Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik merupakan salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam
terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku
yang diperkuat secara negative, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau
respons yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu.
Desensitisasi sistematik melibatkan teknik-teknik relaksasi. Klien dilatih untuk santai dan
mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pelangalaman pembangkit
kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam
suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam.
Wolpe telah mengembangkan suatu respons, yakni relaksasi, yang secara fisiologis
bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek
dari situasi yang mengancam prosedur model pengondisian balik ini adalah sebagai
berikut :
1. Desintisasi sistematik dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-
stimulus yang bisa membangkitkan kecemasan dalam suatu wilayah tertentu seperti
penolakan, rasa iri, ketidakstujuan, atau suatu fobia. Disediakan waktu untuk
menyususn suatu tingakatan kecemasan-kecemasan klien dalam wilayah tertentu.
Terapis menyusun suatu daftar bertingkat mengenai situasi-situasi yang
kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan atau penghindaran. Tingkatan
dirancang dalam urutan dari situasi yang paling buruk yang bisa dibayangkan oleh
klien ke situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.
2. Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama klien diberi latihan relaksasi yang
terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengenduran otot-otot yang berbeda sampai
tercapai suatu keadaan santai penuh. Sebelum latihan relaksasi dimulai, klien diberi
tahu tentang cara relaksasi yang digunakan dalam desensitisasi, cara menggunakan
relaksasi itu dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan bagian-bagaian
tubuh tertentu. Latihan relaksasi berlandaskan teknik yang digariskan oleh Jacobsen
(1938) dan diuraikan secara rinci oleh Wolpe (1969).
3. Proses desentisasi melibatkan keadaan di mana klien sepenuhnya santai dengan mata
tertutup. Terapis menceritakan serangkaian situasi dan meminta klien untuk
membayangkan dirinya berada dalam setiap situasi yang diceritakan oleh terapis itu.
Situasi yang netral diungkapkan, dan klien diminta untuk membayangkan dirinya
berada di dalamnya. Jika klien mampu tetap santai, maka dia diminta untuk
membayangkan suatu situasi yang membangkitkan kecemasan tarafnya paling
rendah. Terapis bergerak mengungkapkan situasi-situasi secara bertingkat sampai
klien menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah
pengungkapan situasi diakhiri. Kemudian relaksasi dimulai lagi, dank lien kembali
membayangkan dirinya berada dalam situasi-situasi yang diungkapkan oleh terapis.
Treatment dianggap selesai apabila klien mampu untuk tetap santai ketika
membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan
kecemasan.
Prosedur kelompok dianjurkan bagi para klien yang mengalami kecemasan berada dalam
situasi-situasi yang spesifik. Kelompok yang biasanya terdiri atas para partisipan yang
memiliki ketakutan-ketakutan dan kecemasan-kecemasan yang sama. Para anggota
kelompok saling memberikan dukungan dalam kegiatan-kegiatan pengambilan resiko, di
dalam maupun di luar kelompok, dan perkuatan diberikan bagi keberhasilan-
keberhasilan.
Stampfl (1975) mencatat sjumlah studi yang membuktikan kemanjuran terapi implosive
dalam menangani para pasien gangguan jiwa yang dirumahsakitkan, para pasien neurotic,
para pasien psikotik, dan orang-orang yang menderita fobia.
Latihan asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif
yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal di mana individu
mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan
diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-
orang yang :
1) Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung
2) Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang laun untuk
mendahuluinya
3) Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”
4) Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif
lainnya
5) Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri
Session pertama, yang dimulai dengan pengenalan didaktik tentang kecemasan social
yang tidak realistis, pemusatan pada belajar menghapuskan respons-respons internal yang
tidak efektif yang telah mengakibatkan kekurangtegasan dan pada belajar peran tingkah
laku baru yang asertif. Session kedua bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi,
dan masing-masing anggota menerangkan tingkah laku spesifik dalam situasi-situasi
interpersonal yang dirasakannya menjadi masalah. Session ketiga, para anggota
menerangkan tentang tingkah laku menegaskan diri yang telah dicoba dijalankan oleh
mereka dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Session selanjutnya terdiri atas
penambahan latihan relaksasi, pengulangan perjanjian untuk menjalankan tingkah laku
menegaskan diri, yang diikuti oleh evaluasi. Session yang terakhir bisa disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan individual para anggota.
Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku
pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan
cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya
adalah mempraktekkan, melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang
baru diperoleh sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi
ketakmemadaiannya dan belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran merasa secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak
untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
Terapi aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku
simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak
diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa
hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual. Kendali
aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk
hukuman.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh
para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa
orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan.
Perkuatan positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera
setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk
mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat, baik primer maupun skunder, diberikan
untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan
kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Pemerkuat-pemerkuat skunder, yang memuaskan
kebutuhan psikologis dan social, memiliki nilai karena berasosiasi dengan pemerkuat-
pemerkuat primer.
Penerapan pemberian perkuatan positif pada psikoterapi membutuhkan spesifikasi
tingkah laku yang diharapkan, penemuan tentang agen yang memperkuat bagi individu,
dan penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laku yang
diinginkan.
Pembentukan respons
Dalam pembentukan respons, tingkah laku sekarang secara bertahap diubah dengan
memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-
turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons berwujud
pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam pembendaharaan
tingkah laku individu. Perkuatan sering digunakan dalam proses pembentukan respons
ini.
Perkuatan intermiten
Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-
tahap permulaan terapis harus menganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang
diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah laku
yang diinginkan itu muncul.
Penghapusan
Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut
cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari
cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus tingkah
laku yang maladaptive adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang maladaptive itu.
Wolpe (1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan harus serentak dan
penuh. Terapis, guru dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai teknik
utama dalam menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan itu pada mulanya bisa
menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi.