AUDIT FORENSIK
“Interview Interogasi”
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Muhammad Farhan (A014211003)
Gina Anggi Rianthy (A014211002)
Asriyana (A014211001)
KELAS B
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM PROFESI AKUNTANSI
MAKASSAR
2022
1
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Interview Interogasi”. Makalah ini
merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Audit Forensik. Makalah ini terdiri dari 3
bab yaitu pendahuluan, pembahasan dan penutup.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan serta
memenuhi kewajiban tugas. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Penulis.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
SAMPUL ...................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................................. 3
BAB I Pendahuluan..................................................................................................... 4
1. Latar Belakang .................................................................................................. 4
2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
3. Tujuan ............................................................................................................... 5
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Wawancara dan interogasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah
investigasi Fraud, seperti umumnya pelaksanaan investigasi, salah satu tantangan terberat
dari wawancara dan interogasi adalah "waktu" seorang investigator yang baik harus
mampu membuat jadwal dan urutan wawancara yang benar sebelum wawancara
dilakukan, terutama untuk case-case yang melibatkan karyawan / nasabah / pihak ketiga
terkait dalam jumlah banyak.
4
Penggunaan kekerasan masih terjadi (umumnya dalam kejahatan dengan
kekerasan dan kasus pemerkosaan) karena penyidik mempunyai pengalaman bahwa
pengakuan terdakwa membawa sukses dalam penuntutan dan tahap-tahap selanjutnya.
Penggunaan kekerasan untuk memaksa “terdakwa” mengakui “kesalahannya”
terkadang terungkap. Kasus terkenal semacam ini di Indonesia adalah kasus Sengkon dan
Karta. Peristiwa serupa dengan pemberitahuan luas di media massa terjadi lagi baru-baru
ini dalam kasus terduga teroris, Siyono, yang tewas diduga karena disebabkan penyiksaan
yang dilakukan oleh anggota Densus 88.
Sementara itu, penggunaan kekerasan fisik dalam penyelidikan kasus kejahatan
kerah putih atau whote-collar crime dan kasus-kasus tidak pidana korupsi di Indonesia,
tidak terdengar. Perilaku menyimpang dari penyidik dalam kasus kejahatan kerah putih
lazimnya berupa pemerasan.
Pemeriksa fraud atau investigator harus mengerti sepenuhnya wewenang atau
mandat yang dimiliki lembaganya. Investigator di suatu lembaga tertentu mungkin hanya
bisa melakukan wawancara, tetapi tidak berwenang melaksanakan interogasi. Semetara
itu, investigator di lembaga lain boleh melakukan keduanya. Ini merupakan alasan lain
investigator perlu memahami perbedaan makna wawancara dan interogasi.
2. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari wawancara dan interogasi ?
2. Apakah perbedaan wawancara dan interogasi ?
3. Apakah ciri – ciri suatu wawancara ?
4. Apakah ciri – ciri suatu interogasi ?
5. Apakah manfaat melakukan wawancara sebelum interogasi ?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari wawancara dan interogasi.
2. Untuk mengetahui perbedaan wawancara dan interogasi.
3. Untuk mengetahui ciri – ciri wawancara.
4. Untuk mengetahui ciri – ciri interogasi.
5. Untuk mengetahui manfaat melakukan wawancara sebelum interogasi.
5
BAB 2
PEMBAHASAN
6
tertentu. Wawancara dapat saja berupa satu pertanyaan atau rangkaian pertanyaan yang
kemudian dituangkan dalam suatu Bertita Acara Permintaan Keterangan yang disetujui
oleh pihak pewawancara dan yang diwawancarai.
7
Wawancara dapat dilakukan dalam berbagai lingkungan atau suasana. Pemeriksa
terkadang mempunyai peluang menemui orang itu di kantornya, atau dalam pejalanan
(jalan kaki) dari tempatnya makan siang, di sudut jalan, dalam mobil, dan lain-
lain.Memang, idealnya, wawancara meskipun semua informasi belum diperolehnya.
Wawancara harusnya bersifat cair, tidak terstruktur, dan bisa melompat dari satu
pokok ke pokok pembicaraan lain. Sebelum wawancara dimulai, pemeriksaan
mempunyai gambaran mengenai informasi apa yang ingin dikumpulkannya. Namun, ia
juga tidak boleh kaku. Secara kreatif, ia harus mengembangkan pertanyaan atas informasi
yang diterimanya selama wawancara berlangsung. Informasi baru mungkin tidak diduga
atau diharapkan. Pemeriksa juga pandai membaca suasana, misalnya untuk memutuskan
menghentikan wawancara meskipun semua informasi belum diperolehnya.
Investigator harus membuat catatan mengenai wawancara formal (formal
interview) yang dilakukannya. Wawancara formal adalah wawancara yang dilakukan
dalam lingkungan terkendali (controlled information). Mencatat mempunyai beberapa
kegunaan. Bukan saja ada pendokumentasian, tetapi mencatat juga menyebabkan
investigator memperlambat proses bertanya. Ini memungkinkan investigator mengamati
perilaku dari orang yang diwawancarainya. Pemeriksa perlu mengetahui bahwa seseorang
lebih mudah berbohong ketika pertanyaan diajukan dengan kecepatan tinggi., seperti
tembakan yang dilepas dari senapan otomatis. Mengatur tanya-jawab yang diselingi masa
hening yang panjang memberi peluang bagi yang diwawancarai untuk berfikir mengenai
tanggapan yang bersifat menyesatkan (deceptive response). Pada gilirannya, ini akan
menyebabkan kecemasan yang terlibat dalam gejala tingkah laku menipu (behavior
symptoms of deception). Juga, kalau yang diwawancarai adalah orang yang tidak bersalah,
ia bisa bingung menghadapi pertanyaan yang diajukan dengan kecepatan tinggi.
Catat hasil wawancara dari awal sampai akhir, dan jangan sporadic (kadang
dicatat, kadang tidak). Mencatat secara sporadic memberi kesan kepada yang
diwawancarai bahwa jawaban tertentu penting sehingga dicatat oleh investigator. Ketika
ditanyakan, pertanyaan lain yang terkait dengan jawaban yang dicatat, ia akan menjadi
ekstra hati-hati. Mencatat secara sporadis akan menghambat arus informasi selama
wawancara.
8
4. Ciri-ciri suatu Interogasi
9
bahwa orang itu bersalah. Namun, ia sebenarnya berhasil. Interogasinya mengungkapkan
kebenaran bahwa orang yang curigai ternyata tidak bersalah.
Interogasi juga sering berakhir dengan pengakuan bersalah oleh pelaku. Pada
contoh ini, keberhasilan interogasi bukan diwujudkan dalam pengakuan bersalah,
melainkan dalam mengetahui siapa yang sebenarnya bersalah.
Interogasi dilakukan dalam lingkungan yang terkontrol atau terkendali (controlled
environment), bukan disembarang tempat. Taktik persuasi yang digunakan memerlukan
lingkungan yang ada privacy, tidak terganggu orang yang lalu lalang dan bebas dari
halangan lain (seperti suara bising tempat umum).
Interogasi hanya dilakukan sesudah investigator mempunyai keyakinan yang
memadai mengenai salahnya seseorang. An interrogation is conducted only when the
investigator is reasonably certain of the suspect’s guilt. Investigator harus mempunyai
alasan untuk percaya bahwa seseorang telah berbohong. Alasan ini mungkin berupa
perilakunya selama wawancara, keterangan yang berubah-ubah sebagai tanggapan atas
pertanyaan yang sama, adanya petunjuk bahwa ia berbohong, dan lain-lain. Interogasi
tidak boleh digunakan sebagai alat atau cara utama untuk menilai jujur tidaknya
seseorang; penilaian ini seharusnya dapat dicapai dalam wawancara yang bersifat tidak
menuduh.
Investigator tidak boleh membuat catatan sampai sesudah tertuduh menceritakan
yang sebenarnya dan berketetapan hati (committed) untuk tidak bersingut dari posisi itu.
Membuat catatan terlalu dini akan mengingatkan tertuduh bahwa keterangannya akan
merugikan dirinya. Bahkan, para pakar menyarankan bahwa bukan saja catatan dibuat
sesudah tertuduh sepenuhnya mengakui apa yang sebenarnya terjadi, pengakuan itu juga
harus disaksikan investigator lain. Barulah, setelah ada pengakuan yang disaksikan
investigator lain, investigator mendokumentasikan pengakuan tersebut dan segala
perincian dari pengakuannya.
Investigator sering kali melakukan interogasi meskipun ia tidak punya bukti atau
petunjuk untuk menuduh seseorang, dan keputusan untuk menginterogasi orang itu
didorong oleh keinginan untuk mencari bukti. Umumnya, interogasi semacam ini
dilakukan sekadar karena investigator mempunyai persepsi bahwa orang itu mempunyai
10
perilaku aneh. Padahal, untuk menentukan seseorang berperilaku aneh, wawancara yang
bersifat tidak menuduh merupakan sarana yang lebih baik dari interogasi.
Selain nilai behavioral information dari suatu wawancara, juga ada investigative
information. Investigative information ini sangat diperlukan ketika wawancara akan
ditingkatkan menjadi interogasi. Namun, investigator sering tergoda untuk mengambil
jalan pintas, mengabaikan wawancara, dan langsung melakukan interogasi. Pendekatan
ini sangat tidak disarankan karena:
1. Sifat tidak menuduh dalam wawancara memungkinkan investigator membangun
hubungan saling memercayai dan menghormati yang mungkin dibangun dalam suasana
dan sifat menuduh yang melekat pada interogasi;
2. Selama wawancara, investigator sering kali mengorek keterangan penting mengenai
tertuduh yang sangat berharga sewaktu melaksanakan interogasi;
3. Tidak ada jaminan tertuduh akan mengaku bersalah dalam proses interogasi. Padahal,
kalau ia diwawancarai terlebih dahulu dan memberikan keterangan palsu selama
wawancara, investigator dapat menggunakan keterangan dari hasil interogasi yang
mengungkpakan kebohongannya. Hal ini membawanya lebih dekat kearah putusan
pengadilan yang menyataka ia bersalah;
4. Ada keuntungan psikologi bagi investigator ketika ia melakukan wawancara sebelum
interogasi. Agar interogasi berhasil, tertuduh harus memercayai investigator bahwa ia
objektif (tidak memihak) dan jujur. Ini akan lebih mudah dicapai apabila investigator
menawarkan kesempatan kepada tertuduh untuk menceritakan yang sebenarnya melalui
wawancara.
Tentu ada perkecualian terhadap saran di atas. Misalnya, dalam kasus penyuapan
yang “tertangkap tangan” atau fraud yang terungkap dalam suatu covert operation,
interogasi sebaiknya langsung dilakukan tanpa didahului dengan wawancara.
BPKP (2007) menyatakan untuk memperoleh hasil wawancara yang memadai,
maka wawancara seharusnya dilakukan oleh auditor investigatif yang mempunyai
karakteristik berikut yaitu:
11
4. Dapat menyusun pertanyaan yang spesifik yang bisa membuat responden secara sukarela
memberikan informasi.
5. Menunjukkan keseriusan dan perhatian atas jawaban yang diberikan responden.
6. Cara mengajukan pertanyaan tidak dengan sikap yang menyalahkan.
7. Pewawancara harus tepat waktu, berpakaian rapi dan bersikap fair dalam berinteraksi
dengan responden.
Namun dalam kenyataan sering wawancara dilakukan oleh auditor yang tidak
mempunyai karakteristik seperti tersebut diatas, sehingga hasil wawancaraya kurang
berhasil atau justru tidak berhasil, yang mengakibatkan hasil audit investigasinya kurang
meyakinkan. Hal itu banyak disebabkan kurangnya auditor investigatif yang tersedia di
instansi tersebut. Selain kriteria tersebut diatas auditor investigatif dalam melaksanakan
auditnya harus selalu dilandasi dengan sikap mental dan independensi serta integritas
yang tinggi untuk menghindarkan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh auditor,
misalnya adanya penyuapan.
12
BAB 3
PENUTUP
1. Kesimpulan
13
DAFTAR PUSTAKA
Tuanakotta, T.M. (2007), Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
14