PSIKOLOGI FORENSIK
Dosen pengampu:
Dr.Dian Novita Siswanti, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog
Ismalandari Ismail, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Disusun oleh:
KELOMPOK 9
KELAS J
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kami
dapat menyelesaikan makalah ini berjudul Psikologi Forensik. Tak lupa, kami ucapkan terima
kasih kepada Dosen dan pengajar mata kuliah yang telah memberikan kesempatan dan
bimbingan kepada kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Makalah ini membahas mengenai peran psikologi forensik dalam sistem peradilan pidana,
yang merupakan topik yang sangat menarik dan relevan untuk dibahas. Dalam penulisan
makalah ini, kami berusaha untuk mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber
yang terpercaya, termasuk buku, jurnal, dan dokumen-dokumen resmi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Namun usaha dan kerja
keras serta dukungan dukungan dari berbagai pihah. Segala saran dan kritik yang
membangun dari Dosen dan pembaca akan sangat berharga bagi kami untuk memperbaiki
dan meningkatkan kualitas penulisan di masa depan.
Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, dan mampu
memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa depan.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Psikologi forensik adalah cabang psikologi yang berkaitan dengan aplikasi pengetahuan
dan metode psikologi untuk keperluan hukum dan pengadilan. Tujuan utama dari psikologi
forensik adalah untuk membantu proses hukum dan peradilan dengan memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku manusia dan proses mental yang
mempengaruhi tindakan kriminal. Dalam konteks ini, psikologi forensik melibatkan berbagai
macam aplikasi, seperti penilaian psikologis terhadap terdakwa, saksi ahli dalam sidang
pengadilan, serta konseling dan intervensi bagi korban kekerasan.
Psikologi forensik memiliki peran penting dalam sistem hukum modern, karena dapat
memberikan wawasan tentang proses mental dan perilaku manusia yang berkaitan dengan
kejahatan, serta membantu menentukan kebijakan publik dan peraturan hukum yang lebih
efektif dan adil. Secara khusus, psikologi forensik dapat membantu memahami alasan di balik
perilaku kriminal, memberikan penilaian tentang kemampuan mental individu dalam
berurusan dengan hukum, dan membantu korban dalam pemulihan pasca-kekerasan.
Dalam hal ini, psikologi forensik beroperasi dalam berbagai bidang, seperti kriminologi,
psikologi hukum, psikologi kriminal, psikologi investigasi, dan psikologi korban kekerasan.
Berbagai teori dan metode telah dikembangkan dalam psikologi forensik, termasuk psikologi
perkembangan, psikometri, neuropsikologi, psikologi sosial, dan psikologi klinis.
2. Apa hak, wewenang serta kewajiban dari seseorang ilmuwan psikolog forensik?
3. Bagaimana cara seorang psikolog forensik memberikan pernyataan kepada para awak
media?
1.3. Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari psikolog forensik, serta apa menjadi hak,
kewajiban dan wewenang dari ilmuwan ahli psikolog forensik dalam menangani suatu kasus
psikolog dalam pengadilan.
BAB II
PEMBAHASAN
(2) Psikolog forensik memiliki wewenang memberikan laporan tertulis atau lisan
mengenai hasil penemuan forensik, atau membuat pernyataan karakter
psikologi seseorang, hanya sesudah ia melakukan pemeriksaan terhadap
pribadi bersangkutan sesuai standar prosedur pemeriksaan psikologi, untuk
mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila tidak dilakukan
pemeriksaan menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, Psikolog
menjelaskan keterbatasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah
untuk membatasi implikasi dari kesimpulan atau rekomendasi yang
dibuatnya.
(1) Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun saksi ahli
harus bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan dalam
menyusun hasil penemuan psikologi forensik atau membuat pernyataan dari
karakter psikologi seseorang berdasarkan standar pemeriksaan psikologi.
Penjelasan : psikolog bisa memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun ahli
saksi yang bertujuan untuk menegakkan kebenaran serta keadilan atau bisa juga
membuat pernyataan mengenai karakter psikologi dari seseorang berdasarkan
standar pemeriksaan psikologi.
(5) Bila terdapat lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog di pengadilan dan
bila kemungkinan terjadi konflik antar psikolog dalam suatu proses
peradilan yang ditanganinya, maka psikolog dapat meminta Himpsi untuk
membantu penyelesaian masalah dengan memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan permasalahan berdasarkan standar pemeriksaan psikologi
dan kaidah ilmiah psikologi.
Penjelasan : Jika terjadi suatu konflik di pengadilan dikarenakan terdapat lebih
dari satu saksi ahli psikolog yang menangani proses kasus di pengadilan maka
psikolog dapat meminta Himpsi untuk membantu menyelesaikan masalah
berdasarkan standar pemeriksaan psikologi dan kaidah ilmiah psikologi.
(6) Bila terdapat lebih dari Satu saksi atau saksi ahli yang berasal dari psikolog
dan ahli profesi lain dan bila kemungkinan terjadi konflik antara psikolog
dengan profesi lain tersebut maka psikolog dapat meminta Himpsi
menyelesaikan masalahnya dengan mendiskusikannya dengan organisasi
profesi dimana profesi lain tersebut bernaung.
Penjelasan : Jika terjadi konflik di pengadilan karena ada lebih dari satu saksi
ahli yang berasal dari psikolog dan ahli profesi lainnya, maka psikolog dapat
meminta himpsi menyelesaikan masalahnya dengan mendiskusikan dengan
organisasi profesi tersebut.
2.5 Pasal 60 Peran Majemuk dan Profesional Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghindari untuk menjalankan
peran majemuk. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan kejelasan masing-masing
peran harus ditegaskan sejak awal dan tetap berpegang teguh pada azas profesionalitas,
obyektivitas serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman. Hal-hal yang harus
diperhatikan bila peran majemuk terpaksa dilakukan:
Tercatat banyak kasus pembunuhan dengan cara mutilasi. Antara lain, kasus
mutilasi dengan tersangka Verry Idham Henryansyah alias Ryan (34) di wilayah
hukum Polres Jakarta Selatan, dengan korban seorang laki-laki, Heri Santoso, yang
dipotong tubuhnya menjadi tujuh bagian dan jasadnya dimasukkan ke dalam koper
dan tas. Selain itu, yang terjadi pada 17 Januari 2008 dengan korban Atikah Setyani,
cewek hamil empat bulan yang dipenggal kekasihnya bernama Zaky di kamar Hotel
Bulan Mas, Koja, Jakarta Utara. Lalu pada 17 Maret 2008, muncul kasus di Bekasi
Timur, namun hingga sekarang belum terungkap, dengan korban wanita yang
dipotong menjadi 10 bagian danmayatnya dimasukkan dalam kardus, ditemukan di
depan kantor Primkoti Margahayu.
Kita semua tentu sangat prihatin atas kejadian-kejadian tersebut, karena orang
Indonesia yang dikenal ramah-tamah, punya sopan santun, dan sikap kekeluargaan
yang tinggi, tega melakukan pembunuhan sadis. Melihat banyaknya kasus mutilasi
tersebut, tentu dalam penanganannya harus jeli dan melihatnya dari berbagai aspek
atau faktor. Menurut kriminolog Prof Ronny Rahman Nitibaskara, dalam
menyelesaikan kasus kejahatan kriminolog tidak mengenal faktor penyebab tunggal
(single factor caution), tapi dijawab oleh aneka faktor(multiple factor caution). Faktor
yang tidak kalah pentingnya adalah dari aspek psikologi pelakunya.
Dengan demikian, bantuan atau masukan dari psikiater dan psikolog menjadi
pertimbangan bagi polisi. Untuk membantu proses penyelidikan dan penyidikan
tersebut, penyidik Polri — selain memperoleh bantuan dari psikiater dan psikolog &
mdash; dapat mudah menangani kasus mutilasi tersebut dengan dan atau dari
(segi)ilmu psikologi forensik. Apabila mengambil contoh kasus mutilasi yang
dilakukan olehRyan. dengan bukti terakhir di temukannya lima mayat oleh gabungan
penyidik Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Timur baru-baru ini di rumah orang
tuanya, menarik sekali kalau kita melihat dari kacamata psikologi forensik. Menurut
pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, pembunuhan berantai atau
sadis(mutilasi), bagi pelakunya adalah untuk mendapatkan fantasi atau sensasi yang
luar biasa dengan melihat korbannya meninggal atau detik-detik terakhir korban
mengembuskan nafasnya (mati perlahan-lahan).
Menurut pakar psikologi forensik dari AS, Dr Heirr, penelitian tentang sifat
psikopat yangada sangat minim sekali, sangat sulit, dan mustahil, karena pengidap
psikopat dapat memiliki sifat itu dengan tindakan hubungan yang manipulatif dan
tidak mudah dideteksi. Hal tersebut disebabkan oleh karena sifat pengidap psikopat
secara lahiriah atau fisik tidak tampak darisikap yang hangat, cerdas, dan biasa
tersebut. Indonesia sebagai negara yang mengalamikrisis di semua bidang kehidupan,
sangat kondusif memunculkan pemainpemain tunggal pelaku psikopat, baik dengan
kadar rendah maupun dengan kadar yang tinggi. Dalam kaitan itu, pihak kepolisian
dalam menangani kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan disarankan oleh pakar
psikologi forensik Reza Indargiri Amriel melakukan beberapatindakan.
Dalam contoh kasus diatas, psikologi forensik memiliki kewajiban yang jelas dengan
perundang-undangan yang relevan sesuai pada pasal 56 Hukum dan Komitmen ilmuwan
psikolog/psikolog terhadap Kode Etik dan kondisi psikologis di wilayah hukum. Selain itu,
adalah penting bahwa psikolog melakukan atau memiliki kompetensi atau tanggung jawab
dan evaluasi berhubungan deskripsi gejala atau diagnosis penyakit mental untuk kapasitas
fungsional hukum yang digariskan dalam hukum. Psikologi forensik menguji kompetensi
seseorang untuk diadili dengan harus mengingat bahwa penentuan kesehatan mental relatif
penting dilakukan terhadap tuntutan kasus tertentu sesuai dengan pasal 58 Tanggung Jawab,
Wewenang dan Hak ilmuwan psikolog/psikolog dalam kasus psikologi forensik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psikologi forensik adalah cabang psikologi yang berkaitan dengan aplikasi pengetahuan
dan metode psikologi untuk keperluan hukum dan pengadilan. Tujuan utama dari psikologi
forensik adalah untuk membantu proses hukum dan peradilan dengan memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku manusia dan proses mental yang
mempengaruhi tindakan kriminal. Dalam konteks ini, psikologi forensik melibatkan berbagai
macam aplikasi, seperti penilaian psikologis terhadap terdakwa, saksi ahli dalam sidang
pengadilan, serta konseling dan intervensi bagi korban kekerasan.
Psikologi forensik memiliki peran penting dalam sistem hukum modern, karena dapat
memberikan wawasan tentang proses mental dan perilaku manusia yang berkaitan dengan
kejahatan, serta membantu menentukan kebijakan publik dan peraturan hukum yang lebih
efektif dan adil. Secara khusus, psikologi forensik dapat membantu memahami alasan di balik
perilaku kriminal, memberikan penilaian tentang kemampuan mental individu dalam
berurusan dengan hukum, dan membantu korban dalam pemulihan pasca-kekerasan.
Dengan demikian upaya pembuktian secara ilmuwan psikolog forensik pada setiap kasus
kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda
persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah
seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana ini, hendaknya
dilakukan dengan teliti dan waspada.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, L. K., Darmawan, V. D., & Nurmalasari, F. (2019). Psikologi forensik dan
kontribusinya dalam sistem peradilan pidana. Jurnal Ilmiah Psikologi, 18(2), 167-174.
Dewi, Y.L.P. (2018). Teknologi informasi dalam psikologi. Jurnal Psikologi Profesi,, 5(2),
125-132.
Hidayat, A.A. (2017). Perlindungan data pribadi dalam konteks penerapan psikologi forensik.
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 5(1), 1-16.
Suryani, L. K. (2016). Aplikasi teknologi informasi dalam pelayanan konseling online. Jurnal
Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 5(1), 37-45.
Abdul Munim, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, 1997 Penerapan Ilmi Kedokteran
Forensik dalam Proses Penyidikan,2008.