Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

DISENTISISASI SISTEMATIS

Oleh :

Nadia Riski, S.Psi 2067290116

Dosen Pengampu:

Dr.Anastasia Sri Maryatmi,M.Psi, Psikolog

PROGRAM MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI (PMPP)


UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA Y.A.I.
JAKARTA

2021
Teknik Desentisasi Sistematis

a. Pengertian Teknik Desensitisasi Sistematik Desensitisasi sistematik merupakan

teknik spesifik pendekatan behavioristik. Sebagaimana mengutip Willis, desensitisasi

sistematis yaitu teknik yang dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa

semua perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan.

b. Cara untuk mengurangi kecemasan seseorang dengan cara memberikan rangsangan

yang bisa membuatnya cemas secara dengan sedikit demi sedikit yang diberikan

secara terus- menerus sampai siswa tersebut tidak merasakan kecemasaa lagi.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa teknik ini digunakan untuk mengurangi

kecemasan dengan menghapus respons yang tidak diinginkan siswa yaitu melalui

counter conditioning. Sedangkan Asmani menyatakan bahwa desensitisasi sistematik

merupakan teknik yang memfokuskan pada pemberian bantuan untuk memberikan

ketenangan dengan mengajarkan siswa untuk tetap rileks meskipun dimunculkan

stimulus pemicu kecemasan. Dari hal ini dapat dipahami bahwa teknik ini melatih

untuk tetap rileks dan nyaman meski dihadapkan pada hal yang memicu kecemasan.

Hal itu dilaksanakan secara bertahap dari tingkat paling rendah hingga paling tinggi.

c. Dari pernyataan yang telah dibahas di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan teknik desensitisasi sistematik ialah teknik spesifik di dalam

pendekatan behavioristik yang mana siswa diberikan pelatihan untuk tetap nyaman

meskipun menemukan situasi yang menimbulkan kecemasan. Hal tersebut dilakukan

secara bertahap yang mana siswa membayangkan suatu hal yang menegangkan dan

kemudian diminta untuk tetap rileks sampai padakondisi yang paling mencemaskan.

Dengan demikian, desensitisasi sistematik merupakan kegiatan yang dilaksanakan

bertahap mulai dari kecemasan yang paling rendah sampai pada yang paling tinggi.

1
d. Tujuan Teknik Desensitisasi Sistematik Sebagaimana merujuk pada pengertian yang

disampaikan Asmani, maka dapat dipahami bahwa tujuan desensitisasi sistematik

adalah untuk menghapus tingkah laku berupa kecemasan dengan mengkondisikan

agar tetap merasa nyaman.Adapun sebagaimana mengutip dari Latipun, bahwa tujuan

teknik desensitisasi sistematik ialah untuk melatih konseli tetap rileks dengan

memberikan respons berupa perilaku yang berlawanan atas stimulus berupa

bayangan-bayangan mengenai pengalaman yang mencemaskan. Dari hal ini bisa

dipahami bahwa teknik ini bertujuan agar siswa tetap merasa nyaman meski

dihadapkan dalam kecemasan. Berkenaan dengan tujuan dari teknik desensitisasi

sistematik, Willis menegaskan bahwa teknik ini bermaksud untuk mengajarkan

konseli untuk dapat memberikan respons yang tidak konsisten terkait dengan

kecemasan yang dialaminya. Kondisi demikian bisa diwujudkan dengan menciptakan

kondisi nyaman bagi konseli. Tujuaan teknik desentisasi sitematis yang lain adalah:

1) Teknik desentisasi sistematis bermaksud mengajar konseli untuk memberikan respon

yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli.

2) Mengurangi sensitifitas emosional yang berkaitan dengan kelainan pribadi.

3) Menenangkan klien dari keteganggan yang dialami dengan cara mengajarkan klien

untuk rileks.

4) Menghapus tingkah laku negative seperti kecemasan. Dengan demikian teknik ini

diberikan agar siswa yang mengalami kecemasan dapat segera hilang, jika teknik ini

digunakan secara bertahap dan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Oleh karenanya

orang yang mengalami kecemasan itu bisa merubah rasa ketakutannya tersebut

sehingga dia merubah dari yang berfikir negative ke positif. Walker menyatakan

tujuan dari teknik disentisasi sistematis yaituDigunakan apabila konseli merasa takut

dengan hal tertentu seperti takut menghadapi ujian, takut menghadapi operasi, dan

2
takut naik pesawat terbang. Selain itu juga digunakan untuk seseorang yang

mengalami fobia. Seperti akrofobia, agrofobia, dan klaustrofobia. Dari pendapat

walker tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwaasannya tujuan dari teknik ini

yaitu untuk mengatasi siswa yang mengalami kecemasan ketika akan melaksanakan

ujian akhir, yang mana siwa akan selalu merasa was-was dengan keadaan yang akan

dialaminya.

e. Prosedur Pelaksanaan Teknik Desensitisasi Sistematik Teknik desensitisasi

sistematik dapat dilakukandengan menciptakan keadaan nyaman yang mana stimulus

pemicu kecemasan dipadukan dengan stimulus rileks secara berulang sehingga

kecemasan yang dialami secara bertahap dapat diatasi (Latipun). Adapun

pelaksanaan teknik desensitisasi sistematik sebagaimana dikutip dari Willis terdiri

dari tahapan yang dapat dipahami melalui uraian di bawah:

1. Konselor menganalisis tingkah laku yang menimbulkan kecemasan pada konseli.

2. Menyusun hierarki secara bersama antara konselor dan tetstee mengenai situasi yang

menimbulkan kecemasan dimulai dari tingkat paling rendah sampai dengan paling

tinggi. Kecemasan siswa disusun secara sistematis sehingga mudah dalam pemberian

stimulus yang secara bertahap menghasilkan responsyang berbeda. Hal ini karena

stimulus yang diberikan adalah penguatan yang sifatnya negatif.

3. Memberikan latihan relaksasi otot dimulai dari lengan sampai dengan kaki yakni

secara spesifik dimulai dari lengan, kepala, leher, bahu, bagian belakang, perut, dada

serta anggota badan bagian bawah yang lainnya. Relaksasi dilakukan untuk

menciptakan kondisi yang nyaman bagi siswa baik secara fisik maupun mental.

4. Tetstee diminta membayangkan situasi-situasi yang nyaman dan menyenangkan.

3
5. testee diminta menutup mata dan membayangkan suatu hal yang mencemaskan dari

tingkat paling rendah ke paling tinggi. Stimulus kecemasan ditingkatkan apabila

tetstee mampu tetap bersikap nyaman atas kecemasan yang dimunculkan.

6. testee diminta untuk membayangkan situasi yang menyenangkan apabila pada suatu

tahapan atas stimulus kecemasan menimbulkan kegelisahan pada testee.

Dengan tahapan prosedur diatas bisa disimpulkan bahwasannya dengan memberikan

relaksasi kepada testee, testee yang awalnya merasa tegang dengan keadaan lama-

kelamaan akan tidak merasa cemas dan takut untuk menghadapi suatu ancaman yang

diterimanya. Tahapan yang harus dilalui oleh konseli selain dari Willis diantaranya

sebagai beriku :

1. Konselor menjelaskan kepada konseli bahwa proses perubahan tingkah laku tidak

akan berhasil jika konseli tidak mempunyai keyakinan bahwa masalahnya itu

berhasil, dan berhubungan dengan masalah hasil belajar.

2. Konseli diajak untuk tenang, dengan cara relaksasi.

3. Konseli diajak untuk menyusun suatu daftar kejadian yang berhubungan dengan

masalah (ketakutan) konseli.

4. Dalam mengurutkan peristiwa itu, konselor memberikan angka secara berurutan.

5. Konselor diminta untuk mengepalkan tangannya ketika merasa tidak enak. Bila

konseli bisa mengatasi rasa tidak enaknya tersebut maka konseli diminta untuk

mengangkat telapak tangannya.

4
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Fobia

Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap dan berlebihan terhadap

suatu objek spesifik, keadaan atau situasi. Fobia merupakan suatu gangguan jiwa, yang

merupakan salah satu tipe dari gangguan ansieas dan dibedakan dalam tiga jenis

berdasarkan jenis objek atau situasi ketakutan yaitu Agorafobia, Fobia khas, dan Fobia

Sosial.

Pengertian Claustrophobia

Klaustrofobia merupakan salah satu jenis fobia, di mana seseorang memiliki rasa

takut yang berlebih terhadap tempat tertutup. Secara umum, merasa takut saat

terperangkap sebenarnya merupakan hal yang normal –dengan catatan bila terdapat

ancaman yang benar adanya. Akan tetapi, orang dengan klaustrofobia dapat merasakan

ketakutan pada situasi berada di ruang tertutup tanpa terdapatnya tanda bahaya yang

jelas atau realistis.

Orang dengan klaustrofobia umumnya akan mengambil langkah-langkah untuk

menghindari ruang tertutup –seperti lift, terowongan, kereta bawah tanah, toilet umum,

dan beberapa tempat tertutup sempit lainnya. Namun, menghindari tempat-tempat

tersebut sering kali justru memperburuk rasa takut yang dialami.

Sebagian orang dengan klaustrofobia mengalami ansietas yang ringan saat berada di

tempat tertutup, dan sebagian lainnya dapat mengalami ansietas yang berat dan bahkan

serangan panik. Perasaan yang paling sering dialami adalah rasa takut akan kehilangan

kendali.

5
Kriteria Diagnosis

A. Kriteria Diagnosis menurut PPDGJ-III:

F 40.0 Agorafobia

Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:

a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi

primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya

waham atau pikiran obsesif;

b. Ansietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam hubungan dengan)

setidaknya dua dari situasi berikut: banyak orang/keramaian , tempat umum, bepergian

keluar rumah, dan bepergian sendiri; dan

c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol (penderita

menjadi “house-bound”)

Karakter kelima : F40.00 = Tanpa gangguan panik

F40.01 = Dengan gangguan panik

F40.1 Fobia Sosial

Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:

a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi

primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya

waham atau pikiran obsesif;

b. Ansietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside the

family circle); dan

c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.

6
F40.2 Fobia Khas (Terisolasi)

Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:

a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi

primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya

waham atau pikiran obsesif;

b. Ansietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu (highly spesific

situations); dan

c. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.

Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti halnya

agorafobia dan fobia sosial.

B. Kriteria Diagnosis Menurut DSM-IV TR

1. Agorafobia

A. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi darinya kemungkinan meloloskan

diri adalah sulit (atau merasa malu) atau saat mungkin tidak terdapat pertolongan jika

mendapat serangan panik atau gejala mirip panik yang tidak diharapkan atau secara

situasional. Ketakutan agorafobia biasanya mengenai kelompok karakteristik situasi

seperti di luar rumah sendirian; berada ditempat ramai atau berdiri di sebuah barisan,

berada di atas jembatan atau bepergian dengan bis, kereta, atau mobil.

B. Situasi dihindari (misalnya jarang bepergian) atau jika dilakukan dengan penderitaan

yang jelas atau dengan kecemasan mendapat serangan panik atau gejala mirip panik

atau perlu didampingi teman.

C. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental

lain seperti fobia sosial (misalnya penghindaran terbatas pada situasi sosial karena takut

dipermalukan), fobia khas (misalnya penghindaran terbatas situasi seperti lift),

7
gangguan obsesif-kompulsif (misalnya menghindari kotoran pada seseorang dengan

obsesi tentang kontaminasi), gangguan stres pasca trauma (misalnya menghindari

stimuli yang berhubungan dengan stresor yang berat) atau gangguan cemas perpisahan

(misalnya menghindari meninggalkan rumah atau sanak keluarga)

Catatan: Agorafobia bukanlah suatu gangguan yang diberi kode, catatlah diagnosis

yang spesifik saat agorafobia terjadi misalnya gangguan panik dengan agorafobia atau

agorafobia tanpa riwayat gangguan panik.

2. Fobia khas

A. Ketakutan yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak beralasan, ditandai oleh

adanya atau antisipasi dari suatu obyek atau situasi spesifik (misalnya, naik pesawat

terbang, ketinggian, binatang, mendapat suntikkan, melihat darah).

B. Pemaparan stimulus fobik hampir selalu mencetuskan respon kecemasan segera, dapat

berupa serangan panik yang berhubungan dengan situasi atau predisposisi oleh situasi.

Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangis, tantrum,

diam membeku, atau melekat erat menggendong.

C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak beralasan .

Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukan

D. Situasi fobik dihindari atau kalau dihadapi adalah dengan kecemasan atau

dengan penderitaan yang jelas.

E. Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi yang

ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau

akademik), atau aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain, atau terdapat

penderitaan yang jelas karena menderita fobia.

F. Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6bulan.

8
G. Kecemasan, serangan panik, atau penghindaran fobik dihubungkan dengan objek atau

situasi spesifik tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain, seperti Gangguan

Obsesif-Kompulsif (misalnya,seseorang takut kotoran dengan obsesi tentang

kontaminasi), Gangguan Stres pascatrauma (misalnya,penghindaran stimulus yang

berhubungan dengan stresor yang berat0, Gangguan Cemas Perpisahan

(misalnya,menghindari sekolah), Fobia Sosial (misalnya,menghindari situasi sosial

karena takut merasa malu), Gangguan Panik dengan Agorafobia, atau Agorafobia

Tanpa Riwayat Gangguan Panik.

Sebutkan tipe :

• Tipe Binatang

• Tipe Lingkungan Alam (misalanya, ketinggan, badai, air)

• Tipe Darah, Injeksi, Cedera

• Tipe Situasional (misalnya, pesawat udara, elevator, tempat tertutup)

Tipe Lainnya (misalnya, ketakutan tersedak, muntah, atau mengidap penyakit ;

pada anak-anak, ketakutan pada suara keras atau karakter bertopeng).

3. Fobia Sosial

A. Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial

atau memperlihatkan perilaku dimana orang bertemu dengan orang asing atau

kemungkinan diperiksa oleh orang lain. Ketakutan bahwa ia akan bertindak dengan

cara (atau menunjukkan gejala kecemasan) yang akan menghinakan atau memalukan.

Catatan : pada anak-anak, harus terbukti adanya kemampuan sesuai usianya untuk

melakukan hubungan sosial dengan orang yang telah dikenalnya dan kecemasan hanya

terjadi dalam lingkungan teman sebaya, bukan dalam interaksi dengan orang dewasa.

9
B. Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu mencetuskan kecemasan,

dapat berupa seragan panik yang berhubungan dengan situasi atai dipredisposisi oleh

situasi.

Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangis tantrum diam

membeku, atau bersembunyi dari situasi sosial dengan orang asing.

C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak beralasan.

Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukan

D. Situasi sosial atau memperlihatkan perilaku dihindari atau kalau dihadapi

adalah dengan kecemasan atau dengan penderitaan yang jelas

E. Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi yang ditakuti secara

bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau

aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas

karena menderita fobia.

F. Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit bulan.

G. Kecemasan atau penghindaran fobik bukan karena efek fisiologis langsung dari zat

(misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum dan tidak

lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain ( misalnya, Gangguan Panik Dengan

atau Tanpa Agorafobia, Gangguan Cemas Perpisahan, Gangguan Dismorfik Tubuh,

Gangguan Perkembangan Pervasif, atau Gangguan Kepribadian Skizoid).

H. Jika terdapat suatu kondisi medis umum atau gangguan mental dengannya misalnya

takut adalah bukan gagap, gemetar pada penyakit Parkinson, atau memperlihatkan

perilaku makan abnormal pada Anoreksia Nervosa atau Bulimia Nervosa.

Sebutkan Jika :

Menyeluruh : jika ketakutan termasuk situasi yang paling sosial (juga pertimbangkan

diagnosis tambahan Gangguan Kepribadian Menghindar)

10
Etiologi

Seperti banyak kondisi kesehatan mental, penyebab pasti gangguan kecemasan

tidak sepenuhnya dipahami. Diperkirakan bahwa gangguan kecemasan dapat

melibatkan ketidakseimbangan kimia otak yang terjadi secara alami (neurotransmiter)

seperti serotonin, dopamin atau norepinefrin. Pengalaman hidup seperti peristiwa

traumatis muncul untuk memicu gangguan kecemasan pada orang yang sudah rentan

untuk menjadi cemas, dapat juga diakibatkan oleh penyebab medis yaitu untuk

sejumlah besar orang yang memiliki kecemasan terkait dengan masalah kesehatan yang

mendasarinya.

Sedangkan pada pasien kecemasan diakibatkan adanya fobia, Penyebabnya

dapat diakibatkan beberapa hal. Menurut Durand & Barlow (2005), ada beberapa

penyebab munculnya fobia khas yaitu:

a. Traumatic event

Kebanyakan orang yang mengalami fobia khas disebabkan oleh kejadian trauma.

Contohnya jika kita digigit oleh anjing, maka kita akan menjadi fobia terhadap anjing.

b. Information transmition

Seseorang dapat mengalami fobia khas karena sering mengingat sesuatu yang

berbahaya. Misalnya seorang wanita mengalami fobia terhadap ular, padahal wanita

tersebut belum pernah bertemu dengan ular. Tetapi, ia sering dibilang atau mendengar

bahwa akan ada ular yang berbahaya di rumput yang tinggi. Hal ini membuat wanita

tersebut menggunakan sepatu boot untuk menghindari bahaya, walaupun ia berjalan di

jalan yang biasa.

11
c. Sosial dan Kultural

Faktor ini sangat kuat dapat mempengaruhi seseorang mengalami fobia khas. Dalam

masyarakat tidak dapat diterima jika seorang laki-laki menunjukkan ketakutan dan

fobia. Mayoritas fobia khas terjadi pada perempuan.

Faktor-faktor Penyebab Kecemasan

Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar

tergantunga pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwa-peristiwa atau situasi

khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan. Kecemasan hadir karena

adanya suatu emosi yang berlebihan. Selain itu, keduanya mampu hadir karena

lingkungan yang menyertainya, baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun

penyebabnya

1. Lingkungan

Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir individu

tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman

yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan

rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya.

a. Lingkungan keluarga

Keadaan rumah dengan kondisi yang penuh dengan pertengkaran atau penuh

dengan kesalahpahaman serta adanya ketidakpedulian orangtua terhadap anak-anaknya,

dapat menyebabkan ketidaknyamanan serta kecemasan pada anak saat berada didalam

rumah

b. Lingkungan Sosial

12
Lingkungan sosial adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

kecemasan individu. Jika individu tersebut berada pada lingkungan yang tidak baik, dan

individu tersebut menimbulkan suatu perilaku yang buruk, maka akan menimbulkan

adanya berbagai penilaian buruk dimata masyarakat. Sehingga dapat menyebabkan

munculnya kecemasan

2. Emosi yang ditekan

Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar

untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama jika dirinya menekan

rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama.

3. Sebab-sebab fisik

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan

timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan,

semasa remaja dan sewaktu pulih dari suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi

ini, perubahan-perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan

timbulnya kecemasan.

4. Trauma atau konflik

Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi individu, dalam

arti bahwa pengalaman-pengalaman emosional atau konflik mental yang terjadi pada

individu akan memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan. Rasa cemas juga dapat

timbul akibat melihat adanya bahaya yang mengancam dirinya, kecemasan ini lebih

dekat dengan rasa takut, karena sumbernya terlihat jelas didalam pikiran

13
Penatalaksanaan

Secara umum terapi fobia meliputi:

A. Terapi psikologik

a. Terapi Perilaku merupakan terapi yang efektif. Seperti terapi desensitisasi yang sering

dilakukan, terapi pemaparan (exposure), imaginal exposure, participent modelling,

guided mastery, imaginal flooding.

b. Psikoterapi bersifat tilikan. Terapi berorientasi-tilikan memungkinkan pasien mengerti

asal dari fobia, fenomena tujuan sekunder, dan peranan daya tahan dan memungkinkan

pasien mencari cara yang sehat dalam menghadapi stimuli yang menyebabkan

kecemasan. Psikoterapi ini dapat menjadi pengobatan yang efektif untuk mengatasi

kegelisahan. Terapi perilaku kognitif adalah salah satu yang paling umum dari jenis

psikoterapi untuk gangguan kecemasan. Umumnya pengobatan jangka pendek, terapi

perilaku kognitif berfokus pada pengajaran keterampilan khusus untuk mengidentifikasi

pikiran dan perilaku negatif dan menggantinya dengan yang positif. Pada pasien yang

memilki kecemasan akan fobia terhadap sesuatu dapat dilakukan dengan terapi rasional

emotif tingkah laku. Terapi ini didefinisikan berupa terapi yang berusaha

menghilangkan cara berfikir klien yang tidak logis dan irasional, dan menggantinya

dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara menyerang, menentang,

mempertanyakan dan membahas keyakinan-keyakinan irasional klien.

c. Terapi lain seperti hypnotherapy, psikoterapi suportif, terapi keluarga bila diperlukan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira, Sylvia D. 2010. Buku Ajar Psikiatri. In: J Elizabeth Kandou. Fobia. Badan

Penerbit FK UI: Jakarta. 265-68.

2. American Psychiatric Association. 2000. DSM IV TR. American Psychiatric

Assosiation: Washington DC.

3. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.

Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya.2001.

4. WOLMAN, Benjamin B, George Stricker. Anxiety and Related Disorder. New York:

John Wiley and Sons, 1994.

5. Gentry, WD. Handbook of behavioral medicine. New York: The Guilford Press;1994

15

Anda mungkin juga menyukai