Anda di halaman 1dari 15

Wawancara dan Interogasi

Disusun oleh : Kelompok 2


 Nudrul Adya Arifin (A031171001)
 Muhammad Ade Rizky Nur (A031181301)
 Muhammad Fadhil (A031181501)
 Muhammad Risaldi (A031181307)
 Kelvin Enrico Ignasius (A031181344)
 Cassyano Natafusadha (A031181343)
A. Pengantar
Beberapa teknik atau alat investigasi yang sangat penting ialah wawancara dan interogasi. Banyak pihak termasuk
profesional menganggap wawancara (interview) dan interogasi (interrogation) sebagai sinonim. Padahal kedua istilah
tersebut sebenarnya berbeda, baik dari tujuannya maupun caranya.
Wawancara dan interogasi merupakan hal yang tak terpisahkan dalam sebuah investigasi fraud. Seperti pelaksanaan
investigasi pada umumnya, salah satu tantangan terberat dari wawancara dan interogasi ialah waktu. Seorang
investigator yang baik harus mampu membuat jadwal dan urutan wawancara yang benar sebelum wawancara
dilakukan, terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan karyawan, nasabah, ataupun pihak ketiga terkait dalam jumlah
yang banyak.

Kesalahan dalam melakukan wawancara dan interogasi di Indonesia adalah dengan


menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk mendapatkan pengakuan dari terdakwa.
Penyidik menggunakan kekerasan dalam melakukan wawancara dan interogasi untuk
mendesak terdakwa agar segera mengakui kesalahannya karena pegakuan terdakwa
dapat membawa kesuksesan dalam penuntutan dan tahap-tahap selanjutnya.
Pemeriksa fraud atau investigator harus mengerti sepenuhnya wewenang atau mandat
yang dimiliki oleh lembaganya. Investigator di suatu lembaga tertentu mungkin hanya
bisa melakukan wawancara, tetapi tidak berwenang melaksanakan interogasi. Namun
ada juga investigator di lembaga lain yang bisa melakukan keduanya. Dengan alasan ini
investigator perlu memahami perbedaan makna wawancara dan interogasi.
B. Perbedaan antara Wawancara dan Interogasi

Istilah wawancara (interview) dan interogasi (interrogation) sering dianggap sebagai sinonim atau sama yang disebabkan oleh faktor
ketidaktahuan. Namun, ada juga penyidik yang mengerti perbedaan makna kedua istilah ini, tetapi sengaja menggunakannya secara keliru.
Misalnya, untuk memberi kesan kepada majelis hakim bahwa ia tidak menggunakan kekerasan, maka ia menggunakan istilah wawancara
padahal istilah interogasi lebih tepat menggambarkan tidak pemeriksaan atau investigasinya.

Perbedaan utama wawancara dan interogasi adalah wawancara bersifat netral dalam hal ini tidak menuduh (nonaccusatory), sedangkan
interogasi bersifat menuduh (accusatory). Walaupun investigator mengetahui bahwa sebenarnya terdakwa memang terlibat dalam kejahatan
dengan cara berbohong saat diwawancarai, tentunya dengan alasan logis melalui bukti yang dimiliki investigator. Namun karena wawancara
memiliki substansi dan caranya bersifat nonaccusatory atau tidak bersifat menuduh, maka investigator tetap tidak diperbolehkan hal-hal
tersebut. Investigator harus mengembangkan hubungan yang menimbulkan rasa percaya dan hormat. Dengan orang yang diwawancarainya.

Tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi. Oleh karena itu, selama melakukan wawancara investigator harus mengumpulkan
informasi yang penting bagi investigasinya (investigative information) dan informasi mengenai perilaku dari orang yang diwawancarainya
(behavioral information). Tujuan dari investigative information adalah untuk memperoleh informasi seperti bagaimana hubungan antara orang
yang diwawancarai dengan orang yang dicurigai merupakan otak dari perbuatan tindak pidana yang diperiksa. Sedangkan, contoh dari
behavioral information ialah keterangan mengenai perilaku orang yang diwawancarai ketika ia menjawab pertanyaan, bagaimana ia duduk,
kontak mata dengan yang mewawancarainya, ekspresi wajahnya, caranya memberi tanggapan atau jawaban, pilihan kata atau kalimat, yang
sehingga semua ini dapat memberi petunjuk apakah yang diwawancarai berkata jujur atau berbohong.
Investigator harus menilai kredibilitas dari tanggapan yang diberikan oleh orang yang diwawancarai melalui evaluasi atas sikap ( behavioral
responses) selama wawancara. Wawancara dapat dilakukan sejak awal investigasi untuk mengumpulkan lebih banyak informasi sesuai
dengan tujuan wawancara itu sendiri. Wawancara bisa dilakukan di berbagai tempat dan suasana. Wawancara semestinya fleksibel, tidak
terstruktur, dan bisa melompat dari satu pokok ke pokok pembicaraan lain.

Sebelum wawancara dimulai, sebaiknya investigator mempunyai gambaran mengenai informasi apa yang ingin dikumpulkannya dengan
membuat catatan mengenai wawancara formal (formal interview) yang dilakukannya. Wawancara formal adalah wawancara yang dilakukan
dalam lingkungan terkendali (controlled information).

Manfaat lain dari mencatat adalah dapat membuat investigator memperlambat proses bertanya yang dapat dimanfaatkan oleh investigator
untuk mengamati perilaku dari orang yang diwawancarainya. Pencatatan hasil wawancara harus dilakukan dari awal sampai akhir dan tidak
boleh secara sporadic (kadang dicatat, kadang tidak) karena dapat memberi kesan kepada yang diwawancarai bahwa hanya jawaban tertentu
penting sehingga dicatat oleh investigator.

Sedangkan, interogasi merupakan pertanyaan atau pemeriksaan terhadap seseorang melalui pertanyaan lisan yang bersistem dan bersifat
menuduh. Interogasi dilakukan karena investigator yakin kalau wawancara sebelumnya yang bersifat nonaccusatory, orang itu telah
berbohong. Sehingga interogasi tidak dilakukan hanya dengan bertanya terus karena kecil kemungkinan untuk mendapatkan keterangan
yang berisi kebenaran dari sini. Dengan ini, investigator menggunakan taktik “membuat pertanyaan” dan bukan “mengajukan pertanyaan”.
Tujuan interogasi adalah mengakui yang sebenarnya, meliputi apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang sebenarnya melakukan, berapa
jumlah atau nilai fraud sebenarnya, dan seterusnya. Interogasi dapat dikatakan berhasil bukan diwujudkan dalam pengakuan bersalah,
melainkan dalam mengetahui siapa yang sebenarnya bersalah.

