Anda di halaman 1dari 34

PSIKOLOGI FORENSIK

HUKUM PIDANA DAN PERDATA DI PENGADILAN

Dosen Pengampu: Dr. Risydah Fadilah, S.Psi, M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh: Kelompok 2

1. Agnes Apriyanti 218600278

2. Dwi Octa Silvia 218600285

3. Gustia Dwi Pradita 218600090

4. Miftah Adelia Novasari 218600348

5. Yuni Br Ginting 218600376

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MEDAN AREA

T.A 2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kami kemudahan serta kenikmatan karena atas berkat-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas makalah kami yang berjudul “ Hukum Pidana Dan Perdata
Di Pengadilan” dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas kelompok pada mata
kuliah Psikologi Forensik. Kami harap makalah ini dapat menambah wawasan
pengetahuan dan bermanfaat bagi para pembaca.
Adanya buku, jurnal-jurnal ilmiah, dan sosial media yang sangat menunjang
akhirnya kami pun dapat menyelesaikan makalah ini. Sebagai mahasiswa kami
menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki masih terbatas, sehingga makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kesempurnaan dalam penulisan
makalah ini.

Medan, 14 Oktober 2023

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang............................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 6
2.1 Hukum Pidana...................................................................................................................6
2.1.1 Tujuan Hukum Pidana........................................................................................... 6
2.1.2 Pemeriksaan Silang Peradilan Pidana....................................................................7
2.1.3 Proses Hukum Acara Pidana................................................................................. 8
2.1.4 Kompetensi Hukum Pidana................................................................................... 9
2.1.5 Study Case Hukum Pidana...................................................................................11
2.2 Hukum Perdata................................................................................................................12
2.2.1 Sistematika Hukum Perdata................................................................................. 12
2.1.2 Simulasi Persidangan Perkara Perdata.................................................................13
2.1.3 Kompetensi Hukum Perdata................................................................................ 14
2.1.4 Study Case Hukum Perdata..................................................................................17
2.3 Perbedaan Mediasi Hukum Pidana Dan Perdata.............................................................18
2.4 Hak-Hak Dan Penanganan.............................................................................................. 19
2.5 Contoh Laporan Forensik................................................................................................21
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 33
3.1 Simpulan......................................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 34

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam
setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang
dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Psikologi forensik merupakan
perpaduan dari beberapa konsentrasi didalam bidang psikologi, ditambah dengan
pengetahuan dalam dunia hukum sehingga membuat Psikolog forensik memiliki
keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum lainnya. Contoh: di Lapas,
dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal.
Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat
memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi dibidang hukum. Sehingga
komunitas psikologi forensik di Indonesia menyepakati istilah psikologi forensik
dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi
Psikologi Forensik Indonesia. Psikolog dapat masuk dalam peradilan sebagai saksi
ahli (UU RI nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP). Oleh karena itu diperlukan
promosi kepada bidang hukum akan pentingnya psikologi dalam permasalahan
hukum.
Psikologi hukum sebagai ilmu yang juga mempelajari tentang perilaku dan
proses mental, manusia memiliki peran yang penting dalam fungsinya untuk
penegakan hukum pidana di Indonesia. Terutama aparat penegak hukum seperti Polisi,
Jaksa, Hakim, Petugas Lapas dan pihak-pihak yang terlibat yaitu saksi, pelaku dan
korban. Lahirnya psikologi dalam studi hukum seperti yang disebutkan pada bab
sebelumnya karena tuntutan dan kebutuhannya bagi praktek penegakan hukum,
termasuk kepentingan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.

4
1.2 Rumusan Masalah

Dalam rumusan makalah ini kita ingin mencarai tau apa itu hukum pidana dan
perdata di pengadilan, bagaimana pemeriksaan silangnya dan contoh kasus mengenai
pidana dan perdata.

1.3 Tujuan Penulisan

Dalam tujuan penulisan ini, penulis ingin memberitahukan kepada pembaca


untuk mengetahui apa itu hukum pidana dan perdata di pengadilan dan untuk
mengetahui contoh kasuanya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Pidana


Psikologi hukum sangat dibutuhkan dalam praktik penegakan hukum, terutama
untuk kepentingan pemeriksaan sidang pengadilan. Untuk mengungkap dan
menjelaskan mengapa individu bersangkutan melanggar hukum dan juga faktor-faktor
psikis yang mendorong untuk melakukan tindak pidana tersebut. Bila terdeteksi
adanya gangguan psikis atau jiwa makadibutuhkan pemeriksaan kesehatan jiwa pada
individu tersebut.
Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda
strafrecht Straf berarti pidana, dan recht berarti hukum. Menurut Soedarto, hukum
pidana merupakan hukum yang memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan
kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa
pidana.

2.1.1 Tujuan Hukum Pidana


Tujuan hukum pidana menurut Prof. Moelyatno adalah:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

6
2.1.2 Pemeriksaan Silang Peradilan Pidana
Salah satu tujuan pemeriksaan silang adalah memberi Anda kesempatan untuk
menantang dan menguji bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut. Hal ini juga
digunakan untuk memberikan kesempatan kepada setiap saksi penuntut untuk
menanggapi apa yang Anda katakan telah terjadi.
a. Tuliskan semua hal yang tidak Anda setujui dari setiap saksi penuntut.
b. Jika Anda (atau salah satu saksi Anda) akan mengatakan sesuatu yang berbeda
ketika tiba giliran Anda untuk memberikan bukti, Anda harus menyampaikan
versi Anda tentang kejadian tersebut kepada saksi penuntut.
c. Saksi penuntut tidak harus setuju dengan Anda, namun mereka harus diberi
kesempatan untuk memberikan tanggapan.
Cara pemeriksaan silang saksi
Dalam pemeriksaan silang, Anda perlu:
1. Ajukan pertanyaan, daripada membuat pernyataan.
2. Jaga agar pertanyaan Anda singkat dan langsung pada sasaran.
3. Cobalah dan ajukan pertanyaan yang memiliki jawaban 'ya atau tidak'. Misalnya,
'Saat itu gelap, bukan?'
4. Anda harus menyampaikan versi Anda tentang kejadian tersebut kepada saksi
penuntut.
5. Pastikan Anda tidak berdebat atau menghina saksi.
Contoh pemeriksaan silang
Polisi telah menuduh Anda melakukan penyerangan biasa. Pelapor (saksi
penuntut) menuduh Anda mendorong dan menendang mereka. Bukti Anda adalah
bahwa pelapor mendorong Anda tiga kali dan kemudian Anda mendorongnya sekali
untuk membela diri. Anda dapat melakukan pemeriksaan silang terhadap pelapor
sebagai berikut:
 Kamu: Kamu bilang aku mendorongmu, bukan?
 Pelapor: Ya.
 Kamu: Dan kamu juga bilang kalau aku menendangmu, bukan?
 Pelapor : Ya.
7
 Kamu: Tapi tidak benar kalau aku menendangmu, kan?
 Pelapor: Tidak, itu benar.
 Kamu: Sebenarnya aku hanya mendorongmu satu kali, bukan?
 Pelapor: Tidak, Anda juga menendang saya.
 Kamu: Dan sebelum aku mendorongmu, kamulah yang mendorongku, bukan?
 Pelapor: Tidak, saya tidak pernah mendorong anda.
 Kamu: Sebenarnya, kamu mendorongku tiga kali, bukan?
 Pelapor: Tidak.
 Kamu: Dan baru setelah kamu mendorongku tiga kali, barulah aku mendorongmu
kembali, kan?
 Pelapor: Tidak.
Anda sekarang telah menyampaikan versi Anda tentang kejadian tersebut kepada
saksi (di sini pelapor) dan memberi mereka kesempatan untuk memberikan
tanggapan.
Pelapor tidak harus setuju dengan versi Anda. Tidak masalah apakah Anda
meyakinkan mereka untuk setuju dengan Anda atau tidak; Anda hanya perlu memberi
mereka kesempatan untuk menanggapi apa yang Anda dan saksi Anda di persidangan
katakan telah terjadi.

2.1.3 Proses Hukum Acara Pidana


Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia no 8 tahun 1981, sistem
peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum.
Investigasi dalam tulisan ini dapat dilakukan baik oleh kepolisian, jaksa, maupun
hakim. Namun, proses penyidikan oleh kepolisian merupakan fase yang penting,
karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan disusun. Penyidiklah yang pertama
kali bertemu dengan tersangka, saksi, serta korban dan menanyakan kejadian perkara
yang mereka alami.

8
Kesalahan dalam investigasi akan memberikan pengaruh dalam mencapai
kebenaran dalam proses peradilan pidana pada tahap selanjutnya di kejaksaan maupun
pengadilan. Seringkali polisi dalam melakukan investigasi menggunakan cara
“kekerasan” (fisik maupun psikologis), hal ini justru akan merusak ingatan saksi,
korban maupun tersangka.
a. Tertangkap Tangan
Menurut KUHAP pasal 1 ayat 19, tertangkap tangan adalah tertangkapnya
seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera
sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila
sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
b. Laporan
Menurut KAUHAP pasal 1 ayat 24, laporan adalah pemberitahuan yang
disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan
undang-undang kepada pejawat yang berwenang tentang telah atau sedang atau
diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
c. Pengaduan
Menurut pasal 1 ayat 25 KUHAP, pengaduan merupakan pemberitahuan disertai
permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untu
menindak, menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan
yang merugikannya.

2.1.4 Kompetensi Hukum Pidana


Di dalam kasus-kasus pidana, kapasitas untuk memahami persidangan hukum
dan berkomunikasi dengan pengacara, dan memahami dan melepaskan hak-hak
tertentu, seperti hak untuk tetap diam mungkin menjadi isu di dalam penentuan
kompetensi.Aturan bahwa seorang individu harus kompeten untuk menjalani proses
pidana dapat dilacak balik paling tidak ke hukum Inggris abad ketujuh belas ketika
9
terdakwa, alih-alih membuatplea, "mute of malice" (sengaja memilih diam) atau
"mute by visitation of God." Jika individu termasuk kategori yang pertama,
pengadilan berusaha memaksakan sebuah plea dengan memerintahkan beban yang
semakin berat untuk diletakkan di atas dada orang itu. Jika individu termasuk kategori
yang kedua,ia terhindar dari cobaan ini.

Mahkamah Agungmengemukakan sebuah definisi tentang kompetensi untuk


menjalani persidangan yang sejak itu menjadi standar di dalam pengadilan federal dan
juga sebagian besar yurisdiksi negara bagian. Apakah seorang terdakwa memiliki
kemampuan yang cukup untuk berkonsultasi dengan pengacaranya dengan cara yang
wajar/masuk akal? Apakah terdakwa memahami secara masuk akal persidangan
melawan dirinya? Ada lima komponen untuk Dusky, semuanya sangat penting untuk
dipahami:

1. Uji kompetensi menyandarkan diri pada dua cabang: kapasitas terdakwa untuk
memahami proses pidananya, termasuk peran para peserta di dalam proses itu;
dan kemampuan terdakwa untuk menjalankan fungsinya di dalam proses itu,
terutama melalui konsultasi dengan penasihat hukum didalam persiapan
pembelaannya.

2. Kompetensi memfokuskan pada kemampuan terdakwa s ini untuk berkonsultasi


dengan penasihat hukum dan untuk memahami persidangannya. Ini berbeda
secara fundamental dengan tes untuk criminal responsibility (tanggung jawab
pidana), yaitu analisis retrospektif tentang keadaan pikiran terdakwa pada saat
kejahatan itu dilakukan.

3. Kapasitas terdakwa untuk berhubungan dengan penasihat hukum dan memahami


persidangan sangat penting bagi kesediaannya untuk berpartisipasi secara aktif di
dalam persidangan-persidangan ini ketika menentukan kompetensi. Terdakwa
yang menolak untuk berbicara dengan pembelanya (meskipun mampu
melakukannya) berarti membuat pilihan rasional dengan mengetahui
konsekuensinya. Kecuali jika tidak adanya keinginan itu didasarkan pada

10
faktor-faktor irasional seperti keyakinan delusional, sehingga memunculkan
pertanyaan tentang kapasitasnya untuk membantu di dalam pembelaannya, ini
tidak menjadi dasar untuk sebuah ajudikasi inkompetensi.

4. Seorang terdakwa dipersyaratkan memiliki tingkat pemahaman yang wajar


tentang proses pidana dan persidangannya, yang menyiratkan bahwa les yang
diterapkan pada kasus tertentu bersifat fleksibel. Pemahaman yang "sempurna"
atau lengkap di pihak terdakwa tidak dipersyaratkan.

5. Komponen terakhir standar Dusky adalah penekanannya pada ada atau tidak
adanya pemahaman "rasional" dan "faktual" yang menyiratkan penekanan pada
menjalankan fungsi kognitif. Sekadar fakta bahwa seorang terdakwa memiliki
gejala-gejala psikotik atau memiliki IQ tertentu tidak dengan sendirinya berarti
bahwa terdakwa tidak kompeten untuk menjalani persidangan.

2.1.4 Study Case Hukum Pidana


Pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan Kopi Sianida
Mirna meninggal usai minum kopi di Kafe Olivier, Mall Grand Indonesia,
Jakarta Pusat, pada 6 Januari 2016.
Jessica Kumala Wongso, salah satu teman Mirna yang pada saat itu datang lebih
awal dan langsung memesankan es kopi buat Mirna menjadi saksi dari kejadian
tewasnya Mirna.
Setelah polisi melakukan gelar perkara uji labfor terhadap beberapa barang bukti
yang mereka kumpulkan selama proses penyidikan, sejumlah fakta mengejutkan
muncul. Salah satunya terdapat kandungan sianida di kopi yang diminum Mirna dan
bahwa indikasi menunjukkan bahwa pelakunya adalah Jessica.

11
2.2 Hukum Perdata
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan
didalam masyarakat. Perkataan tentang hukum perkata dalam arti luas meliputi semua
hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Hukum privat materil itu sendiri ialah hukum yang memuat segala peraturan yang
mengatur hubungan antar perseorangan didalam masyarakat dan kepentingan dari
masing-masing orang yang bersangkutan.
Artinya bahwa didalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan
pihak tertentu yang secara timbul balik saling berlaku didalam suatu masyarakat
tertentu. Selain hukum privat materil dikenal juga adanya hukum perdata formil yang
lebih dikenal sekarang dengan nama hukum acara perdata. Hukum acara perdata ini
menurut segala peraturan tentang cara pelaksanaan praktek hukum dilingkungan
pengadilan perdata.

2.2.1 Sistematika Hukum Perdata


Terdapat dua pendapat tentang sistematika hikum perdata yang kita miliki.
Pertama yaitu dari pemberlaku undang-undang yang berisi:
Buku I : Mengenai peraturan hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan
Buku II : Mengenai peraturan tentang hukum kebendaan dan waris.
Buku III : Mengenai hal perikatan tentang diaturnya hak-hak dan kewajiban timbal
balik antara orang-orang atau pihak tertentu.
Buku IV : Mengenai pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari hukum
yang kadaluwarsa.
Sementara pendapat kedua yaitu menurut ilmu hukum yanh dibagi dalam 4
bagian, yaitu:
1. Hukum Pribadi
Mengatur manusia sebagai subjek hukum yang memiliki kecakapan untuk
bertindak sendiri melaksanakan hak-hak yang mempengaruhi
kecakapan-kecakapan itu.

12
2. Hukum Kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan dan
bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan seperti perkawinan beserta
hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan
antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
3. Hukum Kekayaan
Mengatur perihal hukum yang dapat dinilai dengan uang, seperti pada hak-hak
kekayaan yang terbagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang, dimana
terdapt yang namanya hak mutlak dan hak perseorangan yang hanya berlaku
terhadap seseorang atau pihak tertentu.
4. Hukum Warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.

2.2.2 Simulasi Persidangan Perkara Perdata


1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum;
2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang;
3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa surat
ijin praktik dari organisasi advokat;
4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk menyelesaikan
dengan perkara secara damai;
5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau dari
luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008);
6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan
pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya;
7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk
akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YME;
8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari tergugat; (jawaban
berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi);

13
9. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat
rekonvensi;
10. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai
tergugat rekonvensi;
11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan
intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);
12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil,
putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi);
13. Pembuktian
14. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
15. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat;
17. Kesimpulan
18. Musyawarah oleh Majlis Hakim (bersifat rahasia);
19. Pembacaan Putusan;
20. Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan tidak dapat
diterima;
21. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima,
pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14
hari;
22. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam
waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila
waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan.

2.2.3 Kompetensi Hukum Perdata


Di dalam sitem peradilan perdata kompetensi dapat melibatkan kemampuan
untuk membuat kontrak, memahami istilah-istilah di dalam surat wasiat, kompetensi
untuk memutuskan penanganan medis, dan kompetensi untuk memberikan
persetujuan untuk penelitian. Di samping itu, tidak adanya kompetensi yang memadai

14
dapat menimbulkan penemuan-penemuan hukum terkait guardianship dan
conservatorship.
Kompetensi untuk Membuat Kontrak
Agar sebuah kontrak valid dapat dilaksanakan, para pihak harusmampu di bawah
umur, misalnya, oleh hukum dianggap kurang memiliki kapasitas untuk membuat
kontrak. Seseorang secara hukum masih di bawah umur (atau bayi menurut hukum)
sampai umur mayoritas. Hukum selama berabad-abad telah menganggap usia yang
dimaksud adalah 21 tahun. Para pembuat undang-undang hampir seluruh negara
bagian telah menurunkan umur ini menjadi 18. Sebuah kontrak yang dimasuki oleh
anak di bawah umur belum tentu void, tetapi voidable.
Orang-orang yang menjadi sangat disabel akibat penyakit mental sehingga
mereka tidak dapat memahami sifat sebuah transaksi secara masuk akal, biasanya juga
tidak memiliki kapasitas hukum untuk memasuki sebuah kontrak, tetapi ini tidak
selalu terjadi dan harus dievaluasi secara kasus demi kasus. Orang-orang yang berada
di bawah pengaruh inkapasitas temporer seperti intoksikasi, biasanya dapat (tetapi
selalu) membuat sebuah kontrak invalid. Salah satu faktor penentunya adalah apakah
pihak lain menyadari tentang inkapasitas itu tetapi tetap bertindak dengan kesepakatan
itu, dan dengan demikian memanfaatkan inkapasitas orang lain yang diketahuinya.
Kompetensi untuk Membuat Surat Wasiat (Kapasitas Testamentari)
Ketika sebuah surat wasiat dipermasalahkan (validitasnya secara resmi
diragukan), itu biasanya karena salah satu di antara dua kemungkinan faktor. Yang
pertama adalah bahwa testator(orang yang membuat surat wasiat) tidak memiliki
testamentary Void contract adalah kontrak yang tidak dapat dilaksanakan.
Sebuah kontrak akan dianggap void ketika, misalnya, mengharuskan salah satu pihak
untuk melakukan tindakan yang mustahil atau ilegal. Voidable contract adalah
kontrak di mana salah satu di antara kedua pihak memiliki pilihan untuk menegakkan
atau membatalkannya.
Kontrak itu valid sampai pihak,yang persetujuannya tidak diberikan dengan
bebas, tidakmencabutnya.(dari berbagai sumber)capacity (kapasitas testamentari). Ini
akan terjadi jika testator(orang yang membuat surat wasiat) karena suatu alasan
15
tidakkompeten secara mental pada saat menandatangani surat wasiat kedua adalah
bahwa testator berada di bawah itu. Alasan yang pengaruh yang tidak semestinya,
seperti tekanan, manipulasi,penipuan, pemaksaan, intimidasi, dan lain-lain.Karena
surat wasiat biasanya dipermasalahkan setelah kematian testatornya, evaluasi forensik
tentu tidak dapat dilakukan oleh testatornya sendiri. Alih-alih, autopsi forensik
dilakukan untuk menentukan kapasitas testamentari pada saat surat wasiatitu
dieksekusi (ditandatangani). Ini akan membutuhkan tinjauan medis, psikiatrik, rumah
jompo, apotik, dan catatan-catatan lain yang saksama sebagai upaya untuk
"merekonstruksikan" keadaan mental testator pada waktu membuat surat wasiat
itu.Teman, anggota keluarga, pengasuh, atau siapa pun yang berinteraksi dengan
testator di sekitar waktu pembuatan surat wasiat biasanya diwawancari, bila bersedia,
sebagai bagian dari proses autopsi forensik.
Kompetensi untuk Memutuskan tentang Penanganan (informed consent)
Informed consent adalah proses di mana seorang pasien yangnmemiliki
pengetahuan dan informasi yang cukup dapat ikut ambil bagian di dalam pilihan
tentang perawatan kesehatannya.Beberapa elemen yang terlibat di dalam informed
consent termasuk alternatif-alternatif yang wajar untuk intervensi yang diusulkan,
risiko dan manfaat intervensi itu, dan pemahaman pasien tentang penanganan atau
intervensi yang diusulkan.Pasien harus dianggap kompeten agar consentnya diangga
valid. Untuk mendorong kesukarelaan, penyedia perawatankesehatan berusaha (atau
seharusnya berusaha) menjelaskan kepada pasien bahwa mereka ikut ambil bagian di
dalam sebuah keputusan, bukan sekadar menandatangani form.
Kompetensi untuk Menyetujui Penelitian
Apakah pasien-pasien rawat-inap psikiatrik lebih mungkin untuk menyetujui
keikutsertaan di dalam penelitian dibanding nonpasien, dan oleh sebab itu juga lebih
membutuhkan perlindungan. menemukan bahwa pasien-pasien rawat-inap psikiatrik
yang saat ini sedang dirawat untuk depresi dan skizofrenia tidak lebih mungkin unuk
berpartisipasi sukarela di dalam penelitian dibanding subjek kontrol
nonpasien(masyarakat umum). Alih-alih, hal yang sebaiknya terbukti terjadi.

16
2.2.4 Study Case Hukum Perdata
Kasus PT Indorayon dengan masyarakat
Pihak yang menjadi dalang dari kasus ini adalah PT Toba Pulp Lestari (PT.
TPL/eks.PT. Inti Indorayon Utama). PT Indorayon mulai beroperasi pada akhir
1980-an.
Tahun 1999, perusahaan tersebut ditutup berdasarkan rekomendasi dari Menteri
Negara Lingkungan Hidup, ketika itu dijabat oleh Sonny Keraf. Alasannya,
perusahaan tersebut terbukti telah mencemari dan membahayakan lingkungan.
Pada Maret 2002, PT Indorayon kembali dibuka atas rekomendasi Wakil
Presiden Republik Indonesia, ketika itu dijabat oleh Megawati Soekarnoputri. PT
Indorayon kembali buka dengan nama lain, yaitu PT Toba Pulp Lestari (PT TPL).
Sepuluh tahun beroperasi, masyarakat Porsea merasakan dampak yang tak
menyenangkan. Perusahaan tersebut mencemari lingkungan dan mendatangkan
masalah sosial, misalnya konflik dan intimidasi aparat terhadap warga yang menolak
PT Indorayon.
Kualitas lingkungan yang buruk juga membuat kesehatan masyarakat
menurun. Limbah dari perusahaan tak hanya mencemari udara, tetapi juga membuat
hasil panen warga menurun. Banyak bulir padi yang kosong atau tak berisi.
Masyarakat sekitar pun khawatir jika kejadian 10 tahun sebelumnya terjadi lagi sejak
PT TPL dibuka. Selain itu, warga sekitar mengaku bahwa limbah uap dari pabrik
cukup mengganggu udara. Berdasarkan data di Puskesmas Porsea, jumlah penderita
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) pada Januari 2001 mencapai 92 orang. Pada
Januari 2002 mencapai 103 orang. Jumlah tersebut meningkat lagi pada Januari 2003,
yaitu menjadi 128 orang.
Analisis dari kasus tersebut
PT Indorayon merupakan perusahaan yang telah mencemari lingkungan hingga
mengakibatkan dampak yang buruk bagi masyarakat sekitar. Kemudian, perbuatan
melawan hukum merupakan perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu
bersifat bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku dan melanggar hak subjektif
orang lain.
17
Perbuatan melawan hukum meliputi beberapa hal, yaitu perbuatan yang
bertentangan dengan hak milik orang lain, perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan, perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, dan
perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan di dalam pergaulan
masyarakat yang baik.
Perbuatan melawan hukum memiliki 3 kategori. Pertama, perbuatan melawan
hukum karena kesengajaan. Kedua, perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Ketiga, perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan dan
kelalaian).
Selain itu, perbuatan melawan hukum punya beberapa unsur. Unsur-unsur
tersebut adalah adanya perbuatan, perbuatan tersebut bersifat melawan hukum,
adanya kesalahan dari pelaku, adanya kerugian di pihak korban, adanya hubungan
kausal atau saling menyebabkan antara perbuatan dengan kerugian.

2.3 Perbedaan Mediasi Hukum Pidana Dan Perdata

Hukum Pidana Hukum Perdata


Permasalahan lebih pada tentang Mediasi biasanya berkaitan dengan
kebebasan dan kehidupan seseorang. masalah uang.
Yang terlibat dalam mediasi hukum Pihak yang terlibat dalam mediasi
pidana biasanya lebih kompleks. Tidak hukum perdata adalah para pihak yang
hanya pelaku dan korban, tapi juga secara langsung bersengketa/kedua
jaksa penuntut umum, serta masyarakat belah pihak yang bersangkutan.
luas.
Mediator dalam hukum pidana Mediator dalam hukum perdata
umumnya adalah hakim atau orang lain umumnya orang-orang yang salah
yang tidak memiliki pengalaman, mendapatkan pelatihan untuk itu
pelatihan, bahkan pemahaman nyata (expertise).
praktik mediasi.

18
Dalam hukum pidana, mediasi berarti proses penyelesaian perkara pidana dengan
mempertemukan pelaku kejahatan dan korban untuk mencapai kesepakatan bersama
berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan pelaku dan direstitusi yang diberikan
kepada korban. Pertemuan itu diperantarai oleh seorang mediator yang berasal dari
penegak hukum, pemerintah, orang yang bergerak di bidang lembaga swadaya
masyarakat, maupun yokoh masyarakat.
Dalam prosedur hukum sebelum menetapkan seseorang yang bersalah menjadi
terpidana maka harus melewati beberapa prosedur meliputi tersangka, terdakwa dan
pada akhirnya jika terbukti bersalah maka statusnya akan berubah menjadi terpidana.
1. Tersangka
Menurut KUHAP pasal 1 ayat 1, tersangka merupakan seseorang yang
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana karena
perbuatan atau keadaannya.
2. Terdakwa
Menurut KUHAP pasal 1 ayat 15, terdakwa merupakan seseorang tersangka yang
dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.
3. Terpidana
Menurut KUHAP pasal 1 ayat 32, terpidana merupakan seseorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukumyang
tetap.

2.4 Hak-Hak Dan Penanganan


Sebelum tahun 1975, di negara ini belum pernah ada "hak konstitusional atas
penanganan" yang digambarkan dengan jelas. Tetapi, Konstitusi menjamin bahwa
individu-individu yang ditahan atau dikurung berhak atas sesuatu yang lebih dari
sekadar perawatan kustodial, atau lebih buruk, "storage." Kasus O'Connor v.
Donaldson tahun 1975 mencontohkan hak ini.
Didalam O'Connor, Kenneth Donaldson dimasukkan ke Chattahoochee State
Hospital, Florida, pada 1956 karena mengalami, antara lain, delusi paranoid. Donald

19
menyangkal bahwa dirinya sakit dan menolak penanganan; tetapi ia tetap di institusi
itu selama 15 tahun. Tetapi ia memiliki motivasi yang kuat, persisten, dan cerdas, dan
selama bertahun-tahun itu secara persisten mengajukan petisi ke pengadilan untuk
pembebasannya. Ia melakukan tindakan hukum untuk mendapatkan ganti rugi
berdasarkan 42 U.S.C. 1983 terhadap superintenden rumah sakit, dan anggota-anggota
staf lainnya, dengan tuduhan bahwa mereka telah secara sengaja dan dengan maksud
jahat menghilangkan hak konstitusionalnya atas kebebasan.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa Donaldson, yang permintaan
berulang-ulangnya untuk dilepaskan telah ditolak oleh rumah sakit tanpa
mengesampingkan usaha-usaha oleh orang-orang yang bertanggung jawab untuk
mengurus dirinya apabila perlu, tidak berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang
lagi, dan, seandainya sakit mental, belum pernah menerima penanganan yang
dibutuhkannya.
Di tingkat pengadilan penyidang, juri memenangkan Donaldson dan memberikan
ganti rugi kompensatorik dan punitif. Pengadilan banding menguatkan keputusan
pengadilan distrik dan memutuskan bahwa Donaldson memiliki hak konstitusional
atas penanganan seperti membantunya untuk diobati atau untuk memperbaiki kondisi
mentalnya. Kasus ini dibawa banding ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
menguatkan dengan mengatakan,seorang narapidana menerima persidangan yang
tidak memihak sebelum ia dapat dipaksa untuk menggunakan obat psi.kotropika, dan
bahwa pengadministrasian obat secara paksa, dan perubahan-perubahan signifikan di
dalam kondisi pengungkungan berimplikasi pada kepentingan kebebasan dasar dan
narapidana biasanya berhak untuk menolak terapi-terapi yang invasif dan berbahaya.
Mahkamah Agung memutuskan bahwa meskipun Harper memiliki hak
kebebasan substansiatif yang termaktub di dalam Klausa Due Process untuk bebas
dari pengobatan yang tidak dikehendaki, negara bagian juga memiliki kepentingan
yang legitimate untuk mengurangi bahaya dari seorang narapidana yang kejam dan
terganggu secara mental. Klausa Due Process mengizinkan negara bagian untuk
menangani seorang narapidana di penjara yang memiliki penyakit mental serius

20
dengan obat-obat antipsikotik secara paksa, jika ia berbahaya bagi dirinya sendiri atau
orang lain dan penanganannya adalah untuk kepentingan medisnya.
Dikatakan bahwa otoritas medis lebih mampu dibanding hakim untuk
menentukan perlunya mengadministrasikan obat dan bahwa kebijakan yang menjadi
dasar penanganan narapidana adalah akomodasi yang patut antara kepentingan
narapidana untuk menghindari pengadministrasian obat antipsikotik secara paksa dan
kepentingan negara bagian untuk menyediakan penanganan yang tepat-guna untuk
mengurangi bahaya yang direpresentasikan oleh seorang narapidana yang menderita
gangguan mental bagi dirinya sendiri atau orang lain.

2.5 Contoh Laporan Forensik


Di bawah ini adalah sebuah laporan forensiksungguhan (dengan nama dan infor
masi identitasyang sudah diubah) tentang kompetensi untukmenjalani persidangan. La
poran ini disediakanuntuk teks ini atas budi baik Anita Boss, Psy.D., ABPP,
seorang psikolog forensik di Alexandria, Virginia. Laporan iniadalah sebuah
contoh evaluasikompetensi standar dan belum tentu mencerminkanbagaimana semua
psikolog forensikmengonstruksikan laporan mereka secaraprosedural atau kuantitatif.

Jane Smith, PSY.D., ABPP Board Certified in Forensic Psychology


Psychological Evaluation of Competence to Stand Trial; State
Code § 271-2.3

Nama: JONES, Bruce M.


Nomor Kasus: 11000000-05, 06, 07 D.0.B.: 5/14/1987
Tanggal Evaluasi: 1 dan 8 Juni 2007
Tanggal Laporan: 16 Juni 2007

Menanggapi Perintah Pengadilan, saya mengevaluasi Tn. Bruce M. Jones di the


Mason County Adult Detention Center. Pemeriksaan ini diminta untuk
membantu Pengadilan dalam menentukan kompetensi terdakwa untuk menjalanipersi
dangan. Terdakwa adalah seorang pria Afrika-Amerika berusia 20 tahunyang saat ini s
edang menghadapi tuntutan pembunuhan ketika melakukan sebuahperampokan, pemb
unuhan atas lebih satu orang selama jangka waktu tiga tahun, dan pencurian, Tn.
Jones sudah diberi tahu tentang sifat dan maksud evaluasi ini, maupun batas-batas ker
ahasiaannya. Secara spesifik, ia sudah diberi tahu bahwasaya telah ditunjuk oleh Paga
21
dilan untuk memeriksa kompetensinya untukmenjalani persidangan, dan bahwa saya
akan mangajukan sebuah laporan rangkuman kepada Pengadilan, jaksa negara bagian,
dan penasihat pembela. la menyatakan pemahamannya tentang pemberitahuan ini dan
kesediaannya untuk bekerja sama dengan pemeriksaan itu. Kesimpulan-kesimpulan
yang terkandung di dalam laporan ini didasarkan pada sumber-sumber informasi yang
disebutkan di bawah ini. Informasi tambahan mungkin atau mungkin tidak akan
memengaruhi kesimpulan-kesimpulan evaluasi ini.

Sumber-sumber Informasi untuk Pemeriksaan Ini


1. Wawancara klinis di Mason County Adult Detention Center (ADC) pada 1

dan 8 Juni 2007.


2. Sesi-sesi pengetesan psikologis dengan terdakwa pada tanggal-tanggal yang

sama di mana Tn. Jones mengisi the Personality Assessment Inventory (PAI)
(Inventori Asesmen Kepribadian)
3. Perintah untuk Evaluasi Psikologis; 9 Mei 2007,

4. Wawancara telepon dengan Luna Davis, R. N. dori the ADC; 9 Juni 2007.

5. Wawancara telepon dengan Loretto Jones, ibu terdakwa, 10 Juni 2007.

Dari Jaksa Negara Bagian


1. Evaluasi Psikiatrik Komprehensif dan Rangkuman Pelepasan,; David Morris,

M.D Maret 2007.


2. Catatan Kemajuan Dokter dari admisi terdakwa di Middleton State Hospital

15-17 Februari 2007


3. Sinopsis kejadian-kejadian dari Asisten Jakso Negara Bagian Timothy M.

Parker, yang disiapkan untuk evaluasi terdakwa di Middleton State Hospital,


10 Februari 2007.
4. Percakapan telepon dengan Tn. Parker, 31 Mei 2007.

Dari Penasihat Pembela


1. Data tes psikologi dari evaluasi terdakwa oleh David King, MSW, Ed.D.

(Wide Range Achievement


Test, Tes Inteligensi Nonverbol, Evaluasi-Diri Pasien)

22
2. Surat kepada Yang Terhormat James S. Robertson dari Dennis Singer, M.D.

of Central State Hospital, 18 Februari 2007.


3. Evaluasi Psikologis yang Diperintahkan oleh Pengadilan oleh Ernest Brooks,

Ph.D., 1 Juni 2007; yang dilakukan untuk Kasus Nomor CRO1001-00 dan 01.
4. Catatan dari admisi terdakwa di Middleton State Hospital;
19 Desember2005 sampai dengan 16 Januari 2006, dan 15-17 Februari 2007.
5. Booking File Mason County Adult Detention Center (ADC)

6. File Klasifikasi ADC.

7. Rekam Kesehatan Mental ADC

8. Percakapan telepon dengan Nn. Barker, penasihat pembela; 16 Mei, 10 dan 15

Juni 2007.

Informasi Latar Belakang


Terdakwa adalah yang lebih tua dari dua anak yang lahir di Danville, South
Carolina dari orangtua yang menikah. Tn. Jones mengatakan bahwa kedua
orangtuanya adalah pensiunan Angkatan Darat. Ayahnya meninggalkan
keluarganya ketika Tn. Jones kira-kira berumur 18 bulan; saat itu adik
laki-lakinya masih bayi. Sejak itu terdakwa jarang sekali bertemu ayahnya. Ia
mengatakan bahwa pada 1999, ia dan adiknya dikirim untuk tinggal dengan ayah
mereka selama musim panas di California, ia menambahkan,
"adik saya barusaja, mendapat pukulan lalu ia menelepon ibunya, yang
datang untuk mengambilmereka kembali. Catatan menunjukkan bahwa si ayah telah
meninggalkanmereka untuk menjaga dirinya sendiri, saat itu mereka masing-masing b
erumurkira-kira 11 dan 12 tahun.
Tn. Jones percaya bahwa ayahnya masih tinggal di California, ia belum
memiliki kontak terkini dengannya Ibunya, yang bekerja sebagai perawat selama
bertahun-tahun, saat ini tinggal di Smithtown, South Carolina.
Ia sekarangmemiliki disabilitas karena berbagai masalah fisik Sementara berbagai cat
atanmenunjukkan bahwa keluarga itu sering pindah karena fungsi pekerjaan ibunya, T
n.
Janes mengatakan bahwa dirinya tidak mengerti mengapa ibunya begitusering memin
dahkan mereka. Ia berpikir bahwa ibunya berusaha mendapatkanpekerjaan dan
"mencoba berbahagia." Ibunya mengatakan bahwa mereka pemahtinggal di North
California antara tahun 1991 sampai 1998, setelah itu perusahaankeperawatan di
mana ibunya bekerja mempromosikannya dan mereka pindah keGeorgia
selama dua tahun, lalu Arkansas selama tiga tahun, sebelum kembali keNorth
Carolina. Tahun 2003, jelas bahwa adiknya menderita asma yang begitu
23
beratnya sehingga ibunya perlu menemukan iklim yang berbeda untuknya. Mereka pi
ndah ke Florida. Pada tahun itu, ibunya tanpa sengaja mendengar
betapa kedua putranya tidak menyukai Florida, tetapi mereka mau tinggal di sanademi
ibunya. Ini mendorongnya untuk memindahkan kembali keluarganya keNorth
Carolina di tahun yang sama.
Ketika mereka tiba di North Carolina, trailer U-Haul mereka dicuri,
dan mereka kehilangan saluruh milik mereka. Ibu Tn. Jones mengatakan bahwat
erdakwa sangat terpukul dengan itu, tetapi mengambil peran mengurus ibunya.
Di samping itu, karena sistem jam kredit sekolahnya berbeda dengan di
Florida, kredit In
Jones tidak cukup untuk manempatkannya di kelas sepuluh di sekolahNorth Carolina
yang akan dimasukinya. Ibunya mengatakan bahwa sistemsekolah bersikeras untuk m
enempatkanya di kelas sembilan, yang sudahdiselesaikannya di Florida.
Catatan sekolah saat
itu tidak tersedia untuk evaluasiibunya mengatakan bahwa ia adalah siswa yang baik s
ampai umur 16 tahun. Tn. Jones marah dan merasa terhina karena harus mengulang
kelas, sampai la mulai menolak untuk sekolah. Selama periode yang sama Tn.
Janes mulai memperlihatkan gejala-gejala samar gangguan mental, yang akan
didiskusikan di bagian lain laporan ini. Ibu Tn. Jones membawa anak-anaknya
kembali ke Florida dalam upayanya untuk memulihkan keadaan dan membantu putra
sulungnya untuk kembali ke tingkat kelas yang semestinya di sekolah. Ia
akhirnya keluar dari sekolah di kelas sepuluh.
Berlawanan dengan keterangan ibunya, Tn. Jones menyalahkan ibunyakarena m
enurunkannya dua kelas untuk alasan yang tidak diketahuinya, dan ia
menambahkan bahwa selama itu prestasinya di sekolah baik. Ia juga melaporkan
pernah dikeluarkan di kalas enam karena berkelahi, diduga setelah seorang anak
laki-laki lain mengganggu adiknya ia membenarkan pernah diusir di SMA karena
minum alkohol di kelas. Ketika ditanya tentang insiden ini, ia
mengatribusikannya pada
"berbuat bodoh." Catatan dari evaluasi sebelumnya memperkirakan tingkat kemampu
an membacanya di tingkat kelas sebelas, dengan keterampilan mangeja dan aritmatika
yang jauh lebih rendah (masing-masing kelas lima dan tujuh).
Mengingat umumnya pada saat ditahan, Tn. Jones memiliki riwayat
pekerjaan terbatas. la pernah bekerja di sebuah restoran cepat saji pada usia 15 tahun, t
etapi ke luar karena bosan.
Sejak itu ia tidak bekerja dan dipenjara sejakumur 17 tahun.
Tn. Jones melaporkan jarang menggunakan olkohol sebelum dipenjara.
Ketika iamengonsumsi alkohol, biasanya dalam jumlah besar, meskipun melaporkanb
ahwa ia tidak sering melakukannya. la melaporkan sudah mengisap mariyuana
sejak umur 15 sampai saat ia dipenjarakan. Frekuensi dan intensitas penggunaanmariy
uana bervariasi mulai dari penggunaan hampir setiap hari sampaipenggunaan selama a
khir pekan.
Tidak ada indikasi la pernah menggunakan obat-obat ilegal sejak pemenjaraannya di d
alam catatan-catatan yang ditinjau untuk pemeriksaan ini. Tn. Jones secara

24
konsisten menyangkal penggunaan obat ilegal apapun.

Riwayat Medis
Catatan-catatan yang ada tidak menunjukkan masalah-masalah medisyang signif
ikan. Tn. Jones ingat bagian belakang kepalanya pernah disengatseekor serangga saat
ia berumur enam tahun. Ketakutan dan kesakitan, ia lari kesebuah ladang di dekat san
a, di
mana ia mengalami serangan asma dan membutuhkan perumahsakitan. la awalnya me
ndeskripsikan bahwa ini telahmenyebabkan masalah-masalah dengan "kepalanya,"
yang berarti bahwa iamengotribusikan masalah kesehatan mental sebelumnya dengan
insiden ini.
Satu-satunya penanganan medis lain yang dilaporkan Tn. Jones adalah
dipompa perutnya setelah ia "bermain-main dengan obat-obat ibu saya, mencobauntu
k mabuk." la minum delapan atau sembilan tablet Ativan. Ibunya ingat
putranya mengatakan bahwa ia makan obat itu untuk mencoba menghentikan
pikiran-pikiran mengganggu yang selama ini sedang diperanginya. Ketika satu
butir pil tidak bekerja, dia minum satu lagi, kemudian lagi,
dan lagi. Ia dirawat di rumah sakit untuk jangka pendek di the Regional Naval
Medical Center

Riwayat Psikiatrik
Ibu Th. Jones mengatakan bahwa putranya mulai memperlihatkan
gejala-gejala "samar-samar" gangguan mental setelah barang-barang milik keluargany
adicuri, la mengatakan bahwa putranya dulu tidak pernah menggunakan "bahasa
ghetto," tetapi mulai bicara dengan cara berbeda dan menggunakan gestur-gesturt
angan yang tidak lazim selama masa itu, yaitu sekitar tahun 2003,
di usia 16 tahun la mulai menarik diri dari keluarganya, menutup gorden-gorden di ru
mah, dan mengisolusi diri di kamarnya. Setelah itu menjadi terpreokupasi dengan
rambut tubuh, dan ibunya mengatakan bahwa putranya mencukur kepalanya dua
atau tiga kali sehari sampai berdarah. Ia juga mencukur bulu-bulu tubuhnya,
la mulai bicara sendiri dan menjadi paranoid la menambahkan bahwa ia akan
meletakkan cuilan-cuilan kertas atau tali
di sekitar pintu kamarnya untukmenentukan apakah seseorang masuk ke kamarnya ket
ika la sedang keluar. la juga menjadi kasar, yang sebelumnya bukan perilaku yang
menonjol, ibunya hanya ingat dua perkelahian sampai ia menjadi sakit secara mental.
Setelah keluarganya kembali ke Florida pada 2003, perilaku Tn.
Jones menjadi lebih tidak menentu, aneh, dan tidak dapat diprediksi Akhirnya, ia
menyerang seorang anak di restoran, ketika ditanyai tentang itu setelahnya, iaberalasa
n bahwa anak itu menyerangnya di kamar mandi. Insiden ini terjadi di restoran,
di depan beberapa orang lain. la dirumahsakitkan di of Edgewater Recovery Center di
Florida. Sejak saat itu Tn. Jones menjadi orang yang dapat
dideskripsikan sebagai "revolving door" patient. la dimasukkan ke rumah sakit
yang sama empat kali dalam suksesi cepat, setiap kali dengan gejala-gejalapsikotik da
n perilaku kekerasan. Ia masih terus bercukur hingga berdarah. Iadiberi obat di rumah

25
sakit untuk mengendalikan agresinya, tetapi dengan cepatmenjadi aneh dan kasar lagi
setelah dilepaskan, sehingga dengan cepatdimasukkan kembali.
Di rumah, perilaku Tn. Jones terus tidak menentu dan aneh, dan baik ibu
maupun adiknya takut akan perilaku kasarnya. Ibunya beberapa kali berusahamenemu
kan seting penanganan residensial untuknya, tetapi selalu gagal. Ibunyapernah mende
ngar bahwa the Regional Naval Medical Center mungkin memilikifasilitas perawatan
residensial yang dapat dirujuk, jadi ia dan anak-anaknyapindah kembali ke wilayah itu
. Setelah dimasukkan ke Bethesda Naval, Tn. Jones sakali lagi dilepaskan,
tanpa penanganan residensial tambahan. Ibunya memilih untuk memindahkan
keluarganya ke sebuah kota yang lebih jauh ke selatan sebagai upaya
memasukkannya ke program yang lebih established di sana.
Tn. Jones ditangkap untuk pembunuhan pada 13 November
2004. Iadinyatakan tidak kompeten untuk menjalani persidangan pada November 2005
dan dipindahkan ke Benson Forensic Unit untuk pemulihan,
Catatan-catatan yang ada menunjukkan bahwa ia kooperatif dengan penanganan, tetap
imengungkapkan sedikit hal lain tentang dirinya selain riwayat dasar yang sudah
didokumentasikan di catatan-catatan sebelumnya. Tidak ada deskripsi atau
informasi tentang kompetensinya untuk menjalani persidangan di akhir periodepenang
anan pada Desember 2005. Diagnosis akhirnya adalah gangguan Suasana
Perasaan yang Tidak tergolongkan. Penting untuk dicatu bahwa ia ditangani dengan
obat-obat antipsikotik, antidepresan, dan penstabil suasana perasaan. keadaan
mentalnya saat itu stabil selama minum obat dan ia dinyatakan kompeten untuk
menjalani persidangan.
Tn.
Jones dinyatakan bersalah dan dihukum seumur hidup ditambah 20 tahun untuk kejah
atan itu. Sebuah evaluasi yang disiapkan setahun yang lalu oleh Dr. Ernest
Brooks untuk penentuan hukuman memprediksi bahwa Tn.
Jones mungkin awalnya lebih dipersepsi memiliki masalah perilaku daripada sakit
mental di fasilitas-fasilitas Department of Corrections (DOC) (Departemen
Pemasyarakatan), la juga mengantisipasi bahwa gejala-gejala terdakwa mungkin
terlalu samar untuk terdeteksi di dalam sistem penjara. la mencatat riwayatpsikosis ya
ng jelas, meskipun ia tidak berpendapat bahwa terdakwa dalamkeadaan psikotik pada
saat melakukan kejahatan pada November 2004. Sepertiyang diantisipasi aleh Dr.
Brooks, Tn.
Jones memang diduga memiliki masalahperilaku, ia terlibat dalam kekerasan setelah d
ipindah ke DOC dan gangguan mentalnya tidak ditangani dengan adekuat.
la menghabiskan banyak waktu di segregasi tanpa minum obat. Informasi yang ditinja
u untuk evaluasi ini menunjukkan bahwa obat-obatnya dihentikan sebelum
kedatangannya di State Central
Prison, dan ia juga memiliki riwayat kadang-kadang tidak mematuhipengobatannya.
(Tidak patuh bukan tidak biasa pada orang-orang yang tidak
memiliki insight bahwa dirinya memiliki gangguan mental, khususnya ketika
mereka masih muda.) Ibu Tn. Janes mencatat bahwa ketika ia berusaha
mengunjunginya di penjara, ia masuk ke bilik kunjungan tetapi menatap kosongketika

26
ibunya memohon agar ia mau mengambil penerima telepon untuk bicaradengannya. I
bunya mengatakan bahwa ia seperti memukul-mukul serangga atausesuatu yang tidak
dapat dilihat ibunya, tidak menyadari kehadiran ibunya,
dan berat badannya turun secara substansial. Faktanya, Tn. Jones didiagnosis dengan
obesitas selama admisi pertamanya ke Central State, dan ia tidak dapat
memberikan alasan untuk penurunan berat badannya selama evaluasi yang ini
dilakukan, di mana berat badannya tampak baik-baik saja.
Setelah tuntutan-tuntutan yang sekarang diajukan pada dirinya, terdakwadipinda
hkan ke ADC Untuk alasan yang tidak jelas dari catatan yang ada, iamemiliki perintah
"Jangan Ditangani." Para profesional kesehatan mental hanya terbatas menyelidiki
tentang kondisinya melalui pintu selnya mengingat riwayat
kekerasan dan ancaman-ancaman terhadap staf di sana. Catatannya cukup jelasbahwa
terdakwa tampak psikotik, dan juga tidak kooperatif, pada saatkedatangannya di
ADC. la ditempatkan di sebuah unit segregasi khusus yang menempatkan terdakwa-te
rdakwa dengan gangguan mental serius atau kebutuhanperlindungan khusus.
la tetap berada di alam selnya, dan terlihat menoreh kantinja di jendela
dan dinding berusaha memasukkan hamburger ke dalam anusnya, memasukkan maka
nan dan pakaian ke toilet yang juga berisi air seni dan tinja, bicara sendiri,
dan menatap kosong. Dicatat bahwa ia memiliki preokupasisignifikan dengan toilet,
dan sering terlihat duduk atau berbaring di lantai di dekatnya. Ia biasanya tidak respon
sif terhadap orang lain. Para profesional kesehatan mental yang terlibat dalam
perawatannya memeriksanya berulang kali, sering mengamatinya melalui jendela tanp
a sepengetahuannya, dan perilaku anehnya sangat konsisten.
Akan sangat tidak biasa bagi seseorang untuk berusaha memalsukan
sebuah gangguan mental untuk mempertahankan perilaku anehdengan sangat konsiste
n saat sendirian selama berbulan-bulan. Biasanya para malingerer berusaha menarik
perhatian ke gejala-gejala yang dilaporkan dan pada saat yang sama berharap
diberi kebebasan seperti yang diberikan kepada orang lain di rumah sakit
atau seting penjara. Catatan yang ada juga tidak menunjukkan bahwa Tn.
Jones mengeluh tentang segregasi terus-menerusnya.
Tn. Jones akhirnya dipindahkan ke Middleton State Hospital selama dua
hari di bulan Februari ketika berada di sana, ia tidak kooperatif. Catatan
pemasukannya ke bagian keperawatan mengatakan bahwa perilakunya "sangataneh,
Pt agresif, mengancam staf secara fisik"; tetapi, pada hari ia dimasukkan,
sebuah perintah ditulis, yang mengatakan, "Pasien tidak menerima pengobatan
antipsikotik apa pun, silakan mengontak psikiater jaga jika diperintahkan oleh MOD
(medical officer of the day [pejabat medis hari itu]). " Catatanp
emasukannya ke bagian psikiatri mendiagnosis malingering dan menyatakan
bahwa pengobatan tidak boleh diberikan, tidak ada diagnosis-diagnosis alternatiftercat
at, meskipun Tn. Jones baru saja tiba dan tidak bekerja sama denganpemeriksaan.
Karena perilakunya yang mengancam dan upayanya untukmeludahi, Tn. Jones dikeka
ng dan berada di dalam hood selama sebagian besarwaktunya di rumah sakit. Meskipu
n ia didiagnosis dengan Malingering, ia tidakpernah dievaluasi secara penuh akibat pe
rilaku tidak kooperatifnya, dan ia juga tidak menyelesaikan tes psikologis apa pun.

27
Catatan-catatan dari observasikeperawatan memnunjukkan bahwa ia sering membisu
selama dikekang, tetapi iajuga terlihat menggumam sendiri. Pengekangan fisik, alih-al
ih untukmenggunakan alternatif yang tidak terlalu membatasi dibanding intervensipsi
kotropik, adalah satu-satunya penanganan yang diperintahkan, meskipun Tn.
Jones memiliki riwayat menjadi penurut dan tanpa kekerasan selama ditanganidengan
obat di the Benson Forensic Unit.
Tn. Jones dikembalikan ke ADC setelah dua hari, dan perilakunya di penjara
berlanjut seperti sebelumnya. Akhimya, pada Maret 2007, ia diberi resepRisperdal
oleh psikiater konsultannya di penjara, yang menghasilkan perubahan
dramatis. Profesional tahanan maupun kesehatan mental berkomentar tentangbagaima
na Tn. Jones telah berubah dari memperlihatkan perilaku yang aneh, tidak komunikati
f atau tidak kooperatif menjadi cukup menyenangkan kooperatif,
dan mematuhi rutinitas penjara. Sementara dokumentasi tentang hal ini tersediadari st
af kesehatan mental, komentar-komentar tambahan dari para anggota staftahanan tent
ang perubahan perilaku ini datang dari sesi-sesi evaluasi. Frekuensikomentar dari staf
tahanan sangat tidak biasa, yang mangilustrasikan
derajat gangguan dan perubahan dramatis Tn. Jones sejak ia memakai obat.
Penasihat pembela mendeskripsikan upaya sebelumnya untuk menanganiTn. Jon
es mengatakan bahwa matanya tampak “berkabut” dan umumnya tidakresponsif. Ia ti
dak mampu menjalin pembicaraan yong produktif dengan kliennyatentang kasusnya s
ampai belum lama ini, ketika ia mulai memakai obat Ibu
Tn.Jones menerangkan bahwa ketika baru-baru ini ia mengunjungi putranya di
ADC, putranya mengatakan, "Halo,
Bu kepadanya untuk pertama kalinya setelahberbulan-bulan,
dan ibunya lega menemukan putranya dapat benar-benarbercakap-cakap dengannya se
telah berbulan-balan bersikap aneh dan tidakkomunikatif. Ibunya mengungkapkan ke
khawatirannya bahwa Tn.
Jones memberi tahunya bahwa ia akan dibebaskan dari penjara dan akan pulang keru
mah untuk mengurus ibunya.
Meskipun Tn. Jones dideskripsikan memperlihatkan gejala-gejala psikotik, seperti
halusinasi, agresif, dan paranoid intens maupun gejala-gejala obsesif-kompulsif, tetapi
catatan-catatan yang ada mengindikasikan ia cenderung kurang melaporkan
masalah. Laporan yang dibuatnya sendiri biasanya memasukkan komentar-komentar
bahwa ibunya membuat dirinya dimasukkan ke rumah sakit "untuk rehat," atau bahwa
ibunya tidak memahami bahwa la senang dengan kepala tercukur licin. Meskipun la
sering terlihat bicara sendiri dan tampak berhalusinasi, catatan-catatan yang ditinjau
untuk pemeriksaan ini menetapkan pola untuk mengingkar masalah ini, meskipun
beberapa pengamat telah melihatnya bercakap-cakap dengan atau memperhatikan
stimuli dari dalam dirinya. Pola terus berlanjut selama evaluasi yang ini, ketika Tn.
Jhon dengantegas menyangkal riwayat gangguan mental, gejala-gejala psikosis, atau i
su-isuterkait.

Evaluasi Klinis
Untuk kedua sesi evaluasi, higiene dan cara berpakaian Tn. Jones tampakpantas.

28
la mengenakan pakaian penjara, dengan wajah tercukur bersih dan rambuttercukur san
gat pendek. Meskipun ia tidak lagi kegemukan, ia tidak dapatmenjelaskan penurunan
berat badannya.
In tampak waspada dan menunjukkanorientasi penuh, mudah tersenyum,
dan memperlihatkan sikap yang menyenangkan dan kooperatif.
Kontak matanya bagus,
dan ia tampak termotivasiuntuk menyelesaikan wawancara dan tes,
la tak sekalipun bersikap argumentatifatau membangkang,
Ada kalanya selama evaluasi ia tampak kehilanganperhatiannya, dan
pada saat seperti itu ia menatap
kosong namun hanya sejenaksebelum pulih kembali dan berperilaku seakan-akan tida
k terjadi ada apa-apa. la sesekali tertawa seperti anak kecil,
dan ekspresi emosionalnya kadang-kadangkurang serius dibanding situasinya saat itu.
Sebaliknya, ia juga memperlihatkankemampuannya untuk benar-benar fokus pada kea
daannya sekarang dan merespons dengan semestinya. Perilakunya berfluktuasi seperti
ini selama keduasesi.
Pada tugas-tugas pemeriksaan status mental, kinerja Tn. Jones samabervariasinya,
la mampu menyelesaikan asesmen fungsi-fungsi ingatanterkininya,
yang mencakup atensi dan konsentrasi,
tanpa kesalahan. Kinerjanyapada tugas-tugas yang
dirancang secara khusus untuk mengases perhatian dan kotsentrasi buruk. Penalaran v
erbal abstrak dan judgmentnya mengungkapkanpendekatan ide-ide
yang tidak biasa, judgmentnya agak terhendaya pada tugas-tugas ini.
Tn. Jones menyangkal pernah mengalami halusinasi apa pun.
Ketika deskripsi tentang perilakunya dibacakan kepadanya, ia menjawab,
"Saya hanyamain-main...saya berlibur di
dunia kecil saya sendiri, bermain-main denganberbagai hal."
la diberi tahu bahwa ia pernah terlihat merespons suara-suara pada beberapa kesempat
an ketika diobservasi oleh staf kesehatan mental, dan untuk ituia menjawab,
"Saya sedang tidak ingin bermasyarakat, saya sedang berbincang-bincang dengan diri
saya sendiri."
la hanya mendeskripsikan sedang "ada di tempat lain" padahal sedang berada di penja
ra, dan tidak mau memberi tahubanyak hal lainnya tentang keadaan mentalnya,
la selalu menyangkal mengidapgangguan mental, bahkan ketika dikonfrontasikan den
gan banyak dokumentasitentang perilakunya yang menunjukkan sebaliknya Ketika dit
anyai mengapa iatidak responsif terhadap staf kesehatan mental, ia menjawab,
"Saya hanya di sana, melamun." Tn.
Jones mengatakan bahwa ia tidak ingat perilaku-perilakuaneh lainnya, seperti mencob
a memasukkan hamburger ke dalam anusnya. Iamengatakan,
"Saya tidak ingat tentang hamburger itu.
Saya ingat tentangtinjanya." Tentang tinja yang ditorehkannya, ia mengatakan,
"Saya bahkan tidaktahu mengapa saya melakukannya. Mungkin saya sedang bermain-
main
di dalamsana. Bukan bermain-main, mungkin saya ada di sana dan bertingkah sepertis

29
eperti orang bodoh."
la mengatakan bahwa itu bukan taktik untuk mendapatkanperhatian, tetapi "Hanya
di sana, main-main, akhirnya melemparkan kotoran ituke dinding."
la memiliki respons-respons serupa di dalam penjelasan untukperilaku anehnya di
masa lalu. Sebagai contoh, ia mengatakan ibunya pernahmenemukannya di dalam ka
marnya, "sedang mengayun-ayunkan kabel stereo,"
dan ibunya takut ia sedang berusaha menyakiti dirinya sendiri. Ia menjelaskan,
"Bung, saya waktu itu sedang berusaha mengikat tubuh saya mulai dari kepalasampai
ke jari-jari kaki."
la mengatakan bahwa ia melakukannya karena merasabosan. Tentang bercukur
beberapa kali sehari sampai berdarah, ia menjelaskan bahwa ibunya, "benar- benar
tidak memahami putra kecilnya," dan la senang jika tercukur licin. la meminimalkan
observasi-observasi oleh staf rumah sakit di Florida yang mengatakan bahwa
tubuhnya teritis karena bercukur.
Perilaku wawancara Tn. Jones maupun data tes psikologinya tidak mengindikasikan
malingering Faktanya, minimisasi dan penyangkalan gejala-gejala psikotik di masa
lalu sangat kuat dan bukan hanya mengindikasikan kurangnya insight secara ekstrem,
tetapi juga kecil kemungkinannya bahwa ia ingin menarik perhatian ke
masalah-masalah psikiatrik jika ia membutuhkan bantuan.
Baru-baru ini Tn.
Jones mengeluh tentang minum obat antipsikotiknya. Iamengatakan bahwa ia "minum
obat karena mereka terus melemparkannya kepadasaya, tetapi bukan berarti saya men
gatakan bahwa saya tidak perlu memakainya." Sebelumnya, ia mengklaim bahwa dul
u mereka "bereksperimen" dengannyadengan obat itu, sehingga ia mempertimbangka
n untuk menolaknya. Sekali lagi, harus dicatat bahwa banyak pengamat di
ADC menerangkan tentang perubahandi dalam perilaku dan sikapnya sejak ia mulai
memakai obat antipsikotik Maret silam,
dan ia baru-baru ini telah dikembalikan ke populasi umum di penjara untukpertama ka
linya setelah berbulan-bulan

Kompetensi untuk Menjalani Persidangan


Tn.
Jones dapat mengomunikasikan dengan efektif dan jelas pengetahuanfaktualnya tenta
ng sistem hukum. Ia mendeskripsikan dengan tepat fungsi hakim, juri, jaksa penuntut,
dan pengacara pembela la memperlihatkan pemahamantentang ketiga opsi plea
(bersalah, tidak bersalah, tidak bersalah dengan alasantidak waras), maupun hak-hak y
ang dilindungi dengan plea bersalah. Di dalamdiskusi tentang konsep jury trial dan
bench
trial, terdakwa mampu memberikanalasan yang logis untuk memilih masing-masing o
psi. Tn. Jones memahamidengan jelas sifat adversarial legal
proceedings, maupun hak-haknya di dalamnya.
Selama sesi pertama, Tn. Jones mengatakan ia pernah "mendengar tentang
dituntut atas sebuah pembunuhan lain
dan tampaknya tidak mengerti dari mana asal tuduhan itu.

30
Ini awalnya dilihat dengan semacam skeptisisme, tetapi, sebelum sesi yang kedua Tri.
Jones terlibat percakapan yang produktif dengan
pengacara pembelanya untuk pertama kalinya.
la mendapatkan informasi yang jauh lebih baik tentang situasinya di pertemuan kedua
dengan pemeriksa dan dapat melakukan percakapan yang cerdas tentang informasi bar
u itu.
la dapat mendiskusikan tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya dan tingkat
keseriusannya,
dan menunjukkan pemahamannya tentung tuntutanhukuman mati, kejahatan berat,
dan kejahatan ringan, la mengungkapkan ke percayaannya pada pengacaranya
dan motivasi yang kuat untuk bekerja bersamanya.
Hal yang menjadi perhatian di dalam kasus ini adalah sebuah kualitasyang
juga dicatat oleh Dr. Brooks tahun lalu. In. Jones tumpaknya tidak
sepenuhnya memahami situasinya saat ini dan dampaknya pada kehidupannya. Meski
pun ia sadar bahwa dirinya sudah dijatuhi hukuman seumur hidup ditambah20 tahun, i
a tetap bertahan bahwa pengacaranya pernah memberi tahu dirinyabahwa ia akan dile
paskan 20 tahun mendatang, di usia 40 tahun, dan itu tidakbenar.
Pada pertemuan pertama, ia kesal tentang tuntutan-tuntutan tambahanterhadap dirinya
,
di sesi kedua ia tampak santai dan acuh tak acuh tentangdampak potensialnya pada sit
uasinya dan persidangan serius yang mungkindihadapinya.
Tidak jelas apakah ini adalah masalah kematangan, karena remajatidak memahami da
mpak seumur hidup tentang berbagai hal (ia sudah dipenjarasejak umur 17 tahun dan
masih belum matang),
atau apakahketidakterhubungannya dengan keseriusan situasinya berakar pada sebuah
gangguan kepribadian atau mental.
Saat ini, gangguan mental Tn.
Jones tampaknya cukup terkontrol denganbaik dengan obat psikotropika. Ia memperli
hatkan kemampuan untukmendiskusikan situasinya saat ini dengan jelas dan konstruk
tif. la jelas memilikipengetahuan rasional dan faktual tentang legal
proceedings secara umum,
dan memiliki pemahaman faktual tenting tuntutan-tuntutan terhadap dirinya.
Pemahaman rasionalnya tentang tuntutan-tuntutan itu kurang begitu jelas, namunia tid
ak tampak tehendaya hingga tidak dapat berkomunikasi dengan penasihatperbelanya s
ecara efektif.
Dia perhatian khusus adalah ekspresi emosinya yang kadang-kadang tidak pas,
dan tidak jelas apakah kesulitannya dalam memahamikonsekuensi jangka panjang aka
n berdampak pada kemampuannya untukberpartisipasi secara efektif di dalam persiap
an pembelaannya.
Tn.
Jones memiliki riwayat yang sangat jelas untuk meminimalkan gejala-gejala dan dam
pak gangguan mentalnya,
dan berkomentar tentang bagaimana iadapat menunjukkan penampilan positif palsu se
lama dalam pengobatan. Kompetensinya untuk menjalani persidangan mungkin berflu

31
ktuasi berdasarkankepatuhan pada pengobatan dan keadaan mentalnya,
dan tidak jelas kapanterdakwa kehilangan kemampuannya untuk mengikuti dan memb
uat keputusanyang tepat atas namanya sendiri. Tn.
Jones mengungkapkan pemahamannyabahwa penemuan inkompetensi tidak akan men
yebabkan tuntutannya dibatalkantetapi hanya akan menunda hal yang tak terhindari la
mengatakan bahwa ia tidakmemiliki keinginan untuk menunda masalahnya.
Ada kalanya evaluasi-evaluasi terhadap korban tidak menghasilkanjawaban afir
mati yang tegas untuk pertanyaan-pertanyaan rujukan Inilah salah satu di antara kasus
-kasus itu. Berdasarkan evaluasi yang sekarang dan informasiyang tersedia, menurut p
endapat saya Tn.
Jones memiliki kapasitas untukmemahami persidangan terhadap dirinya dan membant
u pengacaranya pada saatia dievaluasi Kondisi ini memiliki potensi untuk berubah ber
dasarkan kepatuhanpadu pengobatan dan efektivitas penanganahinya. Seperti dicatat d
i dalamevaluasi-evaluasi sebelumnya, kondisi mentalnya jelas memiliki potensi untuk
memburuk,
dan jika hearing atau persidangannya ditunda atau berkepanjangan, isu kompetensi m
ungkin perlu ditinjau kembali selama prosesnya. Pengacaranyayang sekarang tampak
nya sudah memahami kondisinya dan mampu bekerjabersamanya. Permintaan akan e
valuasi kompetensi di
masa mendatang, bilamanadiperlukan, dapat mendukung intervensi awal jika kondisi
Tn. Jones mulaimemburuk.
Ini akan mengurangi lamanya waktu yang diperlukan untukmenstabilkannya kembali
jika ia mengalami ketidakseimbangan.

Diserahkan dengan hormat,

Jane Smith, Psy.D., ABPP Diplomate in


Forensic Psychology Licensed Clinical
Psychologist

32
BAB II
PENUTUP

Simpulan
Dapat disimpulkan bahwa Psikologi hukum sebagai ilmu yang juga mempelajari
tentang perilaku dan proses mental, manusia memiliki peran yang penting dalam
fungsinya untuk penegakan hukum pidana dan perdata di Indonesia. hukum pidana
merupakan hukum yang memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada
perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan


didalam masyarakat. Perkataan tentang hukum perkata dalam arti luas meliputi semua
hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.

33
DAFTAR PUSTAKA

Buku Psikologi Forensik


https://ojs.unud.ac.id/index.php/ijlfs/article/view/3242
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/25676/25328
https://www.studocu.com/id/document/universitas-mercu-buana-jakarta/psikologi-for
ensik/psikologi-forensik-hukum-pidana-dan-perdata/46138870
https://www-legalaid-wa-gov-au.translate.goog/resources/self-help-kits-and-guides/criminal-
trials/trial-hearing/cross-examination?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

34

Anda mungkin juga menyukai