Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AUDIT FORENSIK

“Interview Interogasi”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Muhammad Farhan (A014211003)
Gina Anggi Rianthy (A014211002)
Asriyana (A014211001)

KELAS B

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM PROFESI AKUNTANSI
MAKASSAR
2022

1
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Interview Interogasi”. Makalah ini
merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Audit Forensik. Makalah ini terdiri dari 3
bab yaitu pendahuluan, pembahasan dan penutup.

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan serta
memenuhi kewajiban tugas. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Penulis.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 20 April 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

SAMPUL ...................................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................................. 3

BAB I Pendahuluan..................................................................................................... 4
1. Latar Belakang .................................................................................................. 4
2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
3. Tujuan ............................................................................................................... 5

BAB II Pembahasan .................................................................................................... 6


1. Definisi Wawancara dan Interogasi ................................................................... 6
2. Perbedaan Wawancara dan Interogasi.............................................................. 6
3. Ciri – Ciri Suatu Wawancara ............................................................................. 6
4. Ciri – Ciri Suatu Interogasi................................................................................. 9
5. Manfaat Melakukan Wawancara Sebelum Interogasi ...................................... 10

BAB III Penutup ......................................................................................................... 13


1. Kesimpulan ..................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 14

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Wawancara dan interogasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah
investigasi Fraud, seperti umumnya pelaksanaan investigasi, salah satu tantangan terberat
dari wawancara dan interogasi adalah "waktu" seorang investigator yang baik harus
mampu membuat jadwal dan urutan wawancara yang benar sebelum wawancara
dilakukan, terutama untuk case-case yang melibatkan karyawan / nasabah / pihak ketiga
terkait dalam jumlah banyak.

Apabila waktu memungkinkan saya pribadi lebih menyukai proses wawancara


secara lisan, dilanjukan pemberian pernyataan tertulis oleh yang dimintai keterangan dan
ditutup dengan interogasi dalam bentuk pembuatan BAP. alasannya sederhana, yang
pertama untuk melihat konsistensi dari keterangan yang diberikan, dan yang kedua
terdapat informasi yang kadang tidak tersampaikan pada setiap sesi tersebut, sehingga
informasi yang diberikan bisa saling melengkapi satu sama lain. Setelah dilakukan telaah
baru dimulai dengan audit investigatif dengan tujuan untuk mengumpulkan bukti-
bukti/informasi dalam rangka pembuktian atas kasus yang terjadi.
Informasi harus sebanyak-banyaknya dikumpulkan, karena informasi merupakan
nafas dan darahnya audit investigatif. Informasi tersebut diperoleh melalui pengumpulan
bukti-bukti seperti pemeriksaan fisik, dokumen, konfirmasi, prosedur analitis,
penghitungan ulang, observasi maupun tanya jawab. Semua bukti-bukti tersebut biasanya
dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dilakukan wawancara. Karena kalau bukti-bukti
tersebut belum lengkap, auditor investigatif belum mempunyai bekal mengenai fakta atau
informasi yang banyak mengenai permasalahan/kasus tersebut sehingga sulit untuk
dilanjutkan dengan wawancara.
Setelah auditor investigatif mengetahui banyak fakta dan informasi melalui bukti-
bukti yang telah diperoleh, maka tahap berikutnya adalah wawancara dalam rangka
meyakinkan bukti-bukti yang telah diperoleh betul-betul bukti audit yang kompeten dan
bisa digunakan sebagai dasar penyusunan Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI). Untuk
memperdalam hasil wawancara biasanya diajukan dengan interogasi.

4
Penggunaan kekerasan masih terjadi (umumnya dalam kejahatan dengan
kekerasan dan kasus pemerkosaan) karena penyidik mempunyai pengalaman bahwa
pengakuan terdakwa membawa sukses dalam penuntutan dan tahap-tahap selanjutnya.
Penggunaan kekerasan untuk memaksa “terdakwa” mengakui “kesalahannya”
terkadang terungkap. Kasus terkenal semacam ini di Indonesia adalah kasus Sengkon dan
Karta. Peristiwa serupa dengan pemberitahuan luas di media massa terjadi lagi baru-baru
ini dalam kasus terduga teroris, Siyono, yang tewas diduga karena disebabkan penyiksaan
yang dilakukan oleh anggota Densus 88.
Sementara itu, penggunaan kekerasan fisik dalam penyelidikan kasus kejahatan
kerah putih atau whote-collar crime dan kasus-kasus tidak pidana korupsi di Indonesia,
tidak terdengar. Perilaku menyimpang dari penyidik dalam kasus kejahatan kerah putih
lazimnya berupa pemerasan.
Pemeriksa fraud atau investigator harus mengerti sepenuhnya wewenang atau
mandat yang dimiliki lembaganya. Investigator di suatu lembaga tertentu mungkin hanya
bisa melakukan wawancara, tetapi tidak berwenang melaksanakan interogasi. Semetara
itu, investigator di lembaga lain boleh melakukan keduanya. Ini merupakan alasan lain
investigator perlu memahami perbedaan makna wawancara dan interogasi.

2. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari wawancara dan interogasi ?
2. Apakah perbedaan wawancara dan interogasi ?
3. Apakah ciri – ciri suatu wawancara ?
4. Apakah ciri – ciri suatu interogasi ?
5. Apakah manfaat melakukan wawancara sebelum interogasi ?

3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari wawancara dan interogasi.
2. Untuk mengetahui perbedaan wawancara dan interogasi.
3. Untuk mengetahui ciri – ciri wawancara.
4. Untuk mengetahui ciri – ciri interogasi.
5. Untuk mengetahui manfaat melakukan wawancara sebelum interogasi.

5
BAB 2
PEMBAHASAN

1. Definisi Wawancara dan Interogasi

Tuanakotta (2007) menyatakan wawancara dan interogasi merupakan suatu teknik


atau alat investigasi yang sangat penting. Banyak orang, termasuk profesional dalam
bidang penyidikan mengacaukan istilah wawancara atau interview dengan istilah
interogasi atau interrogation. Keduanya berbeda baik tujuan maupun cara.
Permasalahan lain yang sering dijumpai di Indonesia adalah penggunaan
kekerasan dan intimidasi dalam melakukan wawancara dan interogasi. Penyidik
menggunakan taktik ini untuk memaksa pengakuan dari “pelaku”. Hal ini keliru:
1. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pengakuan terdakwa dapat diperolah
tanpa kekerasan.
2. Ketika menyaksikan banyaknya “pengakuan” tersangka dalam Berita Acara
Pemeriksaan yang kemudian dibantahnya dalam persidangan pengadilan.
3. Pengakuan tersangka hanyalah salah satu alat bukti, itupun harus ada penyesuaian
dengan unsur pembuktian yang ada pada alat bukti lain.

2. Perbedaan antara Wawancara dengan Interogasi

Kedua istilah ini, wawancara dan interogasi, sering digunakan sebagai


sinonim. Hal ini umumnya karena ketidaktahuan. Ada juga penyidik yang mengerti
makna kedua istilah ini, tetapi sengaja menggunakannya secara “keliru”. Misalnya, untuk
memberi kesan kepada majelis hakim bahwa ia tidak menggunakan kekerasan, maka ia
menggunakan istilah wawancara padahal istilah interogasi lebih tepat menggambarkan
tidak pemeriksaan atau investigasinya.

3. Ciri-ciri suatu Wawancara

BPKP (2008) mengidentifikasikan bahwa wawancara adalah suatu sesi tanya


jawab yang dirancang untuk memperoleh informasi. Tidak seperti pembicaraan biasa,
wawancara memiliki bentuk tersendiri, terstruktur, dan memiliki tujuan

6
tertentu. Wawancara dapat saja berupa satu pertanyaan atau rangkaian pertanyaan yang
kemudian dituangkan dalam suatu Bertita Acara Permintaan Keterangan yang disetujui
oleh pihak pewawancara dan yang diwawancarai.

Tuanakotta (2009) menyebutkan bahwa wawancara bersifat netral, tidak


menuduh. An interview is nonaccusatory. Ini perbedaan utama antara wawancara dengan
interogasi. Sekalipun investigator mempunyai alasan untuk percaya bahwa yang
bersangkutan terlibat dalam kejahatan atau ia telah berbohong, substansi dan caranya
bersifat nonaccusatory ketika melakukan wawancara.
Dengan cara dan dana yang tidak bersifat menuduh, investigator dapat
mengembangkan hubungan yang menimbulkan rasa percaya dan hormat. Dengan orang
yang diwawancarainya.
Tuanakotta (2009) menyatakan tujuan wawancara adalah mengumpulkan
informasi. Selama melakukan wawancara, investigator harus mengumpulkan informasi
yang penting bagi investigasinya (investigative information) dan informasi mengenai
perilaku dari orang yang diwawancarainya (behavioral information).
Contoh investigative information: apa hubungan antara orang yang diwawancarai dengan
orang tertentu yang dicurigai merupakan otak dari perbuatan tindak pidana yang
diperiksa. Contoh behavioral information: keterangan mengenai perilaku orang yang
diwawancarai ketika ia menjawab pertanyaan, bagaimana ia duduk, kontak mata dengan
yang mewawancarainya, ekspresi wajahnya, caranya memberi tanggapan atau jawaban,
pilihan kata atau kalimat; semua ini dapat memberi petunjuk apakah ia berkata jujur atau
berbohong.
Pada akhirnya, pewawancara harus menilai kredibilitas dari tanggapan yang
diberikan oleh orang yang diwawancarai. Hal ini utamanya dilakukan melalui evaluasi
atas sikap (behavioral responses) selama wawancara, seiring dengan penilaian atas
substansi informasi yang diberikan.
Wawancara dapat dilakukan pada awal investigasi. Karena tujuan wawancara
adalah mengumpulkan informasi, tentunya semakin banyak informasi yang diketahui
pemeriksa sebelum wawancara dimulai, semakin baik. Wawancara terkadang terpaksa
dilakukan meskipun pemeriksa baru mempunyai gambaran kasar tentang bagaimana
kemungkinan fraud dilaksanakan, atau bahkan sebekum pemeriksaan dapat
mengidentifikasi bukti yang harus diperoleh.

7
Wawancara dapat dilakukan dalam berbagai lingkungan atau suasana. Pemeriksa
terkadang mempunyai peluang menemui orang itu di kantornya, atau dalam pejalanan
(jalan kaki) dari tempatnya makan siang, di sudut jalan, dalam mobil, dan lain-
lain.Memang, idealnya, wawancara meskipun semua informasi belum diperolehnya.
Wawancara harusnya bersifat cair, tidak terstruktur, dan bisa melompat dari satu
pokok ke pokok pembicaraan lain. Sebelum wawancara dimulai, pemeriksaan
mempunyai gambaran mengenai informasi apa yang ingin dikumpulkannya. Namun, ia
juga tidak boleh kaku. Secara kreatif, ia harus mengembangkan pertanyaan atas informasi
yang diterimanya selama wawancara berlangsung. Informasi baru mungkin tidak diduga
atau diharapkan. Pemeriksa juga pandai membaca suasana, misalnya untuk memutuskan
menghentikan wawancara meskipun semua informasi belum diperolehnya.
Investigator harus membuat catatan mengenai wawancara formal (formal
interview) yang dilakukannya. Wawancara formal adalah wawancara yang dilakukan
dalam lingkungan terkendali (controlled information). Mencatat mempunyai beberapa
kegunaan. Bukan saja ada pendokumentasian, tetapi mencatat juga menyebabkan
investigator memperlambat proses bertanya. Ini memungkinkan investigator mengamati
perilaku dari orang yang diwawancarainya. Pemeriksa perlu mengetahui bahwa seseorang
lebih mudah berbohong ketika pertanyaan diajukan dengan kecepatan tinggi., seperti
tembakan yang dilepas dari senapan otomatis. Mengatur tanya-jawab yang diselingi masa
hening yang panjang memberi peluang bagi yang diwawancarai untuk berfikir mengenai
tanggapan yang bersifat menyesatkan (deceptive response). Pada gilirannya, ini akan
menyebabkan kecemasan yang terlibat dalam gejala tingkah laku menipu (behavior
symptoms of deception). Juga, kalau yang diwawancarai adalah orang yang tidak bersalah,
ia bisa bingung menghadapi pertanyaan yang diajukan dengan kecepatan tinggi.
Catat hasil wawancara dari awal sampai akhir, dan jangan sporadic (kadang
dicatat, kadang tidak). Mencatat secara sporadic memberi kesan kepada yang
diwawancarai bahwa jawaban tertentu penting sehingga dicatat oleh investigator. Ketika
ditanyakan, pertanyaan lain yang terkait dengan jawaban yang dicatat, ia akan menjadi
ekstra hati-hati. Mencatat secara sporadis akan menghambat arus informasi selama
wawancara.

8
4. Ciri-ciri suatu Interogasi

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan interogasi adalah pertanyaan, atau


pemeriksaan terhadap seseorang melalui pertanyaan lisan yang bersistem.

Tuanakotta (2007) menyatakan interogasi bersifat menuduh. An interrogation is


accusatory. Seseorang yang bersalah tidak akan memberi keterangan yang bertentangan
dengan kepentingan pribadinya secara sukarela, kecuali apabila ia yakin bahwa
investigator juga mempunyai keyakinan tentang kesalahannya. Karena itu, pernyataan
yang bersifat menuduh seperti: “Anang, saya tidak punya keraguan sedikit pun bahwa
Anda yang merencanakan tidak pidana korupsi ini”, sangat diperlukan untuk
memperlihatkan keyakinan investigator. Bandingkan jika pertanyannya berbunyi:
“Anang, saya pikir Anda mungkin terlibat dalam merencakan tindak pidana korupsi ini”.
Dengan pertanyaan terakhir ini, yang diinterogasi dengan cepat membaca bahwa ada
ketidakpastian di benak si investigator mengenai keterlibatannya dalam merencanakan
tindak pidana korupsi. Selanjutnya, yang diinterogasi ini semakin yakin bahwa sikap
yang harus diambilnya adalah membantah keterlibatannya.
Interogasi dilakukan dengan persuasi yang aktif (An interrogation involves
activepersuasion). Interogasi dilakukan karena investigator percaya bahwa dalam
wawancara sebelumnya (yang bersifat nonaccusatory), orang itu telah berbohong. Kalau
interogasi dilakukan dengan cara bertanya dan bertanya terus, sangat tidak mungkin
investigator akan mendapatkan keterangan yang berisi kebenaran. Untuk membujuknya
menceritakan kebenaran. Investigator menggunakan taktik “membuat pertanyaan” dan
bukan “mengajukan pertanyaan”. Taktik ini akan mendominasi seluruh interogasi.
Sebelum seseorang mengaku bersalah, pertama, ia harus bersedia mendengar pertanyaan-
pertanyaan yang dibuat investigator.
Tujuan interogasi adalah mengakui yang sebenarnya, artinya apa yang sebenarnya
terjadi, siapa yang sebenarnya melakukan, berapa jumlah atau nilai fraud sebenarnya, dan
seterusnya. The purpose of an interrogation is to learn the truth. Ada persepsi bahwa
tujuan interogasi adalah mendapatkan pengakuan bersalah (confession); ini keliru.
Contoh: seseorang sedang sial. Ia dikira berbohong dalam wawancara
sebelumnya. Karena itu, selanjutnya, ia diinterogasi. Setelah diinterogasi, baru ketahuan
ia tidak bersalah. Dalam hal ini, investigator seolah-olah gagal mendapat pengakuan

9
bahwa orang itu bersalah. Namun, ia sebenarnya berhasil. Interogasinya mengungkapkan
kebenaran bahwa orang yang curigai ternyata tidak bersalah.
Interogasi juga sering berakhir dengan pengakuan bersalah oleh pelaku. Pada
contoh ini, keberhasilan interogasi bukan diwujudkan dalam pengakuan bersalah,
melainkan dalam mengetahui siapa yang sebenarnya bersalah.
Interogasi dilakukan dalam lingkungan yang terkontrol atau terkendali (controlled
environment), bukan disembarang tempat. Taktik persuasi yang digunakan memerlukan
lingkungan yang ada privacy, tidak terganggu orang yang lalu lalang dan bebas dari
halangan lain (seperti suara bising tempat umum).
Interogasi hanya dilakukan sesudah investigator mempunyai keyakinan yang
memadai mengenai salahnya seseorang. An interrogation is conducted only when the
investigator is reasonably certain of the suspect’s guilt. Investigator harus mempunyai
alasan untuk percaya bahwa seseorang telah berbohong. Alasan ini mungkin berupa
perilakunya selama wawancara, keterangan yang berubah-ubah sebagai tanggapan atas
pertanyaan yang sama, adanya petunjuk bahwa ia berbohong, dan lain-lain. Interogasi
tidak boleh digunakan sebagai alat atau cara utama untuk menilai jujur tidaknya
seseorang; penilaian ini seharusnya dapat dicapai dalam wawancara yang bersifat tidak
menuduh.
Investigator tidak boleh membuat catatan sampai sesudah tertuduh menceritakan
yang sebenarnya dan berketetapan hati (committed) untuk tidak bersingut dari posisi itu.
Membuat catatan terlalu dini akan mengingatkan tertuduh bahwa keterangannya akan
merugikan dirinya. Bahkan, para pakar menyarankan bahwa bukan saja catatan dibuat
sesudah tertuduh sepenuhnya mengakui apa yang sebenarnya terjadi, pengakuan itu juga
harus disaksikan investigator lain. Barulah, setelah ada pengakuan yang disaksikan
investigator lain, investigator mendokumentasikan pengakuan tersebut dan segala
perincian dari pengakuannya.

5. Manfaat Melakukan Wawancara sebelum Interogasi

Investigator sering kali melakukan interogasi meskipun ia tidak punya bukti atau
petunjuk untuk menuduh seseorang, dan keputusan untuk menginterogasi orang itu
didorong oleh keinginan untuk mencari bukti. Umumnya, interogasi semacam ini
dilakukan sekadar karena investigator mempunyai persepsi bahwa orang itu mempunyai

10
perilaku aneh. Padahal, untuk menentukan seseorang berperilaku aneh, wawancara yang
bersifat tidak menuduh merupakan sarana yang lebih baik dari interogasi.

Selain nilai behavioral information dari suatu wawancara, juga ada investigative
information. Investigative information ini sangat diperlukan ketika wawancara akan
ditingkatkan menjadi interogasi. Namun, investigator sering tergoda untuk mengambil
jalan pintas, mengabaikan wawancara, dan langsung melakukan interogasi. Pendekatan
ini sangat tidak disarankan karena:
1. Sifat tidak menuduh dalam wawancara memungkinkan investigator membangun
hubungan saling memercayai dan menghormati yang mungkin dibangun dalam suasana
dan sifat menuduh yang melekat pada interogasi;
2. Selama wawancara, investigator sering kali mengorek keterangan penting mengenai
tertuduh yang sangat berharga sewaktu melaksanakan interogasi;
3. Tidak ada jaminan tertuduh akan mengaku bersalah dalam proses interogasi. Padahal,
kalau ia diwawancarai terlebih dahulu dan memberikan keterangan palsu selama
wawancara, investigator dapat menggunakan keterangan dari hasil interogasi yang
mengungkpakan kebohongannya. Hal ini membawanya lebih dekat kearah putusan
pengadilan yang menyataka ia bersalah;
4. Ada keuntungan psikologi bagi investigator ketika ia melakukan wawancara sebelum
interogasi. Agar interogasi berhasil, tertuduh harus memercayai investigator bahwa ia
objektif (tidak memihak) dan jujur. Ini akan lebih mudah dicapai apabila investigator
menawarkan kesempatan kepada tertuduh untuk menceritakan yang sebenarnya melalui
wawancara.
Tentu ada perkecualian terhadap saran di atas. Misalnya, dalam kasus penyuapan
yang “tertangkap tangan” atau fraud yang terungkap dalam suatu covert operation,
interogasi sebaiknya langsung dilakukan tanpa didahului dengan wawancara.
BPKP (2007) menyatakan untuk memperoleh hasil wawancara yang memadai,
maka wawancara seharusnya dilakukan oleh auditor investigatif yang mempunyai
karakteristik berikut yaitu:

1. Orang yang mudah bergaul, berbakat dalam berinteraksi


2. Ingin membuat orang lain ingin berbagi informasi
3. Pewawancara tidak akan mengiterupsi responden dengan pertanyaan yang tidak penting

11
4. Dapat menyusun pertanyaan yang spesifik yang bisa membuat responden secara sukarela
memberikan informasi.
5. Menunjukkan keseriusan dan perhatian atas jawaban yang diberikan responden.
6. Cara mengajukan pertanyaan tidak dengan sikap yang menyalahkan.
7. Pewawancara harus tepat waktu, berpakaian rapi dan bersikap fair dalam berinteraksi
dengan responden.
Namun dalam kenyataan sering wawancara dilakukan oleh auditor yang tidak
mempunyai karakteristik seperti tersebut diatas, sehingga hasil wawancaraya kurang
berhasil atau justru tidak berhasil, yang mengakibatkan hasil audit investigasinya kurang
meyakinkan. Hal itu banyak disebabkan kurangnya auditor investigatif yang tersedia di
instansi tersebut. Selain kriteria tersebut diatas auditor investigatif dalam melaksanakan
auditnya harus selalu dilandasi dengan sikap mental dan independensi serta integritas
yang tinggi untuk menghindarkan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh auditor,
misalnya adanya penyuapan.

12
BAB 3
PENUTUP

1. Kesimpulan

Wawancara dapat saja berupa satu pertanyaan atau rangkaian pertanyaan


yang kemudian dituangkan dalam suatu Bertita Acara Permintaan Keterangan
yang disetujui oleh pihak pewawancara dan yang diwawancarai. Sekalipun
investigator mempunyai alasan untuk percaya bahwa yang bersangkutan terlibat
dalam kejahatan atau ia telah berbohong, substansi dan caranya bersifat
nonaccusatory ketika melakukan wawancara.
Selama melakukan wawancara, investigator harus mengumpulkan
informasi yang penting bagi investigasinya (investigative information) dan
informasi mengenai perilaku dari orang yang diwawancarainya (behavioral
information).
Tujuan interogasi adalah mengakui yang sebenarnya, artinya apa yang
sebenarnya terjadi, siapa yang sebenarnya melakukan, berapa jumlah atau nilai
fraud sebenarnya, dan seterusnya.Taktik persuasi yang digunakan memerlukan
lingkungan yang ada privacy, tidak terganggu orang yang lalu lalang dan bebas
dari halangan lain (seperti suara bising tempat umum).
Manfaat Melakukan Wawancara sebelum Interogasi Investigator sering
kali melakukan interogasi meskipun ia tidak punya bukti atau petunjuk untuk
menuduh seseorang, dan keputusan untuk menginterogasi orang itu didorong oleh
keinginan untuk mencari bukti.

13
DAFTAR PUSTAKA

Tuanakotta, T.M. (2007), Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

14

Anda mungkin juga menyukai