Anda di halaman 1dari 6

RINGKASAN MATERI KULIAH 2

AUDIT FORENSIK
“FRAUD RESPONSE”
Dosen Pengampu: Muhammad Irdam Ferdiansah, S.E., M.Acc.

DISUSUN OLEH:
Muhammad Farhan – A014211003
Masdar Ryketeng – A014211006

KELAS B

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM PROFESI AKUNTANSI
MAKASSAR
2022
Definisi Fraud

Menurt Singleton & Singleton (2010), fraud adalah sebagai tindakan criminal. Fraud adalah istilah
yang umum mencakup semua makna yang dibuat oleh akal manusia yang dapat digunakan oleh tiap
individu untuk mendapat keuntungan. Sedangkan menurut Tuanakotta (2013), fraud adalah
tindakan illegal yang ditandai dengan tipu daya, penyembunyian atau pelanggaran kepercayaan.

Dapat disimpulkan, bahwa definisi fraud itu adalah tindakan ilegal dan kriminal yang dibuat oleh akal
manusia untuk mendapat keuntungan berupa tipu daya, penyembunyian, dan pelanggaran
kepercayaan serta pelanggaran undang-undang.

Pencegahan Fraud

Pencegahan fraud merupakan tanggung jawab manajemen. Auditor internal bertanggung jawab
untuk menguji dan menilai efektivitas tindakan manajemen untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Pencegahan fraud bukanlah merupakan hal yang mudah, dikarenakan fraud dapat terjadi dalam
berbagi bentuk dan cara seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan ekonomi serta
semakin kompleksnya aktivitas bisnis. Menurut Razae dan Riley (2005), ada tiga unsur yang harus
diperhatikan oleh manajemen bila ingin mencegah terjadinya tindakan fraud, yaitu :

a. Menciptakan dan mengembalikan budaya yang menhargai kejujuran dan nilai etika yang
tinggi
b. Penerapan dan evaluasi proses pengendalian anti fraud.
c. Pengembangan proses pengawasan (Oversight Process)

Policies and Procedures (Polis dan Prosedur)

Polis mendefinisikan prinsip dan tujuan dari suatu entitas, sedangkan prosedur mendefinisikan
peran yang dilakukan oleh entitas untuk memastikan bahwa tujuan telah tercapai (Singleton &
Singleton, 2010). Pondasi untuk budaya dan lingkungan antifraud untuk semua entitas yang serius
untuk mencgah fraud adalah Polis fraud dan prosedur yang dibuat secara “hati – hati” dengan
berdasarkan Polis yang dibuat oleh entitas. SOX pada dasarnya mewajibkan perusahaan yang go
public untuk memiliki Polis tentang etika. Perusahaan yang tidak memiliki polis yang tertulis harus
menjelaskan mengapa perusahaan tidak memiliki polis tersebut.

Polis tentang fraud menjadi dokumen sumber untuk mengembangkan cara pencegahan fraud,
tindakan untuk mendeteksi fraud, dan tindakan dalam merespon suatu fraud, serta meyakinkan
keefektifan budaya atau iklim antifraud. Menurut Singleton & Singleton (2010), untuk mendapatkan
budaya antifraud yang efektif, suatu entitas harus memiliki polis dan prosedur yang meliputi sebagai
berikut.

a. Menjelaskan fraud
b. Mendeskripsikan publikasi dan komunikasi atas polis
c. Mendeskripsikan implementasi dari pengawasan untuk antifraud
d. Mendeskripsikan pelatihan
e. Mendeskripsikan ukuran audit fraud yang proaktif
f. Mendeskripsikan percobaan atas pengawasan antifraud
g. Menjelaskan polis dan prosedur investigasi
h. Mendeskripsikan tindakan yang diambil dalam audit fraud
i. Mendeskripsikan analisis atas bukti
j. Mendeskripsikan solusi untuk fraud
k. Mendeskripsikan prosedur dari pelaporan kesalahan.

Namun, hal diatas tidak akan cukup apabila tidak dikomunikasikan secara langsung. Komunikasi
untuk menjelaskan kebijakan dan etika bisa dilakukan dalam program orientasi karyawan (Singleton
& Singleton, 2010). Cara yang krusial dalam keberhasilan atas kebijakan antifraud adalah monitoring
dan sistem kepatuhan. Selain itu, kebijakan etika dapat berdasarkan nilai atau prinsip, dengan
pendekatan ini, karyawan harus memahami nilai tersebut dan bergabung dalam budaya tersebut.
Sangat penting sekali bila suatu entitas harus mempertimbangkan elemen manusia atas budaya dari
suatu organisasi. Membangun suatu budaya antifraud yang sesuai dengan manusia, sesuai dengan
operasi bisnis dan organisasi akan memungkinkan mencegah terjadinya fraud.

Respon Terhadap Fraud

1. Fraud Policy

Kemungkinan besar, tempat terbaik untuk mulai mengembangkan respon fraud yang efektif adalah
untuk mengembangkan kebijakan fraud yang tepat. Ada banyak alasan mengapa langkah ini harus
terjadi sebelum muncul fraud, dan sebelum pengembangan spesifik dalam program antifraud, yang
mana akan keluar nantinya.

Jika entitas telah menggunakan Asosiasi Fraud Penguji Tersertifikasi (ACFE) definisi, dibangun ke
dalam kebijakan fraud, serta memiliki karyawan menandatangani salinan menunjukkan persetujuan
mereka untuk mematuhi kebijakan itu, akan ada lebih sedikit keraguan dalam ruang sidang tentang
definisi dari fraud dalam kasus itu. Jadi entitas harus menentukan tindakan apa yang akan
memperhitungkan fraud dan berhati-hati dalam menyusun ketentuan sebagai kunci bagian dari
kebijakan fraud.

Isu-isu yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pemahaman fraud secara luas yaitu.

 Tindakan tidak jujur atau fraud


 Pelanggaran tanggung jawab fidusia
 Penyalahgunaan dana, sekuritas, persediaan, atau aset entitas lain
 Penggunaan aset entitas dengan tidak sah; seperti peralatan untuk penggunaan pribadi, atau
komputer yang digunakan untuk keuntungan pribadi
 Ketidaklayakan dalam penanganan atau pelaporan uang atau transaksi keuangan
 Pengambilan keuntungan yang berlebihan sebagai hasil dari pengetahuan internal akan
kegiatan entitas
 Mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia dan informasi kepemilikan kepada pihak
luar
 Penyajian kegiatan sekuritas kepada orang lain yang kegiatannya masih dipertimbangkan
oleh entitas
 Menerima atau mencari suatu barang yang berharga dari kontraktor, vendor,atau orang
yang menyediakan jasa atau bahan untuk entitas. Pengecualian: Hadiah yang nilainya kurang
dari $ 50.
 Pengrusakan, penghapusan, atau penggunaan yang tidak sah dari catatan (kertas atau
digital), perabotan, perlengkapan, atau peralatan.
 Adanya aktivitas yang mencurigakan yang mengarah pada penggunaan komputer, sistem
atau teknologi entitas.
 Setiap tindakan illegal yang bersangkutan.
 Setiap penyimpangan yang sama atau yang terkait.

Manajemen harus mencakup kebijakan entitas bagaimana penyimpangan yang terdeteksi atau
dicurigai akan ditangani. Kebijakan tersebut harus menetapkan siapa, apa, di mana, kapan terkait
dengan tips, keluhan, atau whistleblowing, terutama di mana laporan yang dicurigai tersebut harus
dilaporkan. Kebijakan juga harus mendiskusikan bagaimana mengurus keadaan yang tanpa nama
dari orang memberikan suatu rahasia.

2. Fraud Response Team

Setelah manajemen telah mengembangkan struktur formal untuk menangani fraud, perlu untuk
mengidentifikasi orang, posisi, atau unit untuk bertanggung jawab pada tiap prosedur yang berbeda
yang diatur dalam kebijakan fraud. ACFE telah menyediakan alat untuk membantu bagian respon
fraud dalam apa yang mengacu sebagai ” matriks keputusan kebijakan fraud ”. Matrix keputusan
kebijakan fraud menggambarkan bagaimana menentukan kunci elemen, langkah, dan proses
penanganan fraud jika dan ketika salah satu terjadi. Kolom dari matriks yang dapat digunakan untuk
menentukan fungsi dan / atau anggota tim respon fraud.

Beberapa anggota dari tim respon terhadap fraud sebagai berikut.

 Hukum / Litigasi: penuntutan, pengetahuan tentang potensi jaksa yang sukses, proses
pengadilan sipil.
 Hukum / HR: pemutusan hukum untuk pelaku fraud, masalah hukum dalam melakukan
investigasi seorang karyawan.
 Akuntansi forensik / CFE: penyelidikan fraud, fraud / bukti hukum, wawancara yang tepat
 Forensik digital: penggalian data untuk bukti Forensik Cyber: bukti melekat di IT,
tersembunyi di IT, sumber dunia maya yang berpotensi sebagai bukti.
 Audit internal: mendukung penyelidikan, pengumpulan bukti, kontrol remediasi
 PR Humas: menghindari publikasi, mengelola publisitas, menyusun tanggapan masyarakat
terhadap fraud
 Manajemen eksekutif: mengelola semua keputusan penting dari proses dan tindak lanjut.

Salah satu fungsi utama dari tim respon terhadap fraud adalah pengawasan hukum. Sebagai
disebutkan, kuasa hukum diperlukan dalam hampir semua, jika tidak semua, fraud terdeteksi. Para
anggota atau anggota tim akan perlu UKM dalam masalah pidana. Ini selalu mungkin bahwa fraud
terdeteksi dapat menyebabkan penyelidikan kriminal. Namun, penyelidikan kriminal bisa serba salah
bagi korban. Contohnya, ada banyak contoh ketika kasus fraud diserahkan kepada hukum lembaga
penegak yang tidak menuntut. Bisa jadi jumlah kasus fraud kurang dari kasus lain dan jaksa atau
agen lainnya, karena beban kasus dan sumber daya yang langka kejaksaan, memutuskan untuk tidak
mengejar penuntutan kasus fraud entitas. Bisa jadi bahwa lembaga yang dipilih tidak akrab atau
nyaman dengan penanganan kejahatan kerah putih atau penuntutan fraud, dan karena tujuan yang
agen adalah penuntutan yang sukses, ia mungkin memutuskan untuk tidak menuntut karena risiko
kehilangan kasus ini. Setelah kasus diserahkan ke penuntutan agen penegak hukum, Kasus ini tidak
lagi di bawah kendali dari korban, dan apa pun bisa terjadi. Oleh karena itu, jika entitas korban
menginginkan penuntutan yang sukses, mereka harus hati-hati memilih dari antara lembaga
kejaksaan potensi, dan bahwa membutuhkan nasihat ahli. Orang itu akan menjadi UKM yang sesuai
seperti pengacara, pensiunan penyidik pemerintah, dan sebagainya.

3. Recovery

Bagian dari fase respon adalah untuk memulihkan kerugian moneter karena fraud. Jumlah dapat
tidak hanya menjadi signifikan tetapi sulit untuk pulih.. Menurut (2006), ACFE Laporan untuk Bangsa
(RTTN), 42 persen dari semua korban pulih apa-apa dari fraud. 23,4 persen lainnya pulih kurang dari
25 persen dari kerugian. Pemulihan median dari mereka yang pulih semua kerugian, sekitar 16
persen dari kasus, adalah $ 50.000. Angka-angka ini menunjukkan bahwa korban cenderung tidak
dapat memulihkan keuangan atau persentase kecil dari kerugian yang signifikan. Oleh karena itu,
sangat penting bagi suatu entitas untuk mengembangkan pendekatan strategis untuk membuat
pemulihan penuh.
Referensi

Tommy W. Singleton, Aaron J. Singleton. (2010). Fraud Auditng and Forensic Accounting, Fourth
Edition

Anda mungkin juga menyukai