Anda di halaman 1dari 13

Teori dan Pendekatan Konseling Behavioral

PAPER

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling

Dosen Pengampu :
Mulawarman. S.Pd., M.Pd., Ph.D.
Eni Rindi Antika. M.Pd.

Disusun Oleh :
Amanda Ayuningtias 1301421026
Niswatul Birra 1301421028
Muhammad Akbar Hidayat 1301421058
Salma Nurul Baidho 1301421060
Rizky Dwi Andini 1301421086
Najwa Husniyatin Nadhiroh 1301421090

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023
1. Latar Belakang Teori Behavioral
Menurut Corey dalam (Sanyata, 2012) mengemukakan bahwa psikoanalisa
merupakan sebuah model pengembangan kepribadian dengan pendekatan psikoterapi.
Teori Freud banyak dikembangkan pada model konseling dan terapi psikologis, sekaligus
menjadi salah satu menu wajib dalam memahami dimensi kepribadian manusia.
Psikoanalisa klasik yang kemudian berkembang dalam psikoanalisa kontemporer tetap
menjadi salah satu pertimbangan konselor dan terapis dalam menentukan pendekatan
psikoanalisa modern.
Berlanjut dari hal tersebut, muncul beberapa kritik terhadap psikoanalisa adalah
memandang manusia secara deterministik sehingga dianggap melemahkan martabat
kemanusiaan sebagai individu yang penuh dinamika dan memiliki kebebasan. Perilaku
deterministik disebabkan oleh kekuatan irasional, motivasi ketidaksadaran,
dorongan-dorongan biologis dan insting. Pendekatan psikoanalisa bersifat klinis dan
mementingkan energi-energi psikis dan kurang mengakui aspek kognitif. Posisi individu
hanya ditentukan oleh model perkembangan pada masa kanak-kanak berimplikasi pada
munculnya kritik dan teori baru yang memiliki cara pandang berbeda dengan
psikoanalisa.
Pada tahun 1950-an banyak eksperimen yang dilakukan oleh psikolog dan terapis
dalam upaya pengembangan potensi manusia, Salah satu temuan baru yang didapatkan
adalah menganggap pentingnya faktor belajar pada manusia, di mana untuk memperoleh
hasil belajar yang optimal diperlukan reinforcement sehingga teori ini menekankan pada
dua hal dua hal penting yaitu learning dan reinforcement serta tercapainya suatu
perubahan perilaku (behavior). Dalam perkembangan lebih lanjut teori ini dikenal dengan
behavior therapy dalam kelompok paham behaviorisme, yang dikembangkan melalui
penelitian eksperimental.

2. Pendiri/Pengembang Utama
Peristiwa penting dalam salah satu sejarah perkembangan behavioristik adalah
dipublikasikannya tulisan seorang psikolog Inggris yaitu H.J. Eysenck tentang terapi
behavior pada tahun 1952. Di bawah pimpinan H.J. Eysenck, Jurusan Psikologi di Institut
Psikiatri memiliki dua bidang yaitu bidang penelitian dan bidang pengajaran klinis.
Bidang penelitian lebih mengembangkan dimensi tingkah laku untuk menjelaskan
abnormalitas tingkah laku yang dirumuskan oleh Eysenck, sedangkan dalam bidang
pengajaran klinis menyelenggarakan latihan bagi sarjana-sarjana psikologi klinis. Dalam
tahap awal perkembangannya batasan pendekatan behavior diberikan sebagai aplikasi
teori belajar modern pada perlakuan masalah masalah klinis..
Kemudian B.F. Skinner pada tahun 1953 menulis buku Science and Human
Behavior, menjelaskan tentang peranan dari teori operant conditioning di dalam perilaku
manusia. Pendekatan behavior merupakan pendekatan yang berkembang secara logis dari
keseluruhan sejarah psikologi eksperimental. Dilanjut oleh Eksperimen Pavlov dengan
classical conditioning dan Bekhterev dengan instrumental conditioning-nya memberikan
pengaruh besar terhadap pendekatan behavior. Pavlov mengungkapkan berbagai
kegunaan teori dan tekniknya dalam memecahkan masalah tingkah laku abnormal seperti
hysteria, obsessional neurosis dan paranois. Perkembangan ini diperkuat dengan tulisan
dari Joseph Wolpe (1958) dalam bukunya Psychotherapy by Reciprocal Inhibition.
Pada tahun 1960-an muncul gagasan baru yang mengemukakan tentang terapi
behavior dan neurosis oleh Eysenck yang pada akhirnya berpengaruh besar pada
Principles of Behavior Modification dari Bandura (1969). Perkembangan yang pesat
membawa terapi behavior untuk pertama kalinya ditulis dalam publikasi ilmiah yaitu
Behavior Research and Therapy dan Journal of Applied Behavior Analysis. Albert
Bandura mengganti titik tekan perhatiannya pada teknik perilaku baru yaitu participant
modeling. Perkembangan selanjutnya adalah digagasnya teori dan metode
cognitive-behavioral dengan pendekatan A-BCs oleh Albert Allis pada tahun 1970-an.
Kontributor dari pendekatan baru ini adalah Aaron T. Beck (1976), Donald Meichenbaum
(1977) dan Albert Bandura dengan konsep yang dikemukakan adalah self-efficacy,
manifestasi dari pendekatan belajar sosial (social learning approach). Social learning
theory merupakan kombinasi dari classical dan operant conditioning.
Tokoh-tokoh pengembang behaviorisme adalah ; Skinner, Pavlov, Eysenck,
Joseph Wolpe, Albert Bandura, Albert Ellis, Aaron T. Beck, Ricard Walters, Arnold
Lazarus, dan J. B. Watson.
3. Konsep Dasar Model/Pendekatan
Studi yang dilakukan oleh Watson dan Rayner (1920) merupakan salah satu studi
paling penting dalam perkembangan pendekatan behavioral. Objek-objek penelitian ini
menjadi teknik-teknik inti dalam konseling behavioral. Krumboltz dari The Standford
University yang pertama kali mengemukakan istilah behavioral counseling pada tahun
1964. Dasar pendekatan behavioral yakni pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia
yakni pendekatan sistematik dan terstruktur dalam konseling. Pandangan ini melihat
individu sebagai buatan dari pengkondisian lingkungan ketimbang melihat kemampuan
individu sebagai pembuat lingkungan (Gantina Komalasari, 2011)

(Gantina Komalasari, 2011) Mulanya pendekatan ini hanya percaya terhadap


sesuatu yang dapat diobserver dan diukur dalam pengukuran kepribadian (radical
behaviorism). Lalu dikembangkan dengan menerima peristiwa kejiwaan seperti id, ego,
dan superego (methodological behaviorism). Pendekatan ini melihat perilaku yang
malasuai (maladjusted) sebagai hasil belajar dari lingkungan yang salah. Pendekatan ini
memiliki istilah modifikasi perilaku sebagai treatment guna mengubah perilaku. Lebih
lanjut, fokus pada pendekatan ini yakni terhadap sesuatu yang terlihat dan rinci. Pada
konseling, tingkah laku didapati dengan teliti dan tujuan konseling dijabarkan dengan
lengkap. Pendekatan ini beranggapan bahwa segala sesuatu dari tingkah laku yang baik
maupun tidak dapat dipelajari. Di samping itu, strategi yang efisien guna mengubah
tingkah laku maladaptif yakni dengan belajar.

4. Asumsi Pribadi Sehat dan Bermasalah


Pendekatan ini berasumsi bahwa individu yang sehat yakni sebagai berikut:
1. Mampu bereaksi dengan benar terhadap stimulus yang terdapat di lingkungan
2. Tingkah laku yang tidak kurang namun juga tidak berlebihan yakni memenuhi
kebutuhan
3. Rasa puas yang tinggi terhadap tingkah laku
4. Bertingkah laku tanpa mengecewakan diri dan lingkungan
5. Mampu mengambil keputusan yang tepat atas permasalahan yang dialami
6. Memiliki self-control yang mumpuni
Adapun asumsi terhadap pribadi yang tidak sehat yakni sebagai berikut:
1. Tingkah laku tidak sesuai dengan yang diinginkan lingkungan
2. Cara belajar atau lingkungan yang keliru sehingga tingkah laku ikut keliru
3. Kesalahpahaman dalam menghadapi lingkungan sehingga menimbulkan tingkah
laku maladaptif
4. Tidak mampu untuk mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan lingkungan
5. Menimbulkan masalah dengan lingkungan

5. Hakikat dan Tujuan Konseling


Hakikat manusia dalam behavioral, diantaranya:
1. Tingkah laku diperoleh dari belajar, proses terbentuknya kepribadian melalui
proses kematangan dan belajar
2. Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya di
lingkungan
3. Setiap orang lahir dengan kebutuhan bawaan, tetapi sebagian besar kebutuhan
dipelajari dari interaksinya dengan lingkungan
4. Manusia tidak lahir baik atau jahat tetapi netral : kepribadian tergantung interaksi
dengan lingkungan
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku
konseli, yang di antaranya untuk:

1. Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar


2. Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif
3. Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari
4. Membantu konseli membuang respons-respons yang lama yang merusak diri atau
maladaptif dan mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat dan
sesuai (adjustive).
5. Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptif,
memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan
6. Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan
bersama antara konseli dan konselor
6. Peran dan Fungsi Konselor
Peran konselor dalam konseling behavioral berperan aktif, direktif dan
menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan solusi dari persoalan individu.
Konselor behavioral biasanya berfungsi sebagai guru, pengarah dan ahli yang
mendiagnosa tingkah laku yang maladaptif dan menentukan prosedur yang mengatasi
persoalan tingkah laku individu. Dalam proses konseling, konseli yang menentukan
tingkah laku apa (what) yang akan diubah, sedangkan konselor menentukan cara yang
digunakan untuk mengubahnya (bow). Selain itu, konselor juga sebagai model bagi
kliennya. Bandura mengatakan bahwa sebagian besar proses belajar terjadi melalui
pengalaman langsung yang didapat melalui observasi langsung terhadap tingkah laku
orang lain. la berpendapat bahwa dasar fundamental proses belajar tingkah laku adalah
imitasi dengan demikian, konselor adalah model signifikan bagi kliennya. Corey (dalam
Komalasari, 2011)

7. Hubungan terapeutik
Menurut seligman 2006, Perbedaan individu dilihat berdasarkan pengalaman nya
serta Perilaku yang dipelajari dan didapatkan itu berdasarkan dari pemodelan,
pengkondisian, dan bantuan yang terjadi dalam konseling behavioral. Setiap pribadi yang
melakukan sebuah kegiatan atau tindakan itu pasti memiliki tujuan yang Dalam setiap
perilaku yang terjadi ada beberapa faktor tertentu yang terjadi berdasarkan pikiran,
emosi, kebiasaaan dan aspek aspek lainnya. Konseling behavioral juga berusaha untuk
memahami dan merubah dirinya dan Harus didasarkan pada metode ilmiah dan
sistematis, empiris dan eksperimental.

8. Tahap-Tahap konseling

Joyce da Sill (2001) mengatakan bahwa proses konseling gestalt terjadi dalam
tahapan tertentu yang fleksibel. Tiap-tiap tahap memiliki prioritas dan tujuan tertentu
yang membantu konselor dalam mengorganisasikan proses konseling. Tahap-tahap
tersebut yaitu:
1. Tahap Pertama (The Beginning Phase)

Pada tahap ini konselor menggunakan metode fenomenologi untuk meningkatkan


kesadaran konseli, menciptakan hubungan dialogis mendorong keberfungsian konseli
secara sehat dan menstimulasi konseli untuk mengembangkan dukungan pribadi dan
lingkungannya. Secara garis besar, proses yang dilalui dalam konseling tahap pertama
adalah:

a. Menciptakan tempat yang aman dan nyaman untuk prose konseling.


b. Mengembangkan hubungan kolaboratif.
c. Mengumpulkan data, pengalaman konseli dan keseluruhan gambaran
kepribadiannya dengan pendekatan fenomenologi.
d. Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab pribadi konseli.
e. Membangun sebuah hubungan yang dialogis.
f. Meningkatkan self-support, khususnya dengan konseli yang memiliki proses diri
yang rentan.
g. Mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan konseli dan
tema-tema masalah yang muncul.
h. Membuat prioritas dan kesimpulan diagnosis terhadap konseli.
i. Mempertimbangkan isu-isu budaya dan isu-isu lainnya yang memiliki perbedaan
potensial antara konselor dan konseli serta mempengaruhi proses konseling.
j. Konselor mempersiapkan rencana untuk menghadapi kondisi-kondisi khusus dari
konseli, seperti menyakiti diri sendiri, kemarahan yang berlebihan, dan
sebagainya.
k. Bekerjasama dengan konseli untuk membuat rencana konseling.

2. Tahap Kedua (Clearing The Groud)

Pada tahap ini proses konseling berlanjut pada strategi-strategi yang lebih
spesifik. Peran konselor adalah secara berkelanjutan mendorong dan memangkitkan
keberanian konseli mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosi-emosinya dalam
rangka katarsis dan menawarkan konseli untuk melakukan berbagai eksperimentasi untuk
meningkatkan kesadarannya, tanggung jawab pribadi, dan memahami unfinished
business. Adapun proses tahap ini meliputi:

a. Mengeksplorasi introyeksi-introyeksi dan modifikasi kontak.


b. Mengatasi urusan yang tidak selesai.
c. Mendukung ekspresi-ekspresi konseli atau proses katarsis.
d. Melakukan eksperimentasi perilaku baru dan memperluas pilihan-pilihan bagi konseli.
e. Terlibat secara terus menerus dalam hubungan yang dialogis.

3. Tahap Ketiga (The Existential Encounter)

Pada tahap ini ditandai dengan aktivitas yang dilakukan konseli dengan
mengeksplorasi masalahnya secara mendalam dan membuat perubahan-perubahan yang
cukup signifikan. Tahap ini merupakan fase tersulit karena pada tahap ini konseli
menghadapi kecemasan-kecemasan nya sendiri, ketidakpastian, dan ketakutan-ketakutan
yang selama ini terpendam dalam diri. Pada fase ini konselor memberikan dukungan dan
motivasi berusaha memberikan keyakinan ketika konseli cemas dan ragu-ragu menghadapi
masalahnya. Pada tahap ini terdapat beberapa langkah yang dilalui, yaitu:

a. Menghadapi hal-hal yang tidak diketahui dan mempercayai regulasi diri organismik klien
untuk berkembang.
b. Memiliki kembali bagian dari diri konseli yang tadinya hilang atau tidak diakui.
c. Membuat suatu keputusan eksistensial untuk hidup dan terus berjalan.
d. Bekerja secara sistematis dan terus menerus dalam mengatasi keyakinan konseli yang
destruktif, tema-tema kehidupan klien yang negative.
e. Memilih hidup dengan keberanian menghadapi ketidakpastian.
f. Berhubungan dengan makna-makna spiritual.
g. Mengalami sebuah hubungan perbaikan yang terus-menerus berkembang.

4. Tahap Keempat (Integration)

Pada tahap ini konseli sudah mulai dapat mengatasi krisis-krisis yang dieksplorasi
sebelumnya dan mulai mengintegrasikan keseluruhan diri, pengalaman dan
emosi-emosinya dalam perspektif yang baru. Tahap ini terdiri dari beberapa langkah,
diantaranya:

a. Membentuk kembali pola-pola hidup dalam bimbingan pemahaman baru dan insight
baru.
b. Memfokuskan pada pembuatan kontrak relasi yang memuaskan.
c. Berhubungan dengan masyarakat dan komunitas secara luas.
d. Menerima ketidakpastian dan kecemasan yang dapat menghasilkan makna-makna baru
e. Menerima tanggung jawab untuk hidup.

5. Tahap Kelima (Ending)

Pada tahap ini konseli siap untuk memulai kehidupan secara mandiri tanpa
supervisi konselor. Tahap pengakhiran ditandai dengan proses sebagai berikut:

a. berusaha untuk melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan konseling yang telah
selesai.
b. Memberikan proses pembahasan kembali isu-isu yang ada.
c. Merayakan apa yang telah dicapai.
d. Menerima apa yang belum dicapai.
e. Melakukan antisipasi dan perencanaan terhadap krisis di masa depan.
f. Membiarkan pergi dan terus melanjutkan kehidupan.

9. Teknik-teknik Spesifik Konseling

Menurut Latipun (2008), teknik yang digunakan dalam konseling behavior adalah
sebagai berikut:

1. Teknik tingkah laku umum

- Skedul penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada

- klien ketika tingkah baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien.


Penguatan harus dilakukan secara terus-menerus sampai tingkah laku
tersebut terbentuk dalam diri klien.
- Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari
tingkah laku baru secara bertahap. Konselor dapat membagi-bagi tingkah
laku yang ingin dicapai dalam beberapa unit, kemudian mempelajarinya
dalam unit-unit kecil.

- Ekstingsi adalah teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar


tingkah laku maladaptif tidak berulang. Ini didasarkan pada pandangan
bahwa individu tidak akan bersedia melakukan sesuatu apabila tidak
mendapatkan keuntungan.

2. Teknik-teknik spesifik
- Desensitisasi Sistematik.

Desensitisasi sistematik adalah teknik yang paling sering digunakan.


Desensitisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani
fobia-fobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa
diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan. Teknik ini
diarahkan kepada klien untuk menampilkan respon yang tidak
konsisten dengan kecemasan. Desensitisasi sistematik melibatkan
teknik relaksasi dimana klien diminta untuk menggambarkan situasi
yang paling menimbulkan kecemasan sampai titik dimana klien tidak
merasa cemas.

- Latihan Asertif.

Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah


latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi
interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima
kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan
yang layak atau benar.

- Terapi Aversi.

Teknik-teknik pengkondisian aversi yang telah digunakan secara luas


untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik,
melibatkan pengasosiasisan tingkah laku simtomatik dengan suatu
stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan
terhambat kemunculannya. Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa
hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang membuat
mual. Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau
penggunaan berbagai bentuk hukuman.
- Pengkondisian Operan.

Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang


menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di
lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan
merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan
sehari-hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan
dengan alat-alat makan, bermain, dan sebagainya.

- Penguatan Positif.

Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran


atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul
adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku.
Penguatan positif adalah teknik yang digunakan melalui pemberian
ganjaran segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Contoh
penguatan positif adalah senyuman, persetujuan, pujian, bintang emas,
mendali , uang, dan hadiah lainnya. Pemberian penguatan positif
dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku baru yang
telah terbentuk.

- Pencontohan.

Dalam percontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian


diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Belajar yang bisa
diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara
tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut
konsekuensi-konsekuensinya. Dalam teknik ini, klien dapat mengamati
seseorang yang dijadikan modelnya untuk berperilaku kemudian
diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam hal ini
konselor, dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien.

- Token Economy.

Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah


laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa
diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Metode ini menekankan
penguatan yang dapat dilihat dan disentuh oleh klien yang dapat
ditukar oleh klien dengan objek atau hak istimewa yang
diinginkannya. Token economy dapat dijadikan pemikat oleh klien
untuk mencapai sesuatu.
KESIMPULAN

Teori dan Pendekatan Konseling Behavioral ditemukan karena adanya tulisan seorang
psikolog Inggris yaitu H.J. Eysenck tentang terapi behavior pada tahun 1952. Lalu teori ini
dikembangkan oleh Skinner, Pavlov, Eysenck, Joseph Wolpe, Albert Bandura, Albert Ellis,
Aaron T. Beck, Ricard Walters, Arnold Lazarus, dan J. B. Watson.

Dalam teori ini Hakikat manusia dalam pandangan para behaviorist adalah pasif dan
mekanistis, manusia dianggap sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan diprogram sesuai dengan
keinginan lingkungan yang membentuknya. Lebih jelas lagi penjelaskan tentang hakikat manusia
dalam pandangan teori behavioristik sebagai berikut: dalam teori ini menganggap manusia
bersifat mekanistik atau merespon kepada lingkungan dengan kontrol terbatas, hidup dalam alam
deterministic dan sedikit peran aktifnya dalam memilih martabatnya. Manusia memulai
kehidupan dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya,dan interaksi ini menghasilkan
pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
DAFTAR PUSTAKA

Komalasari, G., Wahyuni, E., & Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Indeks.

Sanyata. 2012. Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling. Jurnal Paradigma,
No. 14 Th. VII. Hal 1-11

Latipun. 2008. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.

Anda mungkin juga menyukai