Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konseling behavior adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur
yang berakar pada berbagai teori tentang belajar, ia menyatakan penerapan yang
sistematis prinsip-prisip belajar pada pengubahan tingkah laku kearah cara-cara
yang lebih adaltif. Pendekatan ini telah memberikan sumbangan yang berarti baik
kepada bidang-bidang klinis maupun pendidikan.
Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan penerapan terapi
tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi
yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku, penting dicatat bahwa tidak ada
teori tunggal tentang belajar, yang mendominasi pratek terapi tingkah laku.
Sejumlah teori belajar yang beragam memberikan andil terhadap pendekatan
terapeutik umum yang satu ini, ketimbang memandang terapi tunggal, lebih tepat
menganggapnya sebagai konseling tingkah laku yang mencangkup berbagai
prinsip dan metode yang belum dipadukan ke dalam suatu sistem yang
dipersatukan.
Perkembangan-perkembangan konseling tingkah laku ditandi oleh
satu pertumbuhan yang fenomenal sejak akhir 1950-an, pada awal 1960-
an,laporan-laporan tentang penggunaan teknik inisekali-sekali muncul dalam
kepustakaan profesinal. Kini modifikasi tingkah laku dan terapi ingkah laku
menduduki tempat yang penting dalam lapangan psikoterapi dan dalam banyak
area pendidikan. Kepustakaan profesional, baik berupa berkala maupun berupa
buku, membuktikan peningkatan popularitas pendekatan ini. Peningkatan
pengaruh terapi tingkah laku, juga dimanifestasikan dalam sejumlah
besar departement, psikologi yang melaksanakan psikologi klinis dan konseling
dalam metode-metode behavioral. Dewasa ini banyak program latihan yang
dengan jelas menitik beratkan konseling behavioral. Salah satu aspek paling
penting dari gerakan modifikasi terapi tingkah laku atau behavior adalah
penekanannya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional

1
diamati dan diukur. Tingkah laku bukan konstruk-konstruk yang tak bisa diukur
yang vital bagi pendekatan-pendekatan psikodinamik adalah fokus perhatian
terapeutik. Para tokoh konseling tingkah laku telah menyajikan suatu perubahan
tingkah laku, sebagai kriteria yang spesifik memberikan kemungkinan bagi
evaluasi langsung atas keberhasilan kerja dan kecepatan bergerak kearah tujuan-
tujuan terapeutik yang bisa dispesifikan dengan jelas. Bahwa pertumbuhan
konseling tingkah laku, ditunjukan oleh banyaknya penelitian yang dilaksanakan
adalah ciri lain dari gerakan ini. Prosedur-prosedur secara berkesinambungan
diperbaharui disebabkan karena adanya koitmen untuk menjadikan prosedur itu
sebagai sasaran pengujian yang ketat guna menentukan sejauh mana prosedur-
prosedur tersebut bisa bekerja dengan baik. Karena terapi tingkah laku bersandar
pada hasil-hasil eksperiment, tentang pernyataan-pernyataan teoritisnya. Konsep-
konsep utama konseling tingkah laku terus diperkuat dan di kembangkan.

1.2 Rumusan masalah :


Berdasarkan latar belakang tersebut, berikut ini dipaparkan rumusan
masalah :
1.2.1 Siapa saja tokoh-tokoh dalam konseling behavioristik?
1.2.2 Bagaimana sejarah perkembangan konseling behavior atau tingkah
laku?
1.2.3 Bagaimana area pengembangan dalam konseling behavior atau tingkah
laku?
1.2.4 Bagaimana area atau wilayah pengembangan dalam konseling
behavior?
1.2.5 Bagaimana pandangan tentang manusia dalam konseling behavior?
1.2.6 Bagaimana proses konseling dalam konseling behavior?
1.2.7 Apasajakah teknik-teknik dan prosedur-prosedur terapeutik dalam teori
behavior atau teori tingkah laku?
1.3 Tujuan :
Berdasarkan latar belakang tersebut, berikut dipaparkan tujuan :
1.3.1 Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam konseling behavioristik

2
1.3.2 Untuk mengetahui sejarah perkembangan konseling behavior atau
tingkah laku
1.3.3 Untuk mengetahui area pengembangan dalam konseling behavior atau
tingkah laku
1.3.4 Untuk mengetahui area atau wilayah pengembangan dalam konseling
behavior
1.3.5 Untuk mengetahui pandangan tentang manusia dalam konseling
behavior
1.3.6 Untuk mengetahui proses konseling dalam konseling behavior
1.3.7 Untuk mengetahui teknik-teknik dan prosedur-prosedur terapeutik
dalam teori behavior atau teori tingkah laku

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tokoh-tokoh dalam Konseling Behavioristik


a) BF. Skinner
BF Skinner (1904-1990), dibesarkan di lingkungan keluarga yang hangat
dan stabil. Skinner sangat tertarik dalam membangun segala macam hal. Ia
menerima gelar PhD di bidang psikologi dari Harvard University pada tahun 1931
dan akhirnya kembali ke Harvard setelah mengajar di beberapa universitas.
Skinner adalah seorang juru bicara terkemuka untuk behaviorisme dan dapat
dianggap sebagai bapak dari pendekatan behavior. Ia juga seorang ahli
eksperimen di laboratorium.
Skinner tidak mempercayai menusia memiliki pilihan bebas. Menurutnya
tindakan tidak dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan. Ia menekankan
pandangannya pada sebab akibat antara tujuan, kondisi lingkungan dan perilaku
yang dapat diamati. Pandangannya muncul sebagai bentuk protes terhadap
psikoanalitik yang berfokus pada pikiran dan motif-motif yang tidak terlihat,
sehingga ia merasa prihatin akan fokus yang terlalu kecil terhadap lingkungan
yang dapat diamati. Skinner tertarik pada konsep penguatan dan menerapkannya
dalam dirinya sendiri. Skinner percaya iptek dapat menjanjikan masa depan yang
lebih baik.
b) Albert Bandura
Albert Bandura (lahir 1925), dia adalah anak bungsu dari enam anak di
sebuah keluarga keturunan Eropa Timur. Selama SD dan SMA ia bersekolah di
sekolah yang kekurangan guru dan sumber daya. Hal ini yang menjadi asset awal
Bandura dalam mempelajari keterampilan memimpin diri, ia Memperoleh gelar
PhD dalam psikologi klinis dari University of Iowa pada tahun 1952, dan setahun
kemudian ia bergabung dengan fakultas di Universitas Stanford.
Bandura dan rekan-rekannya yang merintis dalam bidang social modeling
dan memperkenalkannya sebagai suatu proses yang kuat yang menjelaskan
beragam bentuk pembelajaran. Teori yang dihasilkan ialah Social Cognitive

4
Theory, yang menyatakan manusia dapat mengatur diri sendiri, dapat
mempengaruhi tingkah laku dengan mengatur lingkungan, dapat menciptakan
dukungan positif, dan dapat melihat konsekuensi bagi tingkah laku sendiri.
Gagasan ini menyatakan bahwa manusia tidak hanya dibentuk oleh kekuatan
lingkungan, tetapi juga oleh kekuatan batin yang memotifasi.
Bandura berkonsentrasi pada empat bidang penelitian: (1) kekuatan
pemodelan psikologis dalam membentuk pikiran, emosi, dan tindakan, (2)
mekanisme agensi manusia, atau cara orang mempengaruhi motivasi mereka
sendiri dan perilaku melalui pilihan; ( 3) persepsi masyarakat atas kemanjuran
mereka untuk menjalankan pengaruh atas peristiwa yang mempengaruhi hidup
mereka, dan (4) bagaimana reaksi stres dan depres disebabkan. Bandura telah
menciptakan salah satu dari beberapa teori besar yang masih berkembang pada
awal abad ke-21.
c) Alnord Lazarus
Lazurus lahir pada tahun 1932 di Johannesberg, Afrika Selatan,
merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara dan ia dilahirkan dilingkungan yang
sedikit sekali anka kecil atau anka-anak seumurannya dan di sangat mersakan
kesepian, ketakutan waktu itu. Dia dahulu sering menjadi korban diskriminasi
karena warna kulit putih yang berbeda dengan orang Afrika pada umumnya serta
dia juga sering terlibat perkelahian dengan teman-temannya dan karena itu dia
memilih angkat berat dan tinju sebagai olahraga favoritnya karena ia sering
berkelahi dengan teman-temanya. Tahun 1957 Lazurus mendapatkan gelar master
di bidang psikologi dan gelar Ph.D bidang psikologi klinis tahun 1960. Pada tahun
1966 dia menjadi kepala Behavior Therapy Institute di California. Kemudian
tahun 1972 ia menjadi Guru Besar Utama di Rutgers Universit fakultas
Pascasarjana Psikologi Terapan dan Profesional. Behavior Therapy and Beyond
(1971) karangan Lazarus merupakan salah satu dari buku-buku awal yang
membicarakan terapi behavior-kognitif dan secara berturut-turut menjadi
pendekatannya yang sistematis dan komprehensif dengan sebutan multimodal
therapy atau terapi multisarana. Orientasi multimodal yang mendapat pengakuan
baik di Amerika Serikat maupun lur Amerika Serikat. Lazarus hidup demi dirinya

