Anda di halaman 1dari 5

RMK

AUDIT FORENSIK

“Interview Interogasi”

DISUSUN OLEH :

Muhammad Farhan (A014211003)

KELAS B

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM PROFESI AKUNTANSI
MAKASSAR
2022

1
1. Definisi Wawancara dan Interogasi

Tuanakotta (2007) menyatakan wawancara dan interogasi merupakan suatu


teknik atau alat investigasi yang sangat penting. Banyak orang, termasuk profesional
dalam bidang penyidikan mengacaukan istilah wawancara atau interview dengan istilah
interogasi atau interrogation. Keduanya berbeda baik tujuan maupun cara.
Permasalahan lain yang sering dijumpai di Indonesia adalah penggunaan
kekerasan dan intimidasi dalam melakukan wawancara dan interogasi. Penyidik
menggunakan taktik ini untuk memaksa pengakuan dari “pelaku”. Hal ini keliru:
1. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pengakuan terdakwa dapat
diperolah tanpa kekerasan.
2. Ketika menyaksikan banyaknya “pengakuan” tersangka dalam Berita Acara
Pemeriksaan yang kemudian dibantahnya dalam persidangan pengadilan.
3. Pengakuan tersangka hanyalah salah satu alat bukti, itupun harus ada penyesuaian
dengan unsur pembuktian yang ada pada alat bukti lain.

2. Perbedaan antara Wawancara dengan Interogasi

Kedua istilah ini, wawancara dan interogasi, sering digunakan sebagai


sinonim. Hal ini umumnya karena ketidaktahuan. Ada juga penyidik yang mengerti
makna kedua istilah ini, tetapi sengaja menggunakannya secara “keliru”. Misalnya,
untuk memberi kesan kepada majelis hakim bahwa ia tidak menggunakan kekerasan,
maka ia menggunakan istilah wawancara padahal istilah interogasi lebih tepat
menggambarkan tidak pemeriksaan atau investigasinya.

3. Ciri-ciri suatu Wawancara

BPKP (2008) mengidentifikasikan bahwa wawancara adalah suatu sesi tanya


jawab yang dirancang untuk memperoleh informasi. Tidak seperti pembicaraan biasa,
wawancara memiliki bentuk tersendiri, terstruktur, dan memiliki tujuan
tertentu. Wawancara dapat saja berupa satu pertanyaan atau rangkaian pertanyaan yang
kemudian dituangkan dalam suatu Bertita Acara Permintaan Keterangan yang disetujui
oleh pihak pewawancara dan yang diwawancarai.

2
Tuanakotta (2009) menyebutkan bahwa wawancara bersifat netral, tidak
menuduh. An interview is nonaccusatory. Ini perbedaan utama antara wawancara
dengan interogasi. Sekalipun investigator mempunyai alasan untuk percaya bahwa yang
bersangkutan terlibat dalam kejahatan atau ia telah berbohong, substansi dan caranya
bersifat nonaccusatory ketika melakukan wawancara.
Dengan cara dan dana yang tidak bersifat menuduh, investigator dapat
mengembangkan hubungan yang menimbulkan rasa percaya dan hormat. Dengan orang
yang diwawancarainya.

4. Ciri-ciri suatu Interogasi

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan interogasi adalah pertanyaan, atau


pemeriksaan terhadap seseorang melalui pertanyaan lisan yang bersistem.

Tuanakotta (2007) menyatakan interogasi bersifat menuduh. An interrogation is


accusatory. Seseorang yang bersalah tidak akan memberi keterangan yang bertentangan
dengan kepentingan pribadinya secara sukarela, kecuali apabila ia yakin bahwa
investigator juga mempunyai keyakinan tentang kesalahannya. Karena itu, pernyataan
yang bersifat menuduh seperti: “Anang, saya tidak punya keraguan sedikit pun bahwa
Anda yang merencanakan tidak pidana korupsi ini”, sangat diperlukan untuk
memperlihatkan keyakinan investigator. Bandingkan jika pertanyannya berbunyi:
“Anang, saya pikir Anda mungkin terlibat dalam merencakan tindak pidana korupsi
ini”. Dengan pertanyaan terakhir ini, yang diinterogasi dengan cepat membaca bahwa
ada ketidakpastian di benak si investigator mengenai keterlibatannya dalam
merencanakan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, yang diinterogasi ini semakin yakin
bahwa sikap yang harus diambilnya adalah membantah keterlibatannya.
Interogasi dilakukan dengan persuasi yang aktif (An interrogation involves
activepersuasion). Interogasi dilakukan karena investigator percaya bahwa dalam
wawancara sebelumnya (yang bersifat nonaccusatory), orang itu telah berbohong.
Kalau interogasi dilakukan dengan cara bertanya dan bertanya terus, sangat tidak
mungkin investigator akan mendapatkan keterangan yang berisi kebenaran. Untuk
membujuknya menceritakan kebenaran. Investigator menggunakan taktik “membuat
pertanyaan” dan bukan “mengajukan pertanyaan”. Taktik ini akan mendominasi seluruh

3
interogasi. Sebelum seseorang mengaku bersalah, pertama, ia harus bersedia mendengar
pertanyaan-pertanyaan yang dibuat investigator.

5. Manfaat Melakukan Wawancara sebelum Interogasi

Investigator sering kali melakukan interogasi meskipun ia tidak punya bukti atau
petunjuk untuk menuduh seseorang, dan keputusan untuk menginterogasi orang itu
didorong oleh keinginan untuk mencari bukti. Umumnya, interogasi semacam ini
dilakukan sekadar karena investigator mempunyai persepsi bahwa orang itu mempunyai
perilaku aneh. Padahal, untuk menentukan seseorang berperilaku aneh, wawancara yang
bersifat tidak menuduh merupakan sarana yang lebih baik dari interogasi.

Selain nilai behavioral information dari suatu wawancara, juga ada investigative
information. Investigative information ini sangat diperlukan ketika wawancara akan
ditingkatkan menjadi interogasi. Namun, investigator sering tergoda untuk mengambil
jalan pintas, mengabaikan wawancara, dan langsung melakukan interogasi. Pendekatan
ini sangat tidak disarankan karena:
1. Sifat tidak menuduh dalam wawancara memungkinkan investigator membangun
hubungan saling memercayai dan menghormati yang mungkin dibangun dalam suasana
dan sifat menuduh yang melekat pada interogasi;
2. Selama wawancara, investigator sering kali mengorek keterangan penting mengenai
tertuduh yang sangat berharga sewaktu melaksanakan interogasi;
3. Tidak ada jaminan tertuduh akan mengaku bersalah dalam proses interogasi. Padahal,
kalau ia diwawancarai terlebih dahulu dan memberikan keterangan palsu selama
wawancara, investigator dapat menggunakan keterangan dari hasil interogasi yang
mengungkpakan kebohongannya. Hal ini membawanya lebih dekat kearah putusan
pengadilan yang menyataka ia bersalah;
4. Ada keuntungan psikologi bagi investigator ketika ia melakukan wawancara sebelum
interogasi. Agar interogasi berhasil, tertuduh harus memercayai investigator bahwa ia
objektif (tidak memihak) dan jujur. Ini akan lebih mudah dicapai apabila investigator
menawarkan kesempatan kepada tertuduh untuk menceritakan yang sebenarnya melalui
wawancara.

4
Tentu ada perkecualian terhadap saran di atas. Misalnya, dalam kasus penyuapan
yang “tertangkap tangan” atau fraud yang terungkap dalam suatu covert operation,
interogasi sebaiknya langsung dilakukan tanpa didahului dengan wawancara.
BPKP (2007) menyatakan untuk memperoleh hasil wawancara yang memadai,
maka wawancara seharusnya dilakukan oleh auditor investigatif yang mempunyai
karakteristik berikut yaitu:

1. Orang yang mudah bergaul, berbakat dalam berinteraksi


2. Ingin membuat orang lain ingin berbagi informasi
3. Pewawancara tidak akan mengiterupsi responden dengan pertanyaan yang tidak
penting
4. Dapat menyusun pertanyaan yang spesifik yang bisa membuat responden secara
sukarela memberikan informasi.
5. Menunjukkan keseriusan dan perhatian atas jawaban yang diberikan responden.
6. Cara mengajukan pertanyaan tidak dengan sikap yang menyalahkan.
7. Pewawancara harus tepat waktu, berpakaian rapi dan bersikap fair dalam berinteraksi
dengan responden.
Namun dalam kenyataan sering wawancara dilakukan oleh auditor yang tidak
mempunyai karakteristik seperti tersebut diatas, sehingga hasil wawancaraya kurang
berhasil atau justru tidak berhasil, yang mengakibatkan hasil audit investigasinya
kurang meyakinkan. Hal itu banyak disebabkan kurangnya auditor investigatif yang
tersedia di instansi tersebut. Selain kriteria tersebut diatas auditor investigatif dalam
melaksanakan auditnya harus selalu dilandasi dengan sikap mental dan independensi
serta integritas yang tinggi untuk menghindarkan adanya penyimpangan yang dilakukan
oleh auditor, misalnya adanya penyuapan.

Anda mungkin juga menyukai