Interogasi dilakukan dalam lingkungan yang terkontrol (controlled environment) dan tidak disembarang tempat. Interogasi hanya dilakukan
sesudah investigator yakin mengenai kesalahan seseorang. Investigator tidak boleh membuat catatan sebelum tertuduh menceritakan yang
sebenarnya dan berkomitmen untuk keberatan dari posisi itu. Membuat catatan terlalu awal dapat menyadarkan terdakwa jikalau
keterangannya akan merugikan dirinya.
C. Manfaat Melakukan Wawancara Sebelum Interogasi
Nilai yang hanya bisa ditemukan ketika dilakukan suatu wawancara adalah behavioral information dan investigative information karena sangat
diperlukan di tingkat selanjutnya. Maka dari itu, penting bagi investigator untuk tidak melewati tahap wawancara dan langsung melakukan
interogasi. Interogasi hanya dapat dilakukan ketika sudah ada bukti atau petunjuk untuk menuduh seseorang, bukan hanya sekadar melabeli
seseorang karena bersikap aneh padahal untuk menentukan seseorang berperilaku aneh, wawancara yang bersifat tidak menuduh merupakan
sarana yang lebih baik dari interogasi.
Manfaat dilakukannya sebuah wawancara sebelum interogasi ialah:
1. Sifat tidak menuduh dalam wawancara memungkinkan investigator membangun hubungan saling memercayai dan menghormati yang tidak
mungkin didapatkan dalam interogasi.
2. Investigator dapat mengorek keterangan penting mengenai tertuduh yang sangat berharga selama wawancara.
3. Tidak ada jaminan tertuduh akan mengaku bersalah dalam proses interogasi. Padahal, kalau ia diwawancarai terlebih dahulu dan
memberikan keterangan palsu selama wawancara, investigator dapat menggunakan keterangan dari hasil interogasi yang mengungkpakan
kebohongannya. Hal ini membawanya lebih dekat kearah putusan pengadilan yang menyatakan ia bersalah.
4. Ada keuntungan psikologi bagi investigator ketika ia melakukan wawancara sebelum interogasi. Agar interogasi berhasil, tertuduh harus
memercayai investigator bahwa ia objektif atau tidak memihak dan jujur. Karena melalui wawancara akan lebih mudah tertuduh
menceritakan yang sebenarnya.
BPKP (2007) menyatakan untuk memperoleh hasil wawancara yang memadai, maka wawancara seharusnya dilakukan oleh auditor investigatif
yang mempunyai karakteristik, seperti:
5. Orang yang mudah bergaul, berbakat dalam berinteraksi.
6. Ingin membuat orang lain ingin berbagi informasi.
7. Pewawancara tidak akan mengiterupsi responden dengan pertanyaan yang tidak penting.
8. Dapat menyusun pertanyaan yang spesifik yang bisa membuat responden secara sukarela memberikan informasi.
9. Menunjukkan keseriusan dan perhatian atas jawaban yang diberikan responden.
10. Cara mengajukan pertanyaan tidak dengan sikap yang menyalahkan.
11. Pewawancara harus tepat waktu, berpakaian rapi dan bersikap fair dalam berinteraksi dengan responden.
BPKP (2008) mengidentifikasikan bahwa wawancara adalah suatu sesi tanya jawab yang dirancang
untuk memperoleh informasi. Tidak seperti pembicaraan biasa, wawancara memiliki bentuk tersendiri,
terstruktur, dan memiliki tujuan tertentu. Wawancara dapat saja berupa satu pertanyaan atau
rangkaian pertanyaan yang kemudian dituangkan dalam suatu Bertita Acara Permintaan Keterangan
yang disetujui oleh pihak pewawancara dan yang diwawancarai.
Tuanakotta (2009) menyebutkan bahwa wawancara bersifat netral, tidak menuduh. An interview
is nonaccusatory. Ini perbedaan utama antara wawancara dengan interogasi. Sekalipun investigator
mempunyai alasan untuk percaya bahwa yang bersangkutan terlibat dalam kejahatan atau ia telah
berbohong, substansi dan caranya bersifat nonaccusatory ketika melakukan wawancara.
Dengan cara dan dana yang tidak bersifat menuduh, investigator dapat mengembangkan hubungan
yang menimbulkan rasa percaya dan hormat. Dengan orang yang diwawancarainya.
Tuanakotta (2009) menyatakan tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi.
Selama melakukan wawancara, investigator harus mengumpulkan informasi yang
penting bagi investigasinya (investigative information) dan informasi mengenai perilaku
dari orang yang diwawancarainya (behavioral information). Contoh investigative
information: apa hubungan antara orang yang diwawancarai dengan orang tertentu
yang dicurigai merupakan otak dari perbuatan tindak pidana yang diperiksa. Contoh
behavioral information: keterangan mengenai perilaku orang yang diwawancarai ketika
ia menjawab pertanyaan, bagaimana ia duduk, kontak mata dengan yang
mewawancarainya, ekspresi wajahnya, caranya memberi tanggapan atau jawaban,
pilihan kata atau kalimat; semua ini dapat memberi petunjuk apakah ia berkata jujur
atau berbohong.

