmu, meski dalam masa pra-

Islam, fiqih berbeda dengan ‘ilmu. Dalam arti yang luas, kedua kata ini dapat

dipertukarkan pemakaiannya, namun fiqih tidak pernah kehilangan intelektualnya.

Sebuah riwayat menjelaskan bahwa dihadapkan Umar bin Khattab para fukaha tidak

berani angkat bicara, karena umar melebihi mereka dalam fiqih (kecerdasannya) dan

‘ilmu (pengetahuan) yang dimilikinya (Hassan, 1994:6).

Akhirnya istilah fiqih dipergunakan secara eksklusif dalam permasalahan hukum Islam,

Abdullah Ibnu al-Mubarak (w.181 H) telah mengumpulkan ilmu Hadits dalam sebuah

buku dan menyusunnya dalam urutan topik hukum fiqih (Hasan, 1994:10).

Selanjutnya pada masa tabi’in-tabi’in mulai awal abad kedua hijriyah, kedudukan

ijtihad sebagai istinbath hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itu

muncullah mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam, baik dari golongan ahl al-

Hadits, maupun dari golongan ahl al-Ra’yi. Di kalangan jumhur masa ini muncul

Sembilan Imam mazhab yang paling popular melembaga di kalangan umat Islam.

Berikut pembukuannya mulai dimodifikasikan dengan baik (Yanggo, 1997:72).

Dimulai pada abad ke-8 M, sejumlah pakar memberi sumbangan luar biasa kepada

disiplin ilmu fiqih, sehingga merangsang kemunculan berbagai tradisi atau mazhab.

Pakarpakar terpenting dalam tradisi tradisi Sunni antara lain: Abu Hanifah, Malik ibn

Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal, yang dinisbahkan

9
kepada mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (Esposito, 2002:192) dan dibagian

berikutnya akan penulis deskripsikan manhaj sumber hukum beserta mazhab lainnya.

Dalam perjalanannya aliran fiqih ini tumbuh dan berkembang hingga sekarang

dimungkinkan karena adanya dukungan penguasa. Mahzab Hanafi berkembang saat

Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qodli dalam tiga pemerintahan

Abbasiyah, yaitu khalifah al-Mahdi, al-Hadi, dan Harun al-Rasyid (dengan kitab al-

Kharaj disusun atas permintaannya). Mazhab Malik berkembang atas dukungan al-

Mansur di Khalifah Timur dan Yahya bin Yahya diangkat menjadi qodli oleh para

penguasa Andalusia. Di Afrika, Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk mengikuti

mazhab Maliki. Mahzab Syafi’i membesar di Mesir setelah Shalahuddin al-Ayyubi

merebut negeri itu. Mazhab Hanbali kuat setelah alMutawakkil diangkat menjadi

Khalifah Abbasiyah. Ketika itu, al-Mutawakkil tidak akan mengangkat seorang qadli

kecuali atas persetujuan Ahmad bin Hanbal (Mubarok, 2000:132-133).

Hukum Islam bermula dari pendapat perseorangan terhadap pemahaman nash atau

pendapat perseorangan tentang upaya penemuan hukum terhadap sesuatu kejadian yang

ada. Lalu pendapat ini diikuti oleh orang lain atau murid yang jumlahnya banyak,

kemudian menjadi sebuah metode dalam pendapat yang dianggap baku dan disebutlah

mahzab. Kemudian dikaitkan dengan berkembangnya di daerah tertentu, seperti mazhab

Hijazi, Iraq, Syam, Madinah, Makkah, Mesir, dan lainnya. Dalam perkembangannya

muncul mazhab perseorangan (Azizi,2002:21-22). Seluruh mazhab tersebut tersebar ke

seluruh pelosok Negara yang berpenduduk muslim. Dengan tersebarnya mazhab-

mazhab tersebut, tersebar pula syari’at Islam ke pelosok dunia yang dapat

mempermudah umat Islam untuk melakukannya. Di samping empat mazhab di atas,

10
seperti dinasti Fatimiyah melestarikan mazhab Isma’iliyah dan lainnya. Itulah mengapa

mazhab fiqih ini ada yang berkembang dan ada juga yang musnah, mereka mendapat

pengikut yang menjalankannya. Namun, dikalahkan mazhab yang dating kemudian.

Seperti Mazhab Auza’i dan sebagainya.

Seiring di tengah-tengah pesatnya perhatian ulama terhadap fiqih dan munculnya

kajian-kajian fiqih dimanamana, pada awal tahun 300-an H, mulai terjadi pemasungan

berpendapat. Khalifah al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq, berusaha keras

memaksakan ideology mu’tazilah, padahal para ulama dan fukaha berada di luar

dukungan itu, dan bahkan mereka mengancam al-Makmun atas dukungannya terhadap

Mu’tazilah. Sebagaimana Dr. Farouq Abu Zaid melukiskan kondisi fiqih saat itu, bahwa

kondisi islam mengalami kerapuhan sejak abad 14 M, sampai jatuhnya Baghdad

membawa pula rapuhnya kondisi fiqih. Akibatnya pintu Ijtihad tertutup dan terbelenggu

akal pikiran. Ini akibat logis dari hilangnya kebebasan berpikir dan kesibukan

massyarakat dalam kehidupan matrealistis. Berkembanglah semangat taaklid di

kalangan fukaha, dalam menghadapi masalah kasus hukum, mereka tidak menggunakan

akal pikiran, tetapi lebih mengikat pada pendapat-pendapat ulama pendahulunya

(Sirry,1996:128).

D. Macam-Macam Mazhab

1. Mazhab Hanafi

Mazhab ini dinisbatkan kepada pendirinya; yaitu Abu Hanifa an-Nu'man bin Tsabit bin

Zauti At-Taimi al-kufi.

Biografi Abu Hanifa

11
Dilahirkan di Kufah tahun 80H, meninggal di Baghdad pada tahun 150H. Beliau

tumbuh dalam keluarga pedagang, namun ketekunannya yang tinggi dalam mempelajari

agama mengantarkannya dalam kedudukan yang tinggi di kalangan para ulama.

Dikenal sebagai kalangan tabi'it tabi'in (generasi sesusadah tabi'in) meskipun pada

masanya ada kalangan para sahabat yang masih hidup, namun beliau belum sempat

untuk menemuinya dan berguru kepadanya. Maka beliau berburu pada beberapa orang

tabi'in yang sempat berguru pada sahabat Radhiallahu Anhum ajma'in.

Dasar–dasar pokok dari mazhab Hanafi berpegang pada :

1) Al Qur’an;

2) Sunnah Rasul SAW beserta peninggalan-peninggalan

sahih yang telah masyhur di antara para ulama;

3) Fatwa-fatwa para sahabat;

4) Qias;

5) Istihsan; Secara bahasa istihsan berarti menganggap

baik sesuatu (hasan), adalah salah satu cara menetapkan hukum di kalangan ahli ushul

fikih. Melalui metode istihsan, seorang mujtahid meninggalkan hukum yang didasarkan

atas qias jali (analogi yang jelas persamaan illatnya) ke hubungan baru yang

berdasarkan atas qias khafi (persamaan illatnya tersamar) atau dari hukum yang

didasarkan pada dalil kulli (alasan yang bersifat umum) ke hukum yang didasarkan atas

dalil juz’i (alasan yang bersifat khusus). Salah satu contoh mengqiaskan wakaf kepada

sewa-menyewa dan tidak kepada jual-beli, karena lebih mengutamakan segi

12
kemanfaatannya daripada segi perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih

tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan dikalangan ulama Hanafiyah sebagai

salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan ulama Syafi’iyah.

6) pendapat sahabat

7) syar'u man qoblana (Syariat sebelum masa Rasulullah) dll

Wilayah penyebaran mazhab:

Saat ini, mazhab hanafi banyak tersebar di Afghanistan, Pakistan, India, Mesir, dan

negara-negara asia pada umumnya.

2. Mazhab Maliki

Adalah mazhab yang di nisbatkan kepada: Imam Malik bin Anas bin Malik bib Abi

Amir al-ashbahy al-madani.

Biografi Imam Malik

Beliau dikenal sebagai Imam daarul hijroh fil fiqh wal hadist (pemimpin kota Madinah

dalam masalah Al-Qur’an dan hadits). Dilahirkan di Madinah Munawaroh tahun 93H,

dan wafat tahun 179H. Lahir pada keluarga ulama, kakeknya adalah seorang sahabat

mulia bernama abu amir yang ikut semua peperangan bersama Rasulullah kecuali

perang badar.

