Anda di halaman 1dari 10

TEORI BEHAVIORISTIK

1. Sejarah
Steven Jay Lynn dan John P. Garske (1985) menyebutkan bahwa di kalangan
konselor/psikolog, teori dan pendekatan behavior sering disebut sebagai modifikasi
perilaku (behavior modification) dan terapi perilaku (behavior therapy), sedangkan
menurut Carlton E. Beck (1971) istilah ini dikenal dengan behavior therapy, behavior
conseling, reinforcement therapy, behavior modification, contingency management.
Istilah pendekatan behavior pertama kali digunakan oleh Lindzey pada tahun 1954 dan
kemudian lebih dikenalkan oleh Lazarus pada tahun 1958. (dalam Sanyata, 2012)
Awal tahun 1980-an muncul pembaharuan behaviorisme yaitu neo-behaviorisme
yang menekankan pada classical conditioning dalam etiologi dan perlakuan (treatment)
terhadap neurosis, di mana konsep baru ini berlawanan dengan sebutan black box/black
boxes. Pada akhir tahun 1980-an konsep behaviorisme difokuskan pada behavioral
medicine yang merujuk pada pendekatan psikologis yang menangani kondisi physical or
medicine disorder. (dalam Sanyata, 2012)
Saat ini konseling/terapi behavioral berkembang pesat dengan ditemukannya
sejumlah teknik-teknik pengubahan perilaku, baik yang menekankan pada aspek
fisiologis, perilaku maupun kognitif (Hackmann, 1993 dalam Latipun, 2015).
Ada beberapa ahli dalam pendekatan behaviorisme, yaitu:
 Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Pavlov merupakan warga yang berasal dari Rusia dan melahirkan sebuah teori
yaitu pengkondisian klasik (classical conditioning). Pada waktu itu Pavlov
mencoba mengembangkan sebuah eksperimennya menggunakan anjing sebagai
bagian dari penelitian. Pengkondisian yang dikembangkan oleh Pavlov
menjelaskan bahwa dari hasil eksperimen menunjukkan bahwa rangsangan secara
berulang-ulang ditambah dengan unsur penguat maka akan menghasilkan suatu
reaksi. (dalam Setiawan, 2018)
 Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Thorndike lahir di Williamsburg tahun 1874, salah satu hasil karya nya yaitu
penelitian mengenai psikologi binatang serta teori belajar Trial and Error.
Konsep yang dikembangkan oleh Thorndike lebih menekankan pada aspek
fungsional perilaku yaitu proses mental dan perilaku seseorang terhadap
lingkungannya. Eksperimen Thorndike menetapkan tiga macam hukum yang
dikenal dengan hokum primer dalam belajar, berikut tiga hukum yang dimaksud:
a. The law of Readiness, salah satu faktor penting dalam belajar. Seseorang
harus memiliki kesiapan dan kesediaan, kesiapan dan kesediaan akan
menentukan hasil belajar apakah baik atau buruk.
b. The law of Exercise, memiliki dua hal penting yaitu hukum kegunaan (the
law of use) yaitu hukum yang menyatakan bahwa hubungan antara stimulus
dan respon akan semakin kuat apabila sering digunakan. Kemudian the law of
disuse merupakan hukum yang lebih menekankan pada hubungan antara
stimulus dan respon menjadi lemah jika tidak dilakukan latihan.
c. The law of Effect, menitikberatkan pada penguatan atau memperlemah
hubungan stimulus dan respon tergantung kepada hasil dari respon yang
bersangkutan. (Setiawan, 2018)
2. Pengertian
Dalam konteks Indonesia istilah behavior sama dengan istilah tingkah laku yang
banyak membicarakan perilaku-perilaku manusia sebagai hasil belajar. Gerald Corey
menjelaskan bahwa behavior pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi
berkaitan dengan pengubahan tingkah laku. (Muslihah, 2018)
Behaviorisme memandang bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak
membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus yang
diterimanya dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang burukakan menghasilkan
manusia yang buruk, lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik.
Pandangan seperti ini memberi penekanan yang sangat besar pada aspek stimulus
lingkungan untuk mengembangkan manusia dan kurang menghargai faktor bakat atau
potensi alami manusia. Pandangan ini beranggapan bahwa apapun jadinya seseorang,
satu-satunya yang menentukan adalah lingkungannya. (Sobur, 2011 dalam Muslihah,
2018)
3. Asumsi Dasar dan Konsep Behavioristik (dalam Sanyata, 2012)
Steven Jay Lynn dan John P. Garske (1985) mengemukakan bahwa asumsi dasar
dalam pendekatan behavioristik adalah (1) memimiliki konsentrasi pada proses perilaku,
(2) menekankan dimensi waktu here and now, (3) manusia berada dalam perilaku
maladaptif, (4) proses belajar merupakan cara efektif untuk mengubah perilaku
maladaptive, (5) melakukan penetapan tujuan perubahan perilaku, (6) menekankan nilai
secara empiris dan didukung dengan berbagai teknik dan metode. Sedangkan menurut
Kazdin (2001), Miltenberger (2004), dan Spiegler & Guevremont (2003) yang dikutip
oleh Corey (2005) karakteristik dan asumsi mendasar dalam behavioristic adalah (1)
terapi perilaku didasarkan pada prinsip dan prosedur metode ilmiah, (2) terapi perilaku
berhubungan dengan permasalahan konseli dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (3)
konseli dalam terapi perilaku diharapkan berperan aktif berkaitan dengan
permasalahannya, (4) menekankan keterampilan konseli dalam mengatur dirinya dengan
harapan mereka dapat bertanggung jawab, (5) ukuran perilaku yang terbentuk adalah
perilaku yang nampak dan yang tidak nampak,(6) menekankan pendekatan self-control
disamping konseli belajar dalam strategi mengatur diri, (7) intervensi perilaku bersifat
individual dan menyesuaikan pada permasalahan khusus yang dialami konseli, (8)
kerjasama antara konseli dan konselor, (9) menekankan aplikasi secara praktis dan, (10)
konselor bekerja keras untuk mengembangkan prosedur kultural secara spesifik untuk
mendapatkan konseli yang taat dan kooperatif. Corey (2005) mengemukakan bahwa
dalam behavioristik mengemukakan bahwa dalam behavioristik kontemporer terdapat
empat konsep teori yang mengembangkan teori behavioristic, yaitu; (1) classical
conditioning, (2) operant conditioning, (3) social learning theory, dan (4) cognitive
behavior therapy. (dalam Sanyata, 2012)
Paul (1967) dalam Corey (2009; 237-238 dalam Setiawan, 2018), ada enam kunci
karakteristik dari konseling perilaku, yaitu:
1. Konseling perilaku didasarkan pada prinsip dan prosedur metode ilmiah. Prinsip
eksperimen berasal dari pembelajaran yang bersifat tersusun rapi dan diterapkan
untuk membantu orang dalam mengubah perilaku yang tidak sesuai dengan diri
mereka.
2. Transaksi konseling perilaku dengan masalah saat ini konseli dan faktor yang
mempengaruhi mereka, sebagai lawan dari analisis tentang kemungkinan determinan
sejarah.
3. Konseli yang terlibat dalam pendekatan behaviorisme diharapkan dapat
mengasumsikan peran demgan jelas dan nyata untuk menangani masalah mereka.
4. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa perubahan dapat berlangsung tanpa wawasan
dinamika yang mendasarinya.
5. Fokusnya adalah pada menilai perilaku terbuka dan rahasia secara langsung,
mengidentifikasi masalah, dan mengevaluasi perubahan.
6. Intervensi perilaku secara individual disesuaikan dengan masalah spesifik yang
dialami oleh konseli agar bisa terobati.

Conditioning and learning memegang peranan sangat penting dalam pendekatan


behavioristik, terutama dalam memahami urutan terbentuknya tingkah laku. Landasan
dalam pendekatan behavior menurut pandangan Aubrey J. Yates (1970, dalam Sanyata,
2012) adalah sebagai berikut:

a. Psikodinamika dan psikiatri tidak mampu menyelesaikan seluruh tingkah laku yang
salah.
b. Tingkah laku yang abnormal yang tidak disebabkan gangguan organik terjadi karena
kekeliruan belajar. Individu memperoleh tingkah laku baru yang dipandang
menyimpang melalui proses belajar.
c. Konsep-konsep seperti ketidaksadaran, id, ego, super ego, insight dan self, tidak
digunakan dalam memahami dan menyembuhkan penyimpangan tingkah laku.
d. Symptom merupakan penyimpangan tingkah laku yang penyembuhannya dilakukan
dengan menghilangkan tingkah laku tersebut, dan bukan sekedar mengganti
symptom.
e. Penelitian tentang sebab-sebab terjadinya symptom dan mencari stimulus yang
menyebabkan terjadinya simpyom sangat diperlukan bagi penyembuhannya.
4. Ciri-ciri Khusus Konseling Behavior (dalam Setiawan, 2018)
Dapat diketahui bahwa konseling behavior mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu:
a. Proses konseling mendasarkan pada prinsip dan prosedur metode ilmiah
b. Mengkaji perilaku saat ini dan faktor yang mempengaruhinya
c. Konseli yang terlibat dalam konseling behavior berperan aktif dengan terlibat dalam
tindakan spesifik utnuk menangani masalah mereka
d. Pendekatan ini berasumsi bahwa perubahan dapat berlangsung tanpa wawasan
dinamika yang mendasarinya
e. Fokusnya adalah pada menilai perilaku terbuka dan rahasia secara langsung,
mengindentifikasi masalah, dan mengevaluasi perubahan
f. Intervensi treatment behavior secara individual (spesifik) disesuaikan dengan masalah
yang dialami oleh konseli
g. Kecemasan dan penguraian tujuan-tujuan treatment
h. Penaksiran objek atas hasil
5. Tujuan Dan Kegunaan Teori Behavioristic (dalam Sanyata, 2012)
Pendekatan behavioristic merupakan usaha untuk memanfaatkan secara sistematis
pengetahuan dan teoritis dan empiris yang dihasilkan dari penggunaan eksperimen dalam
psikologi untuk memahami dan menyembuhkan pola tingkah laku abnormal. Utnuk
pencegahan dan penyembuhan abnormalitas tersebut dimanfaatkan hasil studi
eksperimental baik secara deskriptif maupun remedial. Pendekatan behavior bertujuan
utnuk menghilangkan tingkah laku yang salah suai dan membentuk tingkah laku baru.
Pendekatan tingkah laku dapat digunakan dalam menyembuhkan berbagai gangguan
tingkah laku dari yang sederhana hingga yang kompleks, baik individual maupun
kelompok.
Menurut Corey (1986, dalam Sanyata, 2012) tujuan pendekatan behavioristic
adalah sebagai refleksi masalah konseli, dasar pemilihan, dan penggunaan strategi
konseling dan sebagai kerangka untuk menilai hasil konseling. Karakteristik pendekatan
behvioristik yang dikemukakan oleh Eysenck, adalah pendekatan tingkah laku yang;
a. Didasarkan pada teori yang dirumuskan secara tepat dan konsisten yang mengarah
kepada kesimpulan yang dapat diuji.
b. Berasal dari hasil penelaahan eksperimental yang secara khusus direncanakan untuk
untuk menguji teori-teori dan kesimpulannya.
c. Memadang symptom sebagai respon bersyarat yang tidak sesuai (un-adaptive
conditioned responses).
d. Memandang symptom sebagai bukti adanya kekeliruan hasil belajar.
e. Memandang bahwa simptom-simptom tingkah laku ditentukan berdasarkan
perbedaan individual yang terbentuk secara conditioning dan autonomy sesuai dengan
lingkungan masing-masing.
f. Menganggap penyembuhan gangguan neurotik sebagai pembentukan kebiasaan
(habit) yang baru.
g. Menyembuhkan symptom secara langsung dengan jalan menghilangkan respon
bersyarat yang keliru dan membentuk respon bersyarat yang diharapkan.
h. Menganggap bahwa pertalian pribadi tidaklah esensial bagi penyembuhan gangguan
neurotik, sekalipun untuk hal-hal tertentu yang terkadang diperlukan.
6. Teknik dan Metode Konseling Kognitif-Behavioral (McLeod, 2008)
Berbeda dengan pendekatan konseling psikodinamik dan person-centered yang
menempatkan pendekatan sangat besar kepada ekplorasi dan pemahaman, pendekatan
kognitif-behavioral kurang memerhatikan pemahaman dan lebih berorientasi kepada
tindakan klien yang menghasilkan perubahan. Walaupun tiap praktisi memiliki gaya yang
berbeda satu dengan yang lain, namun kecenderungan dalam kognitif-behavioral adalah
dilaksanakannya pendekatan ini dalam sebuah program yang terstruktur langkah demi
langkah (Kuehnel dan Liberman, 1986; Freeman dan Simon, 1989 dalam McLeod, 2008).

Program seperti ini dapat mencakup:


a. Mencipatakan hubungan yang sangat dekat dan aliansi kerja antara konselor dan
klien. Menjelaskan dasar pemikiran dan pemikirandari penanganan yang diberikan.
b. Menilai masalah. Mengindentifikasi, mengukur frekuensi, intensitas dan kelayakan
masalah perilaku, dan kognisi
c. Menetapkan target perubahan. Hal ini seharusnya dipilihi oleh klien, dan harus jelas,
spesifik, dan dapat dicapai.
d. Penerapan teknik kognitif dan behavioral (perilaku).
e. Memonitor perkembangan, dengan menggunakan penilaian berjalan terhadap
perilaku sasaran.
f. Mengakhiri dan merancang program lanjutan untuk generalisasi dari apa yang
didapat.
Persons (1993, dalam McLeod, 2008) berpendapat bahwa merupakan suatu hal
yang berguna dalam pendekatan kognitif-behavioral untuk mengintegrasikan semua
informasi ini dalam kesatuan formulasi atau konseptualisasi kasus. Konselor behavioral
biasanya akan menggunakan berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan
perilaku sasaran dengan klien (Haaga dan Davison, 1986; Meichenbaum, 1986 dalam
McLeod, 2008). Teknik yang biasanya digunakan adalah:
a. Menantang keyakinan irasional.
b. Membingkai kembali isu: misalnya, menerima kondisi emosional internal sebagai
sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
c. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan
konselor.
d. Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dari situasi riil.
e. Mengukur perasaan; misalnya, dengan menempatkan perasan cemas dalam skala 0-
100.
f. Menghentikan pikiran. Ketimbang mebiarkan pikiran cemas atau obsessional
“mengambil alih”, lebih baik klien belajar untuk menghentikan mereka dengan cara
menyabetkan ke pergelangan tangan.
g. Disentisitasi sistematis. Digantinya respons takut dan cemas dengan respon relaksasi
yang telah dipelajari. Konselor membawa klien melewati tingkatan hierarki situasi
untuk melenyapkan rasa takut.
h. Pelatihan keterampilan social atau asertifikasi.
i. Penugasan pekerjaan rumah. Mempraktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara
sesi terapi.
j. In vivo exposure. Memasuki situasi yang paling menakutkan dengan didampingi oleh
konselor; misalnya mengunjungi pertokoan dengan klien yang menderita agrofobia
(ketakutan berlebihan terhadap tempat public). Peran konselor adalah memotivasi
klien menggunakan teknik kognitif-behavioral untuk mengatasi situasi tersebut.
Pendekatan Behavioral Terhadap Santri Untuk Mengatasi Korban Bullying

(Studi Kasus di Mts Pondok Pesantren Daar Et-Taqwa Petir)

Oleh Muslihah

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Pendekatan Behavioral Terhadap
Santri Untuk Mengatasi Korban Bullying di Pondok Pesantren Daar Et-Taqwa Petir
terdapat 5 bentuk bullying yang dilakukan pada 5 santri, diantaranya sebagai berikut:

a. Bentuk tindakan bullying yang diterima oleh responden ED secara non fisik yaitu
bullying verbal, ED sering dikata-katain dengan panggilan tomboy, dan ED ketika
berada di kamar pasti kakak kelas yang sekamar dengan ED suka mengejek ED suka
ngompol kadang teman-teman yang lain pun ikut mengejeknya.
b. Bentuk tindakan bullying yang diterima oleh responden NM secar fisik dan non fisik
yaitu: secara fisik, pernah dicubitin oleh ND dan buku NM pernah disembunyikan
sampai rusak. Sedangkan non fisik yaitu bullying secara verbal, NM mempunyai
nama panggilan yang kurang menyenangkan hatinya karena bentuk badan yang
gendut serta nama julukan “bagong”
c. Bentuk tindakan bullying yang diterima oleh responden F secara non fisik yaitu
bullying secara verbal, F sering dikatai oleh ND dan teman-temannya seperti tolol,
goblog dan F diancam akan dihadang di luar kelas oleh ND kalau F melawan ND.
d. Bentuk tindakan bullying yang diterima AS secara fisik dan non fisik yaitu: secara
fisik, AS sering dilempari pakai kertas atau penghapus karet. Sedangkan sacara non
fisik yaitu secara verbal AS juga sering dikata-katain dengan teman-temannya dengan
panggilan domba.
e. Bentuk tindakan bullying yang oleh responden MA secara non fisik yaitu bullying
verbal, MA sering dikata-katain dengan dengan panggilan doyok, MA sering disoraki
jika mengeluarkan pendapatnya ketika berada di dalam kelas dan dikata-katain sok
pintar.

Diketahui faktor yang mempengaruhi Santri yang berperilaku korban bullying di


Pondok Pesantren Daar Et Taqwa disebabkan karena masalah internal yaitu santri yang
memiliki pribadi yang tidak baik. Faktor internal ini biasanya merupakan faktor genetis
atau faktor bawaan, maksudnya dipengaruhi keturunan dari salah satu sifat yang dimiliki
oleh kedua orang tuanya. Dan masalah eksternal yang muncul dari lingkungan keluarga
dan Pondok Pesantren itu sendiri seperti masalah antar teman.

Sumber: http://repository.uinbanten.ac.id/2945/

Tahapan Konseling Behavioral dilakukan dengan 4 pertemuan, yaitu:

1. Melakukan Assesmen, pada pertemuan ini seorang konselor memulai percakapan


ringan dengan utnuk membangun mood yang baik antara klien dengan konselor dan
kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai kepribadian klien, kehidupan
klien hingga pertanyaan mengenai masalah yang dialami klien.
2. Goal Setting, pada pertemuan ini konselor mengidentifikasi permasalahan konseli
yaitu konselor menggali gejala-gejala awal dari suatu masalah yang dihadapi oleh
konseli.
3. Technique Implementation, pada pertemuan ini konseli dibantu untuk yakin bahwa
pemikiran dan perasaan dapat ditentang dan dibuah. Kemudian konselor menjelaskan
layanan bimbingan yang dijalaninya.
4. Evaluation-termination, pada pertemuan ini konseling dilakukan untuk melihat
efektivitas dan kemajuan yang diperoleh oleh konseli dari proses konseling yang
dijalani. (Komalasari, 2011 dalam Muslihah, 2018)
PUSTAKA

Sanyata, S. (2012). Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling.


Jurnal Paradigma. 14(7). 1-11.

Latipun. (2015). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.

Setiawan, A. (2018). Pendekatan-pendekatan Konseling (Teori dan Aplikasi).


Yogyakarta: Deepublish.

Muslihah. (2018). Pendekatan Behavioral Terhadap Santri Untuk Mengatasi Korban


Bullying (Studi Kasus di Mts Pondok Pesantren Daar Et-Taqwa Petir). Diploma
atau S1 thesis, Universitas Islam Negri “SMH” Banten.

McLeod, J. (2008). Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. (Edisi ke-3). Jakarta:
Kencana.

Anda mungkin juga menyukai