5
sendiri. Istri dan anak-anak saya selalu mendapatkan perhatian pertama diikuti
oleh pemupukan persahabatan sejati yang bermakana dan mencari kesenangan.

2.2 Sejarah perkembangan


Pendekatan behavioral mulai ada pada tahun 1950 dan awal 1960-an
sebagai cabang dari perspektif psikoanalitik. Selama kurun waktu saat ini gerakan
terapi behavior berbeda dengan pendekatan konseling yang lain, dalam
penerapannya prinsip pengkondisisan klasik dan operan pengkondisian untuk
perlakuan terhadap berbagai macam perilaku dalam menghadapi masalah. Saat ini
konseling behavior masih tidak bisa didefinisiskan secara sederhana karena dalam
perkembangannya yang lebih kompleks dan berasal dari berbagai pandangan.
Konseling behavior semakin hari mengalami perkembangan secara terus menerus
dimana prosedur dan penerapannya semakin berbeda dengan pendekatan
psikoterapi yang lain. Saat ini konselor mengutamakan bukti yang nyata atau
perilaku yang observable dalam praktiknya seperti konseling kognitif, pelatihan
keterampilan sosial, pelatihan relaksasi, dan kesadaran.
Konseling behavior klasik muncull secara bersamaan di Inggris, AS,
Afrika Selatan pada tahun 1950-an. Meskipun kritikan dari berbagai pihak namun
pada akhirnya dapat dibuktikan bahwa konseling psikoanalitik efektif dan layak
digunakan. Pada 1960-an, Bandura mengembangkan teori belajar sosial yang
digabungkan dengan pengkndisisan klasik dan operan kondisioning dimana
perilaku yang terbentuk adalah hasil dari sebuah kognisi individu bukan karenan
lingkungan.
Konseling behavior kontemporer mulai muncul pada tahun 1970-an
dimana konseling ini mengalami perkembangan dan memiliki dampak signifikan
bagi bidang pendidikan,psikologi, psikoteapi, psikiatri dan pekerja sosial. Pada
tahun 1980-an, konseling behavior mengalami perkembangan dan menggunakan
evaluasi dalam prakteknya dan masa ini adalah masa ditemukannya pandangan
baru terhadap konsep dan metode konselingnya. Para konselor mengembangkan
metode yang dapat diteliti secara empiris (terdapat bukti) untuk pertimbangan
prakteknya kepada masyarakat yang lebih luas. Diberikan perhatian dan yang
lebih besar pada peranan yang dimainkan oleh faktor biologi perilakuj

6
menyimpang yang diberikan perlakuan metode behavioral. Konseling behavior
saat ini bisa dilihat dari pandangannya yang beraneka. Saat ini ada banyak
prosedur denagna rasional teori yang berbeda. Konseling behavior jauh lebih
beragam dibandingkan pada tahun 1950-an baik secara teori dan metode. Dua
perkembangan yang paling signifikan di bidang ini adalah (1) munculnya perilaku
kognitif yang berkelanjutan terapi sebagai kekuatan utama dan (2) penerapan
teknik perilaku ke pencegahan dan pengobatan gangguan yang berhubungan
dengan kesehatan.
Pada akhir 1990-an, Asosiasi Terapi Perilaku dan Kognitif (ABCT)
(Sebelumnya dikenal sebagai Asosiasi untuk Kemajuan Terapi Perilaku) diklaim
keanggotaan sekitar 4.500. Saat ini, ABCT mencakup sekitar 6.000 profesional
kesehatan mental dan siswa yang tertarik secara empiris terapi perilaku atau terapi
perilaku kognitif. Perubahan nama dan deskripsi ini mengungkapkan pemikiran
saat ini mengintegrasikan terapi perilaku dan kognitif. Pada awal 2000-an, tradisi
perilaku telah meluas, yang terlibat memperbesar lingkup penelitian dan praktik.
Perkembangan terbaru ini, bisa dikenal sebagai "gelombang ketiga" terapi
perilaku, termasuk dialektika terapi perilaku (DBT), pengurangan stres
berdasarkan mindfulness (MBSR), mindfulnessbased terapi kognitif (MBCT), dan
terapi penerimaan dan komitmen (ACT).

2.3 Area atau Wilayah Pengembangan


Terapi perilaku kontemporer dapat dipahami dengan
mempertimbangkan empat besar Bidang perkembangan : (1) pengkondisian
klasik, (2) pengkondisian operan,(3) teori belajar sosial, dan (4) terapi perilaku
kognitif.
a) Pengkondisian klasik (pengkondisian respon)
Teori ini mengacu pada apa yang terjadi sebelum belajar yang menciptakan
respons melalui rangsangan. Ivan Pavlov yang menggambarkan pengkondisian
klasik melalui eksperimen,dengan anjing. Jika diberikan makanan maka mulut
anjing akan mengeluarkan air liur, yaitu respon sebagai tingkah laku. Eksperimen
yang dilakukan Pavlov terhadap anjing telah menunjukkan bahwa tingkah laku
belajar terjadi karena adanya asosiasi antara tingkah laku dengan lingkungannya.

7
Belajar dengan asosiasi ini biasanya disebut classical conditioning. Pavlov
mengklasifikasikan lingkungan menjadi dua jenis, yaitu Unconditioning
Stimulus(UCS) dan Conditioning Stimulus (CS). UCS adalah lingkungan yang
secara alamiah menimbulkan respon tertentu yang disebut sebagai
Unconditionting Respone (UCR), sedangkan CS tidak otomatis menimbulkan
respon bagi individu, kecuali ada pengkondisian tertentu. Respon yang terjadi
akibat pengkondisian CS disebut Conditioning Respone (CR). Dalam eksperimen
tersebut ditemukan bahwa tingkah laku tertentu dapat terbentuk dengan suatu CR,
dan UCR dapat memperkuat hubungan CS dengan CR. Hubungan CS dengan CR
dapat saja terus berlangsung dan dipertahankan meskipun individu tidak disertai
oleh UCS dan dalam keadaan lain asosiasi ini dapat melamah tanpa diikuti oleh
UCS. Eksperimen yang dilakukan Pavlov ini dapat digunakan untuk menjelaskan
pembentukan tingkah laku manusia. Gangguan tingkah laku neurosis khususnya
gangguan kecemasan dan phobia banyak terjadi karena aosiasi antara stimulus
dengan respon individu. Pada mulanya lingkungan yang menjadi sumber itu
bersifat netral bagi individu, tetapi karene terkondisikan bersamaan dengan UCS
tertentu, maka dapat memunculkan tingkah laku penyesuaian diri yang salah.
Dalam pembentukan tingkah laku yang normal dapat terjadi dalam perilaku rajin
belajar misalnya, yang terbentuk karena adanya asosiasi
b) Pengondisian operan
Teori pengkondisian operan yang dikembangkan oleh Skinner ini menekankan
pada peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti
dari suatu tingkah laku. Menurut teori ini, tingkah laku individu terbentuk atau
dipertahankan sangat ditentukan oleh konsekuensi yang menyertainya. Jika
konsekuensinya menyenangkan maka tingkah lakunya cenderung dipertahankan
dan diulang, sebaliknya jika konsekuensinya tidak menyenangkan maka tingkah
lakunya akan dikurangi atau dihilangkan.Dari prinsip ini dapat dipahami bahwa
tingkah laku bermasalah dapat terjadi dan dipertahankan oleh individu di
antaranya karena memperoleh konsekuensi yang menyenangkan yang berupa
ganjaran dari lingkungan. Konsekuensi yang tidak tidak menyenangkan yang
berupa hukuman tidak cukup kuat untuk mengurangi atau melawan ganjaran yang
diperoleh dari lingkungan lainnya. Dipertegas oleh Skinner bahwa tingkah laku