Sumbangan yang paling berharga dalam bidang Sunnah adalah kitab muaththa yang

menyusunnya membutuhkan waktu empat puluh tahun. Karena itiu beliau dikenal

dengan peletak dasar pembukuan hadist. Bahkan periwayatan beliau dari Rasulullah

13
dalam ilmu hadist yang dikenal dengan as-silsilah adz dzahabiyah (rangkaian emas),

karena sanadnya dikatakan paling sahih.

Imam Malik dikenal kuat pendiriannya dalam agama, tidak tergiur dengan dunia dan

tidak takut penguasa.

Dasar-dasar pokok dari Mazhab Maliki yaitu berpegang pada:

1) Al Qur’an;

2) Sunnah Rasul SAW yang dipandang sah;

3) Ijma’ Ahl Madinah (kadang menolak hadits yang berlawanan atau tidak diamalkan

oleh para ulama Madinah);

4) Qias (kias / analogi / membandingkan);

5) Istislah. (istilah fikih, yaitu pendapat bahwa sesuatu

Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk kepentingan dan keperluan umum)

6) perbuatan pemduduk madina (amal ahli Madina)

Wilayah pemyebaran Mazhabnya:

Mazhab maliki sudah banyak terdapat di Daratan mesir dan sudan.

3. Mazhab syafi'i

Biografi Imam Syafi’i

Mazhab ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Idris bin al-abbas bin Utsman bin syafi'

bin as-Shaa'ib bin Abdullah bin Ubaid bin Hasyim bin al-Muththalib bin abdu Manaf

14
bin Qushai al-Qurasyi al-muthlabi al-Hijazi al-Malikki. Kemudian lebih dikenal dengan

Imam Syafi’i. Nasab keturunannya bertemu Rasulullah pada abdu Manaf.

Imam Syafi’i dilahirkan di kota Gaza(Palestina) pada tahun 150H, dan wafat di negeri

Mesir pada tahun 204H. Sejak kecil sudah tampak kecerdasannya. Setelah hafal Al-

Qur’an pada usia tujuh tahun, dia menghafal kitab muaththa dari karya Imam Malik

pada usia sepuluh tahun.

Oleh syaikhnya; Muslim bin Khalid sudah diizinkan memberikan fatwa pada usia lima

belas tahun, ada juga yang mengatakan pada usia delapan belas tahun.

Kitab “ar-risalah” yang dikarangny dikenal sebagai kitab pertama yang membahas

tentang Ushul Fiqh, dan kemudia dia dikenal sebagai peletak ilmu Ushul Fiqh. Beliau

juga mengarang kitab al-umm pada bidang Ushul Fiqh.

Dasar-dasar atau asas-asas pokok mazhab Syafi’i berpegang pada:

1) Al Qur’an;

2) Tafsir lahiriahnya Al Qur’an selama tak ada dalil yang menegaskan bahwa yang

dimaksud bukan lahiriahnya; Imam Syafi’i pertama sekali selalu mencari alasannya dari

Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.

3) Sunnah Nabi SAW; Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak

ditemukan rujukan dari Al-Qur’an. Imam Syafi’i sangat kuat pembelaannya terhadap

sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).

4) Ijma’ ,hukum yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits, keputusan diambil alim-

ulama dan atas kata sepakat (tidak diketahui ada perselisihan tentang sesuatu); Ijma’

15
para Sahabat Nabi, yang tak diketahui pula ada perselisihan tentang hal itu. Ijma' yang

diterima Imam Syafi’i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan

kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena

menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.

5) Qias (ditolak dasar istihsan dan dasar ihtislah). Kias yang dalam Ar-Risalah disebut

sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam

Syafi’i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum

Islam.

6) Istidlal, adalah suatu istilah fikih, yakni mencari atau menegakkan dalil daripada

penetapan akan dan kesimpulan-kesimpulannya atau dari seseorang yang

mengetahuinya, yang dipandang sebagai ushul fikh.

7) Istishab (suatu istilah fikih), yaitu mencari hubungan, sambungan, berusaha

menghubungkan sesuatu dengan keadaan sebelumnya. Berarti membawa serta sesuatu

yang telah ada di masa lalu ke masa sekarang. Istishab merupakan salah satu pegangan

dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang tegas dari Al Qur’an,

Sunnah, Ijma maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan

suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa

hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal hukum

segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi hal-hal baru yang

illatnya tidak ditemukan. Salah satu dasar pokok mazhab Syafi’i. Sebagian ulama

terutama dari kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam

menetapkan hukum).

16
Wilayah penyebaran mashabnya:

Wilayahnya terdiri dari Mesir, Palestina, Yaman, sedikit terdapat di Irak, Pakistan, Arab

Saudi yang merupakan mazhav yang di anut mayoritas penduduk di Indonesia,

Malaysia dan Brunei Darussalam dan negeri sekitar asia tenggara.

4. Imam Hambali

Biografi Imam Hambali

Beliau dilahirkan di kota Baghdad (irak) tahun 164H, bapakmya meninggal saat dia

berusia tiga tahun. Sejak kecil beliau sudah berkelana mencari ilmu, ke Basrah, Kufah,

Syam, Jazirah Arab, Mekkah, Madina dan Yaman.

Dasar-dasar pokok mazhab Hambali berpegang pada:

1) Al Qur’an;

2) Hadits Marfu’;

3) Fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa sahabat yang lebih dekat pada Qur’an dan

Sunnah, diantara fatwa-fatwa yang berlawanan;

4) Hadits Mursal dan hadits Da’if, ialah hadits yang derajatnya kurang daripada sahih;

5) Qias (kias / analogi / membandingkan).

Wilayah penyebaran mazhab:

Wilayah penyebatan mazhab banyak di Jazirah arab, Mesir, serta di Damaskus.

5. Imam zahiru

17
Imam Dawud (815-833 M), Abu Salman Dawud bin Ali bin Khalaf al-Ashbihani yang

terkenal dengan azh-Zahiri lahir di Kufah. Metodologinya mengamalkan Zhahir al-

Qur’an dan Sunah selagi tidak ada dalil yang menunjukkan dari keduanya atau dari

Ijma’, qiyas ditolaknya. Ia berkata: “Bahwa keumuman nash al-Qur’an dan Sunah

terdapat terdapat sesuatu yang dapat menjawab dengan sempurna”. Mazhab ini terus

diikuti sampai abad ke-5 Hijriyah, kemudian surut. Pendapatnya banyak bertentangan

dengan dengan jumhur ulama’, karena pendapatnya tidak berdasar pada qiyass ra’yu,

dan mengamalkan zhahir al-Qur’an dan Sunah. Salah satu pendapatnya talak dan ruju’

tidak sah tanpa adanya persaksian dua orang saksi yang adil (Bik, t.t:452-455).

E. Perbedaan Mazhab-Mazhab

1. Perbedaan Arti dari beberapa kata Arab.

Al-Qur’an banyak terdapat kata-kata yang mempunyai arti ganda, seperti kata“al-

quruu’u” yang mempunyai makna “suci” dan juga “haid”. Para Sahabat dalam

memberikan makna al-quru’ yang berkaitan dengan masalah iddah wanita yang dicerai

suami berbeda pendapat. Ummul Mukminin Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit ra.

memberi makna al-quru’ suci. Sedang Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin

Affan dan Ali bin Abi Thalib memberikan makna al-quru’ sebagai haid. Perbedaan ini

berlanjut sampai imam-imam mazhab. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin

Hanbal mengikuti pendapat kelompok yang pertama, sementara Imam Abu Hanifah

mengikuti pendapat kelompok kedua.

2. Perbedaan Riwayat.

18
Sebuah hadis kadang kala dapat diketahui oleh ulama tertentu saja, tetapi hadis tersebut

tidak diketahui oleh ulama yang lainnya. Atau sampainya hadis tersebut kepada

sebagian ulama melalui jalur sanad yang lemah. Sedangkan yang lain menerimanya

melalui jalur sanad yang kuat.

3. Perbedaan Sumber.

Dalam berijtihad, terdapat sumber-sumber dalil yang telah disepakati oleh ulama

mujtahid, seperti al-Qur’an, Sunah, ijmak dan kias. Namun di samping sumber-sumber

tersebut, ada beberapa sumber yang masih diperselisihkan, seperti istihsan, maslahah

mursalah, syar’u man qablana, `urf, dan lain-lain. Dalam menyikapi sumber-sumber

tersebut, ada golongan yang menerima dan ada juga yang menolak, atau yang menerima

tetapi bersyarat.

4. Perbedaan kaidah-kaidah usul fikih.

Ulama usul misalnya berbeda dalam menyikapi kalimat atau kata umum, sebagian

berpendapat tidak dapat dijadikan dalil secara mutlak, sebagian lain mengatakan boleh

menjadi dalil. Contoh lain misalnya pendapat madzhab Dhahiri yang mengatakan: “al-

Mafhum al-Muwafaqah” tidak dapat dipakai sebagai dalil istinbath. Tetapi mazhab-

mazhab lain dapat menerimanya sebagai dalil.

5. Ijtihad dengan dasar Qiyas.

Masalah ini banyak membuka perbedaan dalam skala yang luas. Persoalan ini membuka

peluang terjadinya perbedaan di antara ulama. Misalnya madzhab Syafi’i mengatakan,

bahwa tertib dalam melakukan wudu adalah fardu, apabila hal tersebut diabaikan maka

19
wudunya tidak sah. Pendapat tersebut didasarkan dalil kias dalam melakukan tata cara

ibadah yang lainnya, seperti ibadah sa’i.

6. Kontradiksi dan Pengunggulan Dalil.

Contohnya Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan

bahwa, orang yang sedang melakukan ihram, tidak boleh menikah atau menikahkan,

dengan dasar hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Utsman bin Affan ra. bahwa

Rasulullah bersabda:

‫َلَ يَ ْن ِك ُح اْل ُمحْ ِر ُم َوَلَ يُ ْن ِك ُح‬

Artinya: orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan menikahkan". (HR. Imam

Muslim)

Hadis lain juga menjelaskan hal yang sama, yaitu hadis riwayatkan Oleh Yazid bin al-

A’sham dari Maimunah ra. Hadis tersebut bermakna bahwa, Nabi menikahinya setelah

tahallul, dan kumpul dengan beliau dalam keadaan halal (bebas ihram)”. (HR. Imam

Ahmad dan Imam Turmudzi)

Sedangkan Imam Abu Hanifah, membolehkan nikah ketika sedang melakukan ihram,

atas dasar hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, yaitu Nabi Muhammad SAW

menikahi Maimunah ketika Rasul sedang ihram”. (HR. Bukhari).

20
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Dinamika mazhab tumbuh berkembang, saling berhadapan dengan mazhab lain,

kecocokan dengan masyarakat. Penulis yakin semua mazhab memiliki sumbangan

dengan tingkatan yang berbeda-beda dalam perkembangan fiqih. Tidak ada klaim

mazhab tunggal dalam Islam. Seluruh mazhab merupakan instrumen penting bagi

klarifikasi dan aplikasi syari’at Islam.

Empat prinsip dasar al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan qiyas yang saling berkaitan menjadi

akar yurisprudensi hukum Islam diakui oleh jumhur ulama mazhab dengan mekanisme

penerapan yang berbeda-beda otoritasnya. Mekanisme operasionalnya sumber hukum

tersebut dirumuskan melalui wajah ijtihad yang dibatasi pada sumber utama yaitu

mengistinbatkan dengan cara-cara yang diterima masyarakat utama atau membelenggu

dengan sami’na wa atho’na atau diam terpaku meninggalkan yang ada atau bahkan

antipasti mazhab. Bila demikian cenderung berakibat pada bekunya umat Islam terhenti

untuk berijtihad kejumudan kreatifitas berpikir umat Islam.

Hemat penulis, orang sah-sah saja berijtihad, tapi nanti akan terseleksi dengan

sendirinya oleh alam (baik politik, hukum, ideologi, dan sosial budaya). Banyak geliat

pembaharu muslim membangun, merevisi dan mengkonsep metodologi sumber hukum

Islam dan ini tugas yang belum selesai dari kondisi sosiologis-historis yang terus

berkembang-berkelindan dari realitas yang menuntut jawaban dari masyarakat. Namun

yang jelas, mazhab telah memberi pijakan baru untuk tidak ada habisnya memberi arah

21
pemikiran umat Islam untuk menatap masa depannya yang lebih realistis dan diterima

masyarakat dunia islam.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Zukhdi, Muhammad. 2017. Dinamika Perbedaan Dalam Islam (studi terhadap

pengamalan mazhab di aceh)

2. Lubab, nafiul dan Novita pancanigrum. 2015. Mazhab: Keterkukungan

Intelektual atau kerangka metodokogis (dinamika Hukum Islam)

3. Tarmizi, Erwandi. 2004. Mazhab fiqgh: kedudukan dan cara menyikapinya.

23

Anda mungkin juga menyukai