Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KODE ETIK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI FORENSIK

Dosen pengampu:
Dr.Dian Novita Siswanti, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog
Ismalandari Ismail, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Disusun oleh:
KELOMPOK 9
KELAS J

Andi Khusnul Khatimah (220701501158)


Nurul Fadliany (220701500064)
Nurul Fuadi Tahir (220701501110)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kami
dapat menyelesaikan makalah ini berjudul Psikologi Forensik. Tak lupa, kami ucapkan terima
kasih kepada Dosen dan pengajar mata kuliah yang telah memberikan kesempatan dan
bimbingan kepada kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Makalah ini membahas mengenai peran psikologi forensik dalam sistem peradilan pidana,
yang merupakan topik yang sangat menarik dan relevan untuk dibahas. Dalam penulisan
makalah ini, kami berusaha untuk mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber
yang terpercaya, termasuk buku, jurnal, dan dokumen-dokumen resmi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Namun usaha dan kerja
keras serta dukungan dukungan dari berbagai pihah. Segala saran dan kritik yang
membangun dari Dosen dan pembaca akan sangat berharga bagi kami untuk memperbaiki
dan meningkatkan kualitas penulisan di masa depan.
Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, dan mampu
memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa depan.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i


DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
1.1 Latar belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
1.3 Tujuan...................................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 2
2.1 Pasal 56 Hukum dan Komitmen terhadap Kode Etik ............................................. 2
2.2 Pasal 57 Kompetensi ............................................................................................... 3
2.3 Pasal 58 Tanggung Jawab, Wewenang dan Hak ..................................................... 5
2.4 Pasal 59 Pernyataan Sebagai Saksi atau Saksi Ahli ................................................ 6
2.5 Pasal 60 Peran Majemuk dan Profesional Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi... 8
2.6 Pernyataan Melalui Media Terkait dengan Psikologi Forensik .............................. 9
Contoh Kasus ............................................................................................................... 11
PENUTUP ........................................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psikologi forensik adalah cabang psikologi yang berkaitan dengan aplikasi pengetahuan
dan metode psikologi untuk keperluan hukum dan pengadilan. Tujuan utama dari psikologi
forensik adalah untuk membantu proses hukum dan peradilan dengan memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku manusia dan proses mental yang
mempengaruhi tindakan kriminal. Dalam konteks ini, psikologi forensik melibatkan berbagai
macam aplikasi, seperti penilaian psikologis terhadap terdakwa, saksi ahli dalam sidang
pengadilan, serta konseling dan intervensi bagi korban kekerasan.

Psikologi forensik memiliki peran penting dalam sistem hukum modern, karena dapat
memberikan wawasan tentang proses mental dan perilaku manusia yang berkaitan dengan
kejahatan, serta membantu menentukan kebijakan publik dan peraturan hukum yang lebih
efektif dan adil. Secara khusus, psikologi forensik dapat membantu memahami alasan di balik
perilaku kriminal, memberikan penilaian tentang kemampuan mental individu dalam
berurusan dengan hukum, dan membantu korban dalam pemulihan pasca-kekerasan.

Dalam hal ini, psikologi forensik beroperasi dalam berbagai bidang, seperti kriminologi,
psikologi hukum, psikologi kriminal, psikologi investigasi, dan psikologi korban kekerasan.
Berbagai teori dan metode telah dikembangkan dalam psikologi forensik, termasuk psikologi
perkembangan, psikometri, neuropsikologi, psikologi sosial, dan psikologi klinis.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan psikologi forensik?

2. Apa hak, wewenang serta kewajiban dari seseorang ilmuwan psikolog forensik?

3. Bagaimana cara seorang psikolog forensik memberikan pernyataan kepada para awak
media?

1.3. Tujuan

Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari psikolog forensik, serta apa menjadi hak,
kewajiban dan wewenang dari ilmuwan ahli psikolog forensik dalam menangani suatu kasus
psikolog dalam pengadilan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pasal 56 Hukum dan Komitmen terhadap Kode Etik


(1) “Psikologi forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan/atau
diaplikasikan dalam bidang hukum, khususnya peradilan pidana”

Penjelasan : Pasal 56 ayat 1 menjelaskan tentang pentingya komitmen terhadap


kode etik dalam psikologi forensik , dimana psikologi forensik merupakan ilmu
psikologi yang diterapkan dalam bidang hukum dan peradilan . yang mempunyai
tujuan untuk memberikan sebuah pemahaman tentang aspek psikologis pada suatu
kasus hokum.

(2) “Ilmuwan psikologi forensik melakukan kajian/ penelitian yang terkait


dengan aspek-aspek psikologis manusia dalam proses hukum, khususnya
peradilan pidana. Psikolog forensik adalah psikolog yang tugasnya
memberikan bantuan profesional psikologi berkaitan dengan permasalahan
hukum, khususnya peradilan pidana. “

Penjelasan : Pasal 56 ayat 2 menjelaskan bahwa psikolog forensic harus


mendapat pelatihan dan kualifikasi yang memadai dan berkomitmen untuk
memperbaharui pengetahuan dan keterampilanya secara teratur . dimana psikolog
forensik bertanggung jawab dalam memberikan laporan dan kesaksian di
pengadilan serta memerlukan keahlian khusus dan pemahaman yang lebih
mendalam tentang aspek psikologis dalam kasus hukum.

(3) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalankan tugas psikologi


forensik wajib memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab yang
dijalaninya, memahami hukum di Indonesia dan implikasinya terhadap
peran tanggung jawab, wewenang dan hak mereka.”’
Penjelasan : Pasal 56 ayat 3 menjelaskan bahwa dalam konteks psikologi forensik
seorang psikolog harus mampu memahami dan mengenali sumber ketidakpastian
dalam penilaian psikologis serta mampu memberikan keterangan yang jujur ,
obyektif dan tidak memihak pada pihak manapum dalam konteks hukum

(4) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari adanya kemungkinan


konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan informasi dan pendapat,
dengan keharusan mengikuti hukum yang ditetapkan sesuai sistem hukum
yang berlaku. Psikolog dan/atau ilmuwan Psikologi berusaha menyelesaikan
konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap kode etik dan
mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik ini dalam cara-cara
yang dapat diterima”

Penjelasan : Pasal 56 ayat 4 menjelaskan bahwa psikolog harus menjaga


kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam praktik psikologi forensik kecuali
jika diizinkan oleh hukum ataupun jika terdapat ancaman yang serius terhadap
keselamatan publik ataupun individu tertentu.

2.2 Pasal 57 Kompetensi

(1) “Praktik psikologi forensik adalah penanganan kasus psikologi forensik


terutama yang membutuhkan keahlian dalam pemeriksaan psikologis
seseorang yang terlibat kasus peradilan pidana, yang bertujuan membantu
proses peradilan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan praktik psikologi forensik
harus memiliki kompetensi sesuai dengan standar psikologi forensik,
memahami sistem hukum di Indonesia dan mendasarkan pekerjaannya pada
kode etik psikologi.”

Penjelasan: menjelaskan bahwa psikologi forensik harus dilakukan untuk orang


yang sudah memiliki kompetensi di bidang psikologi ataupun memiliki sertifikat
pendidikan pelatihan di bidang psikologi forensik yang digunanakan dalam
membantu menyelesaikan masalah masalah hukum seperti tindakan kekerasan ,
kasus kriminal ataupun masalah keluarga dimana dalam paraktiknya harus
memberikan kesaksian yang jelas akurat di pengadilan dan juga etika profesiona
yang kuat dan pemahaman yang jelas tentang peran dan tanggung jawab sebagai
psikolog forensic

(2) “Praktik Psikologi forensik yang meliputi pelaksanaan asesmen, evaluasi


psikologis, penegakan diagnosa, konsultasi dan terapi psikologi serta
intervensi psikologi dalam kaitannya dengan proses hukum (misalnya
evaluasi psikologis bagi pelaku atau korban kriminal, sebagai saksi ahli,
evaluasi kompetensi untuk hak pengasuhan anak, program asesmen,
konsultasi dan terapi di lembaga pemasyarakatan) hanya dapat dilakukan
oleh psikolog. Dalam menjalankan tanggung jawabnya psikolog harus
mendasarkan pada standar pemeriksaan psikologi yang baku sesuai kode
etik psikologi yang terkait dengan asesmen, dan intervensi.”

Penjelasan ; menjelaskan bahwa ahli psikologi forensik harus memberikan


pendapat ahli yang dapat membantu pengadilan dalam memahami faktor
psikologis yang berkaitan dengan kasus kasus yang terjadi serta memberikan
rekomendasi atau saran mengenai cara cara untuk menangani faktor psikologis
seperti dalam hal rehabilitasi ataupun perawatan kesehatan mental serta ahli
psikologi forensik juga diharapkan memiliki kompetensinynh memadai dalam
bidang psikologi forensik dan memiliki integritas dan etika profesi yang tinggi.

(3) “ Ilmuwan psikologi forensik dalam melakukan kajian/penelitian yang


terkait dengan aspekaspek psikologis manusia dalam proses hukum wajib
memiliki pemahaman terkait dengan sistem hukum di Indonesia dan bekerja
berdasarkan kode etik psikologi terutama yang terkait dengan penelitian.’

Penjelasan: menjelaskan bahwa ahli psikolohi forensik harus memberikan


kesimpulan dan juga rekomendasibyang jelas dan dapat dipahami oleh non- ahli
yang didasarkan pada hasil penilaian dan analisis hanh dilakukan oleh ahli
psikolog terhadap data data yanh diperoleh selama proses evaluasi berlangsung
2.3 Pasal 58 Tanggung Jawab, Wewenang dan Hak

(1) “Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang melakukan praktik


psikologi forensik sesuai dengan kompetensinya memiliki tanggung jawab
membantu proses peradilan pidana, dalam kasus yang ditanganinya sehingga
tercapainya penegakan kebenaran dan keadilan. Dalam rangka menegakkan
kebenaran dan keadilan maka psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik
melakukan pekerjaannya dengan berdasarkan azas profesionalitas serta
memperhatikan kode etik psikologi.”

Pasal 58 ayat 1 menjelaskan bahwa seorang psikolog/ahli psikologi forensik harus


memiliki tanggung jawab berdasarkan asaz profesionalitas untuk membantu
proses peradilan pidana, dan tetap berpegang teguh pada kode etik psikologi untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan.

(2) Psikolog forensik memiliki wewenang memberikan laporan tertulis atau lisan
mengenai hasil penemuan forensik, atau membuat pernyataan karakter
psikologi seseorang, hanya sesudah ia melakukan pemeriksaan terhadap
pribadi bersangkutan sesuai standar prosedur pemeriksaan psikologi, untuk
mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila tidak dilakukan
pemeriksaan menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, Psikolog
menjelaskan keterbatasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah
untuk membatasi implikasi dari kesimpulan atau rekomendasi yang
dibuatnya.

Pasal 58 ayat 2 menjelaskan bahwa psikologi forensik berwenang memberikan


laporan secara tertulis atau lisan mengenai hasil penelitian forensiknya, hanya
setelah ia memeriksa para pihak sesuai dengan prosedur pemeriksaan psikologi
untuk mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Dan jika pemeriksaan tidak
dilakukan secara menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, psikolog akan
menjelaskan keterbatasan atau hambatan yang ada.

(3) Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang dalam menjalankan


pekerjaan di bidang psikologi sudah menjalankan tanggung jawabnya sesuai
dengan standar, maka memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari
Himpsi jika ia mendapatkan masalah terkait dengan hukum

Pasal 58 ayat 3 menjelaskan bahwa apabila psikolog/ahli psikologi forensik telah


menjalankan tanggung jawabnya dengan baik dan sudah sesuai dengan standar,
maka ketika mendapat masalah hukum yang berkaitan dengan pekerjaannya, akan
mendapatkan perlindungan dan bantuan dari Himpsi Ketika mendapat masalah
mengenai hukum tersebut.

2.4 Pasal 59 Pernyataan Sebagai Saksi atau Saksi Ahli

(1) Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun saksi ahli
harus bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan dalam
menyusun hasil penemuan psikologi forensik atau membuat pernyataan dari
karakter psikologi seseorang berdasarkan standar pemeriksaan psikologi.
Penjelasan : psikolog bisa memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun ahli
saksi yang bertujuan untuk menegakkan kebenaran serta keadilan atau bisa juga
membuat pernyataan mengenai karakter psikologi dari seseorang berdasarkan
standar pemeriksaan psikologi.

(2) Bila kemungkinan terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan


pendapat dan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam
kasus di pengadilan, psikolog berusaha menyelesaikan konflik ini dengan
menunjukkan komitmen terhadap Kode Etik dan mengambil langkah-
langkah untuk mengatasi konflik dengan cara-cara yang bisa diterima.
Penjelasan : Jika kemungkinan terjadi konflik saat psikolog meyampaikan
pendapat dan atau menjadi keharusan mengikuti hukum yang telah ditetapkan
dalam pengadilan. Maka psikolog harus mengambil langkah-langkah untuk
mengatasi konflik tersebut dengan cara yang bisa diterima serta menunjukkan
komitmen terhadap kode etik yang telah berlaku.
(3) Bila kemungkinan ada lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog, maka
psikolog tersebut harus memegang teguh prinsip hubungan profesional
sesuai dengan pasal 19 buku kode etik ini.
Penjelasan : Jika ada lebih dari satu saksi ahli psikolog, maka psikolog tersebut
harus memegang teguh prinsip hubungan profesional sesuai pasal 19 pada kode
etik.

(4) Bila harus memberikan kesaksian, atau menyampaikan pendapat selaku


saksi atau saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh memang diizinkan
oleh hukum yang berlaku di Indonesia; Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
harus tetap dapat bersikap profesional dalam memberikan pandangan serta
menjaga atau meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.
Penjelasan : psikolog dapat menyampaikan pendapat selaku saksi ahli yang
melakukan pemeriksaan namun harus tetap secara profesional dalam memberikan
pendapat dan menjaga agar tidak terjadi adanya konflik antar berbagai pihak.

(5) Bila terdapat lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog di pengadilan dan
bila kemungkinan terjadi konflik antar psikolog dalam suatu proses
peradilan yang ditanganinya, maka psikolog dapat meminta Himpsi untuk
membantu penyelesaian masalah dengan memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan permasalahan berdasarkan standar pemeriksaan psikologi
dan kaidah ilmiah psikologi.
Penjelasan : Jika terjadi suatu konflik di pengadilan dikarenakan terdapat lebih
dari satu saksi ahli psikolog yang menangani proses kasus di pengadilan maka
psikolog dapat meminta Himpsi untuk membantu menyelesaikan masalah
berdasarkan standar pemeriksaan psikologi dan kaidah ilmiah psikologi.

(6) Bila terdapat lebih dari Satu saksi atau saksi ahli yang berasal dari psikolog
dan ahli profesi lain dan bila kemungkinan terjadi konflik antara psikolog
dengan profesi lain tersebut maka psikolog dapat meminta Himpsi
menyelesaikan masalahnya dengan mendiskusikannya dengan organisasi
profesi dimana profesi lain tersebut bernaung.
Penjelasan : Jika terjadi konflik di pengadilan karena ada lebih dari satu saksi
ahli yang berasal dari psikolog dan ahli profesi lainnya, maka psikolog dapat
meminta himpsi menyelesaikan masalahnya dengan mendiskusikan dengan
organisasi profesi tersebut.

2.5 Pasal 60 Peran Majemuk dan Profesional Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghindari untuk menjalankan
peran majemuk. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan kejelasan masing-masing
peran harus ditegaskan sejak awal dan tetap berpegang teguh pada azas profesionalitas,
obyektivitas serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman. Hal-hal yang harus
diperhatikan bila peran majemuk terpaksa dilakukan:

(1) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar untuk melakukan peran


majemuk dalam hal forensik, apalagi yang dapat menimbulkan konflik. Bila
peran majemuk terpaksa dilakukan, misalnya sebagai konsultan atau ahli
serta menjadi saksi di pengadilan, kejelasan masing-masing peran harus
ditegaskan sejak awal bagi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, serta
pihak-pihak terkait, untuk mempertahankan profesionalitas dan
objektivitas, serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman pihak-
pihak lain sehubungan dengan peran majemuknya.”

Penjelasan : Psikolog harus menghindari kejadian peran majemuk dalam


pemeriksaan forensik. Yang dimaksud peran majemuk ialah jika psikolog yang
awalnya mereka menjadi konsultan atau ahli di pengadilan namun harus menjadi
saksi maka psikolog harus ditegaskan sejak awal terkait peran yang di lakukan
untuk psikolog mempertahankan profesionalnya dan objektivitasnya agar dapat
mencegah selisih paham antara pihak yang berhubungan dengan peran
majemuknya.

(2) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalin hubungan profesional


sebelumnya dengan orang yang menjalani pemeriksaan tidak terhalangi
untuk memberi kesaksian, atau menyampaikan pendapatnya selaku saksi
ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh diijinkan oleh aturan hukum
yang berlaku. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat
bersikap profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau
meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.”

Penjelasan : Psikolog diharuskan secara profesional melakukan pemeriksaan


terhadap orang yang beliau periksa walaupun sebelumnya mereka terjalin
hubungan khusus. Psikolog juga diharuskan bersikap profesional dalam
memberikan pandangan serta menjaga dan meminimalisirkan terjadinya kejadian
konflik antar berbagai pihak.

(3) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempunyai kewajiban untuk memahami


dan menjalankan pekerjaan sesuai dengan kode etik dan penerapannya.
Kurang dipahaminya kode etik tidak dapat menjadi alasan untuk
mempertahankan diri ketika melakukan kesalahan atau pelanggaran.”

Penjelasan : Ilmuwan psikolog atau psikolog diwajibkan memiliki pemahaman


serta dapat menjalankan pekerjaannya sebagai ilmuwan psikolog forensik sesuai
dengan kode etik yang ada dan penerapannya. Namun, jika psikolog tersebut
melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaannya dikarenakan kurang
memahami kode etik maka psikolog tidak dapat menjadikan alasan tersebut untuk
mempertahankan dirinya.

2.6 Pernyataan Melalui Media Terkait dengan Psikologi Forensik

Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang melakukan layanan psikologi dapat


memberikan pernyataan pada publik melalui media dengan mempertimbangkan hal-hal
berikut:

(a) Hanya psikolog yang melakukan pemeriksaan psikologi terhadap kasus


hukum yang ditanganinya yang dapat memberikan pernyataan di media
tentang kasus tesebut.

Penjelasan : Hanya psikolog yang boleh melakukan pemeriksaan psikologi terhadap


kasus hukum yang ditangininya serta sebagai pihak yang berhak memberikan
penyataan di hadapan media mengenai kasus yang di tanganinya.
(b) Psikolog dapat membuat pernyataan di media tentang suatu gejala yang
terjadi di masyarakat. Jika ia tidak melakukan pemeriksaan psikologis
maka hal ini harus dinyatakan pada media dan pernyataan yang
disampaikan bersifat umum dan didasarkan pada kaidah prinsip psikologi
sesuai dengan teori dan/atau aliran yang diikuti. Pernyataan di media harus
mempertimbangkan kepentingan masyarakat, hak subjek yang diperiksa
(seperti azas praduga tak bersalah pada pemeriksaan psikologis pelaku, atau
hak untuk tidak dipublikasikan), dan telah mempertimbangkan batasan
kerahasiaan sesuai dengan pasal 24 buku Kode Etik ini

Penjelasan : Psikolog dapat membuat pernyataan ke media mengenai gejala yang


terjadi di kalangan masyarakat tetapi jika psikolog tidak melakukan pemeriksaan
psikologis maka hal yang perlu disampaikan ke media itu merupakan pernyataan yang
bersifat umum yang berdasarkan pada kaidah prinsip psikologi sesuai dengan teori
atau aliran yang diikuti. Pernyataan yang diberikan ke media harus
mempertimbangkan beberapa aspek seperti, kepentingan masyarakat, hak dari subjek
yang diperiksa apakah yang bersangkutan ingin mempublikasikan hasil pemeriksaan
psikologisnya atau tidak, serta telah mempertimbangkan batasan rahasia sesuai pada
pasal 24 dalam buku kode etik.
Contoh 1 Kasus Psikologi Forensik :

Tercatat banyak kasus pembunuhan dengan cara mutilasi. Antara lain, kasus
mutilasi dengan tersangka Verry Idham Henryansyah alias Ryan (34) di wilayah
hukum Polres Jakarta Selatan, dengan korban seorang laki-laki, Heri Santoso, yang
dipotong tubuhnya menjadi tujuh bagian dan jasadnya dimasukkan ke dalam koper
dan tas. Selain itu, yang terjadi pada 17 Januari 2008 dengan korban Atikah Setyani,
cewek hamil empat bulan yang dipenggal kekasihnya bernama Zaky di kamar Hotel
Bulan Mas, Koja, Jakarta Utara. Lalu pada 17 Maret 2008, muncul kasus di Bekasi
Timur, namun hingga sekarang belum terungkap, dengan korban wanita yang
dipotong menjadi 10 bagian danmayatnya dimasukkan dalam kardus, ditemukan di
depan kantor Primkoti Margahayu.

Kita semua tentu sangat prihatin atas kejadian-kejadian tersebut, karena orang
Indonesia yang dikenal ramah-tamah, punya sopan santun, dan sikap kekeluargaan
yang tinggi, tega melakukan pembunuhan sadis. Melihat banyaknya kasus mutilasi
tersebut, tentu dalam penanganannya harus jeli dan melihatnya dari berbagai aspek
atau faktor. Menurut kriminolog Prof Ronny Rahman Nitibaskara, dalam
menyelesaikan kasus kejahatan kriminolog tidak mengenal faktor penyebab tunggal
(single factor caution), tapi dijawab oleh aneka faktor(multiple factor caution). Faktor
yang tidak kalah pentingnya adalah dari aspek psikologi pelakunya.

Menurut teori psikoanalisis, tidak terpecahkannya konflik yang dihasilkan


dalam trauma sejak masa kanak-kanak mengakibatkan ketidakteraturan kepribadian
(mentaly disorder) dan tingkah laku agresif kepada seseorang. Apabila berbicara
masalah perilaku yang agresif, kitatidak bisa lepas dari teori Freud, yaitu pada
dasarnya manusia mempunyai dua insting dasar:insting seksual dan insting agresif.
Insting seksual atau libido adalah insting yang mendorong manusia untuk
mempertahankan hidup, mempertahankan jenis, dan melanjutkan keturunannya.

Adapun insting agresif adalah insting yang mendorong manusia untuk


menghancurkan manusia lain (Nitibaskara,1999). Kepolisian Republik Indonesia
(Polri) sebagai aparat penegak hukum seperti diamanahkandalam Undang-Undang
(UU) 2/2002, sudah seharusnya dapat menegakkan hukumsebagaimana mestinya
secara adil. Untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang sedang berurusan
dengan hukum, seperti kasus mutilasi, Polri harus dapat melakukan tindakan, baik
penyelidikan maupn penyidikan terhadap kasus tersebut. Dalam melakukan tugasnya
itu, Polri — khususnya penyidik— dibekali dengan kemampuan dan keterampilan
penyidikan tindak, pidana baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP)
maupun di luar KUHP. Dalam tataran itu, dibutuhkan suatu kemampuan melihat,
mengidentifikasi, menganalisis, dan menangani kasus mutilasi dengan memperhatikan
kondisi psikis atau kejiwaan pelakunya. Akan lebih optimal lagi apabila penyidik
Polri bekerja sama dan berkoordinasi dengan psikiater dan psikolog dalam mendalami
latar belakang atau penyebab pelaku melakukan tindak kejahatannya.

Dengan demikian, bantuan atau masukan dari psikiater dan psikolog menjadi
pertimbangan bagi polisi. Untuk membantu proses penyelidikan dan penyidikan
tersebut, penyidik Polri — selain memperoleh bantuan dari psikiater dan psikolog &
mdash; dapat mudah menangani kasus mutilasi tersebut dengan dan atau dari
(segi)ilmu psikologi forensik. Apabila mengambil contoh kasus mutilasi yang
dilakukan olehRyan. dengan bukti terakhir di temukannya lima mayat oleh gabungan
penyidik Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Timur baru-baru ini di rumah orang
tuanya, menarik sekali kalau kita melihat dari kacamata psikologi forensik. Menurut
pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, pembunuhan berantai atau
sadis(mutilasi), bagi pelakunya adalah untuk mendapatkan fantasi atau sensasi yang
luar biasa dengan melihat korbannya meninggal atau detik-detik terakhir korban
mengembuskan nafasnya (mati perlahan-lahan).

Bila dikaitkan dengan ilmu psikologi forensik, kasus mutilasi dengan


tersangka Ryan & mdash; menurut Reza— tidak ada kaitannya dengan orientasi
seksual. Masyarakat awam dianggap terlalu berlebihan dalam menilai bila mengaitkan
pelakudengan homoseksual seorang Ryan. Psikopat, adalah sebutan dari masyarakat
awam untuk pelaku mutilasi seperti Ryan itu. Dari segi fisik, memang sosok Ryan
tidak terlihat psikopat, karena sikap/tingkah laku yang ditampilkannya di masyarakat
menunjukkan pribadi yangsantun, biasa, dan cerdas. Hal tersebut membuat
masyarakat terkecoh. Menurut hipotesis atau dugaan Reza, tindakan sadis dengan
mutilasi tersebut dilakukan dengan tahapan-tahapan untuk mencari tingkat fantasi
yang maksimal (terpuaskan). Kalau merasa belum puas dengan tindakannya, pelaku
akan mencari cara yang lebih sadis danspektakuler (canggih).
Memang, kalau berbicara masalah faktor penyebab pelaku melakukan
tindakan abnormal tersebut tidak terlepas dari beberapa faktor lain; di antaranya
faktor pemicu (terjadinya sesaat, sebelum mutilasi tersebut dilakukan) dan faktor
trauma yang mendalam atau peristiwa luar biasa (kekerasan) yang dialami pelaku
semasa kecil dalam keluarga dan lingkungan. Trauma mendalam yang terjadi secara
berulang-ulang, menyebabkan penumpukan beban, sehingga pelaku mempunyai sifat
benci, keras, dan mudah tersinggung. Akibatnya, mudah melakukn tindakan sadis
(mutilasi).

Menurut pakar psikologi forensik dari AS, Dr Heirr, penelitian tentang sifat
psikopat yangada sangat minim sekali, sangat sulit, dan mustahil, karena pengidap
psikopat dapat memiliki sifat itu dengan tindakan hubungan yang manipulatif dan
tidak mudah dideteksi. Hal tersebut disebabkan oleh karena sifat pengidap psikopat
secara lahiriah atau fisik tidak tampak darisikap yang hangat, cerdas, dan biasa
tersebut. Indonesia sebagai negara yang mengalamikrisis di semua bidang kehidupan,
sangat kondusif memunculkan pemainpemain tunggal pelaku psikopat, baik dengan
kadar rendah maupun dengan kadar yang tinggi. Dalam kaitan itu, pihak kepolisian
dalam menangani kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan disarankan oleh pakar
psikologi forensik Reza Indargiri Amriel melakukan beberapatindakan.

Di antaranya, dari kacamata psikologi, pihak kepolisian hendaknya meminta


bantuan psikiater atau psikolog untuk mediagnosis secara mendalam dan
komprehensif kejiwaan dari pelaku. Psikologi sebagai suatu seni dapat menggunakan
proffiling (jatidiri pelaku) dalam menyibak latar belakang pembunuhan pelaku dari
sisi kejiwaan atau penyakityang diderita. Lalu, polisi mencermati keterangan pelaku
yang selalu berubah dengan kondisi psikologis seperti yang ada pada diri Ryan
sekarang ini. Selain itu, mencermati apakah pelaku sadar atau tidak saat membunuh
korban. Mengecek kondisi psikologis pelaku, apakah memiliki kepribadian ganda dan
gangguan kepribadian disosiatif atau tidak. Mencermati modus operandi yang sama,
yang dilakukan pelaku dalam menghabisi korban lainnya dan motif dari aksinya
tersebut. Lalu juga lebih mencermati tanda tangan (signature) pelaku.

Tugas psikologi forensik mengungkap suatu kasus dalam penyelidikan dan


penyidikan, tidak bisa dipisahkan. Berkait dengan kasus mutilasi tersebut, dapat kita
identifikasi pelakunya: apakah mengidap kelainan kepribadian (psikopat) atau tidak.
Juga memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan sadis (mutilasi) yang
terjadi di Bekasi Timur, yang belum terungkap, sehingga polisi dapat lebih
memfokuskan usaha pencarian pelaku tindak kejahatan tersebut.

Adapun tugas psikologi forensik di dalam penyidikan, menurut psikolog Yusti


Probowati, adalah mengetahui kondisi psikologis tersangka melalui proses asesmen
mental tersangka. Yaitu, mendeteksi ada tidaknya keterbatasan intelektual terdakwa.
Psikolog mendeteksi kondisi intelektualitas tersangka tindak pidana, dalam rangka
memperlancar proses penyidikan kepolisian. Melakukan asesmen kondisi berisiko dan
berbahaya dari tersangka, agar psikolog mendapatkan gambaran kemungkinan adanya
kondisi berisiko dan berbahaya dari tersangka selama dalam proses penyidikan
kepolisian. Melakukan asesmen kompetensi mental tersangka (competency/insanity),
dengan tujuan untuk mendeteksi apakah tersangka memiliki kompetensi mental (sakit
jiwa) atau tidak. Mendeteksi kondisi sobriety (uji ini untuk mendukung kecurigaan
polisi saat interogasi, apakah pelaku dipengaruhi oleh obat-obatan atau tidak; dan apa
pun hasil pemeriksaannyatidak dihentikan. Selain itu, membantu mendapatkan
keterangan tentang motivasi tersangka yang sebenarnya.

Dalam contoh kasus diatas, psikologi forensik memiliki kewajiban yang jelas dengan
perundang-undangan yang relevan sesuai pada pasal 56 Hukum dan Komitmen ilmuwan
psikolog/psikolog terhadap Kode Etik dan kondisi psikologis di wilayah hukum. Selain itu,
adalah penting bahwa psikolog melakukan atau memiliki kompetensi atau tanggung jawab
dan evaluasi berhubungan deskripsi gejala atau diagnosis penyakit mental untuk kapasitas
fungsional hukum yang digariskan dalam hukum. Psikologi forensik menguji kompetensi
seseorang untuk diadili dengan harus mengingat bahwa penentuan kesehatan mental relatif
penting dilakukan terhadap tuntutan kasus tertentu sesuai dengan pasal 58 Tanggung Jawab,
Wewenang dan Hak ilmuwan psikolog/psikolog dalam kasus psikologi forensik.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Psikologi forensik adalah cabang psikologi yang berkaitan dengan aplikasi pengetahuan
dan metode psikologi untuk keperluan hukum dan pengadilan. Tujuan utama dari psikologi
forensik adalah untuk membantu proses hukum dan peradilan dengan memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku manusia dan proses mental yang
mempengaruhi tindakan kriminal. Dalam konteks ini, psikologi forensik melibatkan berbagai
macam aplikasi, seperti penilaian psikologis terhadap terdakwa, saksi ahli dalam sidang
pengadilan, serta konseling dan intervensi bagi korban kekerasan.

Psikologi forensik memiliki peran penting dalam sistem hukum modern, karena dapat
memberikan wawasan tentang proses mental dan perilaku manusia yang berkaitan dengan
kejahatan, serta membantu menentukan kebijakan publik dan peraturan hukum yang lebih
efektif dan adil. Secara khusus, psikologi forensik dapat membantu memahami alasan di balik
perilaku kriminal, memberikan penilaian tentang kemampuan mental individu dalam
berurusan dengan hukum, dan membantu korban dalam pemulihan pasca-kekerasan.

Dengan demikian upaya pembuktian secara ilmuwan psikolog forensik pada setiap kasus
kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda
persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah
seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana ini, hendaknya
dilakukan dengan teliti dan waspada.
DAFTAR PUSTAKA

Himpunan psikologi Indonesia. 2008. Kode etik psikologi Indonesia.

Dewi, L. K., Darmawan, V. D., & Nurmalasari, F. (2019). Psikologi forensik dan
kontribusinya dalam sistem peradilan pidana. Jurnal Ilmiah Psikologi, 18(2), 167-174.
Dewi, Y.L.P. (2018). Teknologi informasi dalam psikologi. Jurnal Psikologi Profesi,, 5(2),
125-132.
Hidayat, A.A. (2017). Perlindungan data pribadi dalam konteks penerapan psikologi forensik.
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 5(1), 1-16.
Suryani, L. K. (2016). Aplikasi teknologi informasi dalam pelayanan konseling online. Jurnal
Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 5(1), 37-45.
Abdul Munim, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, 1997 Penerapan Ilmi Kedokteran
Forensik dalam Proses Penyidikan,2008.

Anda mungkin juga menyukai