14
berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu. Tujuan dari latihan
asertif adalah untuk meningkatkan perilaku individu sehingga mampu membuat
keputusan untuk bersikap terbuka pada situasi tertentu dan mengajarkan individu
untuk mengekspresikan perasaan kepada orang lain.
mengungkapkan bahwa latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang: (1)
tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung; (2)
menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya; (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan TIDAK; (4)
mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif
lainnya; (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran sendiri.
Menurut Lange dan Jakubowski (1976) latihan asertif (Assertive Training)
meliputi 5 tahap, sebagai berikut :
Menurut Lange dan Jakubowski (1976) latihan asertif (Assertive Training)
meliputi 5 tahap, sebagai berikut :
a.
15
tegas maka dapat menampilkan diri sebagai orang yang tidak mampu, tidak
mahir, dan tidak berguna. Ketakutan yang berlebihan dan keyakinan yang
irasional sering menghentikan individu yang akan bersikap tegas.
b.
c.
d.
e.
16
Penggunaan teknik latihan asertif didasarkan pada asumsi bahwa banyak orang
menderita perasaan cemas dalam berbagai situasi interpersonal. Kecemasan
interpersonal dapat dihentikan jika orang dapat bertindak asertif. Oleh karena itu,
berbagai gangguan dan problem interpersonal dapat ditangani dengan cara
meningkatkan keterampilan perilaku asertif. Individu yang memiliki keterampilan
asertif lebih mungkin untuk berhasil dalam membina hubungan interpersonal dan
dalam kehidupan yang lebih luas dibanding individu lain yang tidak asertif
(Corey, 1986: 189).
Rathus dan Nevid (1980: 107-123) mengkategorikan 10 perilaku asertif,
sebagai berikut :
a. Bicara asertif yaitu individu mengemukakan hak-hak atau berusaha mencapai
tujuan tertentu dalam suatu situasi dan memberi pujian untuk menghargai
tingkah laku seseorang dan juga memberi feed back positif pada individu lain.
b. Pengungkapan perasaan-perasaan pada individu lain secara spontan dan tidak
berlebihan.
17
c. Menyapa dan memberi salam pada individu lain dan individu yang ditemui
termasuk individu yang baru dikenal dan membuka percakapan.
d. Dapat menampilkan cara yang efektif untuk menyatakan setuju atau tidak
setuju.
e. Menanyakan alasan ketika diminta untuk melakukan sesuatu, tidak langsung
menyanggupi ataupun menolaknya.
f. Berbicara mengenai diri sendiri.
g. Menghargai pujian dan menerima pujian.
h. Menolak untuk menerima begitu saja pendapat orang lain.
i. Menatap mata lawan bicara.
j. Mampu menampilkan respon melawan rasa takut, tidak menampilkan tingkah
laku yang dapat memancing rasa cemas.
membuat lumpuh atau membuat mati rasa. Dalam UU Nomor 22 tahun 1997,
pasal 1, pengertian narkotika adalah :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini,
atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Menurut UU nomor 5 tahun 1997, pengertian psikotropika adalah :
18
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas
mental dan perilaku
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) zat adiktif lainnya adalah
bahan lain bukan narkotoka atau psikotropika yang penggunaannya dapat
menimbulkan ketergantungan.
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) minuman beralkohol adalah
minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan pertanian yang
mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi
tanpa destilasi, maupun yang diproses dengan cara pengenceran minuman yang
mengandung etanol
2. Jenis- jenis NAPZA
Menurut UU Nomor 22 tentang narkotika, narkotika dibagi ke dalam 3
golongan yaitu :
a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi, serta mempunyai potensi
yang sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan. Contohnya putaw/
heroin, kokain, ganja, kanabis.
b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang tinggi untuk
menyebabkan ketergantungan. Contohnya morfin, petidin, metadon.
c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu
19
bersifat klinis menyimpang, minimal satu bulan lamanya, dan telah terjadi
gangguan fungsi sosial atau pekerjaannya (BNN, 2006 : 221). Jika perilaku
penyalahgunaan NAPZA dilanjutkan maka akan menyebabkan ketergantungan.
Setelah itu akan mengakibatkan gangguan jasmani dan rohani bahkan lebih jauh
lagi akan menyebabkan kematian yang sia-sia.
Menurut Martono (2006 : 21) ada beberapa pola pemakaian NAPZA,
yaitu :
a. Pola coba-coba, yaitu karena iseng dan ingin tahu. Pengaruh teman sebaya
sangat besar, yang menawarkan atau membujuk untuk memakai NAPZA.
Ketidakmampuan berkata tidak mendorong remaja untuk mencoba
NAPZA, ditambah dengan rasa ingin tahu yang besar.
b. Pola pemakaian sosial, yaitu pemakaian NAPZA untuk tujuan pergaulan
(berkumpul dalam acara tertentu) agar diakui / diterima kelompok.
20
berbagai
cara.
Berbohong,
menipu,
dan
mencuri
menjadi
21
Keinginan tak tertahankan untuk mengkonsumsi salah satu atau lebih zat
b.
c.
yang meningkat
Ketergantungan psikis yaitu apabila penggunaan NAPZA dihentikan akan
d.
coba- coba
toleransi
eskalasi
Peningkatan dosis dan tambah jenis NAPZA dengan dosis yang ditambah
terus
habituasi
adiksi
intoksifikasi
mati
Organ tubuh sudah rusak terutama otak, biasanya menjadi gila atau
terjadi kematian
22
Bagan 2.1
Proses/ tahapan penyalahgunaan NAPZA
Dari bagan diatas dapat diartikan bahwa asal mula remaja menyalahgunakan
NAPZA adalah faktor diri yang tidak dapat menolak dan faktor pendorong atau
pencetus yaitu ajakan dari teman untuk menyalahgunakan NAPZA yang akan
berdampak secara fisik maupun psikis.
4. Faktor penyebab perilaku penyalahgunaan NAPZA
Hawari (1997 : 138) menyatakan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan
NAPZA adalah karena adanya interaksi antara faktor predisposisi (kepribadian,
kecemasan, depresi), faktor kontribusi (kondisi keluarga), dan faktor pencetus
(pengaruh teman kelompok sebaya dan zat itu sendiri).
Hawari menggambarkan proses terjadinya penyalahgunaan NAPZA
sebagai berikut :
Faktor predisposisi :
1. Gangguan kepribadian
antisosial
2. Kecemasan
3. depresi
Faktor kontribusi :
1. Kondisi keluarga
2. Keutuhan keluarga
3. Kesibukan orang tua
4. Hubungan interpersonal
Faktor pencetus :
Pengaruh teman
sebaya + NAPZA
Penyalahgunaan
NAPZA
Penyalahgunaan
NAPZA
Ketergantungan
NAPZA
23
Ketergantungan
NAPZA
Bagan 2.2
Proses terjadinya penyalahgunaan NAPZA (Hawari, 1996 : 138)
24
Akan tetapi terlepas dari semua alasan diatas, remaja memakai NAPZA,
karena NAPZA membuatnya merasa nikmat, enak dan nyaman pada awal
pemakaian. Perasaan yang dihasilhan oleh NAPZA itulah yang mula- mula dicari
pemakainya. Remaja tidak melihat akibat buruk penggunaan NAPZA. Justru
remaja mengabaikan akibat buruk dari penggunaan NAPZA. Akibat buruk itu
baru dirasakan setelah beberapa kali pemakaian, tetapi pada saat itulah terjadi
kecanduan dan ketergantungan. Martono (2006 : 18) mengemukakan alasan
memakai NAPZA yang dapat dikelompokkan sebagai berikut
a. Anticipatory beliefs, yaitu anggapan bahwa jika menggunakan NAPZA, orang
akan menilai dirinya hebat, dewasa, mengikuti mode, dan sebagainya.
b. Relieving beliefs, yaitu keyakinan bahwa NAPZA dapat digunakan untuk
mengatasi ketegangan, cemas, dan depresi akibat stessor psikososial.
c. Facilitative atau permissive beliefs, yaitu keyakinan bahwa penggunaan
NAPZA merupakan gaya hidup atau kebiasaan karena pengaruh zaman atau
perubahan nilai sehingga dapat diterima.
Namun pada kenyataannya banyak faktor yang mempengaruhi remaja
menyalahgunakan NAPZA, antara lain :
a. Faktor individu
1) Adanya kepercayaan bahwa NAPZA dapat mengatasi semua permasalahan
yang sedang dihadapi
2) Harapan untuk memperoleh kenikmatan dari dampak obat yang
dikonsumsi
3) Untuk menghilangkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dirasakan
4) Karena kurang percaya diri
5) Agar diterima oleh kelompok teman sebayanya
6) Ingin tahu dan coba- coba
7) Karena kurang perhatian dari keluarga
b. Faktor lingkungan
1) Tempat tinggal berada disekitar lingkungan pengguna dan pengedar
25
26
akibat
ini
berujung
pada
meningkatkannya
perilaku
untuk
memperoleh
NAPZA
terus-menerus
menyebabkan
27
C. Karakteristik Remaja
Istilah adolesence atau remaja berasal dari kata latin adolescere ( Kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tubuh
menjadi dewasa. (Hurlock, 1980 : 206). Istilah adolescence, seperti yang
dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan
mental, emosional, sosial, dan fisik.
28
29
Menurut Sarwono (Setiadi, 2006 : 12) pada masa remaja terdapat beberapa
tahapan proses perkembangan dan penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu : 1)
remaja awal, seorang remaja masih terheran-heran akan perubahan-perubahan
yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai
perubahan-perubahan itu; 2) remaja madya, remaja sangat membutuhkan kawankawan. Remaja senang jika banyak teman yang menyukainya, umumnya berada
dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana; 3)
remaja akhir, masa konsolidasi menuju periode dewasa yang ditandai dengan
pencapaian 5 hal, yaitu minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek,
egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam
pengalaman- pengalaman baru, terbentuknya identitas seksual yang tidak akan
berubah lagi, egonsentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri
sendiri dengan orang lain, tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya
dan masyarakat umum.
Proses perkembangan pada masa remaja lazimnya berlangsung selama
kurang lebih 11 tahun, mulai usia 12-21 pada wanita dan 13-22 tahun pada pria.
Masa perkembangan remaja yang panjang ini dikenal sebagai masa yang penuh
kesukaran dan persoalan, bukan saja bagi remaja sendiri melainkan bagi para
orang tua, guru, dan masyarakat sekitar. Bahkan tidak jarang penegak hukum turut
direpotkan oleh ulah dan tindak-tanduk remaja yang dipandang menyimpang.
Sehubungan dengan masalah remaja, dapat dipastikan bahwa segala sesuatu yang
sedang mengalami atau dalam keadaan transisi dari suatu keadaan ke keadaan
30
lainnya selalu menimbulkan gejolak, goncangan, dan benturan yang kadangkadang berakibat sangat buruk bahkan fatal (mematikan).
Ciri-ciri yang membedakan masa remaja dengan periode sebelum dan
sesudahnya, sebagai berikut.
1. Masa remaja sebagai periode yang penting
Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar
kepentingan setiap periode perkembangan tentu saja berbeda-beda. Pada
periode remaja, periode yang terpenting adalah perkembangan fisik. Secara
fisik, masa remaja awal ditandai dengan matangnya organ-organ seksual.
Remaja pria mengalami pertumbuhan pada organ testis, penis, pembuluh mani
dan kelenjar prostat, sedangkan pada remaja wanita ditandai dengan
menstruasi. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan
cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja.
Semua perkembangan pada masa remaja menimbulkan perlunya penyesuaian
mental dan perlu membentuk sikap, nilai, dan minat baru.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi
sebelumnya, melainkan lebih dari sebuah peralihan dari satu tahap
perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi
sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan
yang akan datang. Namun, perlu disadari bahwa yang telah terjadi akan
meninggalkan bekas dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang
baru. Osterrieth (Hurlock, 1980: 207) mengemukakan struktur psikis remaja
31
berasal dari masa kanak-kanak, dan banyak ciri yang umumnya dianggap
sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Pada masa remaja ini terjadi beberapa perubahan diantaranya :
a. Perkembangan fisik
Dalam perubahan fisik ini terbagi dalam dua ciri yaitu ciri seks primer dan
ciri seks sekunder. Adapaun ciri seks primer, pada pria ditandai dengan
cepatnya pertumbuhan testis dan kematangan hormon-hormon seks yang
memungkinkan terjadinya mimpi basah. Sedangkan pada wanita terjadi
kematangan organ-organ seksnya yang ditandai dengan tumbuhnya rahim,
vagina dan ovarium. Memungkinkan mengeluarkan hormon-hormon yang
diperlukan dalam kehamilan dan mengalami peristiwa menstruasi.
b. Perkembangan kognitif
Masa remaja perkembangan kognitifnya sudah mencapai tahap operasi
formal, dimana secara mental sudah dapat berpikir logis tentang berbagai
gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berpikir formal itu lebih bersifat
hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan
masalah daripada berpikir konkrit.
c. Perkembangan emosi
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi
yang tinggi. Perubahan secara fisik sangat mempengaruhi sekali dalam
perkembangan emosi ini. Pada remaja awal perkembangan emosinya
sangat sensitif dan reaktif yang kuat terhadap berbagai peristiwa, emosinya
32
33
34
ia dapat menjadi seorang suami atau ayah ? Apakah ia mampu percaya diri
sekalipun latarbelakang ras, agama atau nasionalnya membuat beberapa orang
merendahkannya ? Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau gagal ?
Selanjutnya, Erikson (Hurlock, 1980: 208) menjelaskan bagaimana pencarian
identitas ini mempengaruhi perilaku remaja.
Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan yang
baru, para remaja harus memperjuangkan kembali perjuangan tahuntahun lalu, meskipun untuk melakukannya remaja harus menunjuk secara
artifisial orang-orang yang baik hati sebagai musuh; dan remaja selalu
siap untuk menempatkan idola remaja sebagai pembimbing dalam
mencapai identitas akhir. Identifikasi yang terjadi dalam bentuk identitas
ego adalah lebih dari sekedar penjumlahan identifikasi masa kanakkanak.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Majeres (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan, banyak anggapan populer
tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak
diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotipe budaya bahwa remaja
adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, cenderung
merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus
membimbing dan mengawasi kehidupan remaja bersikap tidak simpatik
terhadap perilaku remaja yang normal. Adanya keyakinan bahwa orang
dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat
peralihan ke masa menjadi sulit. Menurut Anthony (Hurlock, 1980: 208)
stereotip budaya berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat, yang
menggambarkan citra diri remaja dan membentuk perilaku remaja.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
35
Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan,
bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak
realistik, tidak hanya bagi diri remaja sendiri tetapi bagi keluarga dan temanteman, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa
remaja. Bertambahnya pengalaman pribadi, pengalaman sosial, dan dengan
meningkatnya kemampuan untuk berpikir rasional, maka remaja tidak
terlampau mengalami kekecewaan dan memandang kehidupan lebih realistik.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa para remaja sudah hampir dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada
perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, misalnya merokok,
menggunakan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam freesex. Remaja
menganggap bahwa yang dilakukannya akan memberikan citra yang
diinginkan.
Masa remaja dapat dijalani dengan mulus dan baik, jika seorang remaja
melewati tugas perkembangannya dengan baik pula. Tugas perkembangan masa
remaja (Sunaryo, dkk. 2005: 7), sebagai berikut.
1. Landasan hidup religius, meliputi: sholat dan berdoa, belajar agama,
keimanan, dan sabar.
2. Landasan perilaku etis, meliputi: jujur, hormat kepada orangtua, sikap sopan
dan santun, ketertiban dan kepatuhan.
36
37
seorang
remaja
tiba-tiba
memiliki
kemampuan
untuk
38
memecahkan
masalah-masalah
yang
kompleks
dan
abstrak.
39
melihat adanya kenyataan lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja
karena remaja mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan
antara yang remaja percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya.
Remaja lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir
dengan kenyataan yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari
sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama
ini diterima bulat-bulat. Kemungkinan remaja tidak lagi mempercayai nilainilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak,
akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan
penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung
penerapan nilai-nilai tersebut.
4. Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood
(suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago
oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa
remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood
senang luar biasa ke
memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing)
yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan
rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Mood remaja
40
yang mudah berubah-ubah dengan cepat belum tentu merupakan gejala atau
masalah psikologis.
Secara harfiah istilah guidance berasal kata guide yang mempunyai arti to direct,
pilot,
manager,
or
steer
(menunjukkan,
menentukan,
mengatur,
atau
(memberikan
petunjuk),
regulating
(mengatur),
governing
41
42
43
44
45
menciptakan
lingkungan
belajar
yang
kondusif,
yang
memfasilitasi
perkembangan konseli.
2.
46
kegiatan
bimbingan
pribadi
untuk
mencegah
perilaku
pemberian
layanan
bimbingan,
pemberian
materi
3.
47
Kondisi
yang
menyenangkan
saat
menyalahgunakan
NAPZA
mendorong remaja untuk mengulang kembali kondisi itu. Tujuan dari konseling
behavioral ini adalah untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode
Stimulus-Respon (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi terbesar dari konseling
behavioral
(perilaku)
adalah
diperkenalkannya
metode
ilmiah
dibidang
48
semua tekanan yang dialami, yang dirasa paling berat dan paling mempengaruhi
perilaku remaja adalah tekanan teman sebaya atau dikenal dengan istilah peer
pressure. Tanpa disadari remaja mendapat tekanan untuk berperilaku seperti
remaja lain, sehingga akhirnya remaja masuk ke dalam situasi dimana remaja
harus berperilaku seperti remaja yang lainnya, agar dapat diterima dan tidak dapat
disisihkan. Banyak remaja yang melakukan hal-hal yang akhirnya memperngaruhi
masa depan dan jalan hidupnya hanya karena mengikuti ajakan teman sebaya.
Pada awalnya, remaja yang menyalahgunakan NAPZA dikarenakan oleh
ajakan teman-temannya dan rasa penasaran terhadap jenis dan rasa dari NAPZA.
Karena NAPZA mengandung zat adiktif maka jika pemakaian dilanjutkan akan
menyebabkan ketergantungan dan dapat mengganggu aktifitas lain yang
bermanfaat bagi dirinya. Guna mereduksi perilaku penyalahgunaan NAPZA pada
remaja maka diperlukan bantuan yang mampu membantu remaja untuk bersikap
tegas dan menolak ketika ada ajakan untuk menggunakan NAPZA. Salah satu
cara untuk membantu remaja dapat terhindar dari ajakan penyalahgunaan NAPZA
adalah dengan memberikan latihan asertif (Assertive Training).
Latihan asertif digunakan untuk membentuk keterampilan perilaku asertif
(assertive behavior). Penggunaan teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa
banyak orang menderita perasaan cemas dalam berbagai situasi interpersonal.
Kecemasan interpersonal dapat dihentikan jika orang dapat bertindak asertif. Oleh
karena itu, berbagai gangguan dan problem interpersonal dapat ditangani dengan
cara meningkatkan keterampilan perilaku asertif. Individu yang memiliki
keterampilan asertif lebih mungkin untuk berhasil dalam membina hubungan
49
interpersonal dan dalam kehidupan yang lebih luas dibanding individu lain yang
tidak asertif (Corey, 1986: 189).
Menurut Lange dan Jakubowski (1976) latihan asertif (Assertive Training)
meliputi 5 tahap, sebagai berikut :
a.
b.
c.
Tahap ketiga. Berlatih untuk bersikap asertif sendiri. Latihan bersikap tegas
sendiri biasanya menggunakan refleksi atau permainan peran jiwa dimana
50
dalam situasi ini individu akan lebih bisa bersikap asertif, memusatkan pada
perilaku nonverbal yang penting dalam ketegasan.
d.
e.
Tahap kelima. Membawa perilaku asertif pada kondisi yang sebenarnya atau
dalam kehidupan sehari-hari. Konseli membuat kontrak perilaku untuk
melaksanakan perilaku asertif yang sebelumnya dihindari. Pada sesi
selanjutnya, konseli menjelaskan pengalamannya, menilai usaha yang
dilakukan, hubungkan dalam latihan selanjutnya dan membuat kontrak
perilaku lain untuk keluar dari pengalaman asertif kelompok.
Ada enam strategi klinis yang digunakan oleh konselor selama Assertive
Training, sebagai berikut (Bellack & Hersen 1977 dalam Corey, 1986).
a. Perintah. Konselor menceritakan kepada konseli mengenai perilaku khusus
yang diharapkan. Perintah yang jelas dapat membantu konseli meningkatkan
kontak mata dan berbicara lebih tegas.
b. Umpan balik. Mengacu pada komentar para konselor terhadap perilaku
konseli setelah perintah untuk melakukan sejumlah sikap-sikap positif dan
51
umpan balik negatif yang telah diperagakan untuk mengarahkan mereka, dan
untuk menandakan perilaku.
c. Pemberian contoh. Suatu saat seorang konselor benar-benar memperlihatkan
sikap-sikap yang diharapkan kepada kliennya untuk meniru baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.
d. Latihan bersikap. Meliputi bermain peran (role playing) selama pelatihan, baik
perilaku yang ditaati atau tidak ditaati dalam situasi interpersonal, dan
penampilan dipraktekkan dalam segala kondisi.
e. Penguatan secara sosial. Meliputi pemberian pujian terhadap konseli saat
memperoleh target yang diharapkan.
f. Penugasan pekerjaan tumah. Bagian terakhir pada Assertive Training ini
adalah menerapkan tugas pekerjaan rumah yang spesifik tentang sifat
perilaku. Melalui penugasan ini, konseli menerapkan apa yang didapatkan
selama
pelatihan
dalam
kehidupan
sehari-hari,
dan
konseli
dapat
52
merugikan dirinya sendiri, dengan bersikap asertif akan timbul rasa hormat dan
penghargaan orang lain yang berpengaruh besar terhadap pemantapan eksistensi
individu di tengah-tengah khalayak luas.
Kebanyakan remaja enggan bersikap asertif karena dalam diri remaja ada
rasa takut mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya remaja tersebut tidak lagi
disukai atau diterima. Selain itu, alasan untuk mempertahankan kelangsungan
hubungan juga sering menjadi alasan karena salah satu pihak tidak ingin
membuat pihak lain sakit hati. Padahal, dengan membiarkan diri untuk bersikap
non-asertif (memendam perasaan, perbedaan pendapat), justru akan mengancam
hubungan yang ada karena salah satu pihak kemudian akan merasa dimanfaatkan
oleh pihak lain.
Langkah-langkah agar remaja mampu mengatakan tidak terhadap
permintaan yang tidak diinginkan, sebagai berikut.
1. Tentukan sikap yang pasti, apakah ingin menyetujui atau tidak. Jika belum
yakin dengan pilihan mintalah kesempatan berpikir sampai mendapatkan
kepastian.
2. Jika belum jelas dengan apa yang diminta, bertanyalah untuk mendapatkan
kejelasan atau klarifikasi.
3. Berikan penjelasan atas penolakan secara singkat, jelas, dan logis.
4. Gunakan kata-kata yang tegas, seperti secara langsung mengatakan Tidak
untuk penolakan, daripada Sepertinya saya ....
5. Pastikan sikap tubuh juga mengekspresikan atau mencerminkan bahasa yang
sama dengan pikiran.
53
6. Gunakan kata Saya tidak akan ... daripada Saya sulit ....
7. Jika berhadapan dengan seseorang yang terus mendesak, maka alternatif sikap
atau tindakan yang dapat dilakukan: mendiamkan, mengalihkan pembicaraan,
atau bahkan menghentikan percakapan.
8. Bernegosiasi dengan pihak lain agar kedua pihak mendapatkan jalan
tengahnya, tanpa harus mengorbankan perasaan, keinginan, dan kepentingan
masing-masing.
Remaja
yang
mampu
bersikap
asertif
berarti
mampu
untuk
54
55