Anda di halaman 1dari 18

PENTINGNYA WAWANCARA SEBAGAI CARA

PENGUMPULAN FAKTA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar-Dasar Jurnalistik

Dosen Pengampu: Suci Emelsi Jefri, S.Sos.., M.IKom

Disusun Oleh kelompok 3:

1. Disha Aqmarina Azzahra Steviano (2101030100)


2. Yudithia Andriani Hidayat (2101030103)
3. Danang Arif Syaifuloh (2101030128)
4. Raka Pratama (2101030118)
5. Hauzan Ridho (2101030163)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM SYEKH-YUSUF TANGERANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan materi
“Pentingnya Wawancara Sebagai Cara Pengumpulan Fakta”.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Dasar Jurnalistik Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis,
serta kami ucapkan terimakasi kepada ibu Suci Emelsi Jefri, S.Sos.., M.IKom yang
telah memberikan tugas ini sehingga kami dapat belajar lebih dalam mengenai
jurnalistik.

Dalam penyusunan makalah ini, kelompok kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
sifatnya membangun guna menyempurnakan makalah ini.

Tangerang, 20 Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................................4
PENDAHULUAN....................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................5
2.1 Definisi Wawancara.......................................................................................................5
2.2 Definisi Wawancara Menurut Para Ahli.........................................................................5
2.3 Model Wawancara..........................................................................................................6
2.4 Jenis Wawancara............................................................................................................7
2.5 Tahapan Dalam Wawancara...........................................................................................9
2.6 Etika Wawancara..........................................................................................................11
2.7 Tujuan Wawancara.......................................................................................................13
2.8 Faktor-Faktor Penting dalam Wawancara.....................................................................14
2.9 Sifat Wawancara...............................................................................................................15
BAB III...................................................................................................................................17
PENUTUP..............................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam jurnalistik wawancara memiliki peran yang sangat penting karna ketika
menggali suatu berita harus bedasarkan fakta yang akurat, wawancara membantu
untuk mengumpulkan informasi yang lebih dalam, kegiatan wawancara tidak hanya
sekedar bertanya untuk mendapatkan informasi dalam wawancara wartawan bertanya
kepada narasumber, untuk menggali lebih dalam informasi atau fakta tentang suatu
peristiwa atau masalah. Untuk menjadi seorang wartawan, selain dibutuhkan
keberanian, jadi wartawan juga butuh komitmen dan passion untuk menyalurkan
berita yang akurat dan layak dikonsumsi masyarakat luas. Karena jikalau hanya
sekadar melapor tanpa menguji, maka siapapun pasti bisa jadi wartawan. Maka dari
itu wartawan harus paham kode etik jurnalistik tentang ke akuratan berita, karna
berita yang di ambil harus bedasarkan suatu fakta agar tidak menimbulkan berita
berita hoax. Selanjutkan Informasi informasi yang telah di dapatkan dari hasil
wawancara itu nantinya dapat di ubah menjadi suatu narasi agar penyampaiannya
kepada khalayak dapat dimengerti dan dipahami.

1.2 Rumusan Masalah


 Apa yang dimaksud dengan wawancara ?
 Bagaimana proses dalam wawancara ?
 Apa tujuan wawancara ?

1.3 Tujuan Penulisan


 Memahami apa itu wawancara
 Memahami proses wawancara
 Memahami tujuan wawancara

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Wawancara


Wawancara (interview) merupakan percakapan antara dua orang atau lebih dan
berlangsung antara narasumber dan pewawancara untuk mendapatkan informasi
terkait peristiwa itu sendiri. Wawancara sendiri sebenarnya hanyalah obrolan biasa,
namun mempunyai tema atau topik pembicaraan tertentu. Dalam obrolan itu, ada
pihak bertanya (wartawan yang bertindak sebagai pewawancara) pihak yang
menjawab, atau memberi informasi (narasumber). Jadi teknik wawancara adalah
metode pengumpulan data atau berita dengan dialog, baik secara langsung maupun
tidak langsung oleh pewawancara kepada terwawancara untuk memperoleh informasi,
data atau pun berita.

Wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan


fakta, kepercayaan, perasaan, keinginan dan sebagainya yang diperlukan untuk
memenuhi tujuan penelitian. Wawancara mengharuskan kedua belah pihak baik itu
peneliti maupun subjek kajian bertemu dan berinteraksi langsung dan aktif agar dapat
mencapai tujuan dan data yang didapat baik dan akurat. Umumnya pewawancara
semestinya berusaha mendapatkan kerjasama yang baik dari subjek kajian
(responden). Dukungan dari para responden tergantung dari bagaimana peneliti
melaksanakan tugasnya, karena tujuan wawancara adalah untuk mendapatkan
informasi yang akan dianggap sebagai data dan data-data ini diperlukan untuk
membuat suatu rumusan sebaik mungkin untuk mencapai tujuan penelitian.
Sebenarnya aturan wawancara ini bukanlah hal yang bisa dipelajari dari buku atau
dari para pakar saja, karena wawancara tergantung dari kondisi, keadaan atau situasi.

2.2 Definisi Wawancara Menurut Para Ahli


 Lexy J Moleong

Lexy J Moleong menyatakan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud-


maksud tertentu. Pada metode ini peneliti dan responden berhadapan langsung (face
to face) untuk mendapatkan informasi secara lisan dengan tujuan mendapatkan data
yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian.

5
 Anas Sudijono

Menurut Anas Sudijono, pengertian wawancara adalah cara menghimpun bahan-


bahan keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab lisan secara
sepihak, berhadapan muka, dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan.

 Sutrisno Hadi

Sutrisno Hadi mengungkapkan bahwa wawancara adalah alat yang sangat baik untuk
mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, serta proyeksi
seseorang terhadap masa depannya, mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk
menggali masa lalu seseorang serta rahasia-rahasia hidupnya.

 Robert Kahn dan Channel

Menurut Robert Kahn dan Channel pengertian wawancara adalah pola khusus dari
interaksi dimulai secara lisan untuk tujuan tertentu, dan difokuskan pada daerah
konten yang spesifik, dengan proses eliminasi dari bahan-bahan yang tidak ada
hubungannya secara berkelanjutan.

2.3 Model Wawancara


 Wawancara langsung –bertatap muka (face to face)

Wawancara langsung atau wawancara tatap muka ini adalah salah satu bentuk
wawancara yang dilakukan secara berhadap-hadapan yang sangat banyak memberikan
kemungkinan panggilan informasi lebih dalam dan luas karena sebelumnya dilakukan
berjanjian lebih dulu dengan narasumber, topiknya atau fokusnya sudah dirancang
lebih dulu dan dalam hal kesempatannya pun lebih khusus, baik tempat maupun
waktu yang disediakan.

 Wawancara tidak langsung –misalnya melalui telefon, chating, dan email


(wawancara tertulis).

Wawancara melalui telepon ini biasanya dilakukan utuk mengkonfirmasi dan


mengejar deadline. Sebab itu, dalam wawancara melalui telepon ini percakapannya
pun singkat dan umumnya narasumber seringkali menolak untuk menjelaskan setiap
pertanyaan secara panjang lebar, kecuali narasumbernya sudah akrab dan bisa
menjadi narasumber si pewawancara. Di bandingkan dengan wawancara tatap muka,

6
wawancara telepon lebih terbatas. Pewawancara tidak bisa melihat langsung mimik
lawan bicaranya.

2.4 Jenis Wawancara


Berikut ini adalah jenis-jenis wawancara menurut buku “Jurnalistik Terapan,
Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan”:

1. Wawancara Berita (News-peg Interview) adalah wawancara yang dilakukan


untuk memperoleh keterangan, konfirmasi, atau pandangan mata mengenai suatu
masalah atau peristiwa.
2. Wawancara Cerobong (Funnel Interview) adalah wawancara yang dilakukan
secara santai, rileks, dalam waktu luang, dan diawali dengan pertanyaan-
pertanyaan ringan seputar latar belakang narasumber sebelum masuk ke dalam
pertanyaan pokok yang hendak ditanyakan.
3. Wawancara Cerobong Terbalik (Inverted-Funnel Interview) adalah
wawancara yang langsung menanyakan masalah pokok tanpa mengawalinya
dengan pertanyaan yang umum dan ringan. wawancara jenis ini biasanya
dilakukan dalam keadaan terdesak dengan waktu yang terbatas.
4. Wawancara Eksklusif (Exclusive Interview) adalah wawancara yang dilakukan
beberapa wartawan yang tergabung dalam satu media, dengan narasumber secara
khusus, berkaitan dengan masalah tertentu di tempat yang telah disepakati
bersama. hasilnya disajikan secara lengkap di media massa, biasanya dalam
format tanya jawab.

Menurut Floyd G. Arpan dalam “Toward Better Communications” seperti yang


dikutip Mappatoto (1999:21-22), berdasarkan bentuknya, wawancara dapat
dikelompokkan ke dalam tujuh jenis, yakni:

1. Wawancara Sosok Pribadi (Personal Interview) dilakukan dalam dua


golongan. Pertama, wawancara dengan public figure yang beritanya selalu
dinantikan oleh khalayak. Kedua, wawancara dengan orangorang yang berada di
luar orbit berita (orang biasa), tetapi orang tersebut menarik karena berperilaku
aneh atau melakukan pekerjaan yang tidak lazim dilakukan orang-orang
kebanyakkan.
2. Wawancara Berita (News Interview) adalah wawancara yang dilakukan dalam
rangka memperoleh pendapat atau tanggapan dari orang yang berwenang terhadap

7
suatu peristiwa atau berita besar. wawancara jenis ini juga biasa disebut dengan
wawancara cantelan berita (News peg). Wawancara berita umumnya dilakukan
untuk memperoleh keterangan atau pendapat dari seseorang atas pertimbangan
kewenangan, prestasi, atau keahliannya untuk diterbitkan sebagai staright news.
3. Wawancara Jalanan (Man in the Street Interview) adalah jenis wawancara
yang dilakukan di jalan-jalan umum dengan menyetop dan menanyai orang-orang
yang lewat tentang pendapat mereka berkenaan dengan suatu berita penting.
Dengan wawancara tersebut diharapkan diperoleh pendapat umum tentang
kejadian penting yang sedang hangat dibicarakan.
4. Wawancara Sambil Lalu (Casual Interview) adalah jenis wawancara yang tidak
direncanakan secara khusus tetapi berlangsung secara kebetulan. Pertemuan dan
dialog dengan orang yang berwenang dalam suatu resepsi adalah sarana
wawancara untuk memperoleh keterangan dari orang besar yang ditemui pada
kesempatan itu.
5. Wawancara Telepon (Telephone Interview) adalah wawancara untuk
memperoleh keterangan dari seseorang yang berwenang, dilakukan melalui
telepon yang sewaktu-waktu dapat diadakan antara wartawan dengan narasumber.
Memperoleh berita dengan cara ini akan lebih lancar jika sudah ada saling percaya
diantara wartawan dengan narasumber. Artinya, di mata narasumber, wartawan
yang bersangkutan memiliki integritas tinggi dan dapat dipercaya tidak akan
melakukan kesalahan. Sebaliknya, pihak wartawan tidak memiliki kepentingan
lain dengan narasumber kecuali hanya untuk memperoleh keterangan atau
informasi.
6. Wawancara Tertulis (Written Interview) adalah wawancara yang dilakukan
dengan cara surat-menyurat atau korespondensi. Kelemahan dalam wawancara ini
adalah kemungkinan akan ada bagian-bagian yang tidak jelas dari jawaban
narasumber, wartawan yang mewawancara tidak dapat meminta penjelasan dari
sumber yang bersangkutan seperti yang dilakukan dalam wawancara berita,
misalnya. Keuntungannya, berita yang disusun berdasarkan jawaban tertulis
diasumsikan tidak akan dibantah oleh narasumber, kecuali jika susunan berita
bertentangan dengan maksud berita.
7. Wawancara Kelompok (Discussion Interview) adalah wawancara yang
dilakukan dengan sekelompok orang, seakan-akan wartawan adalah peserta dalam
suatu seminar atau simposium. Hasil wawancara yang akan diberitahukan bukan

8
pendapat satu orang dalam seminar, tetapi merupakan rangkuman pendapat yang
transparan dalam seminar (Mappatoto, 1999:22).

2.5 Tahapan Dalam Wawancara


 Tahap Persiapan Wawancara
1. Menentukan topik yang akan dipercakapkan.

Ketika wawancara berlangsung ia sudah memiliki kerangka wawancara dan alur


pertanyaan yang menarik serta tidak berbelit-belit dalam melontarkan pertanyaan.
Selama melakukan wawancara, wartawan menggunakan naluri untuk membedakan
mana informasi yang benar dan mana informasi yang bohong.

2. Menentukan arah permasalahan

Sesudah pokok persoalan atau materi dikuasai, reporter harus menentukan arah,
informasi apa saja yang di butuhkan dari orang yang akan diwawancarai itu. Hal ini
perlu dilakukan agar dalam wawancara tersebut tidak terjadi percakapan yang
berkepanjangan yang tidak tentu arahnya. Dalam hal ini prinsip efisiensi, bukan saja
menyangkut waktu, tetapi juga materi perlu ditaati.

3. Menetapkan orang yang akan diwawancarai

Dalam hal ini harus jelas kriterianya, mengapa untuk masalah itu kita harus
mewawancarai orang tersebut. Ada beberapa kriteria dari orang yang akan
diwawancarai, yaitu mempunyai otoritas tentang sesuatu hal atau mempunyai human
interest yang tinggi.

4. Mengenali sifat narasumber

Untuk mengenali narasumber tersebut perlu mencari informasi yang selengkap


mungkin bisa bertanya kepada orang lain yang tahu atau dekat dengan narasumber
mengenai karier, kepentingan- kepentingan, keluarganya, hobi-hobi, dan kesukaan
lainnya.

5. Menghubungi narasumber

Membuat janji mengenai pelaksanaan wawancara. Cara ini bisa ditempuh melalui
telepon, namun yang perlu diketahui mengenai hal ini, perjanjian tersebut dibuat
apabila wawancara yang akan dilaksanakan adalah wawancara khusus.

9
6. Mempersiapkan peralatan yang diperlukan

Untuk melakukan wawancara tidak boleh lupa untuk membawa alat tulis yang
diperlukan. Ada beberapa peralatan yang harus dipersiapkan dalam wawacara yaitu
Alat tulis atau pena, Buku, Alat Perekam dan Kamera.

 Tahap Pelaksaan Wawancara


1. Menjaga Suasana

Untuk menciptakan suasana yang baik, kita memang memerlukan waktu dan
pendekatan seperti tanyakan dulu soal kesenangan-kesenangan atau hobi-hobi
seseorang. Jika dia sudah asyik bicara, baru hubungkan dengan persoalan-persoalan
yang menjadi topik pewawancara. Namun kita harus mengetahui secara tepat apakah
orang tersebut memiliki waktu yang panjang atau tidak. Kalau tidak, sebaiknya kita
langsung pada materi yang akan dipertanyakan

2. Bersikap wajar

Apabila berhadapan dengan orang yang pandai, kita merasa rendah diri dan kita harus
bisa mengimbanginya. Oleh karena itu ditekankan dalam persiapan perlu mempelajari
materi atau pokok persoalan sebelum mengadakan wawancara. Sebaiknya apabila
yang kita hadapi orang yang bodoh, kita harus dapat mengarahkan tanpa harus
mengguruinya. Dengan demikian orang tersebut dapat memahami persoalan yang
akan kita gali.

3. Memelihara situasi

dalam wawancara, memelihara situasi amat penting. Sebagai orang yang sedang
berupaya untuk mendapatkan bahan atau pendapat, kita tidak boleh terjebak dalam
situasi perdebatan dengan orang yang sedang kita wawancarai atau menjurus kearah
interogasi apalagi menghakimi.

4. Tangkas dalam menarik kesimpulan

Pada waktu mengadakan wawancara, kita dituntut untuk tetap setia mengikuti setiap
kata yang diucapkan orang yang kita wawancarai. Oleh karena itu juga harus
menyimpulkan pokok-pokok persoalan yang disampaikan secara tepat. Sebab dengan
kesimpulan yang tepat kita dapat melanjutkan wawancara secara lancar.

10
5. Menjaga pokok persoalan

Menjaga pokok persoalan sangat penting dalam kita mengadakan wawancara, supaya
apa yang kita inginkan dari wawancara tersebut bisa kita dapatkan dan kita bisa
menggali informasi sebanyak mungkin. Tetapi tidak jarang kita temui orang yang
secara sadar dapat lari dari persoalan pokok yang dibicarakan

6. Kritis

Dalam melakukan wawancara kita dituntut untuk jeli menangkap persoalan yang kita
percakapkan. Kekritisan tersebut tidak hanya menyangkut pokok persoalan atau isi
wawancara tetapi juga gerakan- gerakan orang-orang yang kita waancarai. Tentang
pokok persoalan, dengan kekritisan kita dapat meluruskan data apabila orang yang
kita wawancarai salah mengungkapkannya.

7. Sopan santun

Dalam menghadapi orang yang akan kita wawancarai, kita tidak boleh bersikap
sembarangan, sombong, atau seenaknya. Hal-hal praktis yang berkaitan dengan sopan
santun dalam mengadakan wawancara.

2.6 Etika Wawancara


Dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) juga disebutkan beberapa poin tentang etika
wawancara, seperti pasal 2 yaitu, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang
profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik dan pada pasal 9, “Wartawan
Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk
kepentingan publik.”

Wawancara yang baik dilakukan dengan cara yang baik juga. Dengan wawancara
yang baik, akan mendatangkan banyak keuntungan bagi jurnalis, seperti bisa
menambah informasi dan juga menambah relasi. 

Berikut etika yang harus diperhatikan jurnalis saat wawancara:

 Etika Wawancara Langsung

Wawancara langsung bisa dilakukan dengan tatap muka, atau lewat sambungan
telepon. Sebelum melakukan wawancara, jurnalis harus mencari narasumber yang
relevan dengan isu yang akan ditanyakan. Setelah menemukan narasumber yang pas,
segera hubungi dengan cara yang sopan, salah satunya lewat email atau pesan singkat.

11
Jangan lupa untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum menyampaikan
tujuan. Saat menghubungi narasumber, pastikan dengan bahasa yang sopan dan jelas.
Setelah itu, lakukan lobbying untuk menentukan waktu dan tempat wawancara. Jika
sudah ada kesepakatan, pastikan untuk datang tepat waktu.

Etika wawancara juga dibutuhkan saat sudah melakukan wawancara. Pastikan untuk
tidak memotong penjelasan narasumber, tapi jika terpaksa harus memotong,
lakukanlah dengan sopan dan tidak menyinggung. Jurnalis juga harus menghormati
jawaban dan privasi narasumber. Jangan langsung membantah jawaban narasumber
jika tidak setuju. Lakukan dengan sesopan mungkin.

 Etika Wawancara Press Conference

Tak jauh berbeda dari wawancara langsung, etika wawancara saat konferensi pers
juga harus memperhatikan kesopanan. Sebelum datang ke konferensi pers, pastikan
Anda sudah memahami isu yang akan disampaikan. Riset kecil juga diperlukan agar
jurnalis mampu mengulik lebih dalam mengenai isu terkait.

Sedangkan saat menyampaikan pertanyaan, jangan lupa untuk menyebutkan nama dan
asal media. Setelah itu, sampaikan pertanyaan dengan singkat dan jelas. Saat sesi
tanya jawab, jurnalis akan dipersilakan bertanya, namun terkadang dibatasi karena
masalah waktu. Jika itu terjadi, jangan ngotot untuk terus bertanya.

 Etika Wawancara Doorstop

Wawancara cegat atau doorstop, kerap dilakukan dalam kondisi genting. Walau
begitu, jurnalis tidak boleh melupakan etika wawancara yang baik. Jika memang
memerlukan wawancara doorstop, jurnalis harus mempersiapkan diri, tak hanya
pertanyaan tapi juga fisik, karena harus berdesakan dengan rekan media lain. Saat
hendak bertanya, jurnalis bisa langsung menanyakan pertanyaan kepada narasumber
tanpa harus memperkenalkan diri. Asalkan, jurnalis sudah menunjukkan identitasnya
dengan ID Card atau atribut pers lainnya. Sampaikan pertanyaan dengan singkat, jelas
dan padat.

Selain etika wawancara tersebut, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan
saat wawancara, yaitu merekam dan mencatat poin penting saat wawancara. Jika
narasumber meminta off the record, jurnalis harus menghormatinya. Jangan lupa juga
etika jurnalisme harus dijaga, yakni akurasi, independensi, objekivitas, berimbang,

12
dan mementingkan kepentingan publik. Berikut prinsip inti jurnalisme yang harus
dianut dan dikembangkan oleh seorang jurnalis, menurut Committee of Concerned
Journalist:

 Jurnalisme adalah pada kebenaran.


 Loyalitas pada masyarakat.
 Disiplin melakukan verifikasi.
 Memiliki kebebasan untuk menentukan sumber yang diliput.
 Mengemban tugas bebas dari kekuasaan.
 Menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik.
 Membuat yang penting menjadi menarik dan relevan.
 Menjaga berita proporsional dan konprehensif.
 Memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya.

2.7 Tujuan Wawancara


Tujuan wartawan melakukan wawancara adalah untuk memperoleh informasi. Namun
informasi macam apa yang ingin digali, bisa dirinci sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh fakta.

Guna memperoleh fakta yang penting dari suatu wawancara, reporter harus
menemukan sumber yang kredibel dan bisa dipercaya, dengan informasi akurat.
Wartawan bisa saja mewawancarai orang yang kebetulan ditemui di jalan untuk
dimintai pendapatnya tentang kondisi krisis ekonomi Indonesia. Ucapan orang itu
mungkin bagus untuk dikutip, namun tidak memiliki kredibilitas. Seorang ekonom
jelas lebih kredibel diwawancarai tentang kondisi ekonomi, walaupun ekonom sering
bicara dengan jargon-jargon disiplin ilmunya yang harus diterjemahkan ke bahasa
yang mudah dimengerti.

2. Untuk mencari kutipan.

Begitu wartawan sudah menyelesaikan riset faktual untuk tulisannya, wartawan itu
perlu menambahkan sesuatu agar tulisannya lebih menarik. pembaca dapat lebih
menghayati makna statistik itu dengan membaca kutipan wawancara mereka yang
terlibat atau menjadi penerima penyaluran kredit tersebut.

13
3. Untuk mengumpulkan anekdot.

Penuturan cerita anekdot dapat memberi tambahan warna dan wawasan pada tulisan.
Anekdot biasanya berupa kata-kata singkat yang sengaja diselipkan dalam tulisan,
dengan tujuan agar lebih segar dan tidak membuat orang menjadi jenuh.

4. Untuk memberi karakter pada situasi.

Wartawan dapat menggunakan reaksi seseorang di lokasi peliputan untuk memberi


karakter pada situasi. Misalnya, dalam meliput korban gempa bumi, wartawan
menemukan seorang perempuan tua berdiri di depan reruntuhan bangunan, yang dulu
pernah menjadi rumahnya. “Lima puluh tahun kehidupan saya hancur dalam waktu
kurang dari satu menit, ketika seluruh atap dan bagian bangunan lantai dua ambruk
sampai rata dengan tanah,” ujar perempuan itu. Dengan mengutip ucapan itu,
wartawan tersebut dapat memberi karakter pada peristiwa gempa bumi, dengan cara
khas yang akan diingat oleh pembaca.

5. Untuk mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui.

Kadang-kadang wartawan membutuhkan seseorang untuk membenarkan atau


membantah sebuah tuduhan atau sejumlah informasi, yang sudah diketahui
sebelumnya. Wawancara untuk konfirmasi biasanya berarti wartawan sudah tahu
jawabannya sebelum mengajukan pertanyaan, dan wartawan itu siap
mengkonfrontasikan apapun jawaban pemberi wawancara dengan informasi yang
sudah diketahui wartawan bersangkutan.

2.8 Faktor-Faktor Penting dalam Wawancara


Setelah wartawan yakin telah menguasai permasalahan, langkah berikutnya adalah
menentukan siapa sumber yang akan diwawancarai. Orang dapat bermanfaat sebagai
pemberi wawancara karena sejumlah alasan. Pemberi wawancara yang ideal adalah
yang memenuhi semua faktor ini. Untuk proyek peliputan yang panjang, faktor-faktor
ini menjadi penting:

 Kemudahan diakses (accessibility). Apakah wartawan dengan mudah dapat


mewawancarai orang ini? Jika tidak mudah dihubungi, berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk bisa menghubungi? Apakah wawancara harus
dilakukan lewat telepon atau tertulis, ketimbang bertemu muka langsung? Jika

14
narasumber ini bersifat vital bagi peliputan, wartawan harus realistis tentang
prospek wawancara ini.
 Reliabilitas (reliability). Apakah orang ini bisa dipercaya sebelumnya?
Apakah informasi yang diberikan bisa dibuktikan benar oleh sumbersumber
independen lain? Apakah narasumber ini pakar yang betul-betul mengetahui
permasalahan? Apa latar belakang kepentingannya sehingga ia bersedia
diwawancarai? Wartawan harus hati-hati, karena ia akan terlihat bodoh jika
melaporkan isu atau desas-desus yang belum jelas kebenarannya.
 Akuntabilitas (accountability). Apakah orang ini secara langsung
bertanggungjawab atas informasi yang diinginkan wartawan atau atas
tindakan-tindakan yang sedang diinvestigasi? Apakah ada sumber lain yang
lebih punya otoritas tanggungjawab langsung ketimbang orang ini? Berapa
orang sebenarnya yang diwakili oleh seseorang yang menyebut diri sebagai
juru bicara?
 Dapat-tidaknya dikutip (quotability). Mewawancarai seorang pakar yang fasih
dan punya informasi lengkap mungkin dapat mengembangkan tulisan, seperti
seorang pejabat publik yang blak- Wawancara/Diktat Kuliah 3 Dede
Mulkan/Fikom-Unpad blakan dan suka membuat pernyataan-pernyataan
kontroversial. Para tokoh masyarakat atau selebritis biasanya sudah tahu,
ucapan macam apa yang suka dikutip wartawan. Sedangkan orang awam
biasanya tidak ahli dalam “merekayasa” komentar yang bagus buat dikutip
wartawan.

2.9 Sifat Wawancara


Di dalam lingkungan pers internasional dikenal wawancara yang sifatnya berbeda-
beda. Antara lain:

 On the Record. Nama dan jabatan pemberi wawancara dapat digunakan


sebagai sumber, dan keterangannya boleh dikutip langsung serta dimuat di
media massa.
 Off the Record. Pemberi wawancara tidak dapat digunakan sebagai sumber
dan keterangannya tidak boleh dimuat di media massa.
 Background. Boleh menggunakan kutipan langsung atau menyiarkan
keterangan apapun yang diberikan, tetapi tanpa menyebutkan nama dan

15
jabatan pemberi wawancara sebagai sumbernya. Misalnya, digunakan istilah
“sumber di departemen/badan...” menurut persyaratan yang disepakati dengan
pemberi wawancara. Kadang-kadang disebut juga “not for attribution”.
 Deep Background. Tidak boleh menggunakan kutipan langsung atau
menyebut nama, jabatan, dan instansi pemberi wawancara.

Reporter harus memberitahu redaktur tentang sifat wawancara yang dilakukannya.


Apapun bentuk kesepakatan yang telah dicapai dengan pemberi wawancara, itu harus
dihormati dan terwujud dalam pemberitaan. Kalau pemberi wawancara tidak ingin
disebut namna dan jabatannya, misalnya, nama dan jabatannya itu tegas tidak boleh
dimuat. Redaktur perlu diberitahu karena begitu berita hasil wawancara itu dimuat,
tanggung jawab atas isi berita tidak lagi terletak di pundak reporter, tetapi menjadi
tanggungjawab institusi media bersangkutan.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Wawancara sangat penting dalam tugas jurnalistik wartawan karena
merupakan sarana atau teknik pengumpulan data dan informasi. Setiap peliputan
hampir selalu membutuhkan wawancara dengan sumber informasi. Dalam mencari
berita, seorang reporter mendapatkan informasi dari berbagai sumber. Namun, semua
itu tidaklah cukup untuk dijadikan sebagai berita. Reporter harus terjun langsung ke
lokasi terjadinya suatu peristiwa atau lebih dikenal dengan observasi. Hal ini
bertujuan agar informasi yang diperoleh benar-benar valid sesuai dengan peristiwa
yang sedang berlangsung atau terjadi. Sajian informasi yang baik pada umumnya
menggunakan bahan- bahan informasi yang diperoleh melalui teknik wawancara,
observasi, dan teknik lainnya. Jadi, observasi dan wawancara merupakan sama-sama
hal yang penting

Demikian pula informasi yang disajikan di berbagai media pada dasarnya


merupakan hasil formulasi dari berbagai bahan- bahan informasi yang digali baik
melalui wawancara, pengamatan, atau teknik lainnya. Dalam hal ini masing-masing
teknik pengumpulan informasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi
satu dengan yang lainnya. Hanya saja dalam penyusunan informasi harus
mempertimbangkan secara cermat bahan-bahan informasi mana yang memperoleh
porsi utama dan mana yang bersifat penunjang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Patmono SK. 1996. Teknik Jurnalistik. (Jakarta:BPK Gunung Mulia)

Asep Syamsul M, Romli. 2001. Jurnalistik Praktis. (Bandung :


PT REMAJA ROSDAKARYA)

Yunaldi. 1992. Kiat Praktis Jurnalistik. (Padang: Angkasa Raya)

Mulkan,Dede. 2007. Wawancara. (Bandung: Universitas Padjajaran)

18

Anda mungkin juga menyukai