Anda di halaman 1dari 13

RMK

PELAPORAN KORPORAT

“Transaksi Berbasis Syariah dan Pelaporan Keuangan Syariah”

DISUSUN OLEH :

Muhammad Farhan – A014211003

KELAS B

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM PROFESI AKUNTANSI
MAKASSAR
2022
Transaksi Entitas Syariah dan Pelaporan keuangan Syariah
A. Jenis Akad

Menurut terminologi hukum Islam, akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan
penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syariah yang menimbulkan akibat hukum terhadap
objeknya. Menurut Abdul Razak Al-Sanhuri dalam Nadhariyatul ‘aqdi, akad adalah
kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum yaitu
konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun
tidak langsung dalam kesepakatan tersebut.

Dalam akuntansi syariah, akad harus sesuai dengan syariah yang merujuk pada Al-qur'an, As-
Sunnah, Ijma dan qiyas. Transaksi/akad dalam syariah dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Akad Tabarru'

Akad tabarru' adalah suatu perjanjian yang merupakan transaksi yang tidak ditujukan untuk
memperoleh laba (transaksi nirlaba). Tujuan dari transaksi ini adalah tolong-menolong dalam
rangka berbuat baik. Dalam akad tabarru', pihak yang berbuat kebaikan tidak berhak
mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya karena ia hanya mengharapkan imbalan
dari Allah SWT dan bukan dari manusia. Jenis akad tabarru' ini digolongkan dalam 3 bentuk,
yaitu:

1) Meminjamkan Uang
Merupakan salah satu bentuk akad tabarru' karena dalam hal meminjamkan uang tidak
boleh melebihkan pembayaran atas pinjaman yang diberikan. Ada 3 jenis pinjaman, yaitu:

a) Qardh: merupakan pinjaman yang diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain


dengan mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu.
b) Rahn: merupakan pinjaman yang mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau
jumlah tertentu
c) Hiwalah: adalah bentuk pinjaman dengan cara mengambil alih piutang dari pihak lain.

2) Meminjamkan Jasa
Berupa keahlian atau keterampilan yang termasuk di dalam akad tabarru'. Ada 3 jenis
pinjaman dalam hal meminjamkan jasa, yaitu:

2
a) Wakalah: adalah memberikan pinjaman berupa kemampuan kita saat ini untuk
melakukan sesuatu atas nama orang lain. Pada konsep ini yang dilakukan hanya atas
nama orang tersebut.
b) Wadi’ah: merupakan bentuk turunan akad wakalah, dimana pada akad ini telah dirinci
atau didetailkan tentang jenis pemeliharaan dan penitipan. Sehingga selama pemberian
jasa tersebut juga bertindak sebagai wakil dari pemilik barang.
c) Kafalah: juga merupakan bentuk turunan akad wakalah, dimana pada akad ini terjadi
atas wakalah bersyarat.

3) Memberikan Sesuatu
Dalam akad ini, pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Ada 3 bentuk akad ini,
yaitu:

a) Waqaf: merupakan pemberian dan penggunaan pemberian yang dilakukan untuk


kepentingan umum dan agama, serta pemberian itu tidak dipindahtangankan.
b) Hibah/Shadaqah: merupakan pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.
Akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi akad tijarah sedangkan akad tijarah dapat diubah
menjadi akad tabarru (yang semula ditujukan untuk mencari keuntungan menjadi tolong
menolong/kebaikan).

