Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KODE ETIK

“Manusia dan Psikologi”

Kelompok 1 B

Kanasta Laila Husna 1910321038

Salsabila Barada 1910322034

Indah Wahyuni 1910322039

Jarisah Afifah 1910323014

Dosen Pengampu:

Amatul Firdausa Nasa, M.Psi., Psikolog

Rani Amalita, S.Psi., MA

PRODI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Manusia dan
Psikologi” untuk memenuhi tugas mata kuliah Kode Etik. Shalawat serta salam tidak lupa
kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari jalan
kegelapan menuju jalan yang terang.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai sumber sehingga dapat mempermudah kami dalam membuat dan menyusun
makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi
pembaca. Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah
ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Padang, 05 September 2021

Kelompok 1

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 1
1.3. Tujuan 2
BAB II 3
2.1. Memahami Manusia Melalui Pendekatan Psikologi Fenomenologi dan
Eksistensialisme 3
2.1.1. Pendekatan Fenomenologi 4
2.1.2. Pendekatan Eksistensialisme 4
2.2. Pendekatan Fenomenologi dan Eksistensialisme dalam Psikologi 5
2.3. Manusia: Verstehen dan Erklaren 6
2.4. Psikologi sebagai Ilmu 7
2.5. Psikologi sebagai Seni 8
2.6. Psikologi adalah Ilmu dan Seni 9
BAB III 11
3.1. Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 12

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap individu memiliki ciri khas masing-masing sehingga hal inilah yang dapat
membedakannya dengan individu lainnya atau disebut juga dengan individual
differences. Sebagai manusia, individu juga memiliki peran di kehidupan sosial sehingga
sering disebut dengan makhluk sosial. Lingkungan sosial sangat berperan bagi manusia
untuk tumbuh dan berkembang. Selain itu, faktor sosial maupun biologis juga
berpengaruh pada pola tingkah laku manusia.

Terdapat berbagai pemahaman tentang manusia menurut sudut pandang psikologi,


diantaranya yaitu pandangan melalui pendekatan psikologi fenomenologi dan
eksistensialisme. Manusia merupakan objek kajian psikologi. Oleh karena itu, perlu
adanya pemahaman tentang psikologi. Psikologi dapat dikaitkan dengan ilmu biologi
maupun ilmu sosial, bahkan ilmu lainnya. Psikologi merupakan suatu ilmu dan juga
terdapat seni di dalamnya. Tentunya hal tersebut terdapat beberapa alasan dibaliknya
mengapa psikologi dapat dikategorikan sebagai ilmu maupun seni.

Seorang psikolog memahami kliennya tidak dilihat hanya dari satu sisi saja,
melainkan secara keseluruhan. Pemahaman psikolog terhadap kliennya dapat dilihat
dari segi budaya atau pengalaman yang dimiliki oleh klien tersebut. Hal inilah yang
membuat psikologi dapat dikatakan sebagai seni sehingga sebagai psikolog dibutuhkan
kemampuan untuk menyeimbangkan perannya sebagai ilmuwan dan sebagai praktisi.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang manusia dalam sudut
pandang psikologi serta bagaimana psikologi dapat dikatakan sebagai ilmu dan seni.
Selain itu, makalah ini juga akan membahas tentang kemampuan yang dibutuhkan bagi
psikolog untuk memahami kliennya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan manusia melalui pendekatan psikologi fenomenologi dan


eksistensialisme?
2. Bagaimana pendekatan fenomenologi dan eksistensialisme dalam psikologi?

1
3. Bagaimana konsep manusia dalam psikologi?
4. Bagaimana pemahaman te ntang psikologi sebagai ilmu, seni, maupun sebagai ilmu
dan seni?

1.3. Tujuan

1. Memahami manusia melalui pendekatan psikologi fenomenologi dan eksistensialisme.


2. Memahami pendekatan fenomenologi dan eksistensialisme dalam psikologi.
3. Memahami konsep manusia dalam psikologi.
4. Memahami psikologi sebagai ilmu, seni, maupun sebagai ilmu dan seni.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Memahami Manusia Melalui Pendekatan Psikologi Fenomenologi dan


Eksistensialisme

Dalam bidang psikologi, upaya untuk memahami manusia tidak dapat dilepaskan dari
bagaimana cara pandang yang diterapkan untuk mengakui eksistensi manusia itu sendiri.
Terutama ketika manusia dilihat sisi hubungan interpersonal antara psikolog (baik praktisi
maupun ilmuwan) melalui interaksi dengan kliennya.

