Disusun oleh:
Nama : Khairunnisa
Bp : 1810321028
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
TH 2018/2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini
pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI………………………..………………………………..…………………ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………..……………………..1
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..........23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hukum-
hukum islam diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Begitu banyaknya hukum islam,
Akhirnya, hukum islam ini terbagi dalam beberapa mazhab, yang kita kenal sekarang.
Mazhab secara bahasa berarti jalan yang dilalui dan dilewati sesuatu yang menjadi
tujuan seseorang. Sedangkan menurut para ulama dan ahli agama islam, mazhab adalah
metode (manhaj) yang dibuat setelah melalui pemikiran dan penelitian sebagai pedoman
yang jelas untuk kehidupan umat. Lain lagi menurat para ulama fiqih. Menurat mereka,
yang dimaksud dengan mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani
oleh seorang ahfi fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang
Sebenamya mazhab dalam islam cukup banyak. Hal mi karena begitu banyaknya ulama-
ulama sejak masa para sababat yang berijtihad. Namun dari sekian banyak mazhab yang
ada tersebut, hanya sedikit yang mampu bertahan dan masih terus dijadikan panduan
hingga saat ini. Mazhab yang digunakan saat ini terbagi atas dua kelompok besar, yaitu
mazhab golongan Sunni (Ahlus-sunnah wal Jamaah) dan mazhab golongan Syi'ah.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
2
BAB II
A. Pengertian Mazhab
Kata-kata madzhab adalah merupakan shighat (bentuk) isim makan (kata yang
menunjukkan tempat) yang terambil dari Fi‟il Madhi Dzahaba ( )ذهبyang memiliki arti
pergi. Untuk itu madzhab berarti: tempat pergi atau jalan. Adapun kata lain yang
semakna dengan madzhab ini adalah: Maslak ( ,) مسلكtharîqah ( ) طريقةdan sabîl ( ) سبيل
yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Demikianlah kata madzhab dalam pengertian
bahasa.
Madzhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam : Sejumlah fatwa-fatwa dan
pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun
lainnya. Sedangkan menurut Siradjuddin Abbas madzhab adalah “Fatwa atau pendapat
seorang imam mujtahid”.3 Dalam buku yang sama Syeikh M.Said Ramadlan al-Buthi
bahwa yang dimaksud dengan madzhab itu mengandung dua pengertian yaitu: Pertama,
madzhab berarti jalan pikiran atau metode ijtihad yang ditempuh seseorang imam
mujtahid dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa berdasarkan al-Qur`an dan as-
sunnah. Kedua, madzhab dalam arti fatwa-fatwa atau pendapat-pendapat seorang imam
3
mujtahid tentang suatu hukum terhadap suatu masalah yang digali dari al-Quran dan al-
hadist.
Latar Belakang Timbulnya Mazhab Imam Yahya (2009: 32-34) dalam bukunya
Dinamika Ijtihad NU mendasarkan paling tidak ada dua pandangan dalam melihat
realitas sosial timbulnya mazhab hukum dalam Islam, yaitu dalam perspektif politik dan
perspektif teologi.
pada abad II H sejak akhir pemerintahan Bani Umayyah hingga masa munculnya
khalifah Bani Abasiyyah. Kemudian pada masa Bani Abbasiyah ulama dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok ulama Kuffah dan Madinah, di mana pemerintahan Bani
Abasiyah lebih mendukung pada kelompok ulama Kuffah. Setelah itu pada abad III H
kelompok ulama tersebut lebih mengarah pada penokohan pribadi ssebagai contoh:
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (terkenal dengan fikih personal). Awal
abad ketiga hijriyah ini telah berkembang di masyarakat muslim lebih dari lima ratus
mazhab, namun yang mampu bertahan hanya ada beberapa mazhab yang berkembang,
Selanjutnya Huzaemah Tahido Yanggo (1997: 76) mengelompokkan fikih pada pada
mazhab:
a) Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah: (1) ahl al-Ra’yi dikenal dengan Mazhab Hanafi, (2) ahl
4
b) Syi’ah: Syiah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah
c) Khawarij
d) Sedangkan Mazhab yang telah musnah yaitu: Mazhab al-Auza’I, al-Zhahiri, al-
2. Perspektif teologi, Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 122
sebagai berikut:
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.
AyatAyat tersebut menjelaskan dua kelompok dalam setiap golongan untuk memahami
ajaran agama dan pengalamannya. Pertama, bagian kecil dari golongan umat yang
mendalami agama, setelah selesai dari usahanya, mereka memiliki tugas kewajiban
mengajarkan ilmu pengetahuan kepada umatnya. Kedua, bagian besar dari golongan
umat yang tidak mendalami agama, dengan demikian dalam hal agama mereka
mendapatkan pengajaran dari golongan pertama. Golongan pertama ini disebut sebagai
mujtahid, sementara golongan yang kedua disebut sebagai golongan awam. Golongan
awam ini sudah semestinya mengamalkan agamanya melalui bertanya pada golongan
5
mujtahid yang lebih mengetahui soal agama. Sebagaimana Allloh SWT juga berfirman
َالذ ْك ِر إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ََل تَ ْعلَ ُمون ِ ُس ْلنَا ِم ْن قَ ْبلِكَ ِإ ََّل ِر َج ًاَل ن
ِ وحي ِإلَ ْي ِه ْم ۚ فَا ْسأَلُوا أ َ ْه َل َ َو َما أ َ ْر
Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang
kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
Berarti ada perhatian khusus terhadap orang yang tidak tahu untuk menanyakan kepada
orang yang tahu. Hal ini agar sebanding amalan yang dijalankan orang yang bertanya
sama sebagaimana dengan orang yang ditanya. Syarifudin (2002: 102-103) menjelaskan
golongan awam yang bertanya sebagian kecil memiliki pemahaman dan kemampuan
menganalisa serta menyaring jawaban yang diberikan oleh orang yang ditanya (mufti)
untuk diamalkan. Sering kali sebagian besar mereka yang bertanya (mustafti) mengikuti
apa saja yang dikatakan oleh mufti istilah ini dalam ushul fikih dikenal dengan istilah
Ibnu Qayyim pengikut dari mazhab Hanafi menjelaskan tidak ada keharusan untuk
mengikatkan diri pada imam mujtahid tertentu dalam segala aspek, ia dapat bertanya
dengan pendapat yang ia senangi. Bila dalam suatu masalah ia mengikuti imam yang
satu, pada masalah lain ia boleh bertanya dan mengikuti mujtahid lain. Hal ini tidak ada
bermazhab. Para murid dan pengikutnya berusaha semaksimal mungkin agar orang
6
yang telah berada dalam mazhab itu tidak keluar dari mazhabnya. Di kalangan mazhab
Syafi’i menjelaskan “bila seorang awam mengikuti dan mengamalkan fatwa imam
mujtahid dalam permasalahan fikih ia tidak boleh meninggalkan mazhab dan beralih
mengikuti mazhab lain.” Ibnu Subki memaparkan sekalipun pada mulanya tidak ada
keharusan berpegang pada satu mazhab, akan tetapi ia telah bersedia untuk berpegang,
selanjutnya ia tetap mengikuti pendapat mujtahid dan tidak boleh keluar (Syarifuddin,
2002: 105-106).
Ibnu Subki memberikan alternatif bagi yang ingin meninggalkan dan keluar dari
mazhab lain secara keseluruhan dan mengikuti mazhab lain secara keseluruhan. Ia
menutup sama mencampuradukkan mazhab yakni beramal dalam satu mazhab dan
dengan beberapa mazhab yang berbeda disebut talfiq. Hal ini juga ditolak imam Syafi’i
kalau alasannya demi untuk mencari kemudahan dalam beramal. Berbeda pula dengan
berpegang teguh pada satu mazhab yang ditetapkan pada suatu tempat yang suatu waktu
akan mendatangkan kesulitan. Sebagai contoh dalam literatur mazhab Syafi’i yang
menjelaskan tentang bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim
sebagaimana sholat yang harus suci dari hadats kecil maupun besar. Saat pelaksanaan
thawaf puluhan orang itu sangat mungkin tidak membatalkan, namun bila
pendapat yang selama ini diikuti dan berpindah ke pendapat yang mengatakan wudhu
7
Selanjutnya pada hal lain dari pembacaan munculnya mazhab di atas, penulis menutip
dalam bukunya Yahya (2009: 33) menjelaskan para sejarahwan Islam memandang
bahwa dinamika fikih tidak terlepas dari wacana teologi. Diskursus antara rasionalitas
dan tradisional yang dikenal dalam ilmu kalam, mulai banyak digunakan dalam hukum
Islam. Paham rasionalis memiliki corak liberal mempertahankan waktu sebagai daktrin
utama, meski kreatifitas rasio menempati tempat tertinggi sebagai pemicu dinamika
hukum Islam. Paham rasionalis ini dikembangkan oleh Wasil bin Atha, di mana paham
menjadi faham resmi Negara, sehingga paham lain tidak mendapatkan tempat
kesempatan alias tidak boleh tumbuh. Puncak pemusnahan pemahaman ini ada.
(2005:xvii) membagi perkembangan fiqih secara tradisional dibagi dalam enam tahap:
(1) Masa Fondasi, masa Nabi Muhammad (609-632 M), (2) Masa Pembentukan, masa
(632-661 M). (3) Masa Pembangunan, sejak masa bani Umayyah 661 M sampai
dinasti Abbasiyah pasca pertengahan abad ke-10, (5) Masa Konsolidasi, runtuhnya
dinasti Abbasiyah sejak sekitar 960 M sampai pembunuhan khalifah Abbasiyah terakhir
di tangan orang Mongol pada pertengahan abad ke-13 M, (6) Stagnansi dan
8
Tahapann masa yang tertulis di atas, menjelaskan bahwa sebenarnya mazhab ini
berhubungan dengan fiqih, pada masa pertama Nabi Muhammad SAW dan masa kedua,
istilah fiqih belum begitu dikenal perbedaaannya dengan ‘ilmu, meski dalam masa pra-
Islam, fiqih berbeda dengan ‘ilmu. Dalam arti yang luas, kedua kata ini dapat
Sebuah riwayat menjelaskan bahwa dihadapkan Umar bin Khattab para fukaha tidak
berani angkat bicara, karena umar melebihi mereka dalam fiqih (kecerdasannya) dan
Akhirnya istilah fiqih dipergunakan secara eksklusif dalam permasalahan hukum Islam,
Abdullah Ibnu al-Mubarak (w.181 H) telah mengumpulkan ilmu Hadits dalam sebuah
buku dan menyusunnya dalam urutan topik hukum fiqih (Hasan, 1994:10).
Selanjutnya pada masa tabi’in-tabi’in mulai awal abad kedua hijriyah, kedudukan
ijtihad sebagai istinbath hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itu
muncullah mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam, baik dari golongan ahl al-
Hadits, maupun dari golongan ahl al-Ra’yi. Di kalangan jumhur masa ini muncul
Sembilan Imam mazhab yang paling popular melembaga di kalangan umat Islam.
Dimulai pada abad ke-8 M, sejumlah pakar memberi sumbangan luar biasa kepada
disiplin ilmu fiqih, sehingga merangsang kemunculan berbagai tradisi atau mazhab.
Pakarpakar terpenting dalam tradisi tradisi Sunni antara lain: Abu Hanifah, Malik ibn
Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal, yang dinisbahkan
9
kepada mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (Esposito, 2002:192) dan dibagian
berikutnya akan penulis deskripsikan manhaj sumber hukum beserta mazhab lainnya.
Dalam perjalanannya aliran fiqih ini tumbuh dan berkembang hingga sekarang
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qodli dalam tiga pemerintahan
Abbasiyah, yaitu khalifah al-Mahdi, al-Hadi, dan Harun al-Rasyid (dengan kitab al-
Kharaj disusun atas permintaannya). Mazhab Malik berkembang atas dukungan al-
Mansur di Khalifah Timur dan Yahya bin Yahya diangkat menjadi qodli oleh para
merebut negeri itu. Mazhab Hanbali kuat setelah alMutawakkil diangkat menjadi
Khalifah Abbasiyah. Ketika itu, al-Mutawakkil tidak akan mengangkat seorang qadli
Hukum Islam bermula dari pendapat perseorangan terhadap pemahaman nash atau
pendapat perseorangan tentang upaya penemuan hukum terhadap sesuatu kejadian yang
ada. Lalu pendapat ini diikuti oleh orang lain atau murid yang jumlahnya banyak,
kemudian menjadi sebuah metode dalam pendapat yang dianggap baku dan disebutlah
Hijazi, Iraq, Syam, Madinah, Makkah, Mesir, dan lainnya. Dalam perkembangannya
mazhab tersebut, tersebar pula syari’at Islam ke pelosok dunia yang dapat
10
seperti dinasti Fatimiyah melestarikan mazhab Isma’iliyah dan lainnya. Itulah mengapa
mazhab fiqih ini ada yang berkembang dan ada juga yang musnah, mereka mendapat
kajian-kajian fiqih dimanamana, pada awal tahun 300-an H, mulai terjadi pemasungan
memaksakan ideology mu’tazilah, padahal para ulama dan fukaha berada di luar
dukungan itu, dan bahkan mereka mengancam al-Makmun atas dukungannya terhadap
Mu’tazilah. Sebagaimana Dr. Farouq Abu Zaid melukiskan kondisi fiqih saat itu, bahwa
membawa pula rapuhnya kondisi fiqih. Akibatnya pintu Ijtihad tertutup dan terbelenggu
akal pikiran. Ini akibat logis dari hilangnya kebebasan berpikir dan kesibukan
kalangan fukaha, dalam menghadapi masalah kasus hukum, mereka tidak menggunakan
(Sirry,1996:128).
D. Macam-Macam Mazhab
1. Mazhab Hanafi
Mazhab ini dinisbatkan kepada pendirinya; yaitu Abu Hanifa an-Nu'man bin Tsabit bin
11
Dilahirkan di Kufah tahun 80H, meninggal di Baghdad pada tahun 150H. Beliau
tumbuh dalam keluarga pedagang, namun ketekunannya yang tinggi dalam mempelajari
Dikenal sebagai kalangan tabi'it tabi'in (generasi sesusadah tabi'in) meskipun pada
masanya ada kalangan para sahabat yang masih hidup, namun beliau belum sempat
untuk menemuinya dan berguru kepadanya. Maka beliau berburu pada beberapa orang
1) Al Qur’an;
4) Qias;
baik sesuatu (hasan), adalah salah satu cara menetapkan hukum di kalangan ahli ushul
fikih. Melalui metode istihsan, seorang mujtahid meninggalkan hukum yang didasarkan
atas qias jali (analogi yang jelas persamaan illatnya) ke hubungan baru yang
berdasarkan atas qias khafi (persamaan illatnya tersamar) atau dari hukum yang
didasarkan pada dalil kulli (alasan yang bersifat umum) ke hukum yang didasarkan atas
dalil juz’i (alasan yang bersifat khusus). Salah satu contoh mengqiaskan wakaf kepada
12
kemanfaatannya daripada segi perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih
tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan dikalangan ulama Hanafiyah sebagai
salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan ulama Syafi’iyah.
6) pendapat sahabat
Saat ini, mazhab hanafi banyak tersebar di Afghanistan, Pakistan, India, Mesir, dan
2. Mazhab Maliki
Adalah mazhab yang di nisbatkan kepada: Imam Malik bin Anas bin Malik bib Abi
Beliau dikenal sebagai Imam daarul hijroh fil fiqh wal hadist (pemimpin kota Madinah
dalam masalah Al-Qur’an dan hadits). Dilahirkan di Madinah Munawaroh tahun 93H,
dan wafat tahun 179H. Lahir pada keluarga ulama, kakeknya adalah seorang sahabat
mulia bernama abu amir yang ikut semua peperangan bersama Rasulullah kecuali
perang badar.
Sumbangan yang paling berharga dalam bidang Sunnah adalah kitab muaththa yang
menyusunnya membutuhkan waktu empat puluh tahun. Karena itiu beliau dikenal
dengan peletak dasar pembukuan hadist. Bahkan periwayatan beliau dari Rasulullah
13
dalam ilmu hadist yang dikenal dengan as-silsilah adz dzahabiyah (rangkaian emas),
Imam Malik dikenal kuat pendiriannya dalam agama, tidak tergiur dengan dunia dan
1) Al Qur’an;
3) Ijma’ Ahl Madinah (kadang menolak hadits yang berlawanan atau tidak diamalkan
Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk kepentingan dan keperluan umum)
3. Mazhab syafi'i
Mazhab ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Idris bin al-abbas bin Utsman bin syafi'
bin as-Shaa'ib bin Abdullah bin Ubaid bin Hasyim bin al-Muththalib bin abdu Manaf
14
bin Qushai al-Qurasyi al-muthlabi al-Hijazi al-Malikki. Kemudian lebih dikenal dengan
Imam Syafi’i dilahirkan di kota Gaza(Palestina) pada tahun 150H, dan wafat di negeri
Mesir pada tahun 204H. Sejak kecil sudah tampak kecerdasannya. Setelah hafal Al-
Qur’an pada usia tujuh tahun, dia menghafal kitab muaththa dari karya Imam Malik
Oleh syaikhnya; Muslim bin Khalid sudah diizinkan memberikan fatwa pada usia lima
belas tahun, ada juga yang mengatakan pada usia delapan belas tahun.
Kitab “ar-risalah” yang dikarangny dikenal sebagai kitab pertama yang membahas
tentang Ushul Fiqh, dan kemudia dia dikenal sebagai peletak ilmu Ushul Fiqh. Beliau
1) Al Qur’an;
2) Tafsir lahiriahnya Al Qur’an selama tak ada dalil yang menegaskan bahwa yang
dimaksud bukan lahiriahnya; Imam Syafi’i pertama sekali selalu mencari alasannya dari
3) Sunnah Nabi SAW; Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak
ditemukan rujukan dari Al-Qur’an. Imam Syafi’i sangat kuat pembelaannya terhadap
4) Ijma’ ,hukum yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits, keputusan diambil alim-
ulama dan atas kata sepakat (tidak diketahui ada perselisihan tentang sesuatu); Ijma’
15
para Sahabat Nabi, yang tak diketahui pula ada perselisihan tentang hal itu. Ijma' yang
diterima Imam Syafi’i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan
kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena
5) Qias (ditolak dasar istihsan dan dasar ihtislah). Kias yang dalam Ar-Risalah disebut
sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam
Syafi’i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum
Islam.
6) Istidlal, adalah suatu istilah fikih, yakni mencari atau menegakkan dalil daripada
yang telah ada di masa lalu ke masa sekarang. Istishab merupakan salah satu pegangan
dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang tegas dari Al Qur’an,
Sunnah, Ijma maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan
suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa
hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal hukum
segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi hal-hal baru yang
illatnya tidak ditemukan. Salah satu dasar pokok mazhab Syafi’i. Sebagian ulama
terutama dari kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam
menetapkan hukum).
16
Wilayah penyebaran mashabnya:
Wilayahnya terdiri dari Mesir, Palestina, Yaman, sedikit terdapat di Irak, Pakistan, Arab
4. Imam Hambali
Beliau dilahirkan di kota Baghdad (irak) tahun 164H, bapakmya meninggal saat dia
berusia tiga tahun. Sejak kecil beliau sudah berkelana mencari ilmu, ke Basrah, Kufah,
1) Al Qur’an;
2) Hadits Marfu’;
3) Fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa sahabat yang lebih dekat pada Qur’an dan
4) Hadits Mursal dan hadits Da’if, ialah hadits yang derajatnya kurang daripada sahih;
5. Imam zahiru
17
Imam Dawud (815-833 M), Abu Salman Dawud bin Ali bin Khalaf al-Ashbihani yang
Qur’an dan Sunah selagi tidak ada dalil yang menunjukkan dari keduanya atau dari
Ijma’, qiyas ditolaknya. Ia berkata: “Bahwa keumuman nash al-Qur’an dan Sunah
terdapat terdapat sesuatu yang dapat menjawab dengan sempurna”. Mazhab ini terus
diikuti sampai abad ke-5 Hijriyah, kemudian surut. Pendapatnya banyak bertentangan
dengan dengan jumhur ulama’, karena pendapatnya tidak berdasar pada qiyass ra’yu,
dan mengamalkan zhahir al-Qur’an dan Sunah. Salah satu pendapatnya talak dan ruju’
tidak sah tanpa adanya persaksian dua orang saksi yang adil (Bik, t.t:452-455).
E. Perbedaan Mazhab-Mazhab
Al-Qur’an banyak terdapat kata-kata yang mempunyai arti ganda, seperti kata“al-
quruu’u” yang mempunyai makna “suci” dan juga “haid”. Para Sahabat dalam
memberikan makna al-quru’ yang berkaitan dengan masalah iddah wanita yang dicerai
suami berbeda pendapat. Ummul Mukminin Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit ra.
memberi makna al-quru’ suci. Sedang Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib memberikan makna al-quru’ sebagai haid. Perbedaan ini
berlanjut sampai imam-imam mazhab. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal mengikuti pendapat kelompok yang pertama, sementara Imam Abu Hanifah
2. Perbedaan Riwayat.
18
Sebuah hadis kadang kala dapat diketahui oleh ulama tertentu saja, tetapi hadis tersebut
tidak diketahui oleh ulama yang lainnya. Atau sampainya hadis tersebut kepada
sebagian ulama melalui jalur sanad yang lemah. Sedangkan yang lain menerimanya
3. Perbedaan Sumber.
Dalam berijtihad, terdapat sumber-sumber dalil yang telah disepakati oleh ulama
mujtahid, seperti al-Qur’an, Sunah, ijmak dan kias. Namun di samping sumber-sumber
tersebut, ada beberapa sumber yang masih diperselisihkan, seperti istihsan, maslahah
mursalah, syar’u man qablana, `urf, dan lain-lain. Dalam menyikapi sumber-sumber
tersebut, ada golongan yang menerima dan ada juga yang menolak, atau yang menerima
tetapi bersyarat.
Ulama usul misalnya berbeda dalam menyikapi kalimat atau kata umum, sebagian
berpendapat tidak dapat dijadikan dalil secara mutlak, sebagian lain mengatakan boleh
menjadi dalil. Contoh lain misalnya pendapat madzhab Dhahiri yang mengatakan: “al-
Mafhum al-Muwafaqah” tidak dapat dipakai sebagai dalil istinbath. Tetapi mazhab-
Masalah ini banyak membuka perbedaan dalam skala yang luas. Persoalan ini membuka
bahwa tertib dalam melakukan wudu adalah fardu, apabila hal tersebut diabaikan maka
19
wudunya tidak sah. Pendapat tersebut didasarkan dalil kias dalam melakukan tata cara
Contohnya Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan
bahwa, orang yang sedang melakukan ihram, tidak boleh menikah atau menikahkan,
dengan dasar hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Utsman bin Affan ra. bahwa
Rasulullah bersabda:
Artinya: orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan menikahkan". (HR. Imam
Muslim)
Hadis lain juga menjelaskan hal yang sama, yaitu hadis riwayatkan Oleh Yazid bin al-
A’sham dari Maimunah ra. Hadis tersebut bermakna bahwa, Nabi menikahinya setelah
tahallul, dan kumpul dengan beliau dalam keadaan halal (bebas ihram)”. (HR. Imam
Sedangkan Imam Abu Hanifah, membolehkan nikah ketika sedang melakukan ihram,
atas dasar hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, yaitu Nabi Muhammad SAW
20
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
dengan tingkatan yang berbeda-beda dalam perkembangan fiqih. Tidak ada klaim
mazhab tunggal dalam Islam. Seluruh mazhab merupakan instrumen penting bagi
Empat prinsip dasar al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan qiyas yang saling berkaitan menjadi
akar yurisprudensi hukum Islam diakui oleh jumhur ulama mazhab dengan mekanisme
tersebut dirumuskan melalui wajah ijtihad yang dibatasi pada sumber utama yaitu
dengan sami’na wa atho’na atau diam terpaku meninggalkan yang ada atau bahkan
antipasti mazhab. Bila demikian cenderung berakibat pada bekunya umat Islam terhenti
Hemat penulis, orang sah-sah saja berijtihad, tapi nanti akan terseleksi dengan
sendirinya oleh alam (baik politik, hukum, ideologi, dan sosial budaya). Banyak geliat
Islam dan ini tugas yang belum selesai dari kondisi sosiologis-historis yang terus
yang jelas, mazhab telah memberi pijakan baru untuk tidak ada habisnya memberi arah
21
pemikiran umat Islam untuk menatap masa depannya yang lebih realistis dan diterima
22
DAFTAR PUSTAKA
23