2. Akad Tijarah
Akad tijarah merupakan akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Terdiri dari akad
investasi yang hasilnya tidak pasti seperti akad mudharabah dan musyarakah; serta akad jual
beli dan sewa menyewa yang hasil atau keuntungannya pasti seperti akad murabahah, salam,
istishna' dan ijarah. Akad yang hasilnya tidak pasti tidak bisa diubah menjadi Akad dengan
hasil yang pasti karena akan menimbulkan riba. Demikian juga sebaliknya akad dengan hasil
pasti tidak boleh diubah menjadi akad dengan hasil tidak pasti karena akan terjadi gharar atau
ketidakjelasan. Dari sisi kepastian hasil yang diperoleh, akad ini dapat dibagi 2, yaitu sebagai
berikut:
1) Natural Uncertainty Contract
Dalam bagian ini, kontrak yang diturunkan dari teori pencampuran dimana pihak yang
bertransaksi saling mencampurkan aset yang mereka miliki menjadi satu kemudian
menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu,

3
kontrak jenis ini tidak memberikan imbal hasil yang pasti, baik nilai imbal hasil maupun
waktu. Contoh yang termasuk dalam kontrak ini yaitu:
a) Akad Mudharabah: akad Kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
(pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana)
bertindak sebagai pengelola, dan keuntungan dibagi diantara mereka sesuai
kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana.
b) Akad Musyarakah: akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan
bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan
porsi kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset non kas yang diperkenankan
oleh syariah.

2) Natural Certainty Contract


Merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pertukaran, dimana kedua pihak saling
mempertukarkan aset yang dimilikinya, sehingga objek pertukarannya (baik barang
maupun jasa) harus ditetapkan diawal akad dengan pasti tentang jumlah, mutu, harga, dan
waktu penyerahan. Kontrak jenis ini memberikan imbal hasil yang tetap dan pasti karena
sudah diketahui saat akad. Contoh kontrak ini adalah:
a) Akad Murabahah: adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya
perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan
biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli.
b) Akad Salam: adalah akad jual beli barang pesanan dengan pengiriman di kemudian hari
oleh penjual dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai
dengan syarat-syarat tertentu.
c) Akad Istishna: adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli) dan penjual (pembuat).
d) Akad Ijarah: adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset dalam waktu
tertentu dengan pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset
itu sendiri.

4
e) Akad Lain: dalam praktek keuangan syariah akad-akad ini akan menimbulkan
pendapatan yang jumlahnya tertentu. Akad-akad tersebut sebagai berikut:
• Akad Sharf
• Akad wadi’ah
• Akad wakalah
• Akad kafalah
• Akad hawalah
• Akad qardh
• Akad rahn

B. Kerangka Dasar Penyusunan Dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah


1. Paradigma Transaksi Syariah
Transaksi syariah didasarkan pada paradigma dasar bahwa alam semesta diciptakan oleh
Tuhan sebagai amanah (kepercayaan Ilahi) dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat
manusia untuk mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual (al-falah).
Konsekuensinya parameter baik dan buruk, benar dan salahnya aktivitas usaha adalah syariah
dan akhlak.
2. Asas Transaksi Syariah
Transaksi syariah berasaskan pada prinsip:
1) Persaudaraan {ukhuwah), prinsip ini didasarkan atas prinsip saling mengenai (ta'aruf),
saling memahami (tafahum), saling menolong [taawun), saling menjamin (takaful),
saling bersinergi dan salingberaliansi (tahaluf)
2) Keadilan (adalah), yang berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak dan
sesuai
dengan posisinya.
3) Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi
duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif. Kemaslahatan
harus memenuhi dua unsur yaitu: halal (patuh terhadap ketentuan syariah) dan thayib
(membawa kebaikan dan bermanfaat).
4) Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan spiritual, antara
aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor riil, antara bisnis dan sosial

5
serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian.
5) Universalisme (syumuliyah), di mana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan dan untuk
semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan
sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alam'm).
3. Karakteristik Transaksi Syariah
Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asas transaksi syariah harus
memenuhi karakteristik dan persyaratan antara lain:
1) Transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling rida.
2) Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib).
3) Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai
komoditas.
4) Tidak mengandung unsur riba.
5) Tidak mengandung unsur kezaliman.
6) Tidak mengandung unsur maysir.
7) Tidak mengandung unsur ^hflrflr.
8) Tidak mengandung unsur haram.
9) Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan
yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan risiko yang melekat pada kegiatan
usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bilghurmi (no gain without
accompanying risk).
10)Transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk
keuntungan semua pihak tanpa merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan
menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua
transaksi bersamaan yang berkaitan (taalluq) dalam satu akad.
11)Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa
penawaran (ihtikar).
12)Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap-menyuap (risywah).

C. Transaksi yang Dilarang dalam Syariah


Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam transaksi syariah dapat
dikelompokkan berdasarkan sumber sebab pelarangannya, yaitu sebagai berikut:
1. Dilarang karena Mekanisme Akadnya

6
a) Judi (Maysir)
Semua bentuk perpidahan harta ataupun barang dari satu pihak kepada pihak lain tanpa melalui
jalur akad yang telah digariskan Syariah, namun perpindahan itu terjadi melalui permainan,
seperti taruhan uang pada permainan kartu, pertandingan sepak bola, pacuan kuda, pacuan
greyhound dan seumpamanya.
Dilarang karena permainan bukan cara untuk mendapatkan harta/keuntungan; menghilangkan
keredhaan dan menimbulkan kebencian/dendam; dan tidak sesuai dengan fitrah insani yang
berakal dan disuruh bekerja untuk dunia dan akhirat.
b) Tidak Jelas (Gharar/Taghrir)
Sesuatu yang tidak jelas dan tidak dapat dijamin atau dipastikan kewujudannya secara matematis
dan rasional baik itu menyangkut barang (goods), harga (price) ataupun waktu pembayaran
uang/penyerahan barang (time of delivery). Terjadi karena adanya incomplete information
yang terjadi pada salah satu pihak baik pembeli atau penjual. Kasus taghrir terjadi bila ada unsur
ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties). Contoh Gharar:
Asuransi. Dalam asuransi ada ketidakpastian, misalkan asuransi mobil. Jikalau pemegang polis
mobilnya kecelakaan sebelum selesai kontrak, maka dia untung. Tetapi jika mobilnya tidak
rusak sampai selesai kontrak maka perusahaan asuransi yang untung.
c) Bunga (Riba)
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba
juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba
adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara
bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Jenis-jenis Riba meliputi
• Riba Nasii’ah
• Riba Fadlal
• Riba al-Yadd
• Riba Qardl
2. Dilarang Karena Pelaku Akadnya
a) Penipuan (Tadlis)

7
Sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan
informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak
tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan. Hal ini bisa penipuan
berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan
(time of delivery) atas objek yang ditransaksikan. Sebagai contoh: apabila kita menjual hp
second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita menjual hp tersebut tanpa
memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka transaksi yang kita lakukan menjadi
haram hukumnya.
b) Menimbun (Ikhtikar)
Sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal
dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini
biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat
produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli),
kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan),
sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen
tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang berlimpah. Sebagai
contoh: ketika akan dirumorkan oleh pemerintah bahwa tarif bbm akan dinaikan, maka marak
terjadinya penimbunan bbm oleh para penjual nakal. Hal ini mereka lakukan agar dapat menjual
bbm dengan tarif yang sudah dinaikkan, sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih
besar.
c) Bai’ Najasy
Sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah
ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara
yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian,
dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil
untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan
keuntungan yang besar. Sebagai contoh: ini sangat rentan terjadi ketika pelelangan suatu barang.
Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja sama dengan beberapa peserta pelelangan
dimana mereka bertugas untuk berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang yang
dilelang, dengan kata lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.

8
d) Suap (Risywah)
Menurut tata bahasa dapat diartikan sebagai “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar
mendapatkan kepentingan tertentu”. Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang
bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah”. Dari
definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan
Al-Murtasyi (penerima suap) yang dua- duanya sama-sama diharamkan.
e) Merekayasa Permintaan (Tanajusy/Nasjsy)
Artinya adanya rekasaya permintaan untuk menaikan harga karena persepsi tingginya
permintaan. Contoh: Mengundang banyak teman untuk pura-pura ingin membeli di tokonya
supaya keliahatan ramai, sehingga pembeli tertipu dan dirugikan.
f) Menyembunyikan kecacatan (Ghisysy)
Artinya adanya upaya menjelaskan keunggulan objek dengan menutupi kecacatannya. Contoh:
Menjual mangga busuk di antara mangga-mangga bagus.
g) Membahayakan/merugikan (Dharar)
Adalah tindakan yang dapat membahayakan dan/atau merugikan orang lain. Contoh: (1)
Membangun sebuah perusahaan/toko besar kapitalis sampai merugikan bisnis- bisnis kecil. (2)
Perusahaan yang merusak alam; mengeluarkan limbah berbahaya.
h) Harga menipu (Ghabn / Ghabn Fahisy)
Merupakan ketidakseimbangan dalam obyek akad yang dipertukarkan hingga merugikan.
Contoh: Tukang bubur pinggir jalan yang menjual bubur seharga makanan restoran karena
penjual berfikir bahwa pembeli tidak akan mengetahuinya (intinya penjual menipu harga, sehingga
pembeli mengalami kerugian).
3. Dilarang Karena Objek Akadnya
a) Barang Haram
Artinya obyek yang ditransaksikan adalah haram, contoh: mengambil keuntungan dari menjual
rokok dan miras.
b) Jual barang yang tidak dimiliki (Bai’ al-ma’dum)
Artinya objek tidak ada pada saat akad atau tidak dimiliki penjual, sehingga menimbulkan
kerugian, contoh: Dropship yang dropshiper sendiri tidak tahu barangnya. Misalkan dia nge-
dropship parfum, tetapi baik dia maupun pembeli tidak tahu wanginya, bisa aja ternyata parfum
itu bau amis, jika seperti itu dropship dilarang, karena merugikan konsumen.

9
D. Kerangka Pelaporan Syariah
Kerangka Dasar Penyusuanan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, terdiri dari beberapa
standar kerangkanya diantaranya adalah:
• PSAK 101 (Penyajian Laporan Keuangan Syariah).
• PSAK 102 (Akuntansi Murabahah).
• PSAK 103 (Akuntansi Salam).
• PSAK 104 (Akuntansi Istishna).
• PSAK 105 (Akuntansi Mudharabah).
• PSAK 106 (Akuntansi Musyarakah).
• PSAK 107 (Akuntansi Ijarah).
• PSAK 108 (Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah).
• PSAK 109 (Akuntansi Zakat, Infaq dan Shadaqoh), prinsip kebajikan.
• PSAK 110 (Akuntansi Sukuk), prinsip bagi hasil ex obligasi syariah.
1. Paradigma Transaksi Syariah
Transaksi syariah didasarkan pada paradigma dasar bahwa alam semesta diciptakan oleh tuhan
sebagai amanah dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai
kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual. Substansinya adalah bahwa setiap aktivitas
manusia memiliki akuntabilitas dan nilai ilahiah yang menempatkan perangkat syariah dan
akhlak sebagai parameter baik dan buruk, benar dan salahnya aktivitas usaha. Dengan cara ini
akan terbentuk karakter tata kelola yang baik (good governance).
2. Asas Transaksi Syariah
Transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
a) Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung
tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak
boleh mendapat keuntungan di atas kerugian orang lain.
b) Keadilan (‘adalah), yang berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang
berhak dan sesuai pada posisinya.
c) Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang
berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan
kolektif.
d) Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan

10
spiritual, antara aspek privat dan public, antara sector keuangan dan rill, antara
bisnis dan sosial, serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian.
3. Karakteristik Transaksi Syariah
Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asas transaksi syariah harus
memenuhi karakteristik dan persyaratan antara lain:
a) Transaksi hanya dilakukan dengan prinsip saling paham dan saling rida
b) Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib)
c) Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan
sebagai komoditas
d) Tidak mengandung unsur riba, kezaliman, maysir, gharar, haram.
e) Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena
keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terjkait dengan risiko yang
melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil
ghurmi (no gain without accompanying risk).
f) Transaksi yang dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta
keuntungan untuk semua pihak tanpa merugikan pihak lain.
g) Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy) dan rekayasa
penawaran (ihtikar)
h) Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap-menyuap (risywah).
4. Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan utama laporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi, menyangkut posisi
keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam
pengambilan keputusan ekonomi, tujuan lainnya adalah:
a) Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip Syariah.
b) Informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip Syariah.
c) Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab entitas
syariah terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikannya pada
tingkat keuntungan yang layak.
d) Informasi tentang tingkat keuntungan investasi yang diperoleh penanam modal
dan pemilik dana syirkah temporer; dan informasi mengenai pemenuhan
kewajiban (obligation) fungsi sosial entitas syariah termasuk pengelolaan dan
penyaluran zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
E. Pelaporan Keuangan Syariah
1. Komponen Laporan Keuangan

11
Komponen Laporan keuangan entitas syariah terdiri atas:
a) Laporan Posisi Keuangan
Laporan ini terdiri dari aset, liabilitas, dana syirkah temporer dan ekuitas. Liabilitas
dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara kas yang tidak didiskontokan.
b) Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain
Laporan ini terdiri dari penghasilan, beban, dan hak pihak ketiga atas bagi hasil dana
syirkah temporer.
c) Laporan Perubahan Ekuitas
d) Laporan Arus Kas
e) Laporan Sumber dan Penyaluran Dana Zakat
f) Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
g) Catatan atas Laporan keuangan
h) Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil (tambahan untuk perbankan syariah)

2. Asumsi Dasar
a) Dasar akrual
Laporan keuangan disajikan atas dasar akrual, maksudnya bahwa pengaruh transaksi dan
peristiwa yang alain diakui pada saat kejadian dan diungkapkan dalam cacatan akuntansi
serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan, namun dalam
penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha menggunakan dasar kas.
b) Kelangsungan Usaha
Laporan keuangan biasanya disusun atas dasar asumsi kelangsungan usaha entitas syariah
yang akan melanjutkan usahanya dimasa depan. Oleh karena itu, entitas syariah
diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau mengurangi secara
material skala usahanya.
3. Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan
a) Dapat dipahami
Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah
kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai.
b) Relevan
Relevan berarti berguna untuk peramalan (predictive) dan penegasan (confirmatory) atas
transaksi yang berkaitan satu sama lain serta dipengaruhi tingkat materialitas.
c) Keandalan
Andal diartikan sebagai bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan
dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang tulus dan jujur dari yang
seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajiakan.

12
d) Dapat Dibandingkan
Pemakai harus membandingkan laporan keuangan entitas syariah antar periode untuk
mengidentifikasi kecenderungan posisi dan kinerja keuangan. Agar dapat dibandingkan,
informasi tentang kebijakan kuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan
dan perubahn kebijakan serta pengaruh perubahantersebut juga harus diungkapkan
termasuk ketaatan atas standar akuntansi yang berlaku.
4. Kendala Informasi yang Relevan dan Andal
Kendala informasi yang relevan dan andal terdapat dalam hal sebagai berikut:
a) Tepat Waktu
Jika terdapat penundaan yang tidak semestinya dalam pelaporan, maka informasi yang
disajikan akan kehilangan relevansinya. Manajemen mungkin perlu menyeimbangkan
manfaat relative antara pelaporan tepat waktu dan ketentuan informasi andal.
b) Keseimbangan antar biaya dan manfaat
Keseimbangan antara biaya dan manfaat lebih merupakan suatu kendala yang dapat terjadi
dari suatu karakteristik kualitatif. Manfaat yang dihasilkan informasi harusnya melebihi
biaya perusahaan. Namun demikian, secara substansi, evaluasi biaya dan manfaat
merupakan suatu proses pertimbangan.

13

Anda mungkin juga menyukai