Anda di halaman 1dari 7

Teknik-teknik Utana Terapi Tingkah Laku

 Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik merupakan salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam
terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku
yang diperkuat secara negative, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau
respons yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu.

Wolpe (1958, 1969), pengembang teknik desensitisasi, mengajukan argument bahwa


segenap tingkah laku neurotic adalah ungkapan dari kecemasan dan bahwa respons
kecemasan bisa dihapus oleh penemuan respons-respons yang secara inheren berlawanan
dengan respons tersebut.

Desensitisasi sistematik melibatkan teknik-teknik relaksasi. Klien dilatih untuk santai dan
mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pelangalaman pembangkit
kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam
suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam.
Wolpe telah mengembangkan suatu respons, yakni relaksasi, yang secara fisiologis
bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek
dari situasi yang mengancam prosedur model pengondisian balik ini adalah sebagai
berikut :

1. Desintisasi sistematik dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-
stimulus yang bisa membangkitkan kecemasan dalam suatu wilayah tertentu seperti
penolakan, rasa iri, ketidakstujuan, atau suatu fobia. Disediakan waktu untuk
menyususn suatu tingakatan kecemasan-kecemasan klien dalam wilayah tertentu.
Terapis menyusun suatu daftar bertingkat mengenai situasi-situasi yang
kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan atau penghindaran. Tingkatan
dirancang dalam urutan dari situasi yang paling buruk yang bisa dibayangkan oleh
klien ke situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.
2. Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama klien diberi latihan relaksasi yang
terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengenduran otot-otot yang berbeda sampai
tercapai suatu keadaan santai penuh. Sebelum latihan relaksasi dimulai, klien diberi
tahu tentang cara relaksasi yang digunakan dalam desensitisasi, cara menggunakan
relaksasi itu dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan bagian-bagaian
tubuh tertentu. Latihan relaksasi berlandaskan teknik yang digariskan oleh Jacobsen
(1938) dan diuraikan secara rinci oleh Wolpe (1969).
3. Proses desentisasi melibatkan keadaan di mana klien sepenuhnya santai dengan mata
tertutup. Terapis menceritakan serangkaian situasi dan meminta klien untuk
membayangkan dirinya berada dalam setiap situasi yang diceritakan oleh terapis itu.
Situasi yang netral diungkapkan, dan klien diminta untuk membayangkan dirinya
berada di dalamnya. Jika klien mampu tetap santai, maka dia diminta untuk
membayangkan suatu situasi yang membangkitkan kecemasan tarafnya paling
rendah. Terapis bergerak mengungkapkan situasi-situasi secara bertingkat sampai
klien menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah
pengungkapan situasi diakhiri. Kemudian relaksasi dimulai lagi, dank lien kembali
membayangkan dirinya berada dalam situasi-situasi yang diungkapkan oleh terapis.
Treatment dianggap selesai apabila klien mampu untuk tetap santai ketika
membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan
kecemasan.

Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi


sistematik:

1) Kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yang bisa jadi menunjuk pada kesulitan-kesulitan


dalam komunikasi antara terapis dan klien atau kepada keterhambatan yang ekstrem
yang dialami oleh klien
2) Tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, yang ada kemungkinan
melibatkan penanganan tingkatan keliru, dan
3) Ketidakmemadaian dalam membayangkan
Galinsky (1974) menjelaskan tentang terapi tingkah laku kelompok, menunjukkan bahwa
belum ada keterangan yang muncul tentang model kelompok. Pendekatan-pendekatan
terapi tingkah laku kelompok secara khas memperkenalkan prosedur-prosedur terapi
tingkah laku yang berorientasi individual ke dalam setting kelompok.

Prosedur kelompok dianjurkan bagi para klien yang mengalami kecemasan berada dalam
situasi-situasi yang spesifik. Kelompok yang biasanya terdiri atas para partisipan yang
memiliki ketakutan-ketakutan dan kecemasan-kecemasan yang sama. Para anggota
kelompok saling memberikan dukungan dalam kegiatan-kegiatan pengambilan resiko, di
dalam maupun di luar kelompok, dan perkuatan diberikan bagi keberhasilan-
keberhasilan.

 Terapi implosif dan pembanjiran


Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan
eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-
ulang tanpa pemberian kekuatan. Teknik pembanjiran berbeda dengan teknik
desensitisasi sistematik dalam arti teknik pembanjiran tidak menggunakan agen
pengondisian balik maupun tingkatan kecemasan.
Stampril (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran,
yang disebut “terapi implosive”. Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa
jika seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan
dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan tereduksi
atau terhapus.
Prosedur-prosedur penanganan klien mencakup :
1) Pencarian stimulus-stimulus yang memicu gejala-gejala
2) Menaksir bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala itu
membentuk tingkah laku klien
3) Meminta kepada klien untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkannya
tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapinya
4) Bergerak semakin dekat kepada ketakutan yang paling kuat yang dialami klien dan
meminta kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya, dan
5) Mengulang prosedur-prosedur tersebut sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam
diri klien.

Stampfl (1975) mencatat sjumlah studi yang membuktikan kemanjuran terapi implosive
dalam menangani para pasien gangguan jiwa yang dirumahsakitkan, para pasien neurotic,
para pasien psikotik, dan orang-orang yang menderita fobia.

 Latihan asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif
yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal di mana individu
mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan
diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-
orang yang :
1) Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung
2) Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang laun untuk
mendahuluinya
3) Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”
4) Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif
lainnya
5) Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri

Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Tingkah laku


menegaskan diri pertama-tama dipraktekkan dalam situasi permainan peran, dan dari sana
diusahakan agar tingkah laku menegaskan diri itu dipraktekkan dalam situasi-situasi
kehidupan nyata. Terapis memberikan bimbingan dengan memperlihatkan bagaimana dan
bilamana klien bisa kembali kepada tingkah laku semula, tidak tegas, serta memberikan
pedoman untuk memperkuat tingkah laku menegaskan diri yang baru diperolehnya.

Shaffer dan galinsky (1974) menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif


atau “latihan ekspresi” dibentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri atas delapan sampai
sepuluh anggota memiliki latar belakang yang sama, dan session terapi berlangsung
selama dua jam.
Seperti kelompok-kelompok terapi tingkah laku lainnya, kelompok latihan asertif ditandai
dengan struktur yang mempnya pemimpin. Yaitu sebagai berikut :

Session pertama, yang dimulai dengan pengenalan didaktik tentang kecemasan social
yang tidak realistis, pemusatan pada belajar menghapuskan respons-respons internal yang
tidak efektif yang telah mengakibatkan kekurangtegasan dan pada belajar peran tingkah
laku baru yang asertif. Session kedua bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi,
dan masing-masing anggota menerangkan tingkah laku spesifik dalam situasi-situasi
interpersonal yang dirasakannya menjadi masalah. Session ketiga, para anggota
menerangkan tentang tingkah laku menegaskan diri yang telah dicoba dijalankan oleh
mereka dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Session selanjutnya terdiri atas
penambahan latihan relaksasi, pengulangan perjanjian untuk menjalankan tingkah laku
menegaskan diri, yang diikuti oleh evaluasi. Session yang terakhir bisa disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan individual para anggota.

Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku
pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan
cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya
adalah mempraktekkan, melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang
baru diperoleh sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi
ketakmemadaiannya dan belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran merasa secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak
untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.

 Terapi aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku
simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak
diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa
hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual. Kendali
aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk
hukuman.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh
para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa
orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan.

Prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons


maladaptive dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh
tingkah laku alternative yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.
Menurut skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar, maka probabilitas kemunculan
kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang
menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku,
merupakan inti dari pengondisian operan. Metode-metode pengondisian operan di urai
menjadi perkuatan positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan,
percontohan dan token economy.

 Perkuatan positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera
setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk
mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat, baik primer maupun skunder, diberikan
untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan
kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Pemerkuat-pemerkuat skunder, yang memuaskan
kebutuhan psikologis dan social, memiliki nilai karena berasosiasi dengan pemerkuat-
pemerkuat primer.
Penerapan pemberian perkuatan positif pada psikoterapi membutuhkan spesifikasi
tingkah laku yang diharapkan, penemuan tentang agen yang memperkuat bagi individu,
dan penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laku yang
diinginkan.

 Pembentukan respons
Dalam pembentukan respons, tingkah laku sekarang secara bertahap diubah dengan
memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-
turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons berwujud
pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam pembendaharaan
tingkah laku individu. Perkuatan sering digunakan dalam proses pembentukan respons
ini.

 Perkuatan intermiten
Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-
tahap permulaan terapis harus menganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang
diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah laku
yang diinginkan itu muncul.

 Penghapusan
Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut
cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari
cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus tingkah
laku yang maladaptive adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang maladaptive itu.
Wolpe (1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan harus serentak dan
penuh. Terapis, guru dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai teknik
utama dalam menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan itu pada mulanya bisa
menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi.

Anda mungkin juga menyukai