8
operan sebagai tingkah laku belajar merupakan tingkah laku yang non reflektif,
yang memiliki prinsip-prinsip yang lebih aktif dibandingkan dengan
pengkondisian klasik.
c) Pendekatan pembelajaran sosial.
Pendekatan belajar sosial dicetuskan oleh Albert Bandura yang bersifat
interaksional, interdispiliner dan multimodal (1977,1982). Teori belajar sosial dan
teori kognitif saling berinteraksi yang mengakibatkan timbal balik antara
lingkungan, faktor pribadi (keyakinan, preferensi, harapan, persepsi diri, dan
interpretasi), dan perilaku individu. Interaksi sosial yang terjadi di lingkungan
tempat indidvidu berkembang menjadi faktor penting terhadap terbentuknya
perilaku individu. Pada dasarnya individu dapat merubah perilakunya sendiri.
Menurut Bandura(Corey, 2013) efikasi diri juga dapat memepengaruhi perilaku
individu karena efikasi diri merupakan keyakinan atau harapan bahwa individu
mampu mengontrol dirinya dan dapat melakukan perubahan yang diharapkan.
Contohnya adalah bila individu mampu berhubungan sosial dengan orang
disekitar mereka secara efekti maka dapat dikatakan individu dapat memodelkan
perkembangna keterampilan interpersonal yang baik.
d) Konseling Kognitif Behavior.
Teori kognitif dan teori belajar sosial saat ini menjadi sebuah pendekatan
konseling kontemporer atau modern karena perkembangannya disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan. Awal tahun 1970-an, kognitif memiliki
peran utama dalam pembentukan perilaku karena kognitif sebagai faktor penting
dalam memahami dan membentuk perilaku individu. Contoh dari pendekatan
konseling kognitif behavior adalah konseli melakukan proses kognitif yang
selanjutnya kan mengalami self-talk atau dialog terhadap dirinya sendiri yang
akan menjadi media dalam pengubahan perilaku, dimanan terjadi mekanisme
perubahan yaitu terjadi modifikasi pola pikir yang akan mengubah perilaku
individu sesuai dengan tujuan.

2.4 Pandangan Tentang Manusia


Konseling behavior didasarkan pada pandangan ilmiah tentang
tingkahlaku manusia secara sistematis dan terstruktur dalam konseling.

9
Pendekatan behavior tidak menguraikan asumsi tertentu tentang manunia secara
langsung. Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku positif dan
negatif dan tingkah laku manusia pada dasarnya dibentuk oleh lingkungan sosial
budayanya. Manusia pada dasarnya terlahir buruk atau tidak baik, manusia
mampu untuk merefleksikan perilakunya sendiri, memahami apa yang dilakukan,
dan mampu mengontrol perilakunya sendiri. Perilaku manusia sebanrnya adalah
seuah hasil belajar, manusia dapat mempengaruhi dan dipengaruhi atas
perilakunya. Tujuan konseling behavioristik adalah meningkatkan potensi
individu untuk melakukan perubahan atas perilaku yang negatif menjadi postif
(Corey 2013: 250 )

2.5 Karakteristik Dasar dan Asumsi


1. Konseling perilaku didasarkan pada prinsip dan prosedur ilmiah artinya
bukan termasuk dalam praktek percobaan melainkan didasarkan pada prosedur-
prosedur yang sudah ditetapkan dalam prakteknya. prinsip belajar yang bersumebr
pada eksperimen secara sistematis digunakan untuk membantu individu untuk
mengubah perilaku mal-adaptif atau perilaku negatif. Pelaksanaan secara
sistematis akan dilakukan secara empiris dan melakukan evaluasi terhadap
perilaku individu. Prinsip-prinsip pembelajaran yang diperoleh secara
eksperimental diterapkan secara sistematis untuk membantu orang mengubah
perilaku maladaptif mereka. Konselor melakukan kesepakatan dengan konseli
untuk tujuan konseling yang igin dicapai yaitu membantu konseli dalam megubah
perilaku negatif menjadi perilaku positif. Teknik konseling dilakuka secara nyata,
diuji secara terencana berdasarkan bukti-bukti dan dilakukan evaluasi diakhir
untuk melihat keefektifan dalam proses pengubahan perilaku.
2. Konseling ini menekankan adanya perubahan perilaku yang terbuka atau
tidak terbatas sebagai kriteria utama yang dengan kriteria itu proses pengubahan
dapat dievaluasi dan proses kognitif juga diikutkan dalam evaluasi serta
keyakinan, emosi individu. Kemudian dilakukan pendefinisisan terhadap perilaku
target yang teramati.
3. Konseling behavior berorientasi pada kedisinian dan kekinian (here and
now) artinya diutamakan pada perilaku yang terjadi saat ini dan tidak

10
memperdulikan pengalaman masa lalu konseli. Akan tetapi pemahaman masa lau
dapat memberikan informasi atas terbentuknya perilaku individu. Analisis
perilaku sangat dibutuhkan dalm konseling behavior karena konselor dapat
mengamati secara langsung, dan memahami perilaku target yang ingin diubah.
Tentunya dalam proses pengubahan perilaku banyak faktor-faktor penting yang
mempengaruhi yaitu individu sendiri, lingkungan perkembangan, dan interaksi
sosial.
4. Konseli harus berperan aktif dalam proses konseling dan konselor
hanya sebagai fasilitator untuk membantu konseli dalam mencapai tujuan
konseling. Konseli ditantang untuk membuat rencana dan melakukan tindakan
untuk perubahan serta dapat mempertanggungjawabkan perilakunya agar terjadi
perubahan yang positif. Konseli dapat melkukan praktek terhadap perubahn
perilaku sehari-hari yang negtif menjadi perilaku yang positif. Konseling behavior
berorientasi kepada aksi dan belajar, dimana perubahan perilaku yang diinginkan
adalah sebuah hasildari belajar.
5. Konseling behavior ini mendasar bahwa perubahan perilaku terjadi
karena masalahnya yang dialami saat ini dan tanpa melibatkan masalah psikologis
yang dihadapinya. Pada konseling behavioristik terjadinya perubahan perilaku
ditimbulkan karena individu telah memahami dirinya sendiri dan motivasi dalam
dirinya untuk berubah.
6. Asesmen pada proses observasi berfokus pada perilaku saat ini,
melakukan identifikasi masalah, dan mengevaluasi perubahan perilaku termasuk
kedalam proses konseling. Konselor perlu memperhatikan latar belakang budaya
konseli sebagi faktor perkembangan sosial yang memunculkan perilaku individu.
Kritis terhadap pendekatan perilaku adalah penilaian yang cermat dan evaluasi
intervensi yang digunakan untuk menentukan apakah perilaku perubahan
dihasilkan dari prosedur.
7. Intervensi pengubahan perilaku disesuaikan terhadap masalah spesifik
yang dialami konseli agar perilaku target yang ingin diubah.

2. 6 Proses Konseling

11
a) Tujuan Konseling
Tujuan menempati tempat yang sangat penting dalam konseling
behavioristik. Tujuan umum konseling behavioristik adalah untuk meningkatkan
pilihan pribadi dan menciptakan kondisi baru untuk belajar. Konseli, dengan
bantuan konselor, mendefinisikan tujuan membantu konseli pada awal proses
konseling. Meskipun penilaian dan perlakuan terjadi bersamaan, penilaian formal
dilakukan sebelum perlakuan untuk menentukan perilaku yang merupakan target
perubahan. Penilaian terus menerus di seluruh konseling menentukan sejauh mana
target yang teridentifikasi terpenuhi. Penting untuk memikirkan cara mengukur
kemajuan menuju tujuan berdasarkan validasi empiris.
Konseling behavioristik kontemporer menekankan peran aktif konseli
dalam memutuskan tentang perlakuan mereka. Konselor membantu konseli dalam
merumuskan target perilaku yang terukur. Tujuan harus jelas, konkret, dipahami,
dan disetujui oleh konseli dan konselor. Konselor dan konseli mendiskusikan
perilaku yang terkait dengan tujuan, keadaan yang diperlukan untuk perubahan,
sifat sub-tujuan, dan rencana tindakan untuk bekerja menuju sasaran-sasaran ini.
Proses penentuan tujuan konseling ini memerlukan negosiasi antara konseli dan
konselor yang menghasilkan kontrak yang memandu jalannya konseling.
Konselor dan konseli mengubah tujuan selama proses konseling sesuai
kebutuhan.
b) Fungsi Dan Peran Konseling
Konseling behavioristik melakukan penilaian fungsional menyeluruh (atau
analisis perilaku) untuk mengidentifikasi kondisi pemeliharaan dengan
mengumpulkan informasi secara sistematis tentang anteseden situasional (A),
dimensi perilaku bermasalah (B), dan konsekuensi (C) dari masalah. Ini dikenal
sebagai model ABC, dan sasaran penilaian fungsional perilaku konseli adalah
memahami urutan ABC. Model perilaku ini menunjukkan bahwa perilaku (B)
dipengaruhi oleh beberapa peristiwa tertentu yang mendahuluinya, disebut
anteseden (A), dan oleh peristiwa-peristiwa tertentu yang mengikutinya, yang
disebut konsekuensi (C). Kejadian yang mendahului memberi isyarat atau
menimbulkan perilaku tertentu. Misalnya, dengan konseli yang kesulitan tidur,
mendengarkan rekaman relaksasi dapat berfungsi sebagai isyarat untuk tidur.

12
Mematikan lampu dan memindahkan televisi dari kamar tidur juga dapat
menimbulkan perilaku tidur. Konsekuensi adalah peristiwa yang mempertahankan
perilaku dalam beberapa cara, baik dengan meningkatkan atau menurunkannya.
Sebagai contoh, seorang konseli mungkin lebih mungkin untuk kembali ke
konseling setelah konselor menberikan pujian verbal atau dorongan untuk datang
atau untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Seorang konseli mungkin
kurang untuk kembali jika konselor secara terus menerus terlambat ke sesi. Dalam
melakukan wawancara penilaian perilaku, tugas konselor adalah untuk
mengidentifikasi kejadian yang mendahului dan konsekuensi tertentu yang
berpengaruh, atau secara fungsional terkait dengan, perilaku individu (Cormier,
Nurius, & Osborn, 2013).
Pratisipan yang berorientasi pada perilaku cenderung aktif dan terarah dan
berfungsi sebagai konsultan dan pemecah masalah. Mereka sangat bergantung
pada bukti empiris tentang efektivitas teknik yang mereka terapkan untuk masalah
tertentu. Pratisipan perilaku harus memiliki keterampilan intuitif dan penilaian
klinis dalam memilih metode saat membantu konseli yang tepat dan dalam
menentukan kapan untuk menerapkan teknik (Wilson, 2011). Mereka
memperhatikan petunjuk yang diberikan oleh konseli, dan mereka bersedia
mengikuti firasat klinis mereka. Mereka menggunakan beberapa teknik umum
untuk pendekatan lain, seperti meringkas, refleksi, klarifikasi, dan pertanyaan
terbuka. Namun, konselor melakukan fungsi lain juga (Miltenberger, 2012;
Spiegler & Guevremont, 2010):
1. Konselor berusaha memahami fungsi perilaku konseli, termasuk
bagaimana perilaku tertentu berasal dan bagaimana perilaku itu dipertahankan.
Dengan pemahaman ini, konselor merumuskan tujuan awal dan merancang dan
mengimplementasikan rencana perlakuan untuk mencapai tujuan ini.
2. konselor menggunakan strategi yang memiliki dukungan penelitian untuk
digunakan dengan jenis masalah tertentu. Strategi berbasis bukti ini
mempromosikan generalisasi dan pemeliharaan perubahan perilaku. Sejumlah
strategi ini dijelaskan nanti dalam bab ini.
3. Konselor mengevaluasi keberhasilan rencana perubahan dengan mengukur
kemajuan menuju tujuan selama masa membantu konseli. Ukuran hasil diberikan

13
kepada konseli pada awal membantu konseli (disebut baseline) dan dikumpulkan
lagi secara periodik selama dan setelah perlakuan untuk menentukan apakah
strategi dan rencana perlakuan berhasil. Jika tidak, penyesuaian dilakukan dalam
strategi yang digunakan.
4. Tugas utama konselor adalah melakukan penilaian lanjutan untuk melihat
apakah perubahan tersebut tahan lama dari waktu ke waktu. Konseli belajar
bagaimana mengidentifikasi dan mengatasi potensi kemunduran. Penekanannya
adalah pada saat membantu konseli mempertahankan perubahan dari waktu ke
waktu dan memperoleh keterampilan mengatasi perilaku dan kognitif untuk
mencegah kambuh.
Mari kita periksa bagaimana seorang ahli konseling behavioristik dapat
melakukan fungsi-fungsi ini. Seorang konseli datang ke konselor untuk
mengurangi kecemasannya, yang mencegahnya meninggalkan rumah. Konselor
kemungkinan akan mulai dengan analisis spesifik dari sifat kecemasannya.
Konselor akan bertanya bagaimana dia mengalami kecemasan meninggalkan
rumahnya, termasuk apa yang sebenarnya dia lakukan dalam situasi ini. Secara
sistematis, konselor mengumpulkan informasi tentang kecemasan ini. Kapan
masalah dimulai? Dalam situasi apa itu muncul? Apa yang dia lakukan saat ini?
Apa perasaan dan pikirannya dalam situasi ini? Siapa yang hadir ketika dia
mengalami kecemasan? Apa yang dia lakukan untuk mengurangi kecemasan?
Bagaimana ketakutannya sekarang mengganggu hidup secara efektif? Setelah
penilaian ini, tujuan perilaku spesifik dikembangkan, dan strategi seperti pelatihan
relaksasi, desensitisasi sistematis, dan terapi pemaparan dirancang untuk
membantu konseli mengurangi kecemasannya ke tingkat yang dapat dikelola.
Konselor akan mendapatkan komitmen dari konseli untuk bekerja menuju sasaran
yang ditentukan, dan keduanya akan mengevaluasi kemajuan konseli dalam
mencapai tujuan ini sepanjang durasi konseling.

c) Pengalaman Konseli Dalam Konseling


Salah satu kontribusi unik dari konseling behavioristik adalah konseling
ini memberikan konselor dengan sistem prosedur yang baik untuk digunakan.
Baik konselor maupun konseli memiliki peran yang jelas, dan pentingnya

14
kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses konseling ditekankan. Konseling
behavioristik ditandai dengan peran aktif untuk konselor dan konseli. Sebagian
besar peran konselor adalah mengajarkan keterampilan konkret melalui
penyediaan instruksi, pemodelan, dan umpan balik kinerja. Konseli terlibat dalam
latihan perilaku dengan umpan balik sampai keterampilan dipelajari dengan baik
dan umumnya menerima tugas pekerjaan rumah yang aktif (seperti self-
monitoring perilaku masalah) untuk menyelesaikan antara sesi konseling.
Konselor menekankan bahwa perubahan yang dilakukan konseli dalam konselor
perlu diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penting bagi konseli
untuk termotivasi untuk berubah, dan mereka diharapkan untuk bekerja sama
dalam melaksanakan kegiatan konseling, baik selama sesi konseling dan dalam
kehidupan sehari-hari. Jika konseli tidak terlibat dengan cara ini, peluangnya tipis
bahwa konseling akan berhasil. Namun, jika konseli tidak termotivasi, strategi
perilaku lain yang memiliki dukungan empiris yang cukup besar adalah
wawancara motivasi (Miller & Rollnick, 2002). Strategi ini melibatkan
menghormati resistensi konseli sedemikian rupa sehingga motivasi untuk berubah
meningkat dari waktu ke waktu (Cormier et al., 2013).
Konseli didorong untuk bereksperimen untuk tujuan memperbesar
perilaku adaptif mereka. Konseling tidak lengkap kecuali tindakan mengikuti
verbalizations. Pratisipasi perilaku membuat asumsi bahwa hanya ketika transfer
perubahan dibuat dari sesi ke kehidupan sehari-hari bahwa efek konseling dapat
dianggap berhasil. Konseli sama sadarnya dengan konselor tentang kapan tujuan
telah tercapai dan kapan tepat untuk menghentikan membantu konseli. Jelas
bahwa konseli diharapkan untuk melakukan lebih dari sekadar mengumpulkan
wawasan; mereka harus bersedia melakukan perubahan dan terus menerapkan
perilaku baru setelah perlakuan formal berakhir.
d) Hubungan Antara Konselor Dan Konseli
Tuduhan sering dibuat bahwa pentingnya hubungan antara konseli dan
konselor didiskon dalam konseling behavioristik. Antony dan Roemer (2011b)
pengetahuan meneliti yang efektivitas adalah teknik-teknik perilaku tertentu telah
diberikan lebih banyak penekanan daripada kualitas hubungan konseling dalam
konseling behavioristik. Namun, pratisipan perilaku semakin diakui peran

15
hubungan konseling dan perilaku konselor sebagai faktