Anda di halaman 1dari 12

A.

SEJARAH DESENSITISASI SISTEMATIK


Menurut sejarah teknik desensitisasi sistematis, Corey (2005)
mengemukakan tentang latar belakang teknik ini melihat bahwa rasa takut
dipelajari lewat pengkondisian, demikian juga sebaliknya, rasa takut dapat
dihilangkan lewat pusat pengkondisiannya. Desensitisasi sistematis
dikembangkan dalam tradisi behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph
Wolpe (dalam Corey,2005). Menurut Gunarso (2012) dakam bukunya yang
berjudul “Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi” sejarah desensitisasi
sistematik diperkenalkan pada tahun 1958 secara resmi oleh Wolpe, namun dasar
klinisnya sebenarnya berakar dari penelitian yang dilakukan oleh Marry Cover
Jones pada tahun 1924. Jones meneliti mengenai berkurangnya perasaan takut
terhadap kelinci pada anak, dengan cara memberinya makanan yang disukai
sambil secara bertahap memperlihatkan kelinci. Dasar inilah yang kemudian oleh
Wolpe dipakai dalam penelitian-pnelitian lebih lanjut dan yang ditulis dalam
bukunya yang terkenal yakni Psychotherapy by Reciprocal Inhibition, pada tahun
1958.
Pada sekitar tahun 50-an Wolpe melakukan penelitian dengan
mempergunakan kucing sebagai bahan percobaannya. Kucing dimasukkan
kekurungan lalu diperdengarkan bunyi yang mendesing dan kemudian dilakukan
kejutan listrik. Pada kucing muncul respons takut, baik terhadap bunyi tersebut
dan juga terhadap kurungannya sendiri. Pada percobaan lain, Wolpe memberikan
makanan pada saat kucing mendengar bunyi sehingga kucing memperlihatkan
respons positif terhadap bunyi tersebut. Setelah terjadi proses kondisioning, Wolpe
mengubah rangsangnya menjadi rangsang kejutan listrik pada waktu mendengar
bunyi yang menimbulkan rasa takut pada kucing. Urutan rangsang seperti ini
menimbul situasi konflik pada kucing karena adanya rangsang yang positif dan
negatif. Wolpe menamakan keadaan ini sebagai “neurosis eksperimental” dan
pada kucing terjadi efek lain yakni menghambat (menghilangkan) keinginan
makan. Wolpe melanjutkan penelitiannya terhadap kucing yang memperlihatkan
perasaan takut di kurungan nya sendiri. Ia mencoba menempatkan kucing di

1
kurungan lain dan ternyata relatif tidak timbul perasaan takut, kemudian Wolpe
memberikan makanan. Setelah itu kucing dipindahkan lagi ke kurungan yang
menyerupai kurungannya sendiri dan memberinya makanan lagi. Proses
memperkenalkan kembali kurungannya sendiri secara bertahap kepada kucing
diteruskan sampai pada kucing tidak merasa "ketakutan" di kurungannya sendiri.
Dengan teknik pemberian rangsang secara bertahap inilah maka dipakai perkataan
"sistematik". Dimulai dari hal yang masih bisa diterima, tidak menimbulkan
kegoncangan atau perasaan takut, cemas, kemudian rangsangnya ditingkatkan
secara ber tahap, sampai ke rangsang yang seandainya diterima sekaligus, akan
menimbulkan reaksi negatif. Wolpe mengatakan hal ini sebagai kondisioning yang
dan ia yakin bertentangan (counterconditioning) dan ia yakin bahwa kalau hal ini
dapat terjadi pada hewan percobaannya maka hal seperti ini juga dapat terjadi pada
manusia.
Sebagai rangsang yang dapat menghambat munculnya perasaan takut pada
manusia adalah keadaan relaks, namun karena keadaan relaks yang diperoleh
melalui relaksasi model Jacobson membutuhkan waktu lama, maka ia
mengubahnya menjadi sekitar enam sampai sepuluh pertemuan. Disamping
relaksasi, Wolpe kemudian memakai teknik imajinasi untuk mengganti hal-hal
yang nyata dan yang terbukti dapat mengurangi ketakutan. Kedua hal ini yakni
relaksasi dan imajinasi, yang merupakan kondisioning yang bertentangan
(counterconditioning) atau meminjam istilah yang dipakai oleh Sherrington pada
tahun 1906, Wolpe menggunakan istilah "reciprocal inhibition”, yang meskipun
sering digunakan untuk hal yang sama, namun pada hakikat perbedaan dengan
counterconditioning adalah dari teknik pengebalan sistematik, khususnya teknik
Wolpe. Modifikasi teknik ini kemudian menjadi objek penelitian banyak ahli,
antara yang terkenal ialah modifikasi yang dikemukakan Goldfried & Goldfried
(1977) yang menyarankan pengebalan melalui penguatan diri (self-controlled
desensitization), di mana seorang pasien pertama tama menggambarkan suatu
keadaan yang menim bulkan perasaan cemas dan kemudian menggam- barkan
bagaimana diri sendiri mengatasi keadaan tersebut sampai berhasil. Teknik lain

2
yang masih digolongkan pada teknik pengebalan, ialah teknik penjenuhan
(extinction), yakni apabila rangsang yang menimbulkan rasa takut atau cemas,
diberikan terus-menerus tanpa menimbulkan akibat yang negatif pada respons
responsnya Kecuali terjadi keadaan jenuh yang bisa mengurangi atau meng
hilangkan rangsang-rangsang yang semula menim bulkan kegoncangan, perasaan
takut atau cemas, juga proses pembiasaan (habituation) dapat menimbulkan efek
yang sama. Keduanya praktis sama, perbedaannya hanya terletak pada
penggunaannya secara teknis, yang menurut Levin & Gross (dalam Gunarso,
2012), pada pengebalan untuk respons terkondisioning (conditioned response),
sedangkan pembiasaan [habituation untuk respons tidak terkondisioning
(unconditioned response).

B. DEFINISI DESENSITISASI SISTEMATIK


Fobia merupakan rasa takut yang terus menerus terhadap objek atau situasi
tertentu. Rasa takut ini biasanya tidak sebanding dengan ancaman yang datang.
Pada gangguan fobia ketakutan yang dialami melebihi penilaian terhadap bahaya
yang ada. Seseorang dengan gangguan fobia tidak kehilangan kontak realitas,
mereka biasanya tahu bahwa ketakutan yang dialami berlebihan dan tidak pada
tempatnya (Nevid, Rathus & Grene,2005). Untuk sampai disebut gangguan
psikologis, fobia harus secara signifikan mempengaruhi hidup atau menyebakan
stress yang signifikan pada individu. Menurut Willis (dalam Firosad, Nirwana, dan
Syahniar, 2016) desensitisasi adalah suatu teknik untuk mengurangi respon
emosional yang menakutkan, mencemaskan atau tidak menyenangkan melalui
aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan respon yang menakutkan itu.
Desensitisasi sistematik menggunakan hierarki bertingkat di dalam
pemberian stimulus yang menakutkan, mulai dari yang kurang ditakuti, melatih
pasien meningkatkan keberaniannya untuk menghadapi objek ditakuti (Tomb,
2004). Teknik desensitisasi sistematik sering digunakan untuk mengurangi
maladaptasi kecemasan yang dipelajari melalui conditioning seperti fobia, tetapi
juga dapat diterapkan pada masalah lain, misalnya trauma. Teknik desensitisasi

3
sistematik dapat membantu individu melemahkan atau mengurangi perilaku
negatifnya tanpa menghilangkannya (Firosad, Nirwana, dan Syahniar, 2016).
Gangguan yang dapat diobati dengan teknik desensitisasi sistmatis adalah
phobia seperti klaustrophobia, agoraphobia, dan phobia ular, sekumpulan anxiety,
meliputi anxiety ujian, ketakutan akan tidak disetujuan, dan anxiety sosial. Teknik
terapi ini memiliki keterbatasan yaitu tidak dapat mengobati beberapa gangguan
Obsessive Compulsive, dan serangan panik spontan dimana tidak terdapat
stimulus yang dapat diidentifikasi untuk anxiety.

C. TUJUAN DESENSITISASI SISTEMATIK


Richard Nelson dan Jones (dalam Rachmawati, 2012) menjelaskan bahwa
desensitisasi sistematik bertujuan untuk meredakan, mengurangi ketegangan
sehari-hari. Gede Tresna (dalam Rachmawati, 2012) menyatakan desensitisasi
sistemati dapat mengurangi atau melemahkan perilaku negatifnya tanpa
menghilangkan kecemasannya.

D. PROSEDUR TERAPI DESENSITISASI SISTEMATIK


Mubarok (dalam Firosad, Nirwana, dan Syahniar, 2016) berpendapat bahwa
terdapat empat tahap utama dalam teknik desensitisasi sistematik yaitu:
1. Tahap pertama, konselor dan klien mendaftar situasi apa saja yang
menyebabkan klien diserang perasaan cemas dan kemudian
menyusunnya secara hierarki mulai dari yang paling ringan (di atas)
sampai yang paling berat (di bawah).
2. Tahap kedua, konselor melatih klien untuk mencapai keadaan
rileks/santai, hal ini dilakukan melalui prosedur khusus yang disebut
rileksasi.
3. Tahap ketiga, konselor melatih klien untuk membentuk respon-respon
antagonis yang dapat menghambat perasaan cemas. Ini dapat dilakukan
melalui prosedur imageri yaitu melatih klien untuk membayangkan

4
situasi lain yang menyenangkan, pada saat konselor menyajikan situasi
yang menimbulkan kecemasan.
4. Tahap keempat, pelaksanaan intervensi pada tahap ini konselor mula-
mula mengarahkan klien agar dapat mencapai keadaan rileks. Setelah
klien mencapai keadaan rileks, konselor menyajikan secara berurutan
dari atas ke bawah situasi yang menimbulkan perasaan cemas
sebagaimana tersusun dalam hierarki dan meminta klien
membayangkannya. Jika klien dapat membayangkan situasi tersebut
tanpa mengalami kecemasan, konselor menyajikan situasi berikutnya
dan ini terus dilakukan dengan cara yang sama sehingga seluruh situasi
dalam hierarki yang telah disajikan dan fobia bisa dihilangkan.

E. KOMPONEN TEKNIK TERAPI DESENSITISASI SISTEMATIK


Menurut Resident of The Psychiatric Departement Universitas California
Los Angeles, (1997).
a. Konstruksi Hirarki
Untuk suatu anxiety tertentu, pasien diminta untuk menetapkan suatu
unit anxiety subyektif atau skor “sud” untuk berbagai keadaan yang
menimbulkan anxiety. Kemudian situasi ini disusun menurut skor sud dalam
suatu hirarki dari keadaan yang menimbulkan anxiety yang paling kecil (skor
0) hingga yang paling besar (skor 100).
Contoh : Uji Anxiety
1. Dalam perjalanan ke universitas pada hari ujian (95)
2. Dalam proses menjawab kertas ujian (90)
3. Berdiri di kelas di pintu ruang ujian yang belum terbuka (80)
4. Menunggu pembagian kertas ujian (70)
5. Kertas ujian terletak dalam keadaan terbalik di hadapannya (60)
6. Malam sebelum suatu ujian (50)
7. Satu hari sebelum suatu ujian (40)
8. Dua hari sebelum suatu ujian (30)

5
9. Tiga hari sebelum suatu ujian (20)
10. Empat hari sebelum suatu ujian (15)
11. Seminggu sebelum suatu ujian (10)
12. Dua minggu sebelum suatu ujian (5)
b. Pelatihan Relaksasi
Pasien diajarkan beberapa metode relaksasi otot yang mendalam,
biasanya metode relaksasi progresif Jacobson. Metode ini memfokuskan diri
pada penegangan dan relaksasi semua kelompok otot dalam suatu urutan
sistematik. Dapat digunakan metode relaksasi lainnya seperti, hipnosis atau
audiotape.
c. Desensitisasi yang sebenarnya
Jika telah terjadi relaksasi yang mendalam, pasien diminta untuk
mengkhayalkan secara hidup adegan dengan hirarki terendah. Terapis
melanjutkan dengan hirarki yang lebih meningkat, tetapi hal yang terpenting
adalah pasien dapat membayangkan adegan anxiety sebelum dapat dicoba
dengan adegan berikutnya. Hal ini dikarenakan agar pasien tidak menjadi
cemas, melarikan diri, dan memperkuat perilaku menghindar. Proses ini
dilanjutkan hingga semua adegan, termasuk adegan yang paling
menimbulkan anxiety, mampu dikhayalkan secara hidup tanpa
menimbulkan anxiety.

F. KELEBIHAN TEKNIK TERAPI DISENSITISASI SISTEMATIK


Teknik ini mampu menimbulkan respon yang tidak konsisten dengan respon
sebelumnya terhadap suatu hal yang dianggap menimbulkan rasa tidak aman pada
diri klien. Respon yang tidak konsisten ini nantinya akan menjadi titik awal
munculnya tingkah laku baru yang diharapkan (Jones, 2011).

G. KEKURANGAN TEKNIK TERAPI DISENSITISASI SISTEMATIK


Wolpe (dalam Corey, 2005) mencatat 3 penyebab kegagalan dalam
pelaksanaan desesitisasi sistematik:

6
1. Kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yang bisa jadi menunjuk pada kesulitas-
kesulitan dalam komunikasi antara terapis dan klien atau kepada
keterhambatan yang ekstrem yang dialami oleh klien,
2. Tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, yang ada
kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yang keliru,
3. Ketidak memadaian dalam membayangkan.

H. TERAPI LAIN YANG MENYERUPAI


Flooding adalah teknik terapeutik dimana klien dipaparkan dengan sumber
fobia dalam intensitas penuh (Davidson, Neale, dan Kring. 2006). Rasa tidak
nyaman yang ekstrem menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini
sehingga belum lama ini cenderung menahan terapis untuk menggunakan teknik
ini, kecuali mungkin sebagai jalan terakhir bila pemaparan secara bertingkat
tidak membuahkan hasil. Terapi ini mirip dengan terapi desensitisasi sistematis
karena kedua terapi ini sama-sama memaparkan stimulus yang berhubungan
langsung dengan fobia itu sendiri.

I. PENGGUNAAN TERAPI (KASUS NYATA)


Penelitian oleh : Bahril Hidayat, Yogyakarta (2009).
a. Identitas Subjek
1. Nama : Pu (inisial)
2. Jenis kelamin : Perempuan
3. Pekerjaan : Pelajar SMU
4. Tanggal lahir : 23 Maret 1991
5. Jumlah bersaudara : Anak tunggal
b. Latar Belakang Masalah
Subjek bernama Pu, duduk di kelas dua SMU berusia 17 tahun. Subjek
merupakan anak tunggal. Dia hidup dari keluarga yang berkecukupan. Masa
kecilnya berjalan baik. Ibunya memberikan ruang tumbuh kembang yang sehat
kecuali dari ayahya yang cenderung memanjakan Pu.

7
Subjek termasuk anak yang berpotensi, tetapi memiliki gangguan
kecemasan. Prestasinya di kelas mencapai 10 besar. Dia tidak mengalami
kendala jika mengikuti tes atau ujian tertulis, namun jika menghadapi ujian
lisan atau presentasi, subjek seringkali mengalami masalah.
Dia mengeluhkan kesulitan sosialisasinya, namun dia mengakui masih bisa
mengatasinya sebab dia punya teman-teman dekat. Keluhan utamanya adalah
demam panggung. Bahkan sehari sebelum presentasi, subjek sudah sulit untuk
tidur. Dia terbayang kondisi presentasi pada keesokan harinya. Seringkali
sesaat sebelum presentasi jantungnya berdebar-debar, keringat dingin mengalir
di sekujur tubuhnya, pandangannya memudar, dan bahkan semua materi
pelajaran yang akan dipresentasikan hilang begitu saja (blocking). Jika
menghadapi presentasi, seakan-akan dia menghadapi situasi yang sangat
menakutkan sehingga cemas berlebihan. Hal itulah yang mengakibatkan
potensinya sebagai siswa tidak berkembang maksimal karena nilai-nilai
pelajarannya tidak maksimal dan pengembangan akademiknya menjadi
terhambat. Setelah dilakukan pengukuran dengan tes inventory Skala
Kecemasan, kategori kecemasan subjek masuk pada gangguan kecemasan
sedang.
c. Target Intervensi
Teknik yang digunakan adalah Desensitisasi Sistematik. Target intervensi
ini adalah menghilangkan respon kecemasan secara bertahap dengan cara
memunculkan respon yang berlawanan. Intervensi ini dipandang mampu
memberikan perubahan karena dua asas pemikiran sebagai berikut (Muhana,
2008).
a) Reciprocal Inhibition
 Adanya penekanan munculnya suatu reaksi dengan
memberikan pemunculan reaksi yang berlawananan, yaitu
cemas menjadi rileks.

8
 Refleks simpatetis ditekan dan secara simultan
dimunculkan refleks yang antagonistis (refleks
parasimpatetis). Inilah perspektif psikofisiologsinya.
b) Terjadi Kombinasi
 Counter conditioning, menyajikan stimulus yang
menyenangkan (relaksasi), lalu membuat kondisi baru dan
kemudian kondisi cemas diganti rileks.
 Extinction, terjadi penghilangan respon kecemasan karena
sudah dicounter dengan relaksasi.
d. Langkah-langkah Intervensi
Terapis memberikan pendekatan Desensitiasasi Sistematik yang
dikombinasikan dengan beberapa pendekatan lain. Subjek bisa dikondisikan
santai dengan pendekatan Rileksasi sebagai berikut (Lubis, 2002).
a) Mengajarkan klien untuk meregangkan otot-otot;
b) Mempertahankan peregangan otot, umumnya dilakukan selama 5-
7 detik;
c) Mengendorkan peregangan otot-otot, merasakan rileks disertai
perasaan nyaman (30-40 detik);
d) Mengulangi siklus peregangan-pengendoran otot;
e) Pengulangan tersebut dilakukan pada bagian otot berikut:
 Tangan dan lengan;
 Wajah;
 Dada, punggung, pundak, dan perut;
 Pinggul dan pangkal paha;
 Kaki dan telapak kaki.
Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghilangkan tingkah laku
individu yang diperkuat secara negatif. Caranya adalah pemunculan perilaku
atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang ingin diubah atau
dihilangkan. Prosedur desensitisasi adalah sebagai berikut.

9
a) Menganalisa tingkah laku atas stimulus yang membangkitkan
perilaku negatif.
b) Klien dilatih untuk relaksasi otot yang berbeda hingga tercapai
keadaan santai.
c) Proses desensitisasi sistematik dilakukan ketika klien dalam
keadaan santai dan mata tertutup. Terapis menceritakan
serangkaian situasi menyenangkan yang telah disusun.
d) Menghadirkan stimulus-stimulus yang telah disusun secara hirarkis
sambil membawa klien dalam keadaan rileks.
e. Kesimpulan
Subjek mengalami gangguan kecemasan sedang. Asesmen berdasarkan
wawancara menunjukkan bahwa gangguan kecemasan itu muncul pada saat
akan presentasi atau ujian lisan di sekolah. Dengan menggunakan skala
kcemasan, tingkat kecemasan subjek termasuk kategori sedang. Hal itu
mengakibatkan potensi akademiknya terhambat. Intervensi direncanakan
berlangsung dalam lima sesi dan pengukuran kembali dilakukan pada sesi
terakhir dengan skala kecemasan yang berbeda dari skala yang digunakan di
sesi pertama.
Pendekatan atau intervensi yang diberikan adalah Pendekatan Modifikasi
Perilaku melalui teknik Desensitisasi Sistematik. Teknik itu dikombinasikan
dengan teknik rileksasi. Subjek juga diarahkan agar menjadi individu yang
asertif terhadap dirinya dan lingkungan.
Selain itu terapis juga menduga adanya hambatan lain akibat gangguan
kecemasan tersebut, tapi belum terungkap dari wawancara karena subjek
masih tertutup. Akhirnya, setelah sesi kelima berakhir, terapis memberikan
arahan agar subjek menerapkan teknik itu secara mandiri pada situasi yang
menimbulkan kecemasan dan kembali menemui terapis jika mengalami
kendala yang sama atau ada hal-hal lain yang kurang dipahami untuk
penerapan teknik tersebut.

10
DAFTAR RUJUKAN

Corey, G. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Diterjemahkan oleh: E.
Koeswara. Bandung: PT Refika Aditama

Davidson, G.C., Neale, J. M., Kring, A. M. 2006. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9.
Diterjemahkan oleh: Noermalasari Fajar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Firosad, A. M., Nirwana, H., Syahniar. 2016. Teknik Desensitisasi Sistematik untuk
Mengurangi Fobia Mahasiswa, (Online),
(http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor/article/viewFile/6546/5126),
diakses pada 14 Maret 2018

Gunarsa, S. D. 2012. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia

Jones, R. N. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Grene, B. 2005. Abnormal Psychology In a Changing
World. Diterjemahan oleh: Murad, J. Jakarta: Erlangga

Rachmawati, I. 2012. Teknik Desensitisasi Diri (Self-Desensitization) untuk


Mengatasi Kecemasan Sosial Siswa Kelas VIII-D SMP Negeri 11 Surakarta,
(Online),
(https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://digilib.uns.
ac.id/dokumen/download/25877/NTQ5MzA%3D/Teknik-Desensitisasi-Diri-
Self-Desensitization-untuk-Mengatasi-Kecemasan-Sosial-Siswa-Kelas-VIII-D-
SMP-Negeri-11-Surakarta-abstrak.pdf&ved=2ahUKEwjPn-
SntevZAhUXUI8KHXCwCNQQFjAGegQIBhAB&usg=AOvVaw2v8iXfWm3
1kHar8dehU8wS), diaksees pada 14 Maret 2018

11
Resident of The Psychiatric Departement Universitas California Los Angeles. 1997.
Buku Saku Psikiatri. Diterjemahkan oleh: dr. R. F. Maulany. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran

Tomb, D. A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Diterjemahkan oleh: dr. Martina
Wiwie S. Nasrun, SpKJ, dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

12

Anda mungkin juga menyukai