Anda di halaman 1dari 42

BAB II

ASSERTIVE TRAINING DAN PERILAKU PENYALAHGUNAAN NAPZA


PADA REMAJA
A. Assertive Training
1. Pengertian Assertive Training
Asertivitas berasal dari bahasa Inggris, yaitu assert yang berarti
menyatakan, menegaskan, menuntut, dan memaksa. Menurut kamus InggrisIndonesia (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995: 41) kata kerja assert berarti
menyatakan atau menegaskan. To assert dapat juga berarti menyatakan dengan
sopan dan manis serta hal-hal lain yang menyenangkan diri sendiri. Menurut
Rahtus S.A dan Nevid J.S (1980 : 81) assertive behavior is rather the expression
of oneself in a manner that is consistent with the way he feels . Perilaku asertif
adalah pengekspresian perasaan, pikiran dan meyakinkan kepada orang lain secara
langsung, jujur, terbuka dan tepat. Perilaku asertif dalam pergaulan yang lebih
luas berkembang menjadi suatu keterampilan sosial dalam menghargai keinginan
diri dan menghargai hak orang lain. Salah satu lingkungan pembentuk perilaku
asertif seseorang adalah kebiasaan atau budaya interaksi dengan orang lain.
Assertive training pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah
laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam
mengembangkan cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi
interpersonal. Fokusnya adalah mempraktekkan, melalui permainan peran,
kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehingga individu diharapkan
mampu mengatasi ketidakberdayaannya dan belajar bagaimana mengungkapkan
perasaan dan pikiran secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa individu

14

berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu. Tujuan dari latihan
asertif adalah untuk meningkatkan perilaku individu sehingga mampu membuat
keputusan untuk bersikap terbuka pada situasi tertentu dan mengajarkan individu
untuk mengekspresikan perasaan kepada orang lain.

Corey (2007 : 213)

mengungkapkan bahwa latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang: (1)
tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung; (2)
menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya; (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan TIDAK; (4)
mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif
lainnya; (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran sendiri.
Menurut Lange dan Jakubowski (1976) latihan asertif (Assertive Training)
meliputi 5 tahap, sebagai berikut :
Menurut Lange dan Jakubowski (1976) latihan asertif (Assertive Training)
meliputi 5 tahap, sebagai berikut :
a.

Tahap pertama. Menghapuskan rasa takut yang berlebihan dan keyakinan


yang tidak logis. Rasa takut yang berlebihan termasuk ketakutan yang dapat
menyakiti perasaan orang lain, ketakutan yang timbul dari keyakinan yang
salah bahwa perasaan orang lain adalah penting dan perasaan diri sendiri
tidak penting. Ketakutan kedua yaitu bila individu merasa gagal memaksa
orang untuk mencintai dirinya. Ketakutan ketiga adalah orang lain
memandang bahwa perilaku tegas adalah sebuah perilaku yang kurang sopan
dan tidak menghargai orang lain. Ketakutan keempat adalah dengan bersikap

15

tegas maka dapat menampilkan diri sebagai orang yang tidak mampu, tidak
mahir, dan tidak berguna. Ketakutan yang berlebihan dan keyakinan yang
irasional sering menghentikan individu yang akan bersikap tegas.
b.

Tahap kedua. Menerima/mengemukakan fakta-fakta masalah yang akan


dihadapi. Seorang individu harus menerima bahwa setiap orang harus mampu
bersikap tegas dan mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan secara
jujur.

c.

Tahap ketiga. Berlatih untuk bersikap asertif sendiri. Latihan bersikap


tegas sendiri biasanya menggunakan refleksi atau permainan peran jiwa
dimana dalam situasi ini individu akan lebih bisa bersikap asertif,
memusatkan pada perilaku nonverbal yang penting dalam ketegasan.

d.

Tahap keempat. Menempatkan individu dengan orang lain untuk bermain


peran pada situasi yang sulit. Tahap keempat menyediakan kesempatan untuk
berlatih peran dan mendapatkan umpan balik orang lain dalam kelompok.
Pelatihan lebih lanjut mengizinkan konseli untuk lebih lanjut menunjukkan
perubahan perilaku dan membiasakan konseli untuk bersikap lebih tegas, dan
menerapkan timbal balik. Menggandakan latihan juga membuat konseli
semakin bertambah nyaman dan senang saat menjadi asertif.

e.

Tahap kelima. Membawa perilaku asertif pada kondisi yang sebenarnya


atau dalam kehidupan sehari-hari. Konseli membuat kontrak perilaku untuk
melaksanakan perilaku asertif yang sebelumnya dihindari. Pada sesi
selanjutnya, konseli menjelaskan pengalamannya, menilai usaha yang

16

dilakukan, hubungkan dalam latihan selanjutnya dan membuat kontrak


perilaku lain untuk keluar dari pengalaman asertif kelompok.
Berdasarkan tahapan latihan asertif menurut Lange dan Jakubowski maka
dapat dikemukakan komponen dasar perilaku asertif, sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.

Kemampuan untuk memahami ketakutan dan keyakinan yang irasional.


Kemampuan mempertahankan hak-hak pribadi.
Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran.
Kemampuan untuk menyatakan keyakinan.
2. Kategori perilaku assertif
Perilaku asertif dapat dibentuk melalui latihan asertif (Assertive Training).

Penggunaan teknik latihan asertif didasarkan pada asumsi bahwa banyak orang
menderita perasaan cemas dalam berbagai situasi interpersonal. Kecemasan
interpersonal dapat dihentikan jika orang dapat bertindak asertif. Oleh karena itu,
berbagai gangguan dan problem interpersonal dapat ditangani dengan cara
meningkatkan keterampilan perilaku asertif. Individu yang memiliki keterampilan
asertif lebih mungkin untuk berhasil dalam membina hubungan interpersonal dan
dalam kehidupan yang lebih luas dibanding individu lain yang tidak asertif
(Corey, 1986: 189).
Rathus dan Nevid (1980: 107-123) mengkategorikan 10 perilaku asertif,
sebagai berikut :
a. Bicara asertif yaitu individu mengemukakan hak-hak atau berusaha mencapai
tujuan tertentu dalam suatu situasi dan memberi pujian untuk menghargai
tingkah laku seseorang dan juga memberi feed back positif pada individu lain.
b. Pengungkapan perasaan-perasaan pada individu lain secara spontan dan tidak
berlebihan.

17

c. Menyapa dan memberi salam pada individu lain dan individu yang ditemui
termasuk individu yang baru dikenal dan membuka percakapan.
d. Dapat menampilkan cara yang efektif untuk menyatakan setuju atau tidak
setuju.
e. Menanyakan alasan ketika diminta untuk melakukan sesuatu, tidak langsung
menyanggupi ataupun menolaknya.
f. Berbicara mengenai diri sendiri.
g. Menghargai pujian dan menerima pujian.
h. Menolak untuk menerima begitu saja pendapat orang lain.
i. Menatap mata lawan bicara.
j. Mampu menampilkan respon melawan rasa takut, tidak menampilkan tingkah
laku yang dapat memancing rasa cemas.

B. Perilaku Penyalahgunaan NAPZA


1. Pengertian NAPZA
NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya. Narkotika berasal dari bahasa Yunani

yaitu narkoun yang berarti

membuat lumpuh atau membuat mati rasa. Dalam UU Nomor 22 tahun 1997,
pasal 1, pengertian narkotika adalah :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini,
atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Menurut UU nomor 5 tahun 1997, pengertian psikotropika adalah :

18

Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas
mental dan perilaku
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) zat adiktif lainnya adalah
bahan lain bukan narkotoka atau psikotropika yang penggunaannya dapat
menimbulkan ketergantungan.
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) minuman beralkohol adalah
minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan pertanian yang
mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi
tanpa destilasi, maupun yang diproses dengan cara pengenceran minuman yang
mengandung etanol
2. Jenis- jenis NAPZA
Menurut UU Nomor 22 tentang narkotika, narkotika dibagi ke dalam 3
golongan yaitu :
a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi, serta mempunyai potensi
yang sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan. Contohnya putaw/
heroin, kokain, ganja, kanabis.
b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang tinggi untuk
menyebabkan ketergantungan. Contohnya morfin, petidin, metadon.
c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu

19

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.


Contohnya kodein, difenoksiat.
Menurut UU Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, psikotropika
menyebabakan sindroma ketergantungan digolongkan ke dalam 4 golongan sesuai
dengan tujuan penggunaannya dan kekukatan potensinya (berat atau ringan) :
a.
b.
c.
d.

Psikotropika golongan I. Contohnya MDMA/ ekstasi, LSD


Psikotropika golongan II. Contohnya shabu- shabu, seko-barbital
Psikotropika golongan III. Contohnya amo-barbital, pentazosine.
Psikotropika golongan IV. Contohnya allo-barbital, diazepam, halazepam,
dietil propion
3. Perilaku Penyalahgunaan NAPZA
Perilaku penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu pola penggunaan yang

bersifat klinis menyimpang, minimal satu bulan lamanya, dan telah terjadi
gangguan fungsi sosial atau pekerjaannya (BNN, 2006 : 221). Jika perilaku
penyalahgunaan NAPZA dilanjutkan maka akan menyebabkan ketergantungan.
Setelah itu akan mengakibatkan gangguan jasmani dan rohani bahkan lebih jauh
lagi akan menyebabkan kematian yang sia-sia.
Menurut Martono (2006 : 21) ada beberapa pola pemakaian NAPZA,
yaitu :
a. Pola coba-coba, yaitu karena iseng dan ingin tahu. Pengaruh teman sebaya
sangat besar, yang menawarkan atau membujuk untuk memakai NAPZA.
Ketidakmampuan berkata tidak mendorong remaja untuk mencoba
NAPZA, ditambah dengan rasa ingin tahu yang besar.
b. Pola pemakaian sosial, yaitu pemakaian NAPZA untuk tujuan pergaulan
(berkumpul dalam acara tertentu) agar diakui / diterima kelompok.

20

c. Pola pemakaian situasional yaitu karena situasi tertentu, misalnya kesepian,


stress dan lain-lain. Disebut juga tahap instrumental, karena dari pengalaman
pemakaian sebelumnya disadari, NAPZA dapat menjadi alat untuk
mempengaruhi atau memanipulasi emosi dan suasana hatinya. Disini
pemakaian NAPZA telah mempunyai tujuan, yaitu sebagai cara mengatasi
masalah (compensatory use). Pada tahap ini, penyalahguna berusaha
memperoleh NAPZA secara aktif.
d. Pola habituasi (kebiasaan), ketika telah memakai NAPZA secara teratur/
sering. Terjadi perubahan faal tubuh dan gaya hidupnya. Teman lama berganti
dengan teman kalangan pecandu. Kebiasaan, pakaian, dan sebagainya akan
berubah. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah, sulit tidur atau
berkonsentrasi, sebab NAPZA mulai menjadi bagian dari kehidupannya.
Minat dan cita-cita semua hilang. Ia sering membolos dan prestasi di sekolah
merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada kumpul bersama keluarga.
Meskipun masih dapat mengendalikan pemakaiannya, tetapi telah terjadi
gejala awal ketergantungan. Pola pemakaian NAPZA inilah yang secara klinis
disebut penyalahgunaan.
e. Pola ketergantungan (kompulsif) dengan gejala khas, yaitu timbulnya toleransi
dan/ atau gejala putus zat. Ia berusaha untuk selalu memperoleh NAPZA
dengan

berbagai

cara.

Berbohong,

menipu,

dan

mencuri

menjadi

kebiasaannya. Ia tidak dapat mengendalikan diri dalam penggunaannya,


sebab NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga
dan teman-teman menjadi rusak. Pada pemakaian beberapa jenis NAPZA
seperti putauw terjadinya ketergantungan sangat cepat.

21

Proses seseorang menjadi ketergantungan dapat digambarkan seperti orang


yang menembus tembok. Pada tahap pemakaian masih dapat menghentikannya.
Jika telah terjadi ketergantungan, ia sulit kembali ke pemakaian sosial, betapa pun
ia berusaha, kecuali menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia).
Adapun ciri-ciri dari ketergantungan NAPZA adalah sebagai berikut :
a.

Keinginan tak tertahankan untuk mengkonsumsi salah satu atau lebih zat

b.

yang tergolong NAPZA


Kecenderungan untuk menambah dosis sejalan dengan batas toleransi tubuh

c.

yang meningkat
Ketergantungan psikis yaitu apabila penggunaan NAPZA dihentikan akan

d.

menimbulkan kecemasan, depresi dan gejala psikis lainnya


Ketergantungan fisik yaitu apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan
gejala fisik yang disebut gejala putus zat (withdrawal symdrome)
Gambaran rinci mengenai proses/ tahapan penyalahgunaan NAPZA menurut

Yanny (Setiadi, 2006 : 19) adalah sebagai berikut :


kompromi

Tidak tegas menentukan sikap menentang NAPZA, mau bergaul dengan


pemakai NAPZA

coba- coba

Segan menolak tawaran atau ajakan teman untuk mencoba memakai


NAPZA, lalu ikut-ikutan memakai NAPZA

toleransi

Dengan memakai beberapa kali, tubuh sudah menjadi toleran, perlu


peningkatan dosis pemakaian

eskalasi

Peningkatan dosis dan tambah jenis NAPZA dengan dosis yang ditambah
terus

habituasi

Pemakaian NAPZA sudah menjadi kebiasaan yang meningkat

adiksi

Keterkaitan pada NAPZA yang sudah mendalam sehingga tidak dapat


terlepas, gejala putus obat yang berat

intoksifikasi

Keracunan oleh NAPZA, mengalami kerusakan pada organ tubuh dan


otak, hilang kesadaran

mati

Organ tubuh sudah rusak terutama otak, biasanya menjadi gila atau
terjadi kematian

22

Bagan 2.1
Proses/ tahapan penyalahgunaan NAPZA

Dari bagan diatas dapat diartikan bahwa asal mula remaja menyalahgunakan
NAPZA adalah faktor diri yang tidak dapat menolak dan faktor pendorong atau
pencetus yaitu ajakan dari teman untuk menyalahgunakan NAPZA yang akan
berdampak secara fisik maupun psikis.
4. Faktor penyebab perilaku penyalahgunaan NAPZA
Hawari (1997 : 138) menyatakan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan
NAPZA adalah karena adanya interaksi antara faktor predisposisi (kepribadian,
kecemasan, depresi), faktor kontribusi (kondisi keluarga), dan faktor pencetus
(pengaruh teman kelompok sebaya dan zat itu sendiri).
Hawari menggambarkan proses terjadinya penyalahgunaan NAPZA
sebagai berikut :
Faktor predisposisi :
1. Gangguan kepribadian
antisosial
2. Kecemasan
3. depresi

Faktor kontribusi :
1. Kondisi keluarga
2. Keutuhan keluarga
3. Kesibukan orang tua
4. Hubungan interpersonal

Faktor pencetus :
Pengaruh teman
sebaya + NAPZA

Penyalahgunaan
NAPZA

Penyalahgunaan
NAPZA

Ketergantungan
NAPZA

23

Ketergantungan
NAPZA
Bagan 2.2
Proses terjadinya penyalahgunaan NAPZA (Hawari, 1996 : 138)

Skema diatas menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor penyebab


penyalahgunaan NAPZA, yaitu :
a. Faktor predisposisi (faktor fisik dan psikis seseorang)
b. Faktor kontribusi (faktor lingkungan keluarga), dan
c. Faktor pencetus yaitu pengaruh dari teman kelompok dan keberadaan NAPZA
itu sendiri
Faktor- faktor penyebab perilaku penyalahgunaan NAPZA di kalangan
remaja dapat diartikan bahwa didalmnya terdapat faktor internal yaitu faktor dari
diri sendiri atau dalam diri individu dan faktor eksternal yaitu faktor dari luar diri
seseorang, baik itu karena lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya
sehingga terjadi atau menyebabkan terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
Perilaku penyalahgunaan NAPZA yang muncul di kalangan remaja
bukanlah suatu kebetulan, melainkan perilaku yang muncul karena terdapat
kondisi-kondisi atau aspek tertentu yang menjadi latar belakang perilaku
penyalahgunaan NAPZA.
Perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja memiliki alasan antara lain
karena keinginan untuk membebaskan diri dari segala larangan keluarga, karena
keinginan untuk menambah dukungan sosial kelompoknya dengan jalan
menyesuaikan diri dengan pola perilaku yang ditetapkan oleh pimpinannya, atau
karena ingin berpetualang (Hurlock, 1997 : 224).

24

Akan tetapi terlepas dari semua alasan diatas, remaja memakai NAPZA,
karena NAPZA membuatnya merasa nikmat, enak dan nyaman pada awal
pemakaian. Perasaan yang dihasilhan oleh NAPZA itulah yang mula- mula dicari
pemakainya. Remaja tidak melihat akibat buruk penggunaan NAPZA. Justru
remaja mengabaikan akibat buruk dari penggunaan NAPZA. Akibat buruk itu
baru dirasakan setelah beberapa kali pemakaian, tetapi pada saat itulah terjadi
kecanduan dan ketergantungan. Martono (2006 : 18) mengemukakan alasan
memakai NAPZA yang dapat dikelompokkan sebagai berikut
a. Anticipatory beliefs, yaitu anggapan bahwa jika menggunakan NAPZA, orang
akan menilai dirinya hebat, dewasa, mengikuti mode, dan sebagainya.
b. Relieving beliefs, yaitu keyakinan bahwa NAPZA dapat digunakan untuk
mengatasi ketegangan, cemas, dan depresi akibat stessor psikososial.
c. Facilitative atau permissive beliefs, yaitu keyakinan bahwa penggunaan
NAPZA merupakan gaya hidup atau kebiasaan karena pengaruh zaman atau
perubahan nilai sehingga dapat diterima.
Namun pada kenyataannya banyak faktor yang mempengaruhi remaja
menyalahgunakan NAPZA, antara lain :
a. Faktor individu
1) Adanya kepercayaan bahwa NAPZA dapat mengatasi semua permasalahan
yang sedang dihadapi
2) Harapan untuk memperoleh kenikmatan dari dampak obat yang
dikonsumsi
3) Untuk menghilangkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dirasakan
4) Karena kurang percaya diri
5) Agar diterima oleh kelompok teman sebayanya
6) Ingin tahu dan coba- coba
7) Karena kurang perhatian dari keluarga
b. Faktor lingkungan
1) Tempat tinggal berada disekitar lingkungan pengguna dan pengedar

25

2) Lingkungan sekolah yang rawan dengan peredaran NAPZA


3) Berteman dan bergaul dengan mereka yang menggunakan NAPZA
4) Ketidakharmonisan yang terjadi dalam keluarga yang mempengaruhi
perkembangan mental dan kepribadian seseorang
c. Faktor lain
1) Jumlah maupun dosis NAPZA yang disalahgunakan serta tingkat
penggunaannya yang bebas
2) Cara pemakaiannya yang mudah, baik dihirup, dengan alat suntik, bong
dan sebagainya
3) Perubahan dan pergesera norma dan tata nilai karena imbas dari
modernisasi yang diserap langsung
4) Kurangnya penghayatan keagamaan dan nilai serta norma yang dianut oleh
lingkungan keluarga.
5. Akibat perilaku penyalahgunaan NAPZA
Terjadinya berbagai perubahan pada remaja yang menyalahgunakan
NAPZA dapat mengakibatkan tiga aspek akibat langsung penyalahgunaan
NAPZA yang berujung pada menguatnya ketergantungan.
a. Secara fisik: penggunaan NAPZA akan mengubah metabolisme tubuh
seseorang. Hal ini terlihat dari peningkatan dosis yang semakin lama semakin
besar dan gejala putus obat. Keduanya menyebabkan seseorang untuk
berusaha terus-menerus mengkonsumsi NAPZA.
b. Secara psikis: berkaitan dengan berubahnya beberapa fungsi mental, seperti
rasa bersalah, malu dan perasaan nyaman yang timbul dari mengkonsumsi
NAPZA. Cara yang kemudian ditempuh untuk beradaptasi dengan perubahan
fungsi mental itu adalah dengan mengkonsumsi lagi NAPZA.
c. Secara sosial: dampak sosial yang memperkuat pemakaian NAPZA. Proses ini
biasanya diawali dengan perpecahan di dalam kelompok sosial terdekat seperti

26

keluarga (lihat faktor penyebab keluarga ), sehingga muncul konflik dengan


orang tua, teman-teman, pihak sekolah atau pekerjaan. Perasaan dikucilkan
pihak-pihak ini kemudian menyebabkan si penyalahguna bergabung dengan
kelompok orang-orang serupa, yaitu para penyalahguna NAPZA juga
Semua

akibat

ini

berujung

pada

meningkatkannya

perilaku

penyalahgunaan NAPZA. Beberapa dampak yang sering terjadi dari peningkatan


perilaku penyalahgunaan NAPZA adalah sebagai berikut.
a. Kebutuhan

untuk

memperoleh

NAPZA

terus-menerus

menyebabkan

penyalahguna sering melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri dan


menipu orang lain untuk mendapatkan uang membeli NAPZA.
b. Menurun bahkan menghilangnya produktivitas pemakai, apakah itu di sekolah
maupun di tempat kerja. Penyalahguna akan kehilangan daya untuk
melakukan kegiatannya sehari-hari.
c. Penggunaan jarum suntik secara bersama meningkatkan resiko tertularnya
berbagai macam penyakit seperti HIV. Peningkatan jumlah orang dengan HIV
positif di Indonesia akhir-akhir ini berkaitan erat dengan meningkatnya
penyalahgunaan NAPZA.
d. Penakaian NAPZA secara berlebihan menyebabkan kematian. Gejala over
dosis pada penyalahguna NAPZA menjadi lebih besar karena batas toleransi
seseorang sering tidak disadari oleh yang bersangkutan

6. Tanda- tanda remaja penyalahguna NAPZA

27

Penyalahgunaan NAPZA pada remaja dapat diketahui dari tiga perubahan


yaitu (1) adanya perubahan perilaku; (2) ditemukannya NAPZA dan perangkat
pemakaiannya; (3) gejala- gejal fisik/ jasmaniah, tergantung pada jenis NAPZA
yang dipakai, lama pemakaian, cara pakai, kondisi tubuh, kepribadian, dan
harapan penyalahguna terhadap NAPZA tersebut. Ada beberapa tanda remaja
yang menggunakan NAPZA yang dapat diamati di sekolah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Nilai ulangan/ rapor di sekolah menurun


Motivasi sekolah menurun, malas berangkat sekolah, dan malas membuat PR
Sering membolos, sering keluar kelas, dan tidak kembali ke sekolah
Mengantuk di kelas, sering bosan, dan tidak memperhatikan guru
Sering dipanggail guru karena tidak disiplin
Meninggalkan hobi yang dulu digemari (kegiatan ekstrakurikuler, olahraga)
Mengeluh karena menganggap orang di rumah tidak memberikan kebebasan

atau menganggap orang di rumah terlalu menegakkan disiplin


h. Teman lama ditinggalkan, mulai sering berkumpul dengan siswa yang
i.
j.
k.
l.

bermasalah di sekolah atau berkumpul dengan kelompok pemakai


Sering meminjam uang kepada teman
Gaya pakaian dan gaya musik yang disukainya berubah
Tidak peduli terhadap kebersihan diri dan menunjukkan sikap tidak peduli
Bersikap defensif (membela diri), permusuhan, dan mudah tersinggung.

C. Karakteristik Remaja
Istilah adolesence atau remaja berasal dari kata latin adolescere ( Kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tubuh
menjadi dewasa. (Hurlock, 1980 : 206). Istilah adolescence, seperti yang
dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan
mental, emosional, sosial, dan fisik.

28

G. Stanley Hall (Yusuf, 2006: 3) berpendapat remaja merupakan masa


Strum & Drang, yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi : antara
goncangan, penderitaan, asmara, dan pemberontakan dengan otoritas orang
dewasa. Konopka (Yusuf, 2006: 3) mengemukakan masa remaja merupakan
segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu dan
merupakan masa transisi (dari masa anak ke masa dewasa) yang diarahkan kepada
perkembangan masa dewasa yang sehat.
Pandangan mengenai remaja dikemukakan oleh Piaget (Hurlock, 1980 :
206) secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi
dengan masyarakat dewasa, usia anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orangorang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurangkurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai
banyak aspek efektif, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok.
Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan
untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang
kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan.
Masa remaja (adolescence) menurut sebagian ahli psikologi terdiri atas
sub-sub masa perkembangan, sebagai berikut: 1) subperkembangan pre-puber
selama kurang lebih dua tahun sebelum masa puber; 2) subperkembangan postpuber, yakni saat perkembangan biologis sudah lambat tapi masih terus
berlangsung pada bagian-bagian organ tertentu. Saat ini merupakan akhir masa
puber yang mulai menampakkan tanda-tanda kedewasaan (Syah, 2004: 51).

29

Menurut Sarwono (Setiadi, 2006 : 12) pada masa remaja terdapat beberapa
tahapan proses perkembangan dan penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu : 1)
remaja awal, seorang remaja masih terheran-heran akan perubahan-perubahan
yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai
perubahan-perubahan itu; 2) remaja madya, remaja sangat membutuhkan kawankawan. Remaja senang jika banyak teman yang menyukainya, umumnya berada
dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana; 3)
remaja akhir, masa konsolidasi menuju periode dewasa yang ditandai dengan
pencapaian 5 hal, yaitu minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek,
egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam
pengalaman- pengalaman baru, terbentuknya identitas seksual yang tidak akan
berubah lagi, egonsentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri
sendiri dengan orang lain, tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya
dan masyarakat umum.
Proses perkembangan pada masa remaja lazimnya berlangsung selama
kurang lebih 11 tahun, mulai usia 12-21 pada wanita dan 13-22 tahun pada pria.
Masa perkembangan remaja yang panjang ini dikenal sebagai masa yang penuh
kesukaran dan persoalan, bukan saja bagi remaja sendiri melainkan bagi para
orang tua, guru, dan masyarakat sekitar. Bahkan tidak jarang penegak hukum turut
direpotkan oleh ulah dan tindak-tanduk remaja yang dipandang menyimpang.
Sehubungan dengan masalah remaja, dapat dipastikan bahwa segala sesuatu yang
sedang mengalami atau dalam keadaan transisi dari suatu keadaan ke keadaan

30

lainnya selalu menimbulkan gejolak, goncangan, dan benturan yang kadangkadang berakibat sangat buruk bahkan fatal (mematikan).
Ciri-ciri yang membedakan masa remaja dengan periode sebelum dan
sesudahnya, sebagai berikut.
1. Masa remaja sebagai periode yang penting
Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar
kepentingan setiap periode perkembangan tentu saja berbeda-beda. Pada
periode remaja, periode yang terpenting adalah perkembangan fisik. Secara
fisik, masa remaja awal ditandai dengan matangnya organ-organ seksual.
Remaja pria mengalami pertumbuhan pada organ testis, penis, pembuluh mani
dan kelenjar prostat, sedangkan pada remaja wanita ditandai dengan
menstruasi. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan
cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja.
Semua perkembangan pada masa remaja menimbulkan perlunya penyesuaian
mental dan perlu membentuk sikap, nilai, dan minat baru.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi
sebelumnya, melainkan lebih dari sebuah peralihan dari satu tahap
perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi
sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan
yang akan datang. Namun, perlu disadari bahwa yang telah terjadi akan
meninggalkan bekas dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang
baru. Osterrieth (Hurlock, 1980: 207) mengemukakan struktur psikis remaja

31

berasal dari masa kanak-kanak, dan banyak ciri yang umumnya dianggap
sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Pada masa remaja ini terjadi beberapa perubahan diantaranya :
a. Perkembangan fisik
Dalam perubahan fisik ini terbagi dalam dua ciri yaitu ciri seks primer dan
ciri seks sekunder. Adapaun ciri seks primer, pada pria ditandai dengan
cepatnya pertumbuhan testis dan kematangan hormon-hormon seks yang
memungkinkan terjadinya mimpi basah. Sedangkan pada wanita terjadi
kematangan organ-organ seksnya yang ditandai dengan tumbuhnya rahim,
vagina dan ovarium. Memungkinkan mengeluarkan hormon-hormon yang
diperlukan dalam kehamilan dan mengalami peristiwa menstruasi.
b. Perkembangan kognitif
Masa remaja perkembangan kognitifnya sudah mencapai tahap operasi
formal, dimana secara mental sudah dapat berpikir logis tentang berbagai
gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berpikir formal itu lebih bersifat
hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan
masalah daripada berpikir konkrit.
c. Perkembangan emosi
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi
yang tinggi. Perubahan secara fisik sangat mempengaruhi sekali dalam
perkembangan emosi ini. Pada remaja awal perkembangan emosinya
sangat sensitif dan reaktif yang kuat terhadap berbagai peristiwa, emosinya

32

bersifat negatif dan temperamental. Sedangkan pada remaja akhir sudah


mampu mengendalikan emosi.
d. Perkembangan sosial
Pada masa remaja berkembang social cognition yaitu kemampuan
memahami orang lain. Kemampuan pemahaman ini mendorong remaja
untuk dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan teman sebayanya,
baik itu dalam bentuk persahabatan maupun pacaran. Pada masa ini timbul
juga sikap conformity yaitu kecenderungan untuk menyerah dan
mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran ataupun keinginan
orang lain. Sikap konformitas ini dapat berdampak positif dapat juga
berdampak negatif.
e. Perkembangan moral
Melalui interaksinya dengan lingkungan maka remaja sudah mengenal
konsep nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, kesopanan dan
kedisiplinan. Pada umumnya, menurut perkembangan moral dari
Kohlberg, remaja berada dalam tingkatan konvensional atau berada dalam
tahapan ketiga (berperilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan
kelompok), dan keempat (loyalitas terhadap norma atau peraturan yang
berlaku dan diyakininya).
f. Perkembangan kepribadian
Pada masa ini remaja berada dalam pencarian jati diri. Dimana remaja
mencari jawaban dari pertanyaan who am I ?. pencarian identitas ini

33

sangat dipengaruhi oleh iklim keluarga, tokoh idola dan peluang


pengembangan diri.
g. Perkembangan kesadaran beragama
Kemampuan berpikir abstrak remaja memungkinkannya untuk dapat
menstraformasikan keyakinan beragamanya. Dia dapat mengapresiasi
kualitas keabstrakan Tuhan sebagai Yang Maha Adil, Maha Kasih Sayang.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Masalah pada masa remaja seringkali menjadi masalah yang sulit diselesaikan.
Terdapat dua alasan bagi kesulitan dalam menyelesaikan masalah. Pertama,
sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh
orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam
mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa dirinya mandiri, sehingga
remaja ingin mengatasi masalahnya sendiri, remaja cenderung menolak
bantuan dari orang tua dan guru. Anna Freud (Hurlock, 1980: 208)
mengemukakan, banyak kegagalan yang seringkali disertai akibat yang tragis,
bukan karena ketidakmampuan individu tetapi karena kenyataan bahwa
tuntutan yang diajukan kepada remaja justru pada saat semua tenaga yang
dimiliki remaja telah dihabiskan untuk mencoba mengatasi masalah pokok
yang disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Erikson (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan, identitas diri yang dicari oleh
remaja berupa usaha untuk menjelaskan Siapa dirinya, apa peranannya dalam
masyarakat. Apakah ia seorang anak atau seorang dewasa ? Apakah nantinya

34

ia dapat menjadi seorang suami atau ayah ? Apakah ia mampu percaya diri
sekalipun latarbelakang ras, agama atau nasionalnya membuat beberapa orang
merendahkannya ? Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau gagal ?
Selanjutnya, Erikson (Hurlock, 1980: 208) menjelaskan bagaimana pencarian
identitas ini mempengaruhi perilaku remaja.
Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan yang
baru, para remaja harus memperjuangkan kembali perjuangan tahuntahun lalu, meskipun untuk melakukannya remaja harus menunjuk secara
artifisial orang-orang yang baik hati sebagai musuh; dan remaja selalu
siap untuk menempatkan idola remaja sebagai pembimbing dalam
mencapai identitas akhir. Identifikasi yang terjadi dalam bentuk identitas
ego adalah lebih dari sekedar penjumlahan identifikasi masa kanakkanak.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Majeres (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan, banyak anggapan populer
tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak
diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotipe budaya bahwa remaja
adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, cenderung
merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus
membimbing dan mengawasi kehidupan remaja bersikap tidak simpatik
terhadap perilaku remaja yang normal. Adanya keyakinan bahwa orang
dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat
peralihan ke masa menjadi sulit. Menurut Anthony (Hurlock, 1980: 208)
stereotip budaya berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat, yang
menggambarkan citra diri remaja dan membentuk perilaku remaja.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

35

Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan,
bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak
realistik, tidak hanya bagi diri remaja sendiri tetapi bagi keluarga dan temanteman, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa
remaja. Bertambahnya pengalaman pribadi, pengalaman sosial, dan dengan
meningkatnya kemampuan untuk berpikir rasional, maka remaja tidak
terlampau mengalami kekecewaan dan memandang kehidupan lebih realistik.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa para remaja sudah hampir dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada
perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, misalnya merokok,
menggunakan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam freesex. Remaja
menganggap bahwa yang dilakukannya akan memberikan citra yang
diinginkan.
Masa remaja dapat dijalani dengan mulus dan baik, jika seorang remaja
melewati tugas perkembangannya dengan baik pula. Tugas perkembangan masa
remaja (Sunaryo, dkk. 2005: 7), sebagai berikut.
1. Landasan hidup religius, meliputi: sholat dan berdoa, belajar agama,
keimanan, dan sabar.
2. Landasan perilaku etis, meliputi: jujur, hormat kepada orangtua, sikap sopan
dan santun, ketertiban dan kepatuhan.

36

3. Kematangan emosional, meliputi: kebebasan dalam mengemukakan pendapat,


tidak cemas, pengendalian emosi, dan kemampuan menjaga stabilitas emosi.
4. Kematangan intelektual, meliputi: sikap kritis, sikap rasional, kemampuan
membela hak pribadi, dan kemampuan menilai.
5. Kesadaran tanggung jawab, meliputi: mawas diri, tanggungjawab atas
tindakan pribadi, partisipasi pada lingkungan, dan disiplin.
6. Peran sosial sebagai pria atau wanita, meliputi: perbedaan pokok antara lakilaki dan perempuan, pean sosial sesuai jenis kelamin, tingkah laku dan
kegiatan sesuai jenis kelamin, dan cita-cita sesuai dengan jenis kelamin.
7. Penerimaan diri dan pengembangannya, meliputi: kondisi fisik, kondisi
mental, pengembangan cita-cita, dan pengembangan pribadi.
8. Kemandirian perilaku ekonomis, meliputi: upaya menghasilkan uang, sikap
hemat dan menabung, bekerja keras dan ulet, dan tidak mengharap pemberian
orang.
9. Wawasan dan persiapan karir, meliputi: pemahaman jenis pekerjaan,
kesungguhan belajar, upaya meningkatkan keahlian, dan perencanaan karir.
10. Kematangan hubungan dengan teman sebaya, meliputi: pemahaman tingkah
laku oranglain, kemampuan berempati, kerja sama, dan kemampuan hubungan
sosial.
11. Persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga, meliputi: pemilihan
pasangan/teman hidup, kesiapan menikah, membangun keluarga, dan
reproduksi sehat.

37

Perubahan pada diri remaja menunjukkan tanda keremajaan, namun


seringkali perubahan yang terjadi hanya menunjukkan tanda-tanda fisik dan bukan
pengesahan akan keremajaan seseorang.

Satu hal yang pasti, konflik yang

dihadapi remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan berbagai dimensi


kehidupan dalam diri. Beberapa dimensi yang berubah pada saat remaja
berkembang, sebagai berikut.
1. Dimensi Biologis
Pada saat seorang remaja memasuki masa pubertas yang ditandai dengan
menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja
putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas
menjadikan

seorang

remaja

tiba-tiba

memiliki

kemampuan

untuk

bereproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam


memproduksi dua jenis hormon yang berhubungan dengan pertumbuhan,
yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone
(LH). Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas
mengubah sistem biologis seorang anak. Remaja perempuan akan mendapat
menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain
itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang. Remaja
lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya
yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosteron. Bentuk fisik
remaja akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa
remaja pada dunia remaja.
2. Dimensi Kognitif

38

Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli


perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam
tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada
periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam
usaha

memecahkan

masalah-masalah

yang

kompleks

dan

abstrak.

Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga


remaja dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan
masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara
logis dan abstrak remaja berkembang sehingga remaja mampu berpikir multidimensi seperti ilmuwan. Remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya,
tetapi akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan
pemikiran remaja sendiri. Remaja juga mampu mengintegrasikan pengalaman
masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi,
dan rencana untuk masa depan. Melalui kemampuan operasional formal ini,
para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar remaja.
3. Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya
mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai
dasar bagi pembentukan nilai diri remaja. Remaja tidak lagi menerima hasil
pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada remaja
selama ini tanpa bantahan. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan
pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini
diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai

39

melihat adanya kenyataan lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja
karena remaja mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan
antara yang remaja percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya.
Remaja lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir
dengan kenyataan yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari
sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama
ini diterima bulat-bulat. Kemungkinan remaja tidak lagi mempercayai nilainilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak,
akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan
penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung
penerapan nilai-nilai tersebut.
4. Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood
(suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago
oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa
remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood
senang luar biasa ke

sedih luar biasa, sementara orang dewasa

memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing)
yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan
rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Mood remaja

40

yang mudah berubah-ubah dengan cepat belum tentu merupakan gejala atau
masalah psikologis.

D. Layanan Bimbingan untuk Mencegah Perilaku Penyalahgunaan NAPZA


Melalui Teknik Assertive Training
1.

Bimbingan dan Konseling


a. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance dalam bahasa Inggris.

Secara harfiah istilah guidance berasal kata guide yang mempunyai arti to direct,
pilot,

manager,

or

steer

(menunjukkan,

menentukan,

mengatur,

atau

mengemudikan). Sedangkan menurut W.S. Winkel (Ameliya, 2008: 24)


mengemukakan guidance mempunyai hubungan dengan guiding: showing a
way (menunjukkan jalan), leading (memimpin), conducting (menuntun), giving
instructions

(memberikan

petunjuk),

regulating

(mengatur),

governing

(mengarahkan), dan giving advice (memberikan nasehat).


Penggunaan istilah bimbingan seperti yang telah dikemukakan tampaknya
proses bimbingan lebih menekankan kepada peranan pihak pembimbing. Proses
bimbingan yang menekankan kepada peranan pihak pembimbing tentu saja tidak
sesuai dengan arah perkembangan dewasa, dimana pada saat ini klien yang
dianggap lebih memiliki peranan penting dan aktif dalam proses pengambilan
keputusan serta bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keputusan yang diambil.
Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian bimbingan, dikemukakan
pendapat dari beberapa ahli, sebagai berikut.

41

a. Peters dan Shertzer (Yusuf, 2005 : 6 ) mendefiniskan bimbingan sebagai the


process of helping the individual to understand himself and his world so that
he can utilize his potentialities.
b. Jones et.al. (Sofyan S. Willis, 2004) mengemukakan : guidance is the help
given by one person to another in making choice and adjusment and in
solving problem.
c. Djumhur dan Moh. Surya, (Ameliya, 2008 : 25) berpendapat bahwa
bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan
sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi, agar
tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding),
kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk
mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan
dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam
mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan
masyarakat.
d. Rochman Natawidjaja (Yusuf, 2005 : 6) mengartikan bimbingan sebagai
proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara
berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya,
sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan bertindak secara wajar, sesuai
dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan
kehidupan pada umumnya.
e. Sunaryo Kartadinata (Yusuf, 2005 : 6)mengartikan bimbingan sebagai proses
membantu individu untuk mencapai perkembangan secara optimal

42

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli,


tampaknya para ahli beragam memberikan pengertian bimbingan, kendati
demikian dapat dilihat adanya benang merah, bahwa bimbingan pada hakekatnya
merupakan upaya untuk memberikan bantuan kepada individu atau peserta didik
yang bersifat psikologis. Tercapainya penyesuaian diri, perkembangan optimal
dan kemandirian merupakan tujuan yang ingin dicapai dari bimbingan.
Istilah bimbingan sering dirangkai dengan kata konseling. Menurut
Robinson (Yusuf, 2005 : 7) mengartikan konseling adalah semua bentuk
hubungan antara dua orang, dimana yang seorang, yaitu klien dibantu untuk lebih
mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan
lingkungannya. Sedangkan menurut ASCA (American School Counselor
Association) mengemukakan bahwa :
Konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan
sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien,
konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk
membantu kliennya mengatasi masalah- masalahnya.
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan
salah satu bentuk hubungan yang bersifat membantu dan interpersonal.
b. Tujuan Bimbingan
Tujuan pelayanan bimbingan adalah agar remaja dapat: (1) merencanakan
kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang
akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki
seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan,
lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan

43

kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan,


masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk mencapai tujuan dari bimbingan dan konseling, remaja harus
mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan,
dan tugas-tugas perkembangannya; (2) mengenal dan memahami potensi atau
peluang yang ada di lingkungannya; (3) mengenal dan menentukan tujuan dan
rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan; (4) memahami kesulitankesulitan sendiri; (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya,
sesuai lembaga tempat bekerja dan masyarakat; (6) menyesuaikan diri dengan
keadaan dan tuntutan dari lingkungan; (7) mengembangkan segala potensi dan
kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli
agar dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadisosial, belajar (akademik), dan karir.
c. Fungsi Bimbingan dan Konseling
1) Fungsi pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang membantu
konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya dan lingkungannya.
2) Fungsi fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang
pada seluruh aspek yang ada pada diri konseli.
3) Fungsi penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu
konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara
dinamis dan konstruktif.

44

4) Fungsi penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu


konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan
memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat,
keahlian, dan ciri-ciri kepribadian lainnya.
5) Fungsi adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan untuk
menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat,
kemampuan, dan kebutuhan konseli.
6) Fungsi pencegahan (preventif), yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya
konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin
terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli.
7) Fungsi perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu
konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berpikir, berperasaan
dan bertindak.
8) Fungsi penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang berkaitan
erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami
masalah, teknik yang dapat digunakan adalah konseling dan remedial
teaching.
9) Fungsi pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu
konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang
telah tercipta dalam dirinya.
10) Fungsi pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya
lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk

45

menciptakan

lingkungan

belajar

yang

kondusif,

yang

memfasilitasi

perkembangan konseli.
2.

Layanan Bimbingan Pribadi untuk Mencegah Perilaku Penyalahgunaan


NAPZA pada Remaja
Remaja sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses

berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan


atau kemandirian. Guna mencapai kematangan, remaja memerlukan bimbingan
karena remaja masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang diri dan
lingkungan sekitarnya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.
Proses perkembangan remaja tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas
dari masalah. Artinya, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur
yang lurus atau searah dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan remaja tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik,
psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan.
Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life
style) seorang remaja. Apabila perubahan yang terjadi sulit diprediksi maka akan
melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku remaja, seperti terjadinya
stagnasi perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku.
Layanan bimbingan pribadi bertujuan untuk membantu remaja dalam
menghadapi dan memecahkan masalah-masalah pribadi yang dihadapi, misalnya
penyelesaian konflik, penerimaan diri, pengembangan diri, dan sebagainya.
Bimbingan pribadi dapat memantapkan kepribadian dan mengembangkan
kemampuan remaja dalam menangani masalah pribadi. Bimbingan pribadi

46

mengarah pada pencapaian pribadi yang mantap dengan memperhatikan keunikan


dan bidang-bidang permasalahan yang akan dialami oleh remaja.
Pelaksanaan bimbingan pribadi bagi remaja untuk mencegah perilkau
penyalahgunaan NAPZA diidentifikasikan sebagai berikut.
a. Metode dan teknik yang digunakan adalah bimbingan pribadi, dengan teknik
diskusi, ceramah, role playing, relaksasi, dan kontrak perilaku.
b. Materi yang disajikan dalam layanan bimbingan pribadi berdasarkan tingkat
perilaku asertif siswa terhadap penyalahgunaan NAPZA, yang pada
akhirnya remaja mampu meningkatkan perilaku asertif terhadap perilaku
penyalahgunaan NAPZA.
c. Langkah

kegiatan

bimbingan

pribadi

untuk

mencegah

perilaku

penyalahgunaan NAPZA terdiri dari beberapa tahap, sebagai berikut.


1) Perencanaan: analisis kebutuhan remaja, penentuan tujuan kegiatan,
penetapan metode dan teknik yang akan digunakan dalam kegiatan,
persiapan media dan biaya pelaksanaan kegiatan bimbingan.
2) Pelaksanaan:

pemberian

layanan

bimbingan,

pemberian

materi

bimbingan, kerja sama dengan pihak lain yang mendukung kegiatan.


d. Evaluasi : rencana satuan layanan kegiatan, penggunaan metode dan teknik,
sarana, media dan ketepatan waktu.

3.

Penerapan Teknik Assertive Training untuk Mencegah Perilaku


Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja

47

Menurut teori behavioral, perilaku adalah hasil dari suatu pembelajaran


atau pengkondisian. Perilaku pada manusia merupakan reaksi atas stimulasi yang
diberikan oleh lingkungan dari luar dirinya. Berdasarkan prinsip operant
conditioning, sekali suatu perilaku telah termanifestasikan maka sangat besar
kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali. Perilaku penyalahgunaan
NAPZA muncul pada kondisi lingkungan tertentu. Kondisi yang menimbulkan
stimulus tertentu bisa menjadi reinforcement bagi remaja untuk menyalahgunakan
NAPZA.

Kondisi

yang

menyenangkan

saat

menyalahgunakan

NAPZA

mendorong remaja untuk mengulang kembali kondisi itu. Tujuan dari konseling
behavioral ini adalah untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode
Stimulus-Respon (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi terbesar dari konseling
behavioral

(perilaku)

adalah

diperkenalkannya

metode

ilmiah

dibidang

psikoterapi, yaitu bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan


sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan perilaku.
Remaja yang menyalahgunakan NAPZA disebabkan karena banyaknya
stimulus dari lingkungan yang membuat remaja tertarik untuk terus mencoba dan
menggunakan NAPZA secara berkelanjutan. Stimulus yang membuat remaja
menyalahgunakan NAPZA adalah ajakan dari teman, uang jajan lebih yang
diberikan oleh orang tua, dan besarnya peluan untuk mendapatkan NAPZA. Hal
ini semakin membuka jalan bagi remaja untuk menyalahgunakan NAPZA dan
dapat menimbulkan adiksi (ketergantungan).
Masa remaja, remaja banyak mengalami tekanan atau pressure, baik dari
peer (teman sebaya), lingkungan sosial, maupun dari orang tua dan guru. Dari

48

semua tekanan yang dialami, yang dirasa paling berat dan paling mempengaruhi
perilaku remaja adalah tekanan teman sebaya atau dikenal dengan istilah peer
pressure. Tanpa disadari remaja mendapat tekanan untuk berperilaku seperti
remaja lain, sehingga akhirnya remaja masuk ke dalam situasi dimana remaja
harus berperilaku seperti remaja yang lainnya, agar dapat diterima dan tidak dapat
disisihkan. Banyak remaja yang melakukan hal-hal yang akhirnya memperngaruhi
masa depan dan jalan hidupnya hanya karena mengikuti ajakan teman sebaya.
Pada awalnya, remaja yang menyalahgunakan NAPZA dikarenakan oleh
ajakan teman-temannya dan rasa penasaran terhadap jenis dan rasa dari NAPZA.
Karena NAPZA mengandung zat adiktif maka jika pemakaian dilanjutkan akan
menyebabkan ketergantungan dan dapat mengganggu aktifitas lain yang
bermanfaat bagi dirinya. Guna mereduksi perilaku penyalahgunaan NAPZA pada
remaja maka diperlukan bantuan yang mampu membantu remaja untuk bersikap
tegas dan menolak ketika ada ajakan untuk menggunakan NAPZA. Salah satu
cara untuk membantu remaja dapat terhindar dari ajakan penyalahgunaan NAPZA
adalah dengan memberikan latihan asertif (Assertive Training).
Latihan asertif digunakan untuk membentuk keterampilan perilaku asertif
(assertive behavior). Penggunaan teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa
banyak orang menderita perasaan cemas dalam berbagai situasi interpersonal.
Kecemasan interpersonal dapat dihentikan jika orang dapat bertindak asertif. Oleh
karena itu, berbagai gangguan dan problem interpersonal dapat ditangani dengan
cara meningkatkan keterampilan perilaku asertif. Individu yang memiliki
keterampilan asertif lebih mungkin untuk berhasil dalam membina hubungan

49

interpersonal dan dalam kehidupan yang lebih luas dibanding individu lain yang
tidak asertif (Corey, 1986: 189).
Menurut Lange dan Jakubowski (1976) latihan asertif (Assertive Training)
meliputi 5 tahap, sebagai berikut :
a.

Tahap pertama. Menghapuskan rasa takut yang berlebihan dan keyakinan


yang tidak logis. Rasa takut yang berlebihan termasuk ketakutan yang dapat
menyakiti perasaan orang lain, ketakutan yang timbul dari keyakinan yang
salah bahwa perasaan orang lain adalah penting dan perasaan diri sendiri
tidak penting. Ketakutan kedua yaitu bila individu merasa gagal memaksa
orang untuk mencintai dirinya. Ketakutan ketiga adalah orang lain
memandang bahwa perilaku tegas adalah sebuah perilaku yang kurang sopan
dan tidak menghargai orang lain. Ketakutan keempat adalah dengan bersikap
tegas maka dapat menampilkan diri sebagai orang yang tidak mampu, tidak
mahir, dan tidak berguna. Ketakutan yang berlebihan dan keyakinan yang
irasional sering menghentikan individu yang akan bersikap tegas.

b.

Tahap kedua. Menerima/mengemukakan fakta-fakta masalah yang akan


dihadapi. Seorang individu harus menerima bahwa setiap orang harus mampu
bersikap tegas dan mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan secara
jujur.

c.

Tahap ketiga. Berlatih untuk bersikap asertif sendiri. Latihan bersikap tegas
sendiri biasanya menggunakan refleksi atau permainan peran jiwa dimana

50

dalam situasi ini individu akan lebih bisa bersikap asertif, memusatkan pada
perilaku nonverbal yang penting dalam ketegasan.
d.

Tahap keempat. Menempatkan individu dengan orang lain untuk bermain


peran pada situasi yang sulit. Tahap keempat menyediakan kesempatan untuk
berlatih peran dan mendapatkan umpan balik orang lain dalam kelompok.
Pelatihan lebih lanjut mengizinkan konseli untuk lebih lanjut menunjukkan
perubahan perilaku dan membiasakan konseli untuk bersikap lebih tegas, dan
menerapkan timbal balik. Menggandakan latihan juga membuat konseli
semakin bertambah nyaman dan senang saat menjadi asertif.

e.

Tahap kelima. Membawa perilaku asertif pada kondisi yang sebenarnya atau
dalam kehidupan sehari-hari. Konseli membuat kontrak perilaku untuk
melaksanakan perilaku asertif yang sebelumnya dihindari. Pada sesi
selanjutnya, konseli menjelaskan pengalamannya, menilai usaha yang
dilakukan, hubungkan dalam latihan selanjutnya dan membuat kontrak
perilaku lain untuk keluar dari pengalaman asertif kelompok.
Ada enam strategi klinis yang digunakan oleh konselor selama Assertive

Training, sebagai berikut (Bellack & Hersen 1977 dalam Corey, 1986).
a. Perintah. Konselor menceritakan kepada konseli mengenai perilaku khusus
yang diharapkan. Perintah yang jelas dapat membantu konseli meningkatkan
kontak mata dan berbicara lebih tegas.
b. Umpan balik. Mengacu pada komentar para konselor terhadap perilaku
konseli setelah perintah untuk melakukan sejumlah sikap-sikap positif dan

51

umpan balik negatif yang telah diperagakan untuk mengarahkan mereka, dan
untuk menandakan perilaku.
c. Pemberian contoh. Suatu saat seorang konselor benar-benar memperlihatkan
sikap-sikap yang diharapkan kepada kliennya untuk meniru baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.
d. Latihan bersikap. Meliputi bermain peran (role playing) selama pelatihan, baik
perilaku yang ditaati atau tidak ditaati dalam situasi interpersonal, dan
penampilan dipraktekkan dalam segala kondisi.
e. Penguatan secara sosial. Meliputi pemberian pujian terhadap konseli saat
memperoleh target yang diharapkan.
f. Penugasan pekerjaan tumah. Bagian terakhir pada Assertive Training ini
adalah menerapkan tugas pekerjaan rumah yang spesifik tentang sifat
perilaku. Melalui penugasan ini, konseli menerapkan apa yang didapatkan
selama

pelatihan

dalam

kehidupan

sehari-hari,

dan

konseli

dapat

menggunakan pembelajaran baru ini pada kehidupan nyata dalam situasi


interpersonal. Konseli akan sependapat untuk menyetujui atau menolak
sebuah permintaan, dan mengekspresikan perasaan atau gagasan mereka pada
saat yang tepat.
Lebih jauh lagi perilaku asertif membuat seseorang merasa bertanggung
jawab dan konsekuen untuk melaksanakan keputusannya sendiri. Individu bebas
untuk mengemukakan berbagai keinginan, pendapat, gagasan, dan perasaan secara
terbuka sambil tetap memperhatikan juga pendapat orang lain. Citra dirinya akan
terlihat sebagai sosok yang berpendirian dan tidak terjebak pada eksploitasi yang

52

merugikan dirinya sendiri, dengan bersikap asertif akan timbul rasa hormat dan
penghargaan orang lain yang berpengaruh besar terhadap pemantapan eksistensi
individu di tengah-tengah khalayak luas.
Kebanyakan remaja enggan bersikap asertif karena dalam diri remaja ada
rasa takut mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya remaja tersebut tidak lagi
disukai atau diterima. Selain itu, alasan untuk mempertahankan kelangsungan
hubungan juga sering menjadi alasan karena salah satu pihak tidak ingin
membuat pihak lain sakit hati. Padahal, dengan membiarkan diri untuk bersikap
non-asertif (memendam perasaan, perbedaan pendapat), justru akan mengancam
hubungan yang ada karena salah satu pihak kemudian akan merasa dimanfaatkan
oleh pihak lain.
Langkah-langkah agar remaja mampu mengatakan tidak terhadap
permintaan yang tidak diinginkan, sebagai berikut.
1. Tentukan sikap yang pasti, apakah ingin menyetujui atau tidak. Jika belum
yakin dengan pilihan mintalah kesempatan berpikir sampai mendapatkan
kepastian.
2. Jika belum jelas dengan apa yang diminta, bertanyalah untuk mendapatkan
kejelasan atau klarifikasi.
3. Berikan penjelasan atas penolakan secara singkat, jelas, dan logis.
4. Gunakan kata-kata yang tegas, seperti secara langsung mengatakan Tidak
untuk penolakan, daripada Sepertinya saya ....
5. Pastikan sikap tubuh juga mengekspresikan atau mencerminkan bahasa yang
sama dengan pikiran.

53

6. Gunakan kata Saya tidak akan ... daripada Saya sulit ....
7. Jika berhadapan dengan seseorang yang terus mendesak, maka alternatif sikap
atau tindakan yang dapat dilakukan: mendiamkan, mengalihkan pembicaraan,
atau bahkan menghentikan percakapan.
8. Bernegosiasi dengan pihak lain agar kedua pihak mendapatkan jalan
tengahnya, tanpa harus mengorbankan perasaan, keinginan, dan kepentingan
masing-masing.
Remaja

yang

mampu

bersikap

asertif

berarti

mampu

untuk

mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang


lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak
lain. Dalam bersikap asertif, remaja dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur
dalam mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan secara proporsional,
tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan ataupun merugikan pihak
lain.
Meningkatkan perilaku asertif sangat diperlukan sekali dalam mencegah
penyalahgunaan NAPZA pada remaja. Hal yang harus diperhatikan oleh konselor
dalam meningkatkan perilaku asertif untuk mereduksi perilaku penyalahgunaan
NAPZA pada remaja adalah kompetensi konselor. Seorang konselor yang
profesional adalah konselor yang memahami konsep bimbingan dan konseling
yang baik dalam hal ini bimbingan pribadi dan teknik asertif untuk mereduksi
perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja, selain itu konselor juga harus
mempunyai pengetahuan tentang penyalahgunaan NAPZA, cara pencegahan,
metode pemulihan NAPZA dan tugas perkembangan remaja, agar dalam

54

memberikan latihan asertif dalam merncegah perilaku penyalahgunaan NAPZA


dapat meningkatkan perilaku asertif remaja. Teknik yang dirancang dengan
pengelolaan yang terstruktur dengan baik diharapkan mampu mencegah perilaku
penyalahgunaan NAPZA yang terjadi di kalangan remaja.

55

Anda mungkin juga menyukai