BUDAYA
Abstrak
Sebagai sebuah profesi yang menyeluruh konseling tidak pernah mengenal perbedaan
Konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena
itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak
konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif,
maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari
bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang responsive secara kultural. Dengan demikian, maka
konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara
konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).
Untuk mencapai efektifitas proses konseling, konselor harus memahami dirinya
sendiri, termasuk bias- bias budaya yang ada pada dirinya.Problem ini tidak terlalu
mengemuka dalm mendeskripsikan objek jika dibandingkan dengan mendeskripsikan
orang.
Dapat diasumsikan bahwa semakin banyak kesesuaian (congruence) antara konselor
dengan klien dalam hal- hal tersebut (baik yang psikologis maupun yangg sosial
budaya) maka akan semakin besar kemungkinan konseling akan berjalan efektif,
demikian juga sebaliknya.
klien tidak hanya dipahami dalam terminologi psikologis murni, tapi juga dipahami sebagai
anggota aktif dari sebuah kultur. Perasaan, pengalaman, dan identitas dari klien dipandang
dibentuk oleh mileu kultural
PENDAHULUAN
Peran konselor dalam proses memandirikan individu merupakan peran yang sangat
penting dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu dalam proses layanan konseling
yang diberikannya, konselor tentu perlu untuk memiliki pemahaman yang mendalam
terhadap konselinya. Pemahaman tersebut mencakup hal-hal yang ada dalam dirinya
sendiri dan juga konselinya. Kesadaran akan perbedaan yang dimiliki
Ujian Akhir Semester
Pengembangan Pribadi Konselor
HARTIKA UTAMI FITRI
(0105515046)
antara keduanya menjadi salah satu cara yang penting untuk menjaga hubungan dan
interaksi dalam proses konseling. Ekspektasi kinerja konselor dalam memberikan
layanan konseling akan selalu digerakkan oleh motif altruistic dalam arti selalu
menggunakan penyikapan yangempatik, menghormati keberagaman, serta
mengedepannya kemashalatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu
mencermati kemungkinan dampak jangkapanjang dari tindak pelayanannya itu
terhadap pengguna pelayanan, sehingga pelayanan professional ini dinamakan “the
reflective practitioner”(Depdiknas, 2008).
Penting bahwa konselor memahami budaya mereka sendiri dalam rangka untuk
bekerja dengan klien tanpa memaksakan nilai-nilai mereka, menyinggung klien, atau
perilaku nonverbal klien yang salah diinterpretasikan. Untuk menghindari terjadinya
kesalahapahaman atau ketidakmengertian maka konselor harus memiliki kesadaran
akan perbedaan yang terjadi tersebut agar klien dapat merasa nyaman. Kesadaran akan
perbedaan budaya yang dimiliki konselor dapat membantu dan mendidik tidak hanya
konselor namun juga klien terkait dengan budaya masing-masing. Sehingga hal
tersebut dapat membantu keduanya untuk bekerjasama dalam mengatasi masalah klien
atau dalam lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan klien.
Berkaitan dengan hal diatas, penting bagi konselor memiliki kompetensi yang akan
memberikan arah dalam pelaksanan konseling dengan keberagaman budaya
konselinya. Refleksi terhadap praktek konseling tentu akan melibatkan pemahaman
dan kesadaran konselor terhadap budaya yang dimilikinya dan konselinya.
tulisan ini membahas konselor dan kesadaran budaya (cultural awareness) yang
menjelaskan tentang kompetensi, kualitas dan pedoman (guidelines) konselor dan
teknik konseling yang digunakan konselor dalam menghadapi konseli yang berbeda
budaya
Oleh karena itu, penting bagi konselor secara umum (tidak hanya untuk konselor
multikultural) dapat memiliki kesadaran budaya perlu memperhatikanberbagai hal
yang terkait dengan pemahaman individu dan lingkungan. Kesadaran budaya yang
perlu dimiliki konselor tentu diawali juga dengan pemahamannya terhadap
perbedaan budaya konseli. Patterson (2004) menyebutkan bahwa terdapat 2 jenis
perbedaan konseli yaitu accidential dan essential. Perbedaan budaya, etnik dan ras
merupakan suatu hal yang terjadi dengan tidak sengaja (misalnya tempat
dilahirkan). Namun, konseli juga memiliki kesamaan pada hal-halyang utama atau
hal yang pokok (essential) sebagai manusia. Oleh karena itu, konselor perlu
memiliki kualitas dasar dalam pelaksanaan konseling. Rogers (Patterson, 2004)
menyebutkan 5 kualitas dasar konselor yaitu:
a. Respect. Menghargai klien merupakan hal yang penting bagi konselor. Hal
ini termasuk memiliki kepercayaan kepada klien dan memiliki asumsi
bahwa klien memiliki kemampuan untuk mengambil tanggung jawab untuk
dirinya sendiri (termasuk selama proses konseling berlangsung), klien
memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dan memutuskan dan
memecahkan masalahnya.
Beberapa kualitas konselor di atas, memang memiliki dasar yang utama (essential)
dalam menghadapi klien secara umum, namun ada hal-hal yang secara budaya tidak
Ujian Akhir Semester
Pengembangan Pribadi Konselor
HARTIKA UTAMI FITRI
(0105515046)
sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Misalnya, terkait dengan elemen yang
terakhir yaitu structuring, bagi beberapa budaya di Indonesia pentingya seorang
professional dalam memberikan bantuan melalui proses konseling masih sangat
terbatas sehingga untuk melakukan sesuai dengan criteria tersebut perlu lebih
mendalam bagi seorang konselor.
Segala kompetensi, kualitas dan guidelines tidak akan efektif dalam proses konseling
jika konselor tidak memiliki metode dan pendekatan yang sesuai dalam menghadapi
klien yang multikultural. Patterson (2004) menyampaikan kritikan bahwa konselor
tidak membutuhkan kompetensi konselor untuk konseli multikultural.
Namun yang dibutuhkan adalah metode dan pendekatan efektif untuk semua
kliendan sifatnya sebagai sistem yang universal dalam konseling. Berdasarkan hal
tersebut, penting bagi konselor untuk memiliki kesadaran budaya dan
menempatkannya secara tepat dalam interaksinya dengan klien adalah hal yang
penting. Untuk mengembangkan kesadaran budaya (cultural awareness), konselor
sebaiknya meningkatkan penghargaan diri terhadap perbedaan budaya. Konselor harus
menyadari stereotipe yang ada dalam dirinya dan mempunyai persepsi yang jelas
bagaimana pandangannya terhadap kelompok-kelompok minoritas. Kesadaran ini
dapat meningkatkan kemampuannya untuk menghargai secara efektif dan pemahaman
yang sesuai untuk tentang perbedaan budaya (Brown & Williams, 2003).
Page |
Remirez (1991) berpendapat bahwa tema umum yang terdapat dalam semua konseling
multikultural adalah tantangan untuk hidup dalam masyarakat multikultural. Dia
menyatakan bahwa tujuan utama dalam menghadapi klien dari berbagai kelompok
etnis adalah mengembangkan
―fleksibilitas kultur‖ (
culture flexibility
). Remirez (1991) menekankan bahwa bahkan anggota kelompok kultur yang dominan
atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang dominan
atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang
diharapkan orang lain dari kita. Pendekatan yang diambil oleh Ramirez (1991)
menggunakan penyesuaian gaya dan pemahaman kultural klien oleh konselor
dipertemuan awal, kemudian mendorong untuk mencoba berbagai bentuk perilaku
kultural. Jelas pendekatan ini menuntut fleksibilitas kultural dan kesadaran tingkat
tinggi dalam diri terapis. Pendekatan penting lainnya dalam konseling multikultural
Ujian Akhir Semester
Pengembangan Pribadi Konselor
HARTIKA UTAMI FITRI
(0105515046)
adalah fokus pada hubungan antara persoalan personal dan realitas politik/sosial.
Disini klien tidak hanya dipahami dalam terminologi psikologis murni, tapi juga
dipahami sebagai anggota aktif dari sebuah kultur. Perasaan, pengalaman, dan
identitas dari klien dipandang dibentuk oleh mileu kultural.
Memahami klien tentu saja merupakan langkah pertama yang penting dalam
bekerja dengan klien, dan memungkinkan kita untuk melihat klien dari perspektif yang
mungkin tidak kita memiliki sebelumnya. Namun, setelah memahami klien sangat
Ujian Akhir Semester
Pengembangan Pribadi Konselor
HARTIKA UTAMI FITRI
(0105515046)
penting bahwa kita memiliki beberapa cara untuk menerapkan pemahaman ini.
Konselor yang efektif perlu menjadi orang yang kompeten secara budaya jika ia akan
terhubung dengan kliennya (Anderson, Lunnen, & Ogles, 2010 dalam Neukrug, 2012 :
22 ).
Dua cara dalam bekerja dengan klien multicultural diantaranya menggunakan
akronim RESPECFUL ( D’Andrea & Daniels, 2005 ) dan menerapkan Kompetensi
Konseling Multikultural.
a. Menggunakan akronim RESPECTFUL
Model konseling RESPECTFUL ini menyoroti 10 faktor yang harus
dipertimbangkan konselor dalam menangani klien multicultural, yaitu :
R – Religious/spiritual identity ( Religius )
E – Economic class background ( Latar Belakang kelas ekonomi )
S – Sexual identity ( Jenis Kelamin )
P – Psychological development ( Perkembangan Psikologis )
E – Ethnic/racial identity ( Etnis / Identitas Rasial )
C – Chronological disposition ( Disposisi Kronologis )
T –Trauma and other threats to their personal well-being (Trauma dan
ancaman lain
terhadap kesejahteraan pribadi mereka )
F – Family history ( Sejarah Keluarga )
U – Unique physical characteristics ( Keunikan Karakteristik Psikis )
L – Language and location of residence, which may affect the helping process
(Bahasa dan Lokasi tempat tinggal , yang dapat berdampak dalam proses
layanan)
C. Keterampilan
1. Konselor yang handal mencari pendidikan, konsultasi, dan pelatihan
pengalaman untuk meningkatkan pemahaman dan efektivitas mereka dalam
bekerja dengan populasi budaya yang berbeda. Mampu mengenali batas-
batas mereka kompetensi, mereka (a) mencari konsultasi, (b) mencari
pelatihan lebih lanjut atau pendidikan, (c) merujuk ke kualitas individu
lainnya atau sumber daya, atau (d) terlibat dalam kombinasi ini.
2. Konselor yang handal terus mencari untuk memahami diri sendiri
sebagai ras dan kebudayaan dan secara aktif mencari identitas non rasis.
II. Kesadaran Konselor terhadap Pandangan Klien
A. Sikap dan Keyakinan
1. Konselor yang handal sadar mereka positif dan negatif emosional Reaksi
terhadap kelompok-kelompok ras dan etnis lainnya yang dapat
membuktikan merugikan
hubungan konseling. Mereka bersedia untuk kontras keyakinan dan sikap
mereka sendiri dengan orang-orang dari klien mereka secara budaya
berbeda dengan cara yang tidak menghakimi.
2. Konselor yang handal sadar stereotip dan praduga bahwa mereka simpan
terhadap kelompok minoritas ras dan etnis lainnya.
B. Pengetahuan
1. Konselor yang handal memiliki pengetahuan yang spesifik dan informasi
tentang
kelompok tertentu dengan bagaimana mereka bekerja. Mereka sadar tentang
kehidupan pengalaman, warisan budaya, dan latar belakang sejarah yang
C. Keterampilan
1. Konselor yang handal harus membiasakan diri dengan penelitian yang
relevan
dan temuan terbaru mengenai kesehatan mental dan gangguan mental yang
mempengaruhi berbagai kelompok. Konselor etnis dan ras harus secara aktif
mencari pengalaman pendidikan yang memperkaya pengetahuan mereka,
pemahaman, dan keterampilan lintas budaya untuk perilaku konseling lebih
efektif.
2. Konselor yang handal menjadi aktif terlibat dengan individu minoritas
luar pengaturan konseling (misalnya, acara komunitas, sosial dan politik
fungsi, perayaan, pertemanan, bertetangga, dan sebagainya) sehingga
perspektif mereka minoritas lebih dari latihan akademis atau membantu.
III. Strategi Intervensi budaya Tepat
A. Keyakinan dan Sikap