Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena ridho-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul Contoh Pelanggaran Kode Etik Psikologi Pada Masyarakat Psikologi. Shalawat dan
Salam tetap tercurah kepada Baginda Muhammad SAW. dan keluarga serta sahabat yang telah
menuntun kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang-benderang.

Terima kasih pula kepada dosen pengasuh yang telah memberi bimbingan kami untuk
mengurai materi yang akan kami presentasikan. Dan terima kasih terhadap teman-teman yang telah
memberi kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.

Makalah ini tentulah belum sepenuhnya sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapan
masukkan untuk menyempurnakan makalah ini. Atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.

Ban Aceh, 7 Juni 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pelanggaran
B. Pengertian Kode Etik Psikologi
C. Psikolog
D. Ilmuwan Psikologi
E. Layanan Psikologi
BAB III
A. Kesimpulan
B.Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kode etik adalah suatu acuan yang dibuat untuk beberapa profesi yang memerlukannya, kode
etik sendiri diyakini dapat menjadi barometer tindakan profesional dalam suatu profesi, termasuk
psikolog yang memerlukan kode etik psikologi untuk menjadi acuan agar dapat bertindak selayaknya
psikolog atau ilmuwan psikologi dan sebagainya. Namun, sering kali kode etik ini disalahgunakan
dan tidak diindahkan oleh seorang psikolog maupun ilmuwan psikolog lainnya. Tidak menutup
kemungkinan adanya pelanggaran yang bermacam-macam dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan
psikologi. Oleh karena itu, makalah ini kami buat untuk mengetahui pelanggaran apa saja yang telah
dilakukan oleh para psikolog dan bagaimana analisis dari beberapa pelanggaran tersebut dan juga
bagaimana saran yang diberikan untuk menghindari adanya pelanggaran lagi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja pelanggaran yang telah di lakukan?
2. Bagaimana analisis pelanggaran tersebut menurut pasal yang telah berlaku?
3. Bagaimana saran yang diberikan agar pelanggaran tersebut tidak terulang kembali?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui dan memahami pelanggaran yang telah dilakukan agar tidak
mengulanginya lagi
2. Untuk mengetahui dan memahami cara menganalisis kasus dari pelanggaran yang ada dengan
Undang-Undang yang ada
3. Untuk mengatahui dan memahami hal-hal yang harus dihindari agar tidak dapat mengulangi
pelanggaran yang sama.
BAB I

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pelanggaran
Pelanggaran adalah perilaku yang menyimpang untuk melakukan tindakan menurut
kehendak sendiri tanpa memperhatikan peraturan yang telah dibuat.
B. Pengertian Kode Etik Psikologi

Kode Etik Psikologi adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan
sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan psikologi di
Indonesia.

C. PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan 12
Juni 2010 Kode Etik Psikologi Indonesia latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan
program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti
pendidikan tinggi
psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan
Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan
psikologi yang meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi
dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis;
pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi
organisasi; aktifitasaktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta
administrasi. Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
D. ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar belakang pendidikan
strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki
kewenangan untuk memberikan la- 13 Juni 2010 Kode Etik Psikologi Indonesia yanan psikologi yang
meliputi bidang-bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat;
pengembangan kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen psikologi;
pengadministrasian asesmen; konseling sederhana;konsultasi organisasi; perancangan dan evaluasi
program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains) dan terapan.
E. LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktik psikologi dalam rangka
menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan untuk pencegahan, pengembangan dan
penyelesaian masalah-masalah psikologis. Layanan psikologi dapat berupa praktik konseling dan
psikoterapi; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan
kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan
asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang
forensik; perancangan dan evaluasi program; dan administrasi.
BAB III
PEMBAHASAN

 Kasus 1
Dugaan Pelanggaran Etika Elizabeth Loftus dalam Kasus Jane Doe Neil D. Brick MA Ed. D. Neil
Brick MA Ed. – June 2003 - Juni 2003 Jane Doe (bukan nama sebenarnya dari Nicole Taus) adalah
Salah seorang subjek dari penelitian Elizabeth Loftus mengenai kekerasan seksual terhadap anak.
Dalam hal ini Jane Doe mendapatkan kekerasan seksual dari ibu kandungnya. Pada tahun 1997, David
Corwin menerbitkan sebuah artikel Isu penganiayaan anak "Videotaped discovery of a reportedly
unrecallable memory of child sexual abuse: comparison with a childhood interview videotaped 11
years before.” Atau "penemuan Rekaman video yang memanggil ulang ingatan pelecehan seksual
anak: perbandingan dengan wawancara masa kecil subjek yang direkam 11 tahun sebelumnya."
Wanita yang disamarkan namanya menjadi Jane Doe, telah setuju untuk mempublikasikan artikel
kasus ny a dengan Corwin. Loftus, selanjutnya dengan University of Washington dan Melvin Guyer,
dengan University of Michigan dan detektif swasta memastikan identitas sesungguhnya dari Jane
Doe. Mereka mewawancarai ibunya, saudara, ibu tiri dan ibu angkat. Peneliti juga mencoba untuk
menghubungi Jane Doe tapi gagal. Pada bulan Mei dan Juli 2001, dua artikel dalam Skeptical Inquirer
berjudul “Who abused Jane Doe?” Yang diterbitkan oleh Loftus dan Guyer. Loftus dan Guyer tidak
menghubungi Corwin atau Jane untuk meminta persetujuan mereka untuk mengkonfirmasi
identitasnya atau untuk berbicara dengan pengasuh-nya. Loftus juga tidak menanggapi Universitas
Washington Institutional Review Board (IRB) dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka
tentang penelitiannya Jane Doe. Ini karena Loftus diklaim Michigan telah memberi mereka izin untuk
melanjutkan dengan penelitian. Corwin dihubungi University of Michigan IRB dan diberitahu bahwa
mereka tidak memiliki catatan persetujuan Guyer atas kasus ini. Universitas telah memutuskan bahwa
studi ini tidak datang dalam ruang lingkup universitas. Corwin mengklaim penelitian tersebut tidak
mendapat ijin untuk diteruskan, karena IRB tidak memberikan bimbingan atau persetujuan, dan
bahwa IRB tidak melarang peneliti dari kehati-hatian menentukan apakah untuk dilanjutkan atau
tidak. Persetujuan pada satu lembaga tidak memberikan persetujuan untuk lembaga lain. Bahkan jika
Guyer memang memiliki persetujuan, yang ia tidak memilikinya, ini tidak memberikan persetujuan
Loftus tanpa perjanjian sebelum melakukan penelitian ini. John Slattery, direktur UW Kantor Ilmiah
Integritas pada tahun 1997 menyatakan bahwa Loftus 'akan harus meminta izin UW untuk wawancara
dan mungkin akan diminta untuk memberikan UW's IRB daftar pertanyaan yang ditanyakan dan
membentuk menjelaskan risiko diwawancarai.

Loftus menghadapi gugatan dari Jane Doe (Nicole Taus) di Solano County, California. Hal tersebut
dikarenakan Loftus mempublikasikan identitasnya, melakukan wawancara terhadap ibunya, saudara,
ibu angkat dan ibu tiri jane Done tanpa ijin dari subjek penelitian. Jane mengatakan kepada para
pejabat
Universitas Washington bahwa dia tidak setuju apabila Loftus 'menemui ibunya dan ibu tirinya untuk
wawancara. Namun Loftus tetap melakukannya. Loftus mengaku berteman dengan ibu kandung Jane.
Loftus mengakui bahwa dia melakukan hal itu sebagian besar karena didorong oleh keinginannya
untuk menyatukan ibu dan anak perempuannya (Jane). Loftus juga percaya bahwa aturan kerahasiaan
yang digunakan untuk melindungi pasien atau subyek penelitian tidak boleh digunakan untuk
menyembunyikan kebenaran. Loftus dibebaskan dari kesalahan oleh komite UW (University of
Washington), namun panitia yang dibutuhkan dia untuk mendapatkan izin dari IRB sebelum berbicara
dengan ibu Jane lagi. Komite juga ingin Loftus untuk mengambil kelas etika '. Setelah itu, Loftus
meninggalkan UW untuk University of California, Irvine. Loftus dan beberapa pihak lain dituduh
memfitnah, melakukan pencemaran nama baik,dan terancam hukuman kelalaian yang disengaja,
melakukan invasi emosional privasi, penderitaan dan kerusakan karena penelitian Loftus tersebut
mengungkap informasi pribadi dan identitas subjek, serta melakukan hal diluar persetujuan subjek.
 Pelanggaaran Kode Etik
Kasus di atas setidaknya melanggar beberapa kode etik yaitu melanggar "Prinsip Etis Psikolog"
dinyatakan dalam prinsip 5 tentang kerahasiaan dimana psikolog harus menghormati kerahasiaan
informasi klien. Di Indonesia kasus ini melanggar Kode Etik Psikologi:
1. Prinsip umum, Pasal 2 Prinsip A2 mengenai penghormatan martabat setiap orang serta hak-hak
individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan, dan pilihan pribadi seseorang.
2. Pasal 16, mengenai hubungan majemuk
3. Pasal 20, mengenai informed consent
4. Pasal 23/2b, mengenai laporan psikologis untuk kepentingan khusus dibuat sesuai dengan
kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan ketetapan hasil pemeriksaan serta
menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan psikologis.
5. Pasal 24/c, mengenai kerahasiaan data, dimana dapat dikomunikasikan dengan pihak ketiga hanya
bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologi, profesi, dan
akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga
kerahasiaanya.
6. Pasal 27/1,2, mengenai pemanfaatan informasi dan hasil pemeriksaan untuk tujuan pendidikan atau
tujuan lain.
7. Pasal 44, mengenai aturan dan izin penelitian.
8. Pasal 46 mengenai informed consent penelitian.
 Analisis Pelanggaran
Kasus 1
Dalam kasus 1, tampaknya Loftus telah melanggar setidaknya lima kode etik, kerahasiaan subjek
penelitian, informed consent, mengenai aturan dan izin penelitian, mengenai partisipasan penelitian
dan hubungan ganda/majemuk.
Pertama saya akan melihat kerahasiaan. Dalam "Prinsip Etis Psikolog" diadopsi oleh APA Majelis
Perwakilan tahun 1981, dinyatakan dalam Prinsip 5 tentang kerahasiaan dimana psikolog harus
menghormati kerahasiaan informasi yang mereka peroleh dalam proses pekerjaan mereka. Psikolog
hanya diperbolehkan untuk mengungkapkan informasi ini dengan persetujuan dari orang atau
perwakilan hukum mereka, dengan pengecualian di mana rahasia tersebut jelas dapat menyebabkan
bahaya kepada orang atau orang lain. Berdasarkan bagian B menyatakan lebih lanjut bahwa psikolog
yang menyajikan informasi pribadi yang diperoleh selama kerja profesional perlu mendapatkan
persetujuan terlebih dahulu atau menyamarkan informasi yang memadai. Nampaknya Loftus tidak
mendapatkan persetujuan sebelumnya atau menyembunyikan informasi yang memadai.

Prinsip umum Kode Etik Indonesiapun menjelaskan dalam Pasal 2 Prinsip A2 bahwa psikolog harus
menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan, dan
pilihan pribadi seseorang.

Pada kode etik APA 1992, mengenai pedoman untuk pengungkapan informasi adalah bahwa psikolog
hanya diperbolehkan untuk mengungkapkan informasi rahasia tanpa persetujuan individu dalam kasus
berikut, 1) untuk membantu menyediakan layanan klien, 2) untuk mendapatkan konsultasi profesional
yang tepat, 3 ) untuk melindungi klien atau orang lain dari bahaya dan 4) untuk mendapatkan
pembayaran untuk layanan yang diberikan, dan pengungkapan hanya terbatas pada batas minimum
yang diperlukan untuk melakukan hal tersebut.

Alasan Loftus 'untuk melanggar kerahasiaan adalah untuk mengekspos kebenaran, tetapi ini tidak
termasuk dalam salah satu pedoman APA untuk melanggar kerahasiaan. Namun, kadang-kadang
terjadi konflik antara prestasi ilmiah dan masalah etika. Peneliti mungkin menganggap perlu untuk
melanggar kerahasiaan subjek untuk meningkatkan data mereka untuk membantu orang lain. Namun
dengan perencanaan yang peka dan matang, masalah etika dapat diminimalkan. Psikolog bertanggung
jawab untuk mencari saran bila nilai-nilai ilmiah dapat menyebabkan konflik dan melakukan
kompromi dengan Prinsip Etika APA. Investigator juga bertanggung jawab untuk menghilangkan
konsekuensi negatif sebagai hasil dari hubungan partisipasif.

Prinsip-prinsip etis APA tentang kerahasiaan dalam kaitannya dengan etika penelitian dan melakukan
penelitian. Ketika mendiskusikan kerahasiaan, ada beberapa persamaan antara etika hubungan klien-
terapis dan hubungan peserta-peneliti. Perbedaan antara keduanya dapat menyebabkan masalah
tambahan untuk penelitian psikolog. Klien terapi biasanya menyadari bahwa mereka menerima
layanan. Subjek penelitian mungkin tidak selalu mengetahui hal ini. Tujuan terapi adalah
penyembuhan klien. Tujuan dari penelitian ini adalah penyebaran informasi.Seorang Terapis, karena
hubungannya dekat dengan klien, kemungkinan besar tau apa saja yang akan menyakiti klien
daripada peneliti, itu yang
membuat klien merasa lebih nyaman. Subyek penelitian kurang dikenal oleh peneliti, karena sifat
penelitian yang formal dan dangkal. Menurut Prinsip etika APA, informasi yang diperoleh tentang
peserta penelitian selama penelitian harus dijaga kerahasiaannya kecuali telah melakukan perjanjian di
muka.
Loftus dalam "Who abused Jane Doe?" Juga membahas etika kertas nya. Dia percaya adalah etis
untuk memeriksa studi kasus awal. Studi kasus harus terbuka untuk peer review dan hasilnya harus
diulang. Dia percaya bahwa orang lain wajib untuk memeriksa data seperti yang selama ini dapat
dilakukan tanpa menyakiti atau menyebabkan kerusakan yang tidak semestinya. Dia menyatakan
bahwa meskipun ia telah mendapatkan izin ibu jane Doe untuk berbicara dengan Jane Doe, ia tidak
melakukannya karena fakta bahwa mungkin membingungkan untuk Jane Doe dan bahwa keyakinan
Jane Doe mungkin telah terkontaminasi. Ide untuk menghapus atau bahkan tidak memeriksa beberapa
data karena kemungkinan kontaminasi, sementara hanya menerima kesaksian orang lain sebagai data
yang valid adalah masalah etika yang terpisah. Psikolog tidak boleh menekan data yang tidak
mengkonfirmasi hasil penelitian mereka.

Kode Etik Indonesia, Pasal 23/2b, mengenai laporan psikologis untuk kepentingan khusus dibuat
sesuai dengan kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan ketetapan hasil
pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan psikologis.

Jane Doe tidak memberikan ijin kepada peneliti untuk menghubungi orangtuanya. Namun peneliti
justru mewawancarai orang tua Jane Doe mengenai kebenaran informasi alih-alih menghubungi Jane
Doe untuk mengklarifikasi kebenara informasi. Dalam Kode Etik Indonesia pasal 24/c, dijelaskan
mengenai kerahasiaan data, dimana dapat dikomunikasikan dengan pihak ketiga hanya bila
pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologi, profesi, dan akademisi.
Dalam kondisi tersebut identitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga
kerahasiaanya.

Kedua tentang Informed Consent yaitu subyek yang menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian
setelah menerima penjelasan tentang penelitian dan risiko
Kode etik menyatakan bahwa peserta penelitian harus sepenuhnya diberitahu bahwa mereka terlibat
dalam penelitian dan dapat mengambil keputusan apakah akan berpartisipasi atau tidak dalam
penelitian. Persetujuan sukarela subjek penelitian adalah penting. Subjek eksperimental harus
mengetahui berapa lama percobaan, alasan untuk percobaan, tujuan percobaan, bagaimana hal ini
akan dilakukan, semua bahaya dan ketidaknyamanan yang mungkin disebabkan dan efek atas diri
mereka sendiri dari partisipasi mereka dalam percobaan. Dalam kasus ini sangat tidak mungkin bahwa
Jane Doe memberikan informed consent dari apapun untuk Loftus dan Guyer, juga bukan
kemungkinan dia tidak memberikan informasi dari salah satu kriteria tersebut di atas.
Hal ini diterangkan pula dalam Kode Etik Indonesia Pasal 20, mengenai informed consent dan Pasal
46 mengenai informed consent penelitian. Informed consent adalah persetujuan dari subjek penelitian.
Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah

a. Kesediaan untuk mengikuti penelitian dan atau pemeriksaan psikologis tanpa paksaan, perkiraan
lamanya penelitian dan atau pemeriksaan psikologis
b. Perkiraan lamanya penelitian dan atau praktik psikologi
c .Gambaran tentang apa yang akan dilakukan dalam proses penelitian, dan atau praktik tersebut
d. Keuntungan dan atau risiko yang dialami selama proses tersebut
e. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut
f. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses tersebut.

Tampaknya Loftus tidak memperhatikan proses dalam penelitiannya. Seharusnya dia menemui Jane
Doe dan menjelaskan Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur, antisipasi dari keikutsertaan,
yang bila diketahui mungkin dapat mempengaruhi kesediaan untuk berpartisipasi, seperti risiko yang
mungkin timbul, ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya; keuntungan yang mungkin diperoleh dari
penelitian; hak untuk menarik diri dari kesertaan dan mengundurkan diri dari penelitian setelah
penelitian dimulai, konsekuensi yang mungkin timbul dari penarikan dan pengunduran diri;
keterbatasan kerahasiaan; insentif untuk partisipan; dan siapa yang dapat dihubungi untuk
memperoleh informasi lebih lanjut. Jika partisipan penelitian tidak dapat membuat persetujuan karena
keterbatasan atau kondisi khusus, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan upaya
memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang yang mewakili
partisipan, atau melakukan upaya lain seperti diatur oleh aturan yang berlaku, seperti yang disebutkan
pasal 46 Kode Etik Indonesia 1 (a,b). Penelitian tidak harus memerlukan persetujuan partisipan antara
lain penelitian arsip seperti yang dilakukan Loftus, hanya saja hal tersebut tidak akan menempatkan
partisipan dalam resiko pencemaran nama baik dan kerahasiaan, dimana ini terjadi pada penelitian
Loftus.

Data penelitian tidak boleh digunakan dengan cara apapun di luar itu yang diberikan izin. Jane Doe
memberikan persetujuan untuk studi awal, tapi ia tampaknya tidak memberikan persetujuan untuk
studi kedua. Loftus mengakui bahwa dia bisa dihubungi Jane Doe untuk mewawancarainya, tetapi
memilih untuk tidak melakukannya. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Loftus tidak menelepon
Corwin sampai penelitian kasusnya berjalan.

Kode Etik Indonesia Pasal 27/1,2, menerangkan mengenai pemanfaatan informasi dan hasil
pemeriksaan untuk tujuan pendidikan atau tujuan lain harus memiliki ijin tertulis dari yang
bersangkutan dan menyamarkan nama lembaga atau perorangan yang datanya digunakan.
Ketiga Loftus berperan ganda sebagai peneliti dan teman dari ibu Jane Doe hal ini dapat
mengakibatkan kekacauan. Hubungan ganda mungkin juga menghancurkan ketidakberpihakan Loftus
'dalam kasus ini, dan mungkin melemahkan penelitiannya
Beberapa etika laboratorium tidak diterjemahkan dengan baik untuk penelitian di luar laboratorium.
Dilema etika baru mungkin terjadi di luar laboratorium. psikolog sosial menggunakan apa yang
disebut metode non-reaktif ketika subjek penelitian tidak menyadari mereka sedang diamati. Hal ini
akan menghalangi persetujuan informasi terlebih dahulu dan kontrak sukarela. Orang dapat diamati
dalam setting sosial atau pengaturan (mengubah) dibikin. Prinsip-prinsip etika APA memungkinkan
penelitian meminimalkan- risiko tanpa persetujuan dalam kondisi ini. Namun definisi minimal-risiko
mungkin sulit untuk ditemukan, invasi privasi dan penipuan mungkin terlibat. Kedua dapat dianggap
sebagai syarat yang cukup untuk menyebabkan resiko. masalah etis dalam kasus ini dapat
diminimalisasi jika data tidak dapat dihubungkan dengan yang diamati. Ketika peserta percaya
mereka berada dalam setting pribadi, seperti rumah sendiri, ditambah masalah etika muncul ketika
eksperimen yang diam-diam merebak dalam setting ini.

Tanggung jawab peneliti adalah bekerja di bawah kondisi yang terlibat dalam kasih, pekerjaan yang
menyediakan data yang akurat. Peneliti juga harus yakin grup atau subjek tidak dirugikan karena
sedang dipelajari. Sebuah kasus dapat terjadi bahwa karena pelanggaran kerahasiaan dan terlalu
masuk ke dalam kehidupan pribadi Jane Doe dan kehidupan keluarganya, informed consent Jane
sebelum penelitian kasus ini akan etis dimandatkan. Jane juga menuduh dia dirugikan oleh penelitian.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, adalah tanggung jawab etis peneliti untuk memastikan yang
demikian tidak terjadi.

Kode Etik Indonesia pasal Pasal 44, mengenai aturan dan izin penelitian juga mengatur kegiatan di
bidang riset, dimana ilmuwan psikologi atau psikolog harus memperhatikan etika. Psikolog harus
memperhatikan dan bertanggungjawab terhadap hak dan kesejahteraan peserta penelitian, atau pihak
lain yang mungkin terkena dampak dari pelaksanaan riset.

Dalam penelitian psikolog harus memenuhi aturan hukum dan ketentuan yang berlaku dalam
hubungan sebagai warga Negara, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaanya. Ijin penelitian dari
wilayah yang menjadi lokasi penelitian harus diperoleh sesuai dengan aturan yang berlaku, sejalan
dengan aturan professional yang harus diikuti, terutama dalam kaitan dengan pelibatan orang dalam
penelitian. Selain izin penelitian, persetujuan dari badan setempat untuk melakukan riset juga harus
diperoleh, dengan memberikan informasi akurat tentang riset yang tertuang dalam proposal dan
protocol penelitian.
Ilmuan psikologi atau psikolog harus membuat perjanjian dengan pihak yang dilibatkan, sebelum
dilakukan riset, melalui penjelasan tentang macam kegiatan riset dan tanggungjawab masing-masing
pihak. Psikolog tidak boleh menipu atau menutupi, yang kalau peserta itu sendiri tau maka akan
mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam penelitian, misalnya kemungkinan mengalami cedera
fisik, rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman emosional yang tidak disukai. Penjelasan tersebut
harus diberikan sedini mungkin, dalam bentuk uraian tentang maksud dan tujuan riset, prosedur,
proses yang akan dijalani, agar calon/peserta dapat mengambil kesimpulan dari riset tersebut dan
memahami kaitannya dengan dirinya.

Dalam pelaksanaan riset tentu diperlukan informed consent (Pasal 46) yang dinyatakan secara formal.
Selain tertulis psikolog harus menjelaskan secara lisan agar dapat dipahami dengan benar. Dalam
penyampaian penjelasan baik lisan maupun tulisan, digunakan bahasa atau istilah yang mudah
dipamahi oleh peserta riset. Pernyataan persetujuan didokumentasikan sesuai keperluan.

Dalam hal pemanfaatan dan penyebaran hasil riset, sehubungan dengan publikasi hasil penelitian,
psikolog menginformasikan kepada peserta riset, dengan tujuan agar peserta riset membantunya
dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan dimasa mendatang, misalnya kemungkinan pemunculan
identitas atau hasil riset untuk berbagai kepentingan lainnya.

Kasus tersebut berdasar kode etik Indonesia melanggar Pasal 23/2b menyangkut Kerahasiaan data dan
hasil pemeriksaan psikologis.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pemakai
jasa psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal ini keterangan atau data
mengenai klien yang diperoleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam rangka pemberian jasa/praktik
psikologi dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga
hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan klien, profesi, dan akademisi. Dalam
kondisi tersebut identitas orang atau klien yang bersangkutan tetap dirahasiakan (Pasal 24/c).

Ilmuan psikologi mempunyai kewajiban utama untuk menjaga kerahasiaan klien yang menjadi hak
klien yang ditanganinya dan menyadari bahwa kerahasiaan itu dilindungi oleh undang-undang,
peraturan, atau dalam hubungan professional dan ilmiah. Dalam pelaksanaan tugasnya mereka harus
berusaha untuk tidak mengganggu kehidupan pribadi klien. Kalaupun diperlukan harus diusahakan
seminimal mungkin. Dalam hal diperlukan laporan, baik lisan maupun tulisan, sebatas perjanjian atau
kesepakatan yang telah dibuat.
Dalam hal diperlukan pengungkapan rahasia, maka psikolog dapat membuka rahasia tanpa
persetujuan klien hanya dalam rangka keperluan hokum. Pengungkapan rahasia, baik sebagian atau
seluruhnya hanya boleh dilakukan atas persetujuan klien, sejauh tidak dilarang oleh hokum.

Dalam Pasal 16, Kode Etik Indonesia mengenai hubungan majemuk, psikolog harus menahan diri dari
memasuki atau menjanjikan hubungan lain yang bersifat pribadi, ilmiah, professional, financial dan
hubungan lain dengan pribadi-pribadi tersebut, terutama bila tampaknya akan cenderung
mempengaruhi objektifitas atau mempengaruhi efektivitas kerja mereka, atau juga merugikan pihak
lain tersebut. Bilamana mungkin, mereka menahan diri untuk tidak mengambil kewajiban professional
atau ilmiah bila sebuah hubungan yang sudah ada sebelumnya dapat menimbulkan resiko merugikan.
Bila ilmuan psikologi atau psikolog menemukan tanda-tanda hubungan ganda yang berpotensi
merugikan, mereka berusaha menyelesaikannya dengan mengutamakan kepentingan pribadi yang
terlibat, dan dengan kepatuhan maksimal kepada kode etik.

Kasus 2
Menurut Vincent Liong seorang nativ ilmu-kompatiologi, menyebutkan bahwa Harez Posma, seorang
psikolog (konsultan) yang berkedudukan di fakultas psikologi mampu melakukan pelanggaran berupa
manipulasi data psikologi dan melakukan pencemaran nama baik. Menurut Vincent Liong, Harez
Posma mengumumkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ke publik yaitu sejumlah
individu (lebih dari satu orang) mengalami gangguan jiwa akibat ikut dekon-kompatiologi. Secara
terang2 ngan Harez Posma mengakuinya dan mempublikasikan di salah satu mailing list, tanpa rasa
bersalah. Pada akhirnya terjadi perdebatan saling menjelekkan antara Harez Posma dan Vincent
Liong.

Pelanggaran Kode Etik


Kasus 2 ini sekaligus melanggar Kode Etik Psikologi Indonesia:
1.Pasal 2, Prinsip B/3, mengenai tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja
memberikan fakta-fakta yang tidak benar yang seharusnya tidak dilakukan psikolog.

2.Pasal 2 Prinsip C/3, mengenai menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban professional,
mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk mengelola berbagai
konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk.

3.Pasal 2 prinsip E/2,3, mengenai meminimalkan serta menghindari akibat atau dampak buruk apabila
terjadi konflik, karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari psikolog dan atau ilmuan
psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak lain.
4.Pasal 4/3c, mengenai pelanggaran berat kode etik yaitu secara sengaja memanipulasi tujuan, proses
maupun hasil yang mengakibatkan kerugian bagi ilmu psikologi, profesi psikologi, pengguna jasa,
individu yang menjalani pemeriksaan psikologi, pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umum.

5.Pasal 11(1/2), mengenai masalah dan konflik


personal. 6.Pasal 31, mengenai peryataan melalui media
7.Pasal 19, mengenai penghormatan hubungan dengan profesi lain.
B.Pembahasan dan Analisa Kasus (Sikap & Penyelesaian Berdasarkan APA dan Kode Etik Psikologi
Indonesia)
 Analisis kasus
Kasus 2
Kasus 2 ini sekaligus melanggar Pasal 4/3c, mengenai pelanggaran berat kode etik yaitu secara
sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan kerugian bagi ilmu psikologi,
profesi psikologi, pengguna jasa, individu yang menjalani pemeriksaan psikologi, pihak-pihak yang
terkait dan masyarakat umum.

Harez Posma, seorang psikolog (konsultan) yang berkedudukan di fakultas psikologi tidak seharusnya
melakukan pelanggaran berupa manipulasi data psikologi dan melakukan pencemaran nama baik.
Harez Posma melanggar Pasal 31, mengenai peryataan melalui media, dia tidak seharusnya
mengumumkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ke publik yaitu sejumlah individu
(lebih dari satu orang) mengalami gangguan jiwa akibat ikut dekon-kompatiologi Vincent Liong.
Secara terang- terangan Harez Posma mengakuinya dan mempublikasikan di salah satu mailing list,
tanpa rasa bersalah. Pada akhirnya terjadi perdebatan saling menjelekkan antara Harez Posma dan
Vincent Liong. Pasal 11(1/2), menerangkan mengenai masalah dan konflik personal tidak seharusnya
merugikan pihak lain, psikolog harus menahan diri, bila hal tersebut terjadi segera melakukan
konsultasi professional.

Selain itu juga melanggar Pasal 2, Prinsip B/3, mengenai tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan
dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar yang seharusnya tidak dilakukan psikolog.
Pasal 2 Prinsip C/3, mengenai menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban professional,
mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk mengelola berbagai
konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk.

Dalam memberikan pernyataan dan keterangan atau penjelasan ilmiah kepada masyarakat umum
melalui berbagai jalur baik lisan maupun tertulis, Ilmuan Psikologi dan psikolog harus bersikap
bijaksana, jujur, teliti, hati-hati, lebih mendasarkan kepada kepentingan umum daripada kepada
kepentingan pribadi atau golongan. Psikolog seharusnya memperhatikan kewenangan sesuai
ketentuan
yang berlaku untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa
psikolog. Pernyataan dapat dikategorikan sebagai penipuan berkenaan dengan jasa/praktek psikologi,
kegiatan professional, atau ilmiah. Apabila psikolog mengetahui bahwa pernyataanya termasuk
penipuan atau pemalsuan terhadap karya mereka atau orang lain, psikolog harus membetulkan
pernyataan tersebut.

Harez Posma tidak seharusnya mengumumkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ke
publik yaitu sejumlah individu (lebih dari satu orang) mengalami gangguan jiwa akibat ikut dekon-
kompatiologi Vincent Liong. Pasal 2 prinsip E/2,3, mengenai meminimalkan serta menghindari akibat
atau dampak buruk apabila terjadi konflik, karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari
psikolog dan atau ilmuan psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak lain.
Dalam hal ini seharusnya psikolog menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari
profesi lain (Pasal 19).

Kasus ini terutama melanggar Pasal 4/3c, karena dengan memanipulasi data berarti telah bertindak
tidak jujur dan tidak objektif serta mengesampingkan norma-norma keahlian. Dalam melaksanakan
kegiatannya, Ilmuan Psikologi dan Psikolog mengutamakan kompetensi, obyektivitas, kejujuran,
menjunjung tinggi integritas dan norma-norma keahlian serta menyadari konsekuensi tindakannya.

C. Pandangan Islam Terhadap Kasus

Kasus pertama setidaknya melanggar beberapa kode etik yaitu melanggar "Prinsip Etis Psikolog"
diadopsi oleh APA Majelis Perwakilan tahun 1981, dinyatakan dalam prinsip 5 tentang kerahasiaan
dimana psikolog harus menghormati kerahasiaan informasi klien. Di Indonesia kasus ini Melanggar
kode etik Pasal 20, mengenai informed consent, pasal 23/2b mengenai laporan psikologis, pasal 24/c
mengenai kerahasiaan data, pasal 27/1,2 mengenai pemanfaatan informasi dan hasil pemeriksaan
untuk tujuan pendidikan atau tujuan lain, pasal 44 mengenai aturan dan izin penelitian dan pasal 46
mengenai informed consent penelitian

Kasus 2 ini sekaligus melanggar pasal pasal 2 prinsip B/3, mengenai tipuan atau distorsi fakta yang
direncanakan, pasal 2 prinsip C/3, mengenai menjunjung tinggi kode etik, pasal 2 prinsip E/2,3
mengenai meminimalkan serta menghindari akibat atau dampak buruk apabila terjadi konflik, pasal
4/3c mengenai pelanggaran berat kode etik, pasal 11(1/2) mengenai masalah dan konflik personal,
pasal 31 mengenai peryataan melalui media, pasal 19 mengenai penghormatan hubungan dengan
profesi lain. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Dalam Islam pekerjaan atau profesi adalah suatu amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
Ketiadaan amanah menyebab kasus-kasus tersebut terjadi. Allah SWT berfirman dalam QS 8:27 yang
artinya ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad)
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui.”

Banyak orang tergiur karena memandang profesi atau pekerjaan adalah kehormatan dan kesempatan.
Padahal profesi adalah amanah yang berat yang akan diminta pertanggungjawaban di hadapan
pengadilan yang maha adil dan tidak mungkin bisa dibohongi, pengadilan Tuhan yang maha benar.
Kisah seorang sahabat yang meminta jabatan kepada Rasulullah SAW, dengan rasa kasih sayang dan
tegas, Rasulullah SAW menyampaikan kepada sahabat tersebut bahwa ia lemah dan amanah itu
sangat berat, kalau ia tidak mampu, amanah itu akan menghinakan dia dan akan meminta pertanggung
jawaban di akhirat dan dia akan menyesal.

Begitulah beratnya amanah. Ikrar sumpah psikolog diucapkan ketika kelulusan, ikrar adalah sebuah
janji dimana janji tersebut harus ditepati dan dipertanggungjawabkan. Pelanggaran terhadap janji akan
berpengaruh besar terhadap kehidupan. Janji adalah amanah. Amanah menunjukkan pada
kepercayaan, dan kepercayaan adalah ketenangan, sedang aman adalah hilangnya rasa takut dan ini
juga berarti ketenangan, kemudian iman bermakna pembenaran dan ketetapan (iqrar) serta amal
perbuatan, yang didalamnya terdapat pula ketenangan. Oleh karena itu Allah menyebut hamba-Nya
dengan sebutan mukmin karena hanya orang mukmin saja yang dapat memelihara amanat Allah,
menunaikan serta memegangnya dengan erat, sebagaimana difirmankan oleh Allah yang artinya,
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,” (QS. 23:8)

Dalam konteks perilaku kehidupan sehari-hari amanah memiliki arti tumbuhnya sikap untuk
memelihara dan menjaga apa saja yang menjadi perjanjian atau tanggungan manusia berupa benda
nyata atau yang bersifat maknawi.

Psikolog yang tidak menjaga kerahasiaan klien, meneliti tanpa ijin dari klien, memanipulasi data,
memfitnah telah melakukan pelanggaran kode etik dan pelanggaran terhadap janji dan ikrar psikolog.
Psikolog ini adalah psikolog yang tidak amanah, artinya psikolog tersebut telah melakukan khianat
terhadap diri sendiri, orang lain, dan Allah. Orang-orang seperti ini adalah orang yang munafik.
sebagaimana di dalam hadits yang masyhur, Nabi saw bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada
tiga, “Jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya berkhianat.”

Siapa saja yang menerima amanah, menjaganya serta menunaikan hak-haknya maka dia mendapatkan
kemenangan dan pahala yang besar. Dan barang siapa yang menyia-nyiakannya,menelantarkan hak-
haknya maka dia akan merugi dan mendapatkan siksa. Maka dalam lanjutan ayat Allah menjelaskan
tiga golongan manusia dalam menunaikan amanah tersebut, yaitu munafik, musyrik dan mukmin.
“Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin
laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mu'min laki-laki dan
perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:73)

Amanah adalah bekal paling besar dan paling baik yang dimiliki seseorang, jika seseorang terpercaya
di dalam amanahnya maka itu merupakan kekayaan di dunia sebelum nanti di akhirat. Marilah kita
menjadi psikolog yang amanah.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran kode etik psikologi ini
rentan terjadi di lingkungan masyarakat psikologi. Mulai dari pelanggaran dalam penanganan
klien yang menggunakan jasa layanan psikologi.

B. Saran

1. Memberikan pengarahan kepada psikolog/Ilmuwan psikologi yang belum kompeten


mengenai kode etik HIMPSI terkait kerjasama dengan teman sejawat demi memberikan
layanan terbaik kepada pengguna jasa psikologi.
2. HIMPSI memberikan pengarahan kepada psikolog/Ilmuwan psikologi yang belum kompeten
mengenai kode etik psikolog/Ilmuwan psikologi dalam pemberian layanan darurat dan
bagaimana langka selanjutnya ketika pemberian layanan telah dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia (Hasil Kongres XI HIMPSI). Surakarta: Pengurus Pusat
HIMPSI.
http://utamitamii.blogspot.co.id/2014/10/contoh-kasus-pelanggaran-kode-etik.html
http://sarwono-supeno.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-pelanggaran.html

Anda mungkin juga menyukai