Menurut John W. Creswell yang merupakan Guru Besar Psikologi Pendidikan


Universitas Nebraska dan juga banyak menulis buku tentang rancangan penelitian, ia
berpendapat bahwa landasan filsafat dapat membantu dalam memahami dan merumuskan
masalah, sehingga nantinya dapat memudahkan untuk menemukan jalan keluar yang paling
sesuai. Selain itu, Creswell juga menjelaskan bahwa dalam penerapan psikologi, landasan
filsafat akan membantu dalam mengenal dan memahami esensi kompleksitas manusia
dengan berfokus pada eksistensinya sebagai makhluk multidimensional yang artinya
manusia sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial yang berkebebasan, memiliki sejarah,
berbahasa dan berbudaya.

Salah seorang Guru Besar Psikologi di Indonesia yang mendalami terkait Psikologi
Sosial dan Filsafat, Fuad Hasan (1929-2007) juga memberikan gambaran bahwa filsafat
merupakan bentuk ikhtiar manusia untuk memahami berbagai manifestasi kenyataan
melalui upaya berpikir sistematis, kritis dan radikal. Intinya, filsafat mengajarkan kita untuk
dapat berpikir secara teratur sembari menilai suatu hal secara mendasar.

Melalui proses berpikir seperti inilah kita dapat mencapai wawasan (insight) yang
jelas terkait berbagai gejala baik yang tampak sebagai fakta, maupun yang berlangsung
sebagai suatu bentuk rangkaian peristiwa (process). Jadi seorang psikolog harus memiliki
kedua capaian ini untuk bisa membantu kliennya yaitu mempunyai wawasan tentang klien
ataupun permasalahan yang dihadapi serta pemahaman terhadap proses yang dialami klien.

3
Tanpa memahami kedua poin penting ini, seorang psikolog tidak dapat memberikan
bantuan yang sesuai kepada klien.

Pada awal abad ke-20 muncul dua gerakan dalam bidang filsafat, yaitu pendekatan
fenomenologi dan eksistensialisme. Kedua pendekatan ini ikut memberi pengaruh ke dalam
bidang psikologi melalui jalur psikologi humanistik yang merupakan kekuatan ketiga dalam
bidang psikologi setelah psikoanalisis dan behaviorisme.

2.1.1. Pendekatan Fenomenologi

Pendekatan fenomenologi berkembang dari filsafat fenomenologi yang dipelopori


oleh Edmund Husserl. Dalam penjelasannya, Husserl memperkenalkan istilah lebenswelt
(dunia kehidupan manusia). Manusia memiliki kehidupan yang berbeda satu sama lain,
maka untuk dapat memahami orang lain, seorang individu harus melepaskan kesadaran
pribadinya, karena hal itu akan mempengaruhi cara pandang, persepsi, serta pemahaman
mereka terhadap orang lain.

Fuad Hassan (1985) juga menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologi merupakan


pendekatan yang memperhatikan gejala serta peristiwa yang diamati dan dialami oleh
individu (perceived and experienced). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini
memanfaatkan data yang diperoleh melalui proses mengalami secara langsung. Dalam
psikologi, pendekatan ini dipakai untuk memahami bagaimana individu mempersepsi
dunianya, serta menyelidiki berbagai fenomena proses psikologis seperti mempersepsi,
mengingat, belajar, merasakan dan berpikir. Selain itu pendekatan fenomenologi dalam
psikologi juga berguna untuk menyelidiki feomena serta proses yang sering dikaitkan
dengan gambaran kepribadian yang dimiliki individu, sebagai contoh, pilihan yang dibuat
seseorang dapat menggambarkan pola dan gaya hidupnya.

2.1.2. Pendekatan Eksistensialisme

Pendekatan eksistensialisme yang didasari oleh tradisi filsafat eksistensialisme


merupakan sebuah gerakan yang muncul pasca-Perang Dunia II. Dipelopori oleh seorang
filusuf dan teolog abad ke-19 dari Denmark bernama Soren Kierkegaard.

4
Pendekatan eksistensialisme mencoba menjelaskan cara untuk memahami manusia
sebagai makhluk yang eksis di dunia dengan menekankan pada kebebasan dan tanggung
jawab individu. Jadi gagasan ini meyakini bahwa manusia bukan esensi melainkan eksistensi,
manusia bukan hanya meng-ada (being) melainkan suatu peristiwa (becoming) yang terus
menerus. Oleh sebab itu, dalam memahami manusia perlu untuk melihat individu tersebut
secara keseluruhan, bukan hanya sepenggal dari apa yang ia tampilkan saat ini. Ketika
mengkaji mengapa individu menyatakan atau melakukan sesuatu, maka perlu dipahami dari
sejarah panjang kehidupan yang dilaluinya, serta berbagai kejadian yang melatarbelakangi
perilaku tersebut.

2.2. Pendekatan Fenomenologi dan Eksistensialisme dalam Psikologi

Pendekatan fenomenologis mengharapkan agar dalam hubungan interpersonal


khususnya antara psikolog dan klien, manusia tidak dipahami melalui asumsi-asumsi belaka,
karena manusia tidak dipandang sebagai kumpulan mekanisme, fungsi, dorongan, dsb.
Manusia juga tidak dijerat dalam suatu skema karena hal ini beresiko reduksi atau
pengurangan terhadap kenyataannya sebagai kepribadian yang utuh. Sedangkan pandangan
eksistensialisme mengharapkan agar manusia dilihat sebagai bentuk perwujudan yang
memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk dapat berkembang dan menjadi terus
menerus (process being dan becoming).

Pendekatan fenomenologis dan eksistensialisme memberi implikasi dalam bidang


psikologi, yakni dalam cara pandang terhadap manusia sebagai perwujudan a continuum of
becoming (senantiasa-menjadi). Kedua pendekatan ini mempengaruhi cara kita bertemu
dengan manusia dalam berbagai situasi, salah satunya pertemuan dalam konteks klinis-
apalagi dalam proses terapi. Selama pertemuan dalam konteks klinis maupun terapi seorang
klien akan dipandang dengan kacamata antisipatif potensial, yang artinya kita menyadari
bahwa ia dapat terus berubah serta keadaannya saat ini adalah hasil perubahan.

Terdapat delapan poin yang perlu dipahami terkait cara pandang pendekatan
fenomenologis dan eksistensialisme terhadap manusia, yaitu:

5
1) Prinsip dasar eksistensialisme adalah eksistensi mendahului esensi. Maksudnya apa
dan bagaimana yang dilakukan manusia itu lebih penting daripada siapa atau apakah
dirinya.
2) Manusia adalah objek sekaligus subjek dari dan bagi dirinya. Manusia adalah
makhluk yang sekaligus berfikir dan bertindak (thinking as well as acting beings).
3) Manusia termotivasi untuk mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan penting
yang berhubungan dengan makna hidupnya.
4) Manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pada derajat yang sama.
5) Kebebasan eksistensial adalah kebebasan untuk bertindak, kebebasan untuk
bergerak secara bebas untuk mencapai tujuan konkretnya.
6) Kebebasan esensial adalah kebebasan untuk menjadi “ada”, meliputi berfikir,
membuat rencana, dan memiliki harapan.
7) “Mengada-dalam-dunia” (das sein) adalah keseluruhan eksistensi manusia yang di
pahami melalui penyelidikan terhadap “fenomena mengalami” seseorang secara
langsung.
8) Modus/cara “mengada-dalam-dunia” diungkapkan melalui tiga ranah-dunia:

a) Umwelt: lingkungan fisik; hubungan individu dengan dunia objek


b) Mitwelt: lingkungan sesama manusia; hubungan individu dengan dunia manusia
c) Eignwelt: ketubuhan dan kepsikologian diri (psychological and bodily self), yaitu
bagaimana individu menghayati ketubuhan dan kejiwaannya, hubungan individu
dengan atau terhadap keberadaan dirinya.

Berdasarkan delapan poin diatas, maka seorang psikolog diharapkan untuk mampu
menerima klien sebagai pribadi yang utuh, karena sebagai manusia, klien memiliki
kebebasan dan latar belakang sejarah kehidupan yang tidak bisa diubah.

2.3. Manusia: Verstehen dan Erklaren

Kata person mencakup beberapa ciri dari manusia yaitu dimana dihubungkan dengan
keunikan individu atau lebih dikenal dengan individual differences, manusia adalah makhluk
yang utuh, mencakup unsur rohani yang memperkaya dan membuat kehidupan menjadi
person unik dan manusia sebagai person yang dinamis. Sebagai person manusia mempunyai

6
harga diri yang disebut sebagai martabat, dimana martabat manusia tidak mengalami
perubahan selama individu merupakan manusia (Kusmaryanto, 2015). Ini berbeda dengan
harkat dimana mengandung pengertian dari derajat, taraf, mutu, dan ditinggikan
(Kusmaryanto, 2015).

Psikologi sebagai ilmu empiris mencakup dua pendekatan yaitu pendekatan induktif
dan deduktif. Pendekatan induktif mencakup keterlibatan pengalaman yang khusus dialami
subjek sedangkan pendekatan deduktif mencakup proses penalaran yang menyimpulkan
dimana suatu yang lebih umum secara implisit terkandung pengetahuan yang lebih khusus.
Kedua pendekatan ini selalu berdampingan dan membentuk siklus empiris yang bermula
dari teori yang dianggap sebagai jawaban dari suatu permasalahan. Jawaban ini akan
melalui pengujian verifikasi yang dilakukan melalui uji hipotesis. Pada uji hipotesis
diperlukan pendekatan dan proses eksplanasi (erklaren).

Manusia memiliki dunia dalam (inner world) yang tak teraba (intangible),yang
menjadi faktor untuk berekspresi dan motivasi. Oleh karena itu, pendekatan pemahaman
(verstehen) berguna untuk menelusuri kehidupan dunia yang bersifat subjektif bersamaan
dengan pendekatan eksplanasi (erklaren).

2.4. Psikologi sebagai Ilmu

Menurut kesan Hastjarjo yang merupakan seorang guru besar di Fakultas Psikologi
UGM, psikologi adalah disiplin ilmu di masa lalu yang terkotak-kotak, terpecah, tersekat-
sekat, dan terfragmentasi. Kesan ini terbentuk karena beberapa alasan, yaitu (Sutojo &
Hidajat, 2018):

2. Belum adanya kesepakatan mengenai definisi psikologi.


3. Belum adanya kesepakatan mengenai objek pada studi psikologi. Walaupun objek
psikologi ialah manusia, namun manusia dapat ditinjau dari berbagai segi. Jika dilihat
dari segi biologis, perilaku manusia dapat ditinjau dengan ilmu faal, sedangkan dari
segi sosial, perilaku manusia dapat ditinjau dengan faktor sosial sebagai determinan
suatu perilaku. Dilihat dari dua segi tersebut, psikologi terdiri dari dua disiplin ilmu,
yaitu ilmu biologi dan sosial.

7
4. Paradigma yang mempunyai asumsi dasar kontradiktif saling bersaing
memperebutkan pengaruh dan terdapat banyak perbedaan filsafat yang belum
terpecahkan. Konsep psikologi juga banyak yang mengalami tumpang tindih.

Augustinus Supratiknya yang merupakan seorang guru besar di Fakultas Psikologi


Universitas Sanata Dharma menjelaskan bahwa psikologi memiliki kaitan dengan empat
ilmu, yaitu ilmu biologi, ilmu fisika, ilmu sosial, serta ilmu kemanusiaan atau humaniora.
Adanya kaitan dengan empat ilmu ini, Supratiknya berpendapat bahwa psikologi merupakan
sebuah ilmu, namun karena banyak berkaitan atau beririsan dengan perilaku manusia,
sehingga akan sulit mencari batasan baku yang berlaku umum seperti yang terdapat dalam
ilmu eksakta lainnya. 

Selain itu, Alex Berezow sebagai seseorang yang bergerak dalam bidang mikrobiologi
mempertanyakan psikologi sebagai ilmu dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Why
Psychology Isn’t Science”. Menurut Berezow (dalam Sutojo & Hidajat, 2018), terdapat lima
syarat suatu ilmu pengetahuan, yaitu:

1. Quantifiability, yaitu dapat diukur.

2. Reproducibility, yaitu bisa diulang dan hasil yang didapatkan tetap sama.

3. Predictability and testability, yaitu ada pola tertentu untuk memprediksi suatu
kejadian serta adanya hipotesis untuk diuji.

4. Clearly defined terminology, yaitu perlu adanya definisi istilah yang berlaku
umum di seluruh belahan dunia.

5. Highly controlled experimental conditions, yaitu dimungkinkannya kondisi


eksperimental yang terkontrol dengan sangat ketat.

Amedeo Giorgi seorang pakar psikologi yang menekuni filsafat fenomenologi


mempertanyakan keberadaan dan kedudukan psikologi sebagai ilmu (Sutojo & Hidajat,
2018). Hal ini terdapat dalam tulisannya tahun 1992 “psychology disciplinary status is
ambiguous at best and chaotic at worst”. Menurut Giorgi, prosedur standar dalam
eksperimen psikologi dan pendekatan kuantitatif yang berkiblat pada teori psikologi justru
membuat hilangnya nilai-nilai ilmu psikologi yang sesungguhnya. Giorgi menyimpulkan

8
bahwa pendekatan filsafat fenomenologi diperlukan sebagai dasar metodologi dan cara
pandang dalam psikologi dengan lebih tepat.

Giorgi menyetujui bahwa psikologi merupakan sebuah ilmu karena psikologi menjadi


cabang ilmu-ilmu humaniora atau kemanusiaan. Giorgi menekankan psikologi sebagai ilmu
perlu lebih membuka cara pandang bahwa manusia secara aktif menginterpretasikan setiap
pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Melalui wawasan
fenomenologis, para praktisi dan ilmuwan psikologi diajak untuk melihat manusia dan
berbagai peristiwa secara lebih menyeluruh.

2.5. Psikologi sebagai Seni

2.5.1. George Simon


George Simon merupakan seorang praktisi psikologi di Amerika Serikat yang
mengemukakan bagaimana psikologi sebenarnya adalah sebuah seni. Ia berpendapat
bahwa dalam melakukan berbagai praktik seni sebagai psikolog, panduan utama yang
diperlukan adalah jangan sampai menyakiti klien yang dibantu atau didampingi, serta
berusaha agar semua teknik maupun metode yang diterapkan secara potensial
memiliki nilai manfaat atau daya guna. Simon menegaskan bahwa penguasaan
terhadap teknik maupun metode terutama bertujuan untuk menjaga kesejahteraan
kliennya terlebih dahulu, karena ia yakin bahwa psikologi pada dasarnya adalah seni.
2.5.2. Wilson
Wilson (2012) mengakui bahwa perilaku manusia merupakan sesuatu yang
kompleks, sehingga mungkin pengukuran yang terencana matang sekalipun tidak
akan pernah mampu menjawab mengapa dan bagaimana seseorang melakukan
sesuatu.
2.5.3. Jogalekar
Jogalekar (2013) menyatakan bahwa yang lebih penting sebenarnya adalah
cara pandang yang luas serta mengakui bahwa ilmu psikologi dibutuhkan oleh
masyarakat.
2.5.4. Toeti Heraty
Menurut Toeti Heraty, dalam kebudayaannya, manusia menemukan martabat
dan identitas dirinya. Ketika seseorang terjebak dalam kebudayaan yang difungsional
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, dimungkinkan terjadinya gangguan
jiwa dan kebingungan dan dalam hal inilah peran psikologi dibutuhkan.

9
2.6. Psikologi adalah Ilmu dan Seni

Psikologi tidak dapat dilepaskan dari dua sisi, baik ilmu maupun seni. Seorang
psikolog akan dituntut agar memiliki keseimbangan antara rasio dan intuisi dalam
memandang kliennya. Psikologi menyediakan pengetahuan, teori, konsep, dan falsafah
untuk memahami manusia. Di sisi lain, dibutuhkan keterampilan, kepekaan dalam observasi
dan wawancara, kemampuan diagnostic dan interpretasi yang memadai.

Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi tetap mengikuti kaidah-kaidah


ilmiah yang berlaku, sementara untuk menerapkannya dibutuhkan cara-cara yang
mempertimbangkan rasa dan hati nurani, memiliki patokan dalam mengolah fakta, data
serta melakukan pengukuran ilmiah. Dari sisi aplikatifnya, seorang psikolog harus bisa
membaca fenomena, mampu mengalami, dan berempati. Psikolog yang berperan sebagai
konselor harus benar-benar memahami berbagai teknik konseling dan memiliki
pengetahuan tentang latar belakang perkembangan teknik-teknik intervensi mutakhir.
Namun, ia perlu berhati-hati ketika menentukan pendekatan yang sesuai untuk kliennya.

Tidak selalu klien menyetujui apa yang disarankan oleh psikolog, dan belum tentu
klien mau segera terbuka terhadap konselornya. Banyak yang memiliki pertahanan diri
untuk sampai bersedia menceritakan semua peristiwa dan masa lalu yang mungkin tidak
menyenangkan. Di sini, dibutuhkan sisi seni dari psikolog, yaitu kemampuan untuk
merasakan jarak yang diciptakan klien dan mengatasinya dengan rapport yang membuat
klien merasa nyaman. Jika di sisi psikologi sebagai ilmu sangat penting untuk memahami
mengapa suatu hal terjadi, maka di sisi psikologi sebagai seni perlu dilatih kepekaan untuk
mengenal dan memahami bagaimana suatu perilaku tertentu terbentuk secara nyata hingga
terlihat.

Seorang psikolog memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan perannya sebagai


ilmuwan dan sebagai praktisi. Psikologi sebagai ilmu maupun psikologi sebagai ilmuwan dan
praktisi psikologi harus peka terhadap budaya. Budaya tertentu akan menentukan kebiasaan
dan pola-pola tertentu pada suatu peristiwa dan kurun waktu tertentu. Oleh karena itu,
psikolog dan ilmuwan atau praktisi psikologi perlu memperhatikan setiap gejala psikologis
kliennya secara kontekstual. Nilai keutamaan seorang psikolog adalah kemampuannya
untuk mencerna dan menerapkan nilai-nilai kemanusiaan (values of humanity).

10
Nilai yang diyakini seorang psikolog bisa berbeda dengan nilai yang diyakini kliennya.
Untuk itu, seorang psikolog perlu memahami shared human values. Psikolog harus peka
mana nilai yang berlaku umum dan mana hanya berlaku untuk suatu masyarakat atau
kelompok tertentu. Berkaitan dengan perbedaan nilai maupun norma antara psikologi dan
kliennya atau dengan sesama rekan psikolog lainnya, maka yang dianggap mampu
mencegah terjadinya pelanggaran adalah Kode Etik Profesi. Dalam psikologi, Kode Etik
Profesi berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara psikologi sebagai ilmu dan sebagai
seni.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dalam bidang psikologi, upaya untuk memahami manusia tidak dapat dilepaskan dari
bagaimana cara pandang yang diterapkan untuk mengakui eksistensi manusia itu sendiri.
Jadi, sebagai seorang psikolog harus memiliki dua capaian yaitu insight dan process untuk
bisa membantu kliennya karena tanpa memahami kedua poin penting ini, seorang psikolog
tidak dapat memberikan bantuan yang tepat kepada klien. Selain itu, pendekatan
fenomenologis dan eksistensialisme memberikan implikasi dalam cara pandang terhadap
manusia. Seorang psikolog harus memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan perannya
sebagai ilmuwan maupun sebagai praktisi. Selain itu seorang psikolog juga perlu memahami
shared human values untuk memahami suatu perbedaan nilai dengan kliennya. Untuk
mencegah adanya pelanggaran karena perbedaan ini, maka dibutuhkannya Kode Etik Profesi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Sutojo, N. N., & Hidajat, L. L. (2018). Etika psikologi; Menilik nurani psikolog indonesia.
Kompas Media Nusantara: Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai