Anda di halaman 1dari 10

RESUME KELOMPOK 4

TERAPI PERILAKU

disusun oleh :

Farah salsabila E.0105.19.013

. Ilzam Maruf. E.0105.19.017

Leni apriliani E.0105.19.024

Maulani hendrayani E.0105.19.057

Moch azhar mahendra E.0105.19.026

Rani mulyani E.0105.19.034

Resma Hermawati. E.0105.19.035

Rifky andi E.0105.19.053

Silvia rahmawati E.0105.19.040

Silvia Trianawati. E.0105.19.041

D3 Keperawatan

STIkes budi luhur cimahi


Konsep Terapi Perilaku

Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi
yang didasari oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi
seperti; depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai tehnik yang didesain menguatkan
kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.

Pada tahun 1920, Watson dkk melakukan percobaan pengkondisian (conditioning) dan
pelepasan kondisi (deconditioning) pada rasa takut yang merupakan cikal bakal terapi perilaku formal.
Pada tahun 1927, Ivan Pavlov terkenal dengan percobaannya pada anjing dengan memakai suara bell
untuk mengkondisikan anjing bahwa bel sama dengan makanan, yang kemudian dikenal juga dengan
istilah “stimulus” dan “respon”.

Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner,
Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu, termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans Eysenck.

Secara umum, terapi perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika Serikat
(Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam
melihat masalah perilaku. Eysenck memandang masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik
kepribadian, lingkungan, dan perilaku.

Terapis behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan
lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian utama dari para terapis sebagai
kriteria pengukuran keberhasilan terapi. Manusia menurut pandangan ini bukan hasil dari dorongan
tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia
merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi
belajar. Pada dasarnya, proses terapi merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk
membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya. Terdapat beberapa
teori dasar mengenai metode terapi perilaku, yaitu :

a. Perilaku maladaptif dan kecemasan persisten telah dibiasakan (conditioned) atau dipelajari (learned).

b. Terapi untuk perilaku maladaptif adalah dengan penghilangan kebiasaan (deconditioning) atau
ditinggalkan (unlearning).

c. Untuk menguatkan perilaku adalah dengan pembiasaan perilaku (operant and clasical conditioning).

Tujuan Terapi Perilaku

Menurut Corey (2009), tujuan umum terapi perilaku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi
proses belajar. Tujuannya sebagai berikut:
a. Meningkatkan perilaku, yaitu reinforcement positif (memberi penghargaan terhadap perilaku) dan
reinforcement negatif (mengurangi stimulus aversi)

b. Mengurangi perilaku, yaitu punishment (memberi stimulus aversi), respons cost (menghilangkan atau
menarik reinforcement), dan extinction (menahan reinforcerment)

Sedangkan, menurut Latipun (2001) tujuan terapi perilaku adalah mencapai kehidupan tanpa
mengalami perilaku somatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku yang
dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang, atau mengalami konflik dengan lingkungan sosial.

1. Peran Terapis

a. Memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment

Yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah


manusia pada kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli
dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosesur-prosedur
penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive

b. Terlibat dalam pemberian penguatan-penguatan sosial

Terapis harus terlibat dalam pemberian penguatan-penguatan sosial, baik yang positif maupun
yang negatif. Bahkan meskipun, mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang netral sehubungan dengan
pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah laku klien, baik melalui cara-cara
langsung maupun cara-cara tidak langsung.

c. Penguat bagi tingkah laku klien

Peran mengendalikan tingkah laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui penguatan
menjangkau situasi di luar konseling serta dimasukan ke dalam tingkah laku klien dalam dunia nyata:
“konselor mengganjar respon-respon tertentu yang dilaporkan telah ditampilkan oleh klien dalam
situasi-situasi kehidupan nyata dan menghukum respon-respon yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu
adalah persetujuan, minat, dan keprihatinan, perkuatan semacam itu penting terutama pada periode
ketika klien mencoba respon-respon atau tingkah laku baru yang belum secara tetap diberi perkuatan
oleh orang lain dalam kehidupan klien”. Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak memuaskan
adalah bahwa terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku yang baru dikembangkan oleh klien

d. Model bagi klien

Bandura menunjukan bahwa sebagian besar proses belajar yang melalui pengalaman langsung
juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia mengungkapkan bahwa
salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru adalah
imitasi atau percontohan sosial yang disajikan oleh terapis. Terapis sebagai pribadi menjadi model yang
penting bagi klien. Karena klien sering memandang terapis sebagai orang yang patut diteladani, klien
acap kali meniru sikap-sikap, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis
harus menyadari peranan penting yang dimainkannya dalam proses identifikasi.

Teknik Terapi Perilaku

a. Operant Conditioning

Tingkah laku operan menjadi ciri organisme yang aktif yang beroperasi di lingkungan untuk
menghasilkan akibat-akibat, merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari
(misalnya, membaca, berbicara, berpakaian, makan, bermain). Menurut Skinner (1971) jika suatu
tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang
tinggi.

Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah
laku merupakan inti dari pengkondisian operan. Terdapat dua jenis reinforcement, yaitu:

1) Positive Reinforcement

Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera
setelah tingkah laku yang diharapkan muncul, merupakan suatu cara yang ampuh untuk mengubah
tingkah laku. Biasanya suatu peristiwa yang bila hadir mengikuti suatu perilaku tertentu dapat
menyebabkan perilaku tersebut akan diulangi

2) Negative Reinforcement

Penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan
penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara
lain: menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan
perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll)

a. Desensitization

Istilah desensitisasi merupakan usaha untuk memperkenalkan secara bertahap stimulus atau
situasi-situasi yang menimbulkan ketakutan. Merupakan teknik yang digunakan untuk menghapus
tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang
berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan.

Systematic desensitization didesain untuk membantu klien yang mengalami phobia. Klien dan
terapis pertama-tama membuat daftar tingkatan atau hirarki ketakutan dari yang paling lemah sampai
yang paling kuat. Kemudian klien disuruh relax, dan selanjutnya prosedur terapis dimulai (mulai dari
imaginal menuju kepada aktual desensitisasi). Teknik ini juga melibatkan relaksasi. Klien dilatih untuk
santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman pembangkit kecemasan yang
dibayangkan. Situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang
sangat mengancam.
b. Flooding

Adalah suatu bentuk dari terapi pemaparan dimana subjek dihadapkan pada stimulus
pembangkit kecemasan tingkat tinggi baik melalui imajinasi ataupun situasi actual. Mengapa?
Kepercayaannya adalah bahwa kecemasan merupakan representasi dari respon terkondisi dari stimulus
fobia dan akan punah bila individu tinggal di dalam situaasi fobik tersebut untuk waktu yang cukup lama
dan tidak terjadi konsekuensi yang merugikan. Dalam suatu riset, 9 dari 10 orang dengan fobia social
memperoleh sedikitya peningkatan dalam taraf sedang melalui teknik flooding dimana mereka secara
langsung dihadapkan pada situasi pembangkit ketakutan.

Flooding didasarkan pada dasar pemikiran bahwa melarikan diri dari pengalaman yang
mencetuskan anxienty (gangguan cemas) dan mendorong anxienty melalui pembelajaran. Dengan
demikian, terapis dapat mengakhiri ansietas dan mencegah perilaku menghindar yang dipelajari dengan
tidak memungkinkan pasien lari dari situasi tersebut. Keberhasilan prosedur ini bergantung pada
pertahanan pasien didalam situasi yang menimbulkan takut sampai mereka menjadi tenang dan
merasakan sensasi penguasaan. Menarik diri secara dini dari situasi atau secara dini mengakhiri situasi
yang dibayangkan adalah sebanding dengan pelarian diri, yang kemungkinan mendorong ansietas yang
dipelajari serta perilaku menghindar dan menghasilkan efek berlawanan yang diinginkan.

Flooding adalah bentuk pengobatan yang efektif untuk fobia antara lain psikopatologis
(gangguan jiwa). Bekerja pada prinsip-prinsip pengkondisian klasik-bentuk pengkondisian Pavlov klasik-
di mana pasien mengubah perilaku mereka untuk menghindari rangsangan negatif. Teknik terapi :

1) Mencari stimulus yang memicu gejala gejala

2) Menaksir/analisa kaitan kaitan bagaimana gejala gejala menyebabkan perubahan tingkah laku klien
dari keadaan normal sebelumnya.

3) Meminta klien membayangkan sejelas jelasnya dan menjabarkannya tanpa disertai celaan atau
judgement oleh terapis.

4) Bergerak mendekati pada ketakutakan yang paling ditakuti yang dialami klien dan meminta
kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya, dan

5) Ulangi lagi prosedur di atas sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien.

c. Implosive Therapy

Klien diarahkan untuk membayangkan situasi (stimulus) yang mengancam. Dengan secara
berulang-ulang dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan
menakutkan tidak muncul, stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya,
dan penghindaran neurotik pun terhapus.
Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa jika seseorang secara berulang-ulang
dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan
tidak muncul, maka kecemasan terekdusi atau terhapus. Klien diarahkan untuk membayangkan situasi-
situasi yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dan dimunculkan dalam setting terapi dimana
konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang
mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus.

Stampfl (1975) mencatat beberapa contoh bagaimana terapi implosive berlangsung. Ia


melukiskan seorang klien yang mengalami kecenderungan-kecenderungan obsesif pada kebersihan.
Klien mencuci tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap
kuman.

d. Participant Modeling (Percontohan)

Modeling dengan partisipasi terbimbing (terapis membimbing klien atas rangkaian latihan),
demonstrasi dengan partisipasi (terapis medemonstrasikan sebelum klien berpartisipasi), dan contact-
desensitization (kontak pisik antara terapis dan klien selama phase awal partisipasi klien dalam
treatmen).

Participan modeling, dapat diadaptasikan untuk rentang yang luas dari cemas atau takut pada:
binatang, sosial, dan yang tidak spesifik, misalnya takut pada ketinggian. Di sini individu mengamati
seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model.

e. Teknik Aversi

Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik
dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat
kemunculannya. Stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian
ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau
penggunaan berbagai bentuk hukuman.

Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para
behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa orang-orang
kepada tingkah laku yang diinginkan. Butir yang penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur
teknik aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode
sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan
terbukti memperkuat dirinya sendiri. Satu kesalahpahaman yang populer adalah bahwa teknik-teknik
yang berlandaskan hukuman merupakan perangkat yang paling penting bagi para terapis tingkah laku.

f. Teknik Relaksasi dan Desentisisasi Sistematis

Salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematis
digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan menyertakan pemunculan
tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu,
Desensitisasi diarahkan kepada mengajar klien untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten
dengan kecemasan.

Wolpe telah mengembangkan suatu respon yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan
dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang
mengancam. Desensitisasi sistematis adalah teknik yang cocok digunakan untuk menangani fobia-fobia,
kecemasan dan ketakutan. Teknik ini bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil
kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan terhadap ujian, kecemasan-kecemasan neurotik,
serta impotensi dan frigiditas seksual.

Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan


untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks”.
Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan
respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik
respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi Desensitisasi sistematis
hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat
secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan
tingkah laku yang akan dihilangkan.

g. Self Control

Teknik behavioral yang menekankan suatu aktivitas, ‘coping response’ dari klien yang
memungkinkan seseorang mengontrol dalam situasi-situasi problematiknya. Misalnya, digunakan untuk
alkoholik, ‘self-abusive child’, untuk siswa yang ingin mengembangkan keterampilan studi, atau untuk
pribadi ‘overweight’ yang ingin mengontrol tingkah laku makan.

Beberapa tujuan yang biasanya ingin dicapai dalam melakukan modifikasi perilaku yang menggunakan
teknik self-Control antara lain :

1) Mampu menghadapi situasi yang tidak diinginkan dengan cara mencegah atau menjauhi situasi
tersebut

2) Mampu mengatasi frustasi dan ledakan emosi.

3) Mampu menunda kepuasan dengan segera untuk mengatur perilaku agar dapat mencapai sesuatu
yang lebih berharga atau lebih diterima oleh masyarakat

4) Mampu mengantisipasi peristiwa dengan mengantisipasi keadaan melalui pertimbangan secara


objektif.

5) Mampu menafsirkan peristiwa dengan melakukan penilaian dan penafsiran suatu keadaan dengan
cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif

6) Mampu mengontrol keputusan dengan cara memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang
diyakini atau disetujuinya.
h. Eye Movement Desensitisasi and Reprocessing (EMDR)

Gerakan mata dan pengolahan desensitisasi (EMDR) adalah bentuk paparan konseling yang
melibatkan imaginal, restrukturisasi kognitif, gerakan mata berirama dan merancang hal lain untuk
mengobati klien yang mengalami stres traumatic, populasi termasuk anak-anak korban pelecehan
seksual, veteran perang, korban kejahatan, korban perkosaan, korban kecelakaan,individu yang
berhubungan dengan kecemasan, panik, depresi, kesedihan,kecanduan, dan fobia. EMDR terdiri dari 8
fase penting yaitu:

1) Membantu konseli mengatur kembali kognisi dan pemrosesan ulang informasi.

2) Fase persiapan berupa membangun aliansi terapi.

3) Fase penilaian meliputi identifikasi memori traumatis yang menhasilkan kecemasan, identifikasi emosi
dan sensasi fisik yang berkaitan dengan traumatis.

4) Fase desentisasi yang menvisualisasi image traumatis, menyampaikan kepercayaan maladaptive, dan
sensasi fisik.

5) Fase instalasi yang terdiri dari penigkatan kekuatan dan kognisi positif konseli yang diidentifikasi
sebagai pergantian kognisi negative.

6) Memvisualisasikan kejadian traumatis melalui kognisi positif

7) Penutupan yang memadai pada setiap akhir sesi,

8) Re-evaluasi atau fase penanganan terakhir.

i. Terapi Kognitif-Behavioral (TKB)

Digunakan dalam rangka membantu menangani berbagai masalah yang dihadapi individu:
seperti : depresi, kecemasan dan gangguan panik, atau dalam menghadapi peristiwa hidup lainnya,
seperti: kematian, perceraian, kecacatan, pengangguran, masalah yang berhubungan dengan anak-anak
dan stres.

Dalam (TKB), konselor dan klien bekerjasama untuk mengidentifikasi dan mengubah pola pikir
dan perilaku negatif yang menyebabkan timbulnya gangguan fisik-emosional. Fokus dalam terapi ini
adalah berusaha mengubah pikiran atau pembicaraan diri (self talk).

Proses (TKB) membantu klien dalam mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan spesifik dari apa yang
dia pikirkan dan menyebabkan timbulnya perasaan negatif dan menyakitkan. Setiap bentuk pemikiran
yang menyimpang klien ini dapat mempengaruhi tingkat emosi dan perilakunya.

Dalam memperlakukan orang yang mengalami kesulitan psikologis, titik yang paling efektif
untuk dilakukan intervensi adalah pada tingkat pikiran yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Jika
proses berpikirnya dapat berhasil dirubah, (misalnya asumsi, keyakinan, nilai-nilai), maka dengan
sendirinya perubahan dalam emosi dan perilaku akan mengikutinya.
Berbagai teknik dan strategi behavioral therapy dapat digunakan untuk meningkatkan hasil
perawatan (misalnya, teknik mengelola kemarahan, meditasi, latihan relaksasi, dan assertive training,
dan sebagainya). Tidak seperti proses konseling tradisional umumya, Terapi Kognitif-Behavioral (TKB)
lebih memfokuskan pada hasil dan tujuan, termasuk didalamnya adalah hasil jangka pendek (segera)
dari proses konseling yang sedang berjalan, yaitu tercapainya pengalaman positif klien yang relatif cepat
dengan adanya kemajuan perasaan yang lebih lega dan daya tahan.

Berdasarkan hasil studi beberapa dekade belakangan ini, telah membuktikan bahwa (TKB)
merupakan sebuah model sederhana yang sukses dan ampuh sebagai salah bentuk treatment psikologis.
Saat ini Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) telah banyak diterapkan oleh para profesional di seluruh
Amerika Serikat dan secara internasional.

“Jenis konseling ini adalah yang paling efektif dalam berurusan dengan individu-individu yang cerdas,
rasional dan berkeinginan untuk memiliki gairah dan kenikmatan dalam hidup mereka” demikian
menurut Beth Horwin, LPC, berdasarkan pengalamannya sebagai seorang therapist.

Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) merupakan proses terapi yang mengambil banyak bentuk, sedikitnya
terdapat 60 variasi. Secara ringkas, Beth Horwin mengemukakan proses konseling kognitif- behavioral
ini, sebagai berikut:

1) Membantu klien dalam mengenali, menganalisis dan mengelola keyakinannya.

2) Membiarkan klien bersandar pada memorinya, dan berusaha untuk memvalidasimya.

3) Menempatkan dan menitikberatkan pada keyakinan klien, tentang siapa dirinya dan apa tujuan hidup
dia di dunia ini

4) Menjaga fokus pada upaya meningkatkan “kepuasan hidup secara menyeluruh”, bukan pada upaya
penurunan emosi yang negatif

5) Membelajarkan dan mendidik yakni memberikan kesempatan kepada klien untuk


memeriksa/memguji kembali apa yang telah diucapkannya dengan kenyataan dirinya.

6) Mengidentifikasi dan berbagai keterampilan praktis (misalnya, tentang penetapan tujuan dan
pemecahan masalah).

7) Melanjutkan untuk melakukan pekerjaan ini untuk waktu jangka panjang, setelah proses konseling
selesai.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.slideshare.net/triysr/terapi-perilaku

Anda mungkin juga menyukai