D. Wawancara
Pada akhirnya, pewawancara harus menilai kredibilitas dari tanggapan yang diberikan oleh orang yang diwawancarai. Hal ini utamanya
dilakukan melalui evaluasi atas sikap (behavioral responses) selama wawancara, seiring dengan penilaian atas substansi informasi yang
diberikan.
Wawancara dapat dilakukan pada awal investigasi. Karena tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi, tentunya semakin
banyak informasi yang diketahui pemeriksa sebelum wawancara dimulai, semakin baik. Wawancara terkadang terpaksa dilakukan meskipun
pemeriksa baru mempunyai gambaran kasar tentang bagaimana kemungkinan fraud dilaksanakan, atau bahkan sebekum pemeriksaan dapat
mengidentifikasi bukti yang harus diperoleh.
Wawancara dapat dilakukan dalam berbagai lingkungan atau suasana. Pemeriksa terkadang mempunyai peluang menemui orang itu di
kantornya, atau dalam pejalanan (jalan kaki) dari tempatnya makan siang, di sudut jalan, dalam mobil, dan lain-lain.Memang, idealnya,
wawancara meskipun semua informasi belum diperolehnya.
Wawancara harusnya bersifat cair, tidak terstruktur, dan bisa melompat dari satu pokok ke pokok pembicaraan lain. Sebelum
wawancara dimulai, pemeriksaan mempunyai gambaran mengenai informasi apa yang ingin dikumpulkannya. Namun, ia juga tidak boleh
kaku. Secara kreatif, ia harus mengembangkan pertanyaan atas informasi yang diterimanya selama wawancara berlangsung. Informasi baru
mungkin tidak diduga atau diharapkan. Pemeriksa juga pandai membaca suasana, misalnya untuk memutuskan menghentikan wawancara
meskipun semua informasi belum diperolehnya.
Investigator harus membuat catatan mengenai wawancara formal (formal interview) yang dilakukannya. Wawancara formal adalah
wawancara yang dilakukan dalam lingkungan terkendali (controlled information). Mencatat mempunyai beberapa kegunaan. Bukan saja ada
pendokumentasian, tetapi mencatat juga menyebabkan investigator memperlambat proses bertanya. Ini memungkinkan investigator
mengamati perilaku dari orang yang diwawancarainya. Pemeriksa perlu mengetahui bahwa seseorang lebih mudah berbohong ketika
pertanyaan diajukan dengan kecepatan tinggi., seperti tembakan yang dilepas dari senapan otomatis. Mengatur tanya-jawab yang diselingi
masa hening yang panjang memberi peluang bagi yang diwawancarai untuk berfikir mengenai tanggapan yang bersifat menyesatkan
(deceptive response). Pada gilirannya, ini akan menyebabkan kecemasan yang terlibat dalam gejala tingkah laku menipu (behavior symptoms
of deception). Juga, kalau yang diwawancarai adalah orang yang tidak bersalah, ia bisa bingung menghadapi pertanyaan yang diajukan
dengan kecepatan tinggi.
Catat hasil wawancara dari awal sampai akhir, dan jangan sporadic (kadang dicatat, kadang tidak). Mencatat secara sporadic memberi
kesan kepada yang diwawancarai bahwa jawaban tertentu penting sehingga dicatat oleh investigator. Ketika ditanyakan, pertanyaan lain yang
terkait dengan jawaban yang dicatat, ia akan menjadi ekstra hati-hati. Mencatat secara sporadis akan menghambat arus informasi selama
wawancara.
Kebohongan atau tipuan dalam dunia investigasi disebut
E. Behavior deception atau desepsi. Desepsi adalah sebuah tindakan Your Picture Here

Symptom yang membuat seseorang percaya tentang sesuatu yang


tidak benar, singkatnya merupakan tindakan menipu
Analysis (BSA) seseorang atau suatu tindakan atau pernyataan yang
dan Saluran dimaksudkan untuk membuat orang lain percaya tentang
sesuatu yang tidak benar. Pengetahuan mengenai membaca
Komunikasi dan menganalisis gejala-gejala perilaku desepsi
dikembangkan oleh John E. Reid yang merupakan pelopor
Behavior Symptom analysis (BSA).
Penelitian yang dilakukan oleh John Reid pioner dari BSA
menunjukan adanya tiga tingkat atau saluran yang kita
pergunakan untuk berkomunkasi:
1. Verbal channel merupakan ucapan yang keluar dari mulut
sesorang, pilihan kata dan susunan kata-kata yang
dipergunakan untuk mengirim pesan.
2. Paralinguistic channel merupakan ciri-ciri percakapan
diluar apa yang diucapkan.
3. Nonverbal channel meliputi sikap tubuh, gerak tangan
dan mimik wajah.
F. Verbal Behavior

Subjek yang sehat jiwanya dan yang secara normal berinteraksi


sosial akan mengalami kecemasan ketika ia berbohong. Ketika
subjek berbohong saat wawancara, gejala-gejala perilakunya
mencerminkan kesadarannya untuk menekan atau
menghilangkan kecemasannya.
Strategi lain untuk menekan perasaan cemas adalah
memberikan pernyataan yang kelihatannya mengingkari
kepentingan pribadi sebelum memulai dengan kalimat yang
berisi kebohongan.
Subjek yang jujur akan memberikan tanggapan yang spontan.
Subjek yang berbohong akan memberikan jawaban yang sudah
dihafalkannya.
Dalam wawancara, subjek yang jujur proses berpikirnya atau
pola berpikir selalu peduli dengan siapa pelaku, apa
motivasinya, kenapa, bagaimana perbuatan itu dilakukan.
Sedangkan jika berbohong ia akan lebih peduli dengan apa bukti
yang tercecer, ada orang lain yang tahu, apa ada yang sudah
membocorkan rahasianya dan apakah dia mampu berbohong
secara meyakinkan.
G. Paralinguistic Behavior
Selain verbal behavior perlu diperhatikan juga ciri-ciri tertentu dari percakapan (speech characteristics) yang terlihat dari suatu wawancara untuk mendeteksi
adanya desepsi. Paralinguistik behavior adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan cara mengucapkan pesan verbal, satu pesan yang sama dapat
menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan secara berbeda.
Jika dibandingkan dengan saluran verbal, saluran paralinguistik ini lebih sedikit terkontaminasi dengan faktor-faktor eksternal sehingga lebih natural dan lebih
mudah untuk mendeteksi adanya desepsi.
Ciri-ciri paralinguistic behavior ialah:
1. Response latency, menunjukkan rentang waktu antara kata terakhir dari pertanyaan pewawancara dengan kata pertama dari jawaban yang
diwawancara. Dalam the NSA study, response latency rata-rata untuk jawaban jujur adalah 0,5 detik. Sedangkan untuk jawaban bohong adalah 1,5
detik.
2. Early response, yaitu jawaban dikatakan lebih awal padahal pewawancara belum menyelesaikan pertanyaan. Untuk jawaban jujur, early response hanya
terjadi di awal-awal wawancara dan itupun pada saat pewawancara menyelesaikan pertanyaan yang bersangkutan akan mengulang jawaban yang
sudah diberikan di awal pertanyaan tadi. Berbeda dengan jawaban bohong, early response bisa juga terjadi di tengah bahkan di akhir wawancara.
Selain itu yang bersangkutan merasa tidak perlu mengulang jawabannya kembali pada saat pewawancara menyelesaikan pertanyaannya.
3. Response length. Penelitian menunjukkan bahwa secara statistik jawaban yang jujur akan memberikan jawaban yang lebih panjang, detil dan lengkap
dibandingkan jawaban bohong. Bahkan dimungkinkan adanya jawaban tambahan yang relevan dengan pertanyaan si pewawancara. Berbeda dengan
jawaban bohong yang singkat dan cenderung mengalihkan topik pertanyaan.
4. Response delivery. Penyampaian jawaban jujur biasanya terlihat dari kecepatan (rate), tinggi rendahnya nada (pitch) dan kejelasan (clarity) informasi
maupun kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya jawaban bohong biasanya diucapkan dengan suara pelan, tidak jelas dan menggumam (mumble).
5. Continuity of the response. Jawaban yang jujur akan mengalir dengan bebas, kalimat satu dengan kalimat yang lain sambung menyambung, tidak
melompat-lompat, spontan dan menjadi satu kesatuan berpikir. Sebaliknya jawaban yang tidak jujur terdapat perilaku stop-and-start behavior, artinya
pada saat yang bersangkutan menjawab pertanyaan dan ada hal yang tidak nyaman yang bersangkutan akan berhenti sejenak dan kemudian
melanjutkannya lagi.
6. Erasure behavior, yaitu perilaku yang mencoba menghapus apa yang baru saja dikatakan. Sebagai contoh dalam percakapan sehari-hari seseorang
yang barusan mengatakan sesuatu kepada orang lain yang selanjutnya terpikir olehnya bahwa kata-kata tersebut kurang pantas dan khawatir akan
membuat tersinggung, sambil diiringi gerakan alis ke atas dan tersenyum. Dalam komunikasi paralinguistic, selain gerakan alis ke atas dan tersenyum
terdapat perilaku tertentu lainnya, yaitu tertawa, batuk-batuk kecil atau berdehem, segera sesudah mengucapkan bantahan.
H. Nonverbal Behavior
Perilaku nonverbal cukup rumit untuk dievaluasi, sering menimbulkan interpretasi yang keliru dan
evaluasinya harus dilakukan dalam konteks isi atau substansi verbal yang disampaikan pembicara
atau subjek.
Perilaku nonverbal adalah perilaku menyampaikan sesuatu atau mengisyaratkan sesuatu melalui
gerakan tubuh. Seperti posture, gerak tangan dan kaki serta memik muka dan mata.
Ekspresi atau mimik muka disebabkan oleh subjek yang khawatir bahwa kebohongannya akan
terungkap, ketidakpastian apakah ia berhasil menutupi kebohongannya dan lain sebagainya.
Kenyataan bahwa ekspresi mukanya berubah sebenarnya sudah merupakan indikasi bahwa subjek
berbohong.
Kontak mata merupakan salah satu perilaku nonverbal yang penting untuk dievaluasi. Subjek yang
membohong enggan menatap mata investigator. Ia akan menundukan kepala atau matanya melirik
ke samping atau keatas. Jika mata melirik ke samping atau keatas itu tandanya ia sedang mencari-
cari jawaban atau alasan yang tepat.
Lima pedoman yang harus diperhatikan ketika melihat kontak mata untuk menentukan apakah
subjek membohong atau jujur:
1. Subjek tidak melakukan kontak mata dengan investigatornya berati sedang menyembunyikan
sesuatu.
2. Untuk alasan apapun, investigatornya tidak boleh menantang subjek untuk menatap matanya.
3. Investigator cukup mengamati kontak mata secara cassual sehingga tidak membuat subjek
menjadi tidak nyaman.
4. Subjek tidak boleh diperkenankan memakai kacamata hitam karena menyembunyikan kontak
mata.
5. Selaku investigator jangan mengharapkan subjek terus menerus menatapnya.
I. Interogasi
Ciri-ciri Interogasi ialah sebagai berikut:
1. Interogasi bersifat menuduh, berdasarkan prinsip bahwa seseorang
yang bersalah tidak akan memberi keterangan yang bertentangan
dengan kepentingan pribadinya secara sukarela, kecuali apabila ia
yakin bahwa investigator juga mempunyai keyakinan tentang
kesalahannya.
2. Interogasi dilakukan dengan persuasi aktif, dimana investigator percaya
bahwa dalam wawancara sebelumnya orang yang diwawancara telah
berbohong.
3. Interogasi dilakukan dengan membuat pernyataan, bukan pertanyaan.
4. Tujuan interogasi adalah untuk mengetahui apa yang sebenarnya,
meliputi apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang sebenarnya
melakukan, berapa jumlah atau nilai fraud sebenarnya, bukannya untuk
mendapat pengakuan bersalah.
5. Interogasi hanya dilakukan jika investigator memiliki keyakinan yang
memadai tentang salahnya seseorang.
6. Investigator tidak boleh membuat catatan sampai sesudah tertuduh
menceritakan yang sebenarnya dan berketetapan hati untuk tidak
bringsut dari posisi itu.
Tersangka umumnya memiliki struktur emosi terdiri dari unsur emosional
dan non-emosional bermacam-macam, ada yang 80:20 atau 20:80. Subjek
yang cenderung emosional taktik interogasi yang tepat didasarkan pada
pendekatan simpatik sedangkan subjek yang cenderung non-emosional,
taktik interogasi terbaik adalah dengan menyodorkan fakta, factual analysis
approach.
John E. Reid memperkenalkan 9 langkah interogasi yang dikenal dengan The Reid ninesteps of interrogation, yang terdiri dari:
Langkah 1–Direct, Positive Confrontation
Pada tahap ini investigator menembakkan sangkaannya secara langsung (direct), mengkonfrontasi tersangka secara tegas (positive confrontation) dalam posisi berdiri
(sebaiknya). Langkah tersebut diambil untuk memberikan pesan bahwa dia yakin seyakin-yakinnya bahwa tersangka bersalah, karena jika tesangka mendapat kesan
(sekecil apapun) bahwa investigator tidak yakin akan kesalahannya, ia tidak akan mengaku.
Langkah 2–Interogation Theme
Tersangka yang bersalah melakukan pembenaran sebelum dan ketika melakukan kejahatan. Investigator dapat mengetahui tersangka yang bersalah dengan
memancing menggunakan theme tertentu, misal menanyakan “dalam hal apa anda bisa tergoda mengambil uang perusahaan yang pemiliknya anda kenal puluhan
tahun?”, jika tersangka menanggapi theme tersebut dengan memberikan justifikasi, kemungkinan tersangka memang bersalah.
Langkah 3–Handling Denials
Tahap penyangkalan merupakan tahap yang sangat penting, jika penyangkalan tidak ditangani dengan baik langkah-langkah selanjutnya akan sia-sia. Dalam menangani
penyangkalan, investigator harus cekatan untuk mencegah atau tidak memberikan kesempatan subjek melakukan penyangkalan yang sama secara berulang-ulang
dengan menegaskan keyakinannya bahwa subjek bersalah, menggunakan kalimat antara, menggunakan tema dan fakta-fakta yang ada.
Langkah 4–Overcoming Objections
Objections/keberatan adalah benteng pertahanan kedua setelah penyangkalan. Langkah ke empat ini terdiri atas mengenali keberatan, menghargai keberatan, dan
membalikkan keberatan. Dalam langkah ini, investigator berupaya mengatasi benteng pertahanan kedua dari si tersangka. Tersangka yang melihat kesia-siaan dalam
upayanya menyangkal akan mengubah taktiknya dengan mengajukan keberatan.
Langkah 5–Keeping The Suspect’s Attention
Ketika dua benteng pertahanan tersangka tertembus tersangka akan menarik diri dari percakapan interogasi. Dalam hal ini investigator perlu mendekatkan diri secara
fisik serta memberikan pernyataan hipotesis yang mengajak ke perenungan dan menyentuh sisi positif si pelaku. Tersangka sudah kehilangan percaya diri untuk terus
mengemukakan ketidak bersalahannya. Ia sudah sampai di suatu titik dimana membiarkan investigator berbicara apapun, ia berdiam diri, dan investigator menjadi
pembicara tunggal.
Langkah 6–Handling The Suspect’s Passive Mood
Pada tahap ini tersangka menyadari bahwa kebohongannya tidak menghasilkan keinginannya tadi. Ia menunjukan sifat kalah, kepala tertunduk, bahu menurun, kaki
lemas, mata berkaca-kaca. Mentalnya berada pada titik terendah. Perubahan ini mengisyaratkan adanya pergolakan di dalam batin tersangka untuk menceritakan
kebenaran.
Langkah 7–Presenting The Alternative Question
Merupakan puncak dari pengembangan tema interogasi. Investigator mempersempit temanya ke unsur utamanya dan memasuki pertanyaan alternatif. Ketika memilih
suatu alternatif tersangka sesungguhnya telah mengakui bersalah.
Langkah 8–Bringing The Suspect Into The Conversation
Dalam langkah ini, tersangka diarahkan untuk menceritakan perincian dari perbuatannya yang pada akhirnya akan dirumuskan menjadi pengakuan yang bisa di terima
sebagai bukti hukum.
Langkah 9–The Written Confession
Pada puncaknya tersangka memberikan pengakuan secara tertulis
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai