Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Terapi behavior berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan
Skinnerian dari B. F. Skinner. Pada mulanya terapi ini dikembangkan oleh Wolpe untuk
menanggulangi neurosis. Kemudian pendekatan behavioral ini menjadi pendekatan yang
populer pada masa 1960-an. Dasar teori behavioral adalah bahwa perilaku adalah bahwa
perilaku dapat dipahami sebagai hasil kombinasi: (1) belajar waktu lalu dalam hubungannya
dengan keadaan serupa, (2) keadaan motivasional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan
lingkungan, (3) perbedaan-perbedaan biologik baik secara genetik atau karena gangguan
fisiologi. Dengan eksperimen-eksperimen terkontrol secara seksama maka menghasilkan
hukum-hukum yang mengontrol perilaku tersebut.
Seringkali orang mengalami kesulitan karena tingkah lakunya berlebih atau ia
kekurangan tingkah laku yang pantas. Konselor yang mengambil pendekatan behavior
membantu klien untuk belajar cara bertindak yang baru dan pantas, atau membantu mereka
untuk memodifikasi atau mengeliminasi tingkah laku yang berlebih. Dengan kata lain,
membantu klien agar tingkah lakunya menjadi lebih adaptif dan menghilangkan tingkah laku
yang maladaptif. Pada tahun 1970-an pendekatan behavioral mendapatkan pengaruh dari teori
kognitif.
Terapi kognitif dikembangkan pada tahun 1960-an oleh Aaron Beck dan berkaitan
dengan terapi rasional emotif dari Albert Ellis. Terapi kognitif akan lebih bermanfaat jika
digabung dengan pendekatan perilaku. Kemudian terapi ini di disatukan dan dikenal dengan
terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy). Terapi ini memperlakukan individu
sebagai agen yang berpikir positif dan berinteraksi dengan dunianya.
Individu membentuk sudut pandang dan keyakinan serta memiliki afek atau perasaan
mengenai apa yang dianggap benar bagi diri sendiri, lingkungan, dan mengenia pikiran serta
perasaannya pada interaksi yang luas dengan perilaku atau tindakan dalam rangkaian
interaksi. Setiap interaksi memperngaruhi interaksi lain.
Berdasarkan kognisi dan pengalaman masa lalu, individu membentuk pandangan dan
skema kognitif yaitu cara berpikir atau perspektif kebiasaan mengenai diri sendiri, dunia dan

1
masa depan. Misalnya, individu mengembangkan pandangan psimistis mengenai cara
mengontrol takdirnya sendiri atau merasa takdirnya mampu dikontrol oleh orang lain dan
tidak mampu mengontrolnya sendiri. Dalam situasi tersebut, individu mengembangkan
pandangan negative serta merasa tidak berharga (disebut pikiran otomatis negative) yang
dapat menimbulkan stress, emosi, kecemasan dan depresi. Individu cenderung mengolah
keyakinan yang tidak masuk akal tentang kemampuan dan berhubungan dengan orang lain.
Hasil persepsi dan distorsi yang salah ini ditandai oleh harapan yang tidak realistis terhadap
diri sendiri dan orang lain, metode koping yang tidak efektif, dan pandangan tentang diri
sendiri sebagai orang yang tidak mampu.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana sejarah terapi behavioral?
b. Bagaimana tujuan dari terapi behavioral?
c. Bagaimana teknik-teknik terapi behavioral?
d. Apa yang dimaksud dengan Cognitive Behavior Therapy?
e. Bagaimana sejarah Cognitive Behavior Therapy?
f. Apa tujuan dari Cognitive Behavior Therapy?
g. Bagaimana dua pendekatan Cognitive Behavior Therapy?
h. Bagaimana teknik-teknik Cognitive Behavior Therapy?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


a. Untuk mengetahui bagaimana sejarah terapi behavioral
b. Untuk mengetahui bagaimana tujuan dari terapi behavioral
c. Untuk mengetahui bagaimana teknik-teknik terapi behavioral
d. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Cognitive Behavior Therapy
e. Untuk mengetahui tujuan dari Cognitive Behavior Therapy
f. Untuk mengetahui pendekatan Cognitive Behavior Therapy
g. Untuk mengetahui bagaimana teknik-teknik Cognitive Behavior Therapy

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.2.1. Terapi Behavioral


2.1.1. Pengantar Terapi Behavioral

Menurut Gerald Corey, terapi behavior adalah penerapan aneka ragam teknik dan
prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan
yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang
lebih adaptif. Pendekatan ini telah memberikan sumbangan-sumbangan yang berarti, baik
pada bidang-bidang klinis maupun pendidikan.
Terapi behavior berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan
Skinnerian dari B. F. Skinner. Pada mulanya terapi ini dikembangkan oleh Wolpe untuk
menanggulangi neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak
adaptif melalui proses belajar. Dasar teori behavioral adalah bahwa perilaku adalah bahwa
perilaku dapat dipahami sebagai hasil kombinasi: (1) belajar waktu lalu dalam hubungannya
dengan keadaan serupa, (2) keadaan motivasional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan
lingkungan, (3) perbedaan-perbedaan biologik baik secara genetik atau karena gangguan
fisiologi. Dengan eksperimen-eksperimen terkontrol secara seksama maka menghasilkan
hukum-hukum yang mengontrol perilaku tersebut.
Seringkali orang mengalami kesulitan karena tingkah lakunya berlebih atau ia
kekurangan tingkah laku yang pantas. Konselor yang mengambil pendekatan behavior
membantu klien untuk belajar cara bertindak yang baru dan pantas, atau membantu mereka
untuk memodifikasi atau mengeliminasi tingkah laku yang berlebih. Dengan kata lain,
membantu klien agar tingkah lakunya menjadi lebih adaptif dan menghilangkan tingkah laku
yang maladaptif.

2.1.2. Tujuan Terapi Behavior

Tujuan utama terapi behavior adalah perubahan perilaku yang dapat diobservasi.
Tujuan ini berlawanan dengan tujuan pendekatan psikodinamik dan humanistik, yang
masing-masing menekankan proses-proses mental internal yaitu, masing-masing membuat
yang tidak sadar menjadi sadar dan membantu perkembangan aktualisasi diri. Faktanya,

3
muncul dan bangkitnya pendekatan perilaku berasal dari ketidakpuasan terhadap banya aspek
pendektan psikodinamik yang mendominasi sepanjang awal dan pertengahan tahun 1900-an
(Craske, 2010). Sebagai reaksi terhadap kelemahan yang dipersepsikan dari pendekatan-
pendekatan yang menonjol pada zaman itu, kaum behavioris awal menempa sebuah terapi
baru yang dibedakan sejak awal kelahiranya melalui sejumlah karakteristik yang khas. ada
beberapa tujuan terapi behavior yaitu:
1. Penekanan pada Empirisme
Terapis behavioral berpendapat bahwa kajian tentang perilaku manusia, normal atau
abnormal, seharusnya bersifat ilmiah (Kazdin, 1978; Yates, 1970). Dengan demikian,
psikolog klinis yang menangani klien seharusnya menerapkan metode-metode yang dapat
dievaluasi secara ilmiah. Terapis behavioral secara reguler mengumpulkan data empiris
sebagai ukuran dasar di awal terapi, diberbagai titik selama terapi untuk mengevaluasi
perubahan-perubahan dari sesi ke sesi, dan diakhir terapi sebagai penilaian final terhadap
perubahan (Grant, Young & De Rubeis, 2005; Spiegler & Guevremont, 2010).

2. Mendefinisikan Masalah Secara Behavioral


Menurut terapis behavioral, perilaku klien bukan gejala masalah yang mendarinya.
Namun perilaku itulah masalahnya. Dari sudut pandang perilaku, manfaat dari
mendefinisikan masalah dalam batasan perilaku adalah bahwa definisi semacam itu akan
mempermudah dalam mengidentifikasikan perilaku target dan mengukur perubahan-
perubahan di dalam terapi (Spiegler & Guevremont).

3. Mengukur Perubahan yang Dapat Diamati


Bagi terapi behavioral, mengukur hasil terapi melalui perubahan yang dapat diamati
akan sejalan dengan mendefinisikan masalah klien secara perilaku sejak awal. Trapi
behavioral fokus pada demontrasi perubahan yang tampak dari luar pada diri klien, perilaku
yang dapat dilihat bukan proses-proses mental yang tertutup (tidak dapat dilihat) sebagai
indikator perubahan klien. Mereka juga lebih menekankan faktor-faktor lingkungan ekternal
daripada ciri-ciri kepribadian internal.

4
2.1.3. Teknik-Terapi Behavior
2.1.3.1.Teknik-Teknik yang Berdasarkan Pengondisian Klasik

A. Terapi Paparan

secara sederhana, terapi paparan adalah versi “hadapi ketakutanmu” para psikolog
klinis. Fobia, menurut terapis behavioral, sebaiknya dipahami sebagai hasil pengondisian
klasik; sebuah stimulus tertentu (laba-laba, ketinggian, gelap, dan lain-lain) dipasangkan
dengan sebuah hasil aversif (kecemasan, kesakitan). Pemasangan ini bisa diperlemah dan
akhirnya ditiadakan jika klien mengalami salah satunya tanpa mengalami yang lainnya.
Artinya, jika klien berulang kali “dipaparkan” pada objek yang ditakuti dan hasil aversif yang
diprakirakannya tidak terjadi, maka klien tidak lagi mengalami respon ketakutannya yang
merupakan cara yang lebih tepat dan rasional untuk breaksi terhadap stimulus yang
sebenarnya tidak membahayakan tersebut (Hazlett-Stevens & Craske, 2008).

Terapis behavioral mempunyai beberapa pilihan yang dapat diambil ketika


melaksanakan terapi paparan. Salah satu hal yang paling relevan melibatkan sifat imajinasi
versus stimulus in vivo yang akan dipaparkan kepada klien. Dengan kata lain, klien dapat
diminta untuk membayangkan objek-objek yang membangkitkan kecemasan (tanpa pernah
dipaparkan dengan hal nyata) atau dapat dipapari dengan benda atau situasi nyata (IN VIVO)
yang telah menghasilkan ketakutannya.

Pilihan penting lain tentang terapi paparan melibatkan sejauh mana klien akan
dipapari dengan stimulus yang menginduksi ketakutan, berangsur-angsur atau sekaligus.
Pendekatan berangsur-angsur sering disebut paparan bertingkat, dan mengharuskan klien dan
terapis untuk menciptakan sebuah hierarki kecemasan secara kaloboratif. Mereka
mendaftarkan 10 stimulus yang mungkin menginduksi ketakutan. Stimulus ini biasanya
diperingkat oleh klien pada skala 0 sampai 100 dalam kaitanny dengan besarnya tekana
subjektif yang dihasilkan oleh stimulus tersebut dan setelah itu diperingkat dari bawah keatas.
Paparan dimulai dari tingkat terendah dan setelah itu dilanjutkan mengikuti hierarkinya
sampai klien mencapai tingkat yang paling tinggi. Paparan yang terjadi sekaligus dan bukan
secara bertingkat biasanya disebut penggenangan atau ledakan.

5
B. Desensitisasi Sistematis

Desensitisasi sistematis, sebuah penanganan yang juga digunakan terutama untuk


fobia dan gangguan kecemasan lain. Sangat mirip dengan terapi paparan. Paparan stimulus
yang membangkitkan ketakutan adalah salah satu komponen koncinya. Paparan memutuskan
asosiasi antara objek yang ditakuti dan perasaan aversif, sedangkan Desensitisasi sistematis
melibatkan pemasangan-ulang (pengondisian-balik) objek yang ditakuti dengan sebuah
respon baru yang tidak sesuai dengan kecemasannya. Jika terapi paparan bekerja, objek yang
ditakuti pada akhirnya akan tidak dipasangkan dengan apapun. Tetapi jika desensitisasi
sistematis berhasil, objek yang ditakuti dipasangkan dengan sebuah respon baru yang
menggantikan dan memblokir respon yang ditakuti.

Yang paling sering, respons baru yang menggantikan dan memblokir respons takut
adalah relaksasi. Langkah yang pertama di dalam terapi desensitisasi sistematis adalah latihan
relaksasi. Terapis behavior mengajarkan teknik relaksasi progresif kepada klien, berbagai otot
diregangkan dan dukendurkan secara sistematis. Setelah klien mempelajari dan menguasai
tugas relaksasinya mereka bergerak di sepanjang hierarki kecemasan seperti terapi paparan.

C. Latihan Ketegasan

Latihan ketegasan adalah aplikasi spesifik pengondisian klasik yang menarget


kecemasan sosial klien. Latihan ini paling cocok bagi orang-orang yang perilaku sosialnya
pemalu, aprehensif, atau tidak efektif memiliki dampak negatif pada hidupnya. Latihan
ketegasan sudah pasti memasukkan elemen-elemen terapi paparan, dan ini juga termasuk
elemen-elemen desensitisasi sistematis (Duckworth, 2008; Gambrill, 2002). paparannya
dalam bentuk menghadapi ketakutan interpersonal. Artinya orang yang memiliki masalah
dengan ketegasan biasanya menghindari situasi-situasi yang membutuhkan ketegsan sehingga
dengan sekedar memapari dirinya sendiri pada situasi-situasi semacam itu dan menghasilkan
jenis respons ketegasan, berarti mereka telah mengambil langkah maju yang signifikan.

Latihan ketegasan biasanya dimulai dengan intruksi-intruksi langsung dari terapis


behavioral yang mengajarkan kepada klien secara spesifik tentang apa yang harus diucapkan
dan dilakukan di dalam situasi tertentu. Selanjutnya perilaku-perilaku tegas yang efektif
dicontohkan untuk klien. Trapis behavioral sering melakukan pencontohan ini dengan
menjukkan model melalui rekaman video atau aktor yang berakting secara langsung. Setelah

6
itu, klien diberi kesempatan untuk melatih perilaku tegas itu di dalam situasi bermain-peran,
dan terapis membarikan umpan-balik spesifik-kontruktif. Akhirnya klien diberi tugas-tugas
pekerjaan rumah tertarget dan mereka diharapkan untuk mempraktikkan keterampilan
ketegasannya di “dunia nyata” (Gambrill, 2002).

2.1.3.2.Teknik-Teknik Yang Berdasarkan Pengondisian Instrumental


A. Manajemen Kontingensi

Kontigensi adalah pernyataan “jika...maka...” yang menurut terapis behavioral


mengatur perilaku kita. Jadi jika tujuannya adalah untuk mengubah perilaku, salah satu cara
yang kuat untuk melakukannya adalah dengan mengubah kontingensi yang mengontrolnya.
Semua perilaku terjadi karena konsekuensinya, dan jika konsekuensinya itu berubah maka
perilaku secara korespondensif juga berubah.

Konsekuensi sebuah perilaku, kata-kata yang melengkapi frasa “maka...” di dalam


kontingensi dapat dikategorikan sebagai pengutan atau hukuman. Penguatan didefinisikan
sebagai konsekuensi tertentu yang membuat sebuah perilaku lebih berkemungkinan untuk
terjadi di masa datang. Sebaliknya, hukuman didefinisikan sebagai konsekuensi tertentu
yang membuat sebuah perilaku kurang berkemungkinan untuk terjadi lagi di masa
mendatang.

Penguatan den hukuman masing-masing dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu positif
dan negatif (Higgins, 1999). Di dalam konteks ini, positif mengacu pada menambahkan
sebuah konsekuensi, sementara negatif mengacu pada menghilangkan konsekuensi. Hukuman
positif berarti “mendapatkan sesuatu yang buruk”, sementara hukuman negatif berarti
“kehilangan sesuatu yang baik”.

Terapis behavior menggunakan penguatan dan hukuman selama manajemen


kontigensi, tetapi untuk kebanyakan situasi klinis penguatan pada umumnya lebih disukai.
Jika hukuman digunakan, hal itu harus dilakukan secara etis, dan akan paling efektif jika
hukuman itu terjadi segera dan konsisten dan disertai dengan penguatan sebuah respon
alternatif yang lebih diinginkan (Poling, Ehrhardt & Ervin, 2002).

7
B. Ekstingsi

Ketika terapis behavioral mempertimbangkan kontingensi yang telah


mempertahankan sebuah perilaku atau kontingensi baru yang dapat memodifikasinya ia
sering memperhatikan baik-baik isu-isu yang melibatkan ekstingsi, (pemusnahan/peniadaan).
Di dalam konteks manajemen kontingensi, ekstingsi mengacu pada penghilangan sebuah
penguatan yag diharapkan, yang menghasilkan penurunan di dalam frekuensi sebuah
perilaku.

C. Ekonomi Token

Ekonomi token adalah sebuah pengaturan ketika klien mengumpulkan token untuk
berpartisipasi di dalam perilaku-perilaku target yang telah ditentukan sebelumnya. Token ini
dapat ditukarkan untuk sejumlah penguatan, termasuk makanan, permainan, mainan, hak
istimewa, waktu untuk mengikuti kegiatan yang sangat diinginkan, atau hal lain yang
diharapkan klien. Di dalam ekonomi token klien juga bisa kehilangan token jika terlibat
perilaku yang tidak diharapkan (Stuve & Salinas, 2002). Tujuan ekonomi token bukan hanya
untuk memodifikasi perilaku di lingkungan itu saja tetapi memodifikasinya di semua
lingkungan.

Terapis behavioral dapat menggunakan sejumlah strategi untuk memaksimalkan


generalisasi, termasuk mengurangi token secara berangsur-angsur dengan menggunakan
penguatan yang terjadi secara alamiah (seperti pujian sosial) dan bukan penguatan palsu,
dengan sedikit demi sedikit meningkatkan penundaan antara perilaku dan penguata dan
memberikan penguatan di dalam lingkungan yag beragam mungkin (Stuve & Salinas,2002).

D. Pembentukan

Manajemen kontingesi sering didasarkan pada penguatan perilaku target untuk


meningkatkan frekuensinya. Namun kadang kala perilaku targetnya begitu kompleks,
menantang, atau baru bagi klien sehingga pada awal penanganan, hal itu benar-benar
dilakukan sepenuhnya. Di dalam kasus ini, terapis behavioral menggunakan “Pembentukan”
yang melibatkan penguatan pendekatan perilaku target. Dengan kata lain pembentukan

8
adalah sebuah “langkah kecil” teknik penguatan terapis behavioral ke aral ke arah perilaku
yang diinginkan.

Salah satu variabel kunci di dalam program pembentukan adalah penambahan di


antara setiap pendekatan berurutan. Terapis behavioral harus berhati-hati untuk tidak
membuat langkah-langkahnya seharusnya tidak terlalu sulit bagi klien. Disamping itu
langkah-langkahnya seharusnya tidak terlalu kecil sehingga terapinya tidak harus
berlangsung terlalu lama juga.

E. Aktivasi Behavioral

Aktivasi behavioral adalah sebuah bentuk terapi perilaku yang dirancang untuk
menangani depresi, yang telah menerima perhatian dan dukungan empiris signifikan selama
beberapa tahun terakhir. Ini didasarkan pada gagasan sederhana namun kuat bahwa di dalam
kehidupan sehari-sehari orang yang mengalami depresi, terdapat kekurangan penguatan
positif. Jadi tujuan aktivasi behavioral adalah untuk meningkatkan frekuensi perilaku yang
memperkuat klien secara positif. Sebagai hasilnya klien mengalami emosi-emosi yang lebih
positif dan menjadi terlibat lebih penuh didalam hidupnya. Kecenderungan mereka untuk
menghindari pengalaman tidak menyenangkan berkurang seiring terangkatnya depresi
mereka.

Di awal aktivasi behavioral salah satu pertanyaan terpenting yang dapat ditanyakan
oleh psikolog klinisnya adalah, “apakah ada hal-hal yang sekarang tidak dapat Anda lakukan
yang biasa Anda lakukan pada saat Anda sedang tidak depresi?”. Dari respons klien atas
pertanyaan semacam itu, klien dan psikolog dapat berkolaborasi untuk membuat daftar
perilaku-perilaku penguatan dan sebuah rencana untuk mengintegrasikan perilaku-perilaku
tersebut ke dalam hidup klien.

Martell menggarisbawahi bahwa penting untuk memahami fungsi perilaku dari sudut
pandang klien. Secara khusus, sangat penting untuk mengetahui apakah seorang klien terlibat
dalam perilaku tertentu kerena perilaku itu membawa penguatan positif atau memungkinkan
klien untuk menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan.

Jelas bahwa pengondisian instrumental membentuk dasar aktivasi perilaku, tetapi


pengondisian klasik mungkin juga memainkan peran. Aktivasi behavioral adalah sebuah

9
metode perencana dan mendorong kegiatan-kegiatan yang membawa kesenangan dan
menghalangi depresi.

F. Pembelajaran Observasional

Pembelajaran Obsevasional adalah suatu pembelajaran yang kita lihat diterapkan oleh
orang lain (Pemodelan dan pembelajaran sosial). Di dalam praktik klinis, pembelajaran
observasional adalah sebuah teknik ketika klien mengobservasi sebuah demonstrasi perilaku
yang diinginkan da diberi kesempatan untuk menirunya.

2.2.2. Cognitive Behavior Theraphy


2.2.1. Pengertian Cognitive Behavior Therapy

Cognitive Behavior Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh Beck tahun 1976,
yang konsep dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses
rangkaian Stimulus – Kognisi – Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk
semacam jaringan dalam otak manusia, dimana proses cognitive akan menjadi faktor penentu
dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa, dan bertindak.
Terapi perilaku kognitif (CBT- Cognitive Behavior Therapy) menggunakan teori dan
riset tentang proses-proses kognitif. Pada faktanya terapi tersebut menggunakan gabungan
paradigma kognitif dan belajar. Para terapis perilaku kognitif memberikan perhatian pada
peristiwa-peristiwa dalam diri, pemikiran, persepsi, penilaian, pernyataan diri, bahan asumsi-
asumsi yang tidak diucapkan (tidak disadari), dan telah mempelajari serta memanipulasi
proses-proses tersebut dalam upaya memahami dan mengubah perilaku bermasalah yang
terlihat maupun tidak terlihat.
Terapi kognitif-behavioral (cognitive behavioral therapy) ini berusaha untuk
mengintegrasi teknik-teknik terapeutik yang berfokus untuk membantu individu melakukan
perubahan-perubahan, tidak hanya perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan,
dan sikap yang mendasarinya. Terapi kognitif-behavioral memiliki asumsi bahwa pola pikir
dan keyakinan mempengaruhi perilaku, dan perubahan pada kognisi ini dapat menghasilkan
perubahan perilaku yang diharapkan.

10
2.2.2. Sejarah perkembangan Cognitive Behavior Therapy

Penerapan terapi pada klien dengan berbagai gangguan klinis psikologis telah banyak
dipermasalahkan sejak awal munculnya psikoterapi. Kasus klasik Anna O. yang ditangani
dengan aliran Freudian dan khasus manusia tikus merupakan salah satu contoh penggunaan
psikoterapi pada khasus gangguan kepribadian. Berbagai bentuk yang berbeda tentang terapi
Cognitive Behavior dikembangkan oleh beberapa ahli.
Pada tahun 1960, salah satu psikolog penting di Amerika yaitu Aaron (Tim) Beck
merasa dikecewakan oleh terapi psikoanalisis, yang dia anggap tidak cukup ampuh atau
mujarab. Beck menjadi sangat tertarik pada emosi yang ditampilkan oleh klien-kliennya,
dimana emosi tersebut tidak terlihat berhubungan dengan kisah-kisah masa kecil yang
mereka ceritakan kepadanya.
Ketika bekerja dengan beberapa klien, Beck menjelaskan contoh pertamanya yang
sangat jelas, tentang rentetan pikiran kliennya yang muncul seiring dengan kisah yang
diceritakan kliennya. Latar belakang sebagai seorang psiokanalisis dimana Ia sering
menemukan adanya karakteristik pola pikir yang menyimpang dalam kasus-kasus klinis yang
ditanganinya, membuat Beck tertarik untuk menjajah pikiran otomatis klien dalam teori
cognitivenya. Beck meyakinkan bahwa klien dengan gangguan emosi cenderung memiliki
kesulitan berpikir logis yang menimbulkan gangguan pada kapasitas pemahamannya, yang
disebut dengan distorsi cognitve antara lain:
1) Mudah membuat kesimpulan tanpa data yang mendukung, cenderung berpikir secara
‘catastrophic’ atau berpikir seburukburuknya.
2) Memiliki pemahaman yang selektif, membatasi kesimpulan berdasarkan hal yang
terbatas.
3) Mudah melakukan generalisasi, sebagai proses meyakini suatu kejadian untuk diterapkan
secara tidak tepat pada situasi lain.
4) Kecenderungan memperbesar dan memperkecil masalah, membuat klien tidak mampu
menilai masalah secara obyektif.
5) Personalisasi, membuat klien cenderung menghubungkan antara kejadian eksternal
dengan diri sendiri dan menyalahkan diri sendiri.
6) Pemberian label atau kesalahan memberi label, menentukan identitas diri berdasarkan
kegagalan atau kesalahan.
7) Pola pemikiran yang terpolarisai, kecenderungan untuk berpikir dan menginterpretasikan
segala sesuatu dalam bentuk ‘all-ornothing’ (semua atau tidak sama sekali).

11
Prinsip dasar terapi ini menekankan kepada kapasitas klien dalam menemukan diri
sendiri dan merubah pola pikirnya demi memperoleh cara pandang yang berbeda terhadap
diri dan sekelilingnya.

2.2.3. Tujuan Terapi CBT

Secara sederhana, tujuan terapi kognitif adalah berpikir logis. Lagi pula, kata
cognition (kognisi), pada dasarnya sinonim dengan kata thought (pikiran). Jadi, terapis
kognitif pada dasarnya mengasumsikan bahwa cara kita memikirkan tentang berbagai
kejadian menentukan cara kita merespons. Dengan kata lain, “interpretasi dan persepsi
individu-individu tentang situasi, peristiwa dan masalah saat ini mempengaruhi bagaimana
mereka bereaksi” (Beck, 2002, hlm. 163). Masalah psikologis timbul dari kognisi yang tidak
logis. Oleh sebab itu, peran terapis kognitif adalah untuk membenarkan pemikiran yang
keliru (Bermudes, Wright & Casey, 2009; Clark, Hollified, Leahy & Beck, 2009; Dobson,
2012; Dobson & Dobson, 2009). (Pomerantz, 2013, hlm. 441)

2.2.4. Dua Pendekatan Terapi Kognitif Behavior


2.2.4.1. Model ABCDE (Albert Ellis)

Salah satu kontribusi Ellis yang paling abadi dan sangat abadi dan sangat berguna
secara klinis adalah Model ABCDE untuk memahami dan mencatat dampak kognisi pada
emosi (juga dikenal sebagai Model ABC). Di dalam Model ABCDE, A, B, C
mempresentasikan model tiga langkah yang dideskripsikan diawal bab ini: Kejadian
menghasilkan pikiran, yang pada gilirannya menghasilkan perasaan. Model Ellis sekedar
menggantikan ketiga istilah ini dengan istilah yang lebih mudah diingat: peristiwa pengaktif
(Activating event) (A), keyakinan (Belief) (B), konsekuensi emosional (emotional
Consequence) (C). Menurut Ellis, keyakinan irasional beracun karena berfungsi sebagai
tuntutan dogmatik yang kaku yang kita terapkan pada diri kita sendiri. Meskipun ini mungkin
adalah preferensi-preferensi yang kuat, tetapi faktanya, mereka bukan “keharusan” atau
aturan tersebut. Di samping itu, kita cenderung menyertai tuntutan ini dengan estimasi yang
terlalu tinggi tentang konsekuensi kegagalan. Ketika mengoreksinya, Ellis melihat logika
yang salah di semua pernyataan-diri ini dan juga mengenai kesempatan untuk mendapatkan
manfaat terapeutik.

12
Untuk menyelesaikan ini, model Ellis menambahkan dua langkah lagi, D dan E. Di
dalam modelnya, D adalah singkatan untuk perdebatan (dispute), dan E adalah singkatan
untuk keyakinan baru yang efektif (effective new belief). Secara spesifik, keyakinan
irasional (B) adalah target perdebatan. Model Ellis bukan hanya membantu klien
mengidentifikasi keyakinan-keyakinan yang tidak rasional (B) yang mungkin memperantarai
kejadian dalam hidupnya (A) dan perasaan yang kemudian dirasakannya (C); ini juga
mendesak klien untuk menantang keyakinan tersebut. Ini dapat menjadi pengalaman yang
memberdayakan bagi klien yang telah telah terperangkap dalam rangkaian ABC yang
membuatnya terus-menerus merasa tidak bahagia, cemas, dan sebagainya. Ketika mereka
menyadari bahwa pengalaman itu tak perlu berhenti di C (perasaan yang tak diinginkan),
maka mereka berhak untuk menantang keyakinan yang menyebabkan C dan menggantinya
dengan sesuatu yang lebih rasional, maka manfaat terapeutik pun bekerja.

2.2.4.2. Rekaman Pikiran Disfungsional (Aaron Beck)

Salah satu bagian terpenting dari teori depresi Beck adalah gagasannya tentang tiga
serangkai kognitif, ia mengatakan bahwa tiga kognisi – pikiran tentang diri sendiri, dunia
luar dan masa depan – semuanya berkontribusi pada kesehatan mental kita. Beck berteori
bahwa ketiga keyakinan ini negatif, maka akan menghasilkan depresi (Alford & Beck, 1997;
Beck, 1995).

Esensi pendekatan kognitif Beck, seperti halnya pendekatan Ellis, adalah


meningkatkan tingkat berpikir logis klien. Pendekatan Beck memasukkan sebuah cara untuk
mengorganisasikan pengalaman-pengalaman klien ke dalam kolom-kolom pada sebuah
halaman tertulis. Di dalam terapi kognitif Beck, format ini dikenal sebagai Rekaman Pikiran
Disfungsional (misalnya, Beck, 1995, 2002; Freeman dkk, 1990; Leahy, 2003), dan
meskipun judulnya sedikit berbeda dengan akronim ABCDE Ellis, fungsi mereka serupa.
Biasanya dalam sebuah Rekaman Pikiran Disfungsional termasuk kolom-kolom untuk:

 Deskripsi singkat tentang kejadian/situasinya,


 Pikiran-pikiran otomatis tentang kejdian/situasi itu (dan sejauh mana klien meyakini
pikiran-pikiran tersebut),
 Emosi (dan intensitasnya),
 Respon adaptif (mengidentifikasi distorsi di dalam pikiran otomatis)

13
 Hasil (emosi setelah respon adaptif diidentifikasi dan seberapa jauh klien masih
meyakini pikiran otomatis tersebut).

2.2.5. Aplikasi Terkini Terapi Kognitif perilaku


2.2.5.1.Terapi Gelombang Ketiga (Terapi Berbasis Perhatian dan Penerimaan)

Selama beberapa tahun terakhir, sebuah bentuk terapi baru yang didasarkan pada
perhatian dan penerimaan telah menjadi kian populer dan didukung secara empiris (Hayes,
Villatte, Levin, & Hildebrant, 2011; Masuda & Wilson, 2009). Secara kolektif, mereka sering
disebut “terapi gelombang ketiga”yang merujuk pada evolusi dari behaviorisme (gelombang
pertama), ke terapi kognitif (gelombang kedua) ke terapi-terapi lebih baru ini (Follete,
Darrow, & Bonow, 2009; Hayes, 2004). (Pomerantz, 2013, hlm. 460-461)
Perhatian merupakan inti dari terapi-terapi gelombang-ketiga (Dimidjian & Linehan,
2009; Hayes, Villate, dkk., 2011; Shapiro, 2009). Germer (2005) dalam Pomerantz (2013)
menyebutkan bahwa “Definisi perhatian… adalah (1) kesadaran, (2) tentang pengalaman
saat ini, (3) dengan penerimaan”.
Dalam Pomerantz (2013) dijelaskan bahwa perhatian mendorong keterlibatan penuh
seseorang dengan proses-proses mental internalnya sendiri dengan cara nonkonfrontasional.
Inilah perbedaan kunci dengan terapi-terapi kognitif Albert Ellis dan Aaron Beck yang lebih
tradisional. Sementara Ellis dan Beck mendorong orang-orang untuk menentang dan merevisi
pikiran mereka, tetapi berbasis-perhatian lebih pada mengubah hubungan dengan orang-
orang dengan pikirannya dan bukan pada pikiran itu sendiri (Olatunji & Feldman, 2008).
Jadi, alih-alih berhubungan dengan pikiran sebagai penentu mutlak atas realistis atau
kebenaran, klien dapat belajar untuk memahami pikiran mereka sebagai sugesti-sugesti yang
cepat berlalu yang mungkin sama sekali tidak membutuhkan banyak reaksi. Setelah
hubungan dengan pikiran diubah dengan cara ini, individu mungkin akan merasa lebih mudah
untuk menghadapi pikiran (atau perasaan atau sensasi) yang tidak menyenangkan, dan bukan
menghindari mereka. Artinya, alih-alih untuk terlibat untuk menghindari pengalaman,
seperti yang diistilahkan oleh para terapis gelombang ketiga, individu dapat terlibat di dalam
penerimaan: membiarkan pengalaman internal itu berjalan tanpa melawannya.Ini dapat
memfasilitasi perubahan positif bagi klien-klien dengan beragam masalah psikologis
(Dimidjian & Linehan, 2008; Farmer & Chapman, 2008; Roemer & Orsillo, 2009).

14
A. Terapi Penerimaan dan Komitmen

Menurut Hayes dalam Pomerantz (2013) terapi penerimaan dan komitmen


(acceptance and commitment therapy; ACT) adalah pengalaman psikologis internal, seperti
emosi, pikiran, dan sensasi (Bach & Moran, 2008; Hayes, 2004; Hayes & Strosahl, 2004).
Terlalu sering terjadi keadaan saat individu-individu yang bergulat dengan masalah
psikologis belum mampu menerima kejadian pribadi ini, tetapi sudah buru-buru
menghindarinya melalui pengalihan perhatian. Penghindaran pengalaman semacam ini dapat
mendasari semua jenis masalah psikologis (Eifert & Forsyth, 2005). Sedikit mirip fobia,
tetapi objek yang ditakuti ada di dalam diri individu, bukan di luar dirinya. Penghindaran
adalah sebuah mekanisme penanganan yang lazim tetapi tidak menolong. Jadi, di dalam
konteks ini, penerimaan berarti menghadapi ketakutan internal. (Tautan Web 15.4 Website
mengenai Steven Hayes.)
Hayes (2004) dalam Pomerantz (2013) menyajikan dua metafora yang mengklarifikasi
prinsip-prinsip dasar penerimaan dalam ACT. Di dalam metafora pertama, ia meminta kita
untuk membayangkan pikiran-pikiran kita sebagai sebuah parade (pawai). Di dalam parade
ini kita adalah penonton, bukan peserta. Menurut Hayes, semakin lama kita dapat mengakui
pikirn-pikiran kita tanpa bereaksi, semakin besar pula peluang kesejahteraan psikologis kita.
Di dalam metafora kedua, Hayes membandingkan proses menerima pengalaman internal
dengan melompat dari tangga, bukan menuruninya. Menuruni anak tangga terasa lebih aman,
katanya, karena kita senantiasa menjaga kendalinya. Melompat dari tangga menyerahkan
seluruh kendali pada gravitasi. Klien, menurut Hayes, perlu “latihan melompat” dalam
kaitannya dengan pikiran, perasaan dan sensasi mereka. Artinya, sedikit demi sedikit, mereka
perlu berhenti berjuang untuk menjaga kontrol atas pengalama-pengalamannya dan percaya
bahwa kemanapun pengalaman membawa mereka, mereka akan mampu mendarat dengan
aman dan tetap pada jalur yang semestinya.

B. Terapi Perilaku Dialektis

15
Terapi perilaku dialektis (Dialectical Behavior Therapy;DBT) secara khusus
dikembangkan oleh Marsha Linehan untuk menangani gangguan kepribadian ambang
(borderline personality disorder; BPD) (Koerner & Dimeff, 2007; Linehan,1993a, 1993b).
Penanganan ini telah mencapai tingkat dukungan empiris yang cukup kuat, sehingga ia
sekarang dianggap sebagai penanganan pilihan untuk BPD, dan dalam bentuk yang sudah
diadaptasi juga digunakan untuk gangguan-gangguan lain (Koerner & Dimeff, 2007; Kliem,
Kroger & Kosfelder, 2010; Lynch, Trost, Salsman & Linehan, 2007; Paris, 2009). (Tautan
Web 15.5 Web mengenai Marsha Linehan.)
Linehan (1993b) memasukkan empat modul latihan keterampilan spesifik di dalam
DBT. Secara kolektif, mereka berkaitan erat dengan komonen-komponen inti DBT yang
dideskripsikan di atas, tetapi sebaiknya mereka dideskripsikan sebagai strategi-strategi
pemecahan masalah yang diajarkan terapis kepada klien. Keterampilan-keterampilan tersebut
adalah:
1) Regulasi emosi, yang melibatkan identifikasi, pendeskripsian, dan penerimaan dan bukan
menghindari emosi-emosi negatif;
2) Toleransi kesusahan, yang menekankan pengembangan teknik-teknik menenangkan diri
dan pengembangan impuls untuk membantu klien-klien dengan BPD meminimalkan
perilaku-perilaku seperti usaha bunuh diri, menyakiti diri sendiri dan penyalahgunaan
obat;
3) Efektivitas interpersonal, yang membantu klien menentukan keterampilan-keterampilan
ketegasan sosial dengan tepat untuk mempertahankan hubungan yang mungkin akan
dirusak oleh ledakan-ledakan emosional yang ekstrem; dan
4) Keterampilan perhatian, yang mendorong klien untuk terlibat penuh di dalam kehidupan
mereka saat ini, termasuk pengalaman-pengalaman internal mereka, seperti perasaan,
pikiran, sensasi, tanpa penghindaran dan evaluasi.

C. Terapi Metakognitif

Dalam Pomerantz (2013) disebutkan Ide utama di dalam praktik terapi metakognitif
yang relative baru adalah bahwa peristiwa pengaktif tersebut bisa jadi adalah kognisi itu
sendiri, bukan kejadian eksternal tertentu. Mudahnya, orang-orang dapat menjadi depresi,
cemas atau tidak sehat secara psikologis karena reaksi terhadap pikirannya sendiri dan bukan

16
reaksi terhadap hal-hal yang terjadi pada dirinya (Fisher & Wells, 2009; Wells, 2009). Jadi,
kemungkinan penyebab ketidakbahagiaan kita adalah pikiran tentang pikiran sama besarnya
dengan pikiran tentang kejadian eksternal.
Terapi metakognitif sering menyebut sindrom atensi kognitif (cognitive attentional
syndrome; CAS), sebuah istilah yang mendeskripsikan sebuah gaya berpikir yang murung,
banyak merenung, dan problematik yang dapat mendasari banyak masalah psikologis. CAS
termasuk dua tipe pikiran spesifik tentang kekhawatiran, positif maupun negatif – dan kedua-
duanya menimbulkan masalah. Keyakinan positif tentang kekhawatiran mungkin saja
berbunyi seperti ini, “Khawatir akan membantuku memepersiapkan diri untuk masa depan.
Kalau aku tidak khawatir, aku bisa dibutakan oleh sesuatu. Hal terakhir yang ingin kulakukan
adalah berhenti khawatir”. Keyakinan negatif tentang kekhawatiran mungkin saja berbunyi
seperti ini, “Oh, tidak, aku sudah mulai khawatir. Begitu mulai, aku tidak pernah bisa
menghentikannya. Ini akan menjadi hari yang buruk. Kekhawatiran ini betul-betul tak
terkendali”. Apapun peristiwa eksternal awalnya pikiran klien tentang kejadian itu dapat
memupuk dengan cepat, sedemikian rupa sehingga bukan hanya pikiran-pikiran tentang
kejadian tersebut, tetapi pikiran tentang pikiran mengenai kejadian tersebut bisa menjadi
pemicu kecemasan yang paling relevan. Oleh sebab itu, terapis metakognitif menjadikan
pikiran-tentang-pikiran sebagai fokus utama intervensi mereka.
Terapi metakognitif telah diterapkan terutama pada gangguan kecemasan, termasuk
gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stress pascatrauma, dan gangguan kecemasan
tergeneralisasi. Meskipun merupakan penanganan yang relative baru, bukti-bukti untuk
efektivitasnya untuk gangguan-gangguan ini telah mulai tampak (Clark & Beck, 2010; Fisher
& Wells, 2008; Wells & King, 2006).

2.2.5.2.Terapi Kognitif untuk Masalah Medis

Hubungan antara pikiran dan tubuh dapat sangat mempengaruhi bagaimana individu
menangani masalah medis. Yang paling menarik bagi terapis kognitif adalah keyakinan-
keyakinan yang dipegang oleh pasien medis tentang penyakit, cedera atau kondisi mereka.
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak studi telah menunjukkan bahwa terapi kognitif
dapat memiliki efek yang menguntungkan secara signifikan pada proses penyembuhan dan
pada akhirnya prognosis pasien medis. Sebagai contoh, Jakes, Hallam, McKenna dan Hinch

17
cliffe (1992) menelaah efek terapi kognitif pada pasien-pasien tinnitus, sebuah masalah
pendengaran yang melibatkan persepsi suara-suara yang berlebihan. Sebagian pasien ini
menjalani bentuk terapi kognitif singkat yang mengoreksi keyakinan tidak logis mereka
tentang penyakit tersebut. Dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat bagian terapi
kognitif ini, mereka yang menerimanya memperlihatkan kemajuan dalam tingkat penderitaan
mereka terhadap tinnitus.

18
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Terapi behavior adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar
pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis
prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif.
Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaptif melalui proses
belajar.

Seringkali orang mengalami kesulitan karena tingkah lakunya berlebih atau ia


kekurangan tingkah laku yang pantas. Konselor yang mengambil pendekatan behavior
membantu klien untuk belajar cara bertindak yang baru dan pantas, atau membantu mereka
untuk memodifikasi atau mengeliminasi tingkah laku yang berlebih. Dengan kata lain,
membantu klien agar tingkah lakunya menjadi lebih adaptif dan menghilangkan tingkah laku
yang maladaptif.
Cognitive Behavior Therapy adalah terapi yang konsep dasarnya meyakini bahwa
pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian Stimulus – Kognisi – Respon
(SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan dalam otak manusia, dimana
proses cognitive akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia
berpikir, merasa, dan bertindak.
Terapi perilaku kognitif (CBT- Cognitive Behavior Therapy) menggunakan teori dan
riset tentang proses-proses kognitif. Pada faktanya terapi tersebut menggunakan gabungan
paradigma kognitif dan belajar. Para terapis perilaku kognitif memberikan perhatian pada
peristiwa-peristiwa dalam diri, pemikiran, persepsi, penilaian, pernyataan diri, bahan asumsi-
asumsi yang tidak diucapkan (tidak disadari), dan telah mempelajari serta memanipulasi
proses-proses tersebut dalam upaya memahami dan mengubah perilaku bermasalah yang
terlihat maupun tidak terlihat.
Terapi kognitif-behavioral (cognitive behavioral therapy) ini berusaha untuk
mengintegrasi teknik-teknik terapeutik yang berfokus untuk membantu individu melakukan
perubahan-perubahan, tidak hanya perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan,
dan sikap yang mendasarinya. Terapi kognitif-behavioral memiliki asumsi bahwa pola pikir

19
dan keyakinan mempengaruhi perilaku, dan perubahan pada kognisi ini dapat menghasilkan
perubahan perilaku yang diharapkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunarsa, Singgih D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.


2. Pomerantz, Andrew M. (2013). Psikologi Klinis Ilmu Pengetahuan, Praktik, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Belajar
3. Sunberg, Norman D., Allen A. Winebarger, Julian R. Taplin. (2013). Psikologi Klinis
Edisi Keempat Perkembangan Teori, Praktik, dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka
Belajar
4. Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditamam.

21

Anda mungkin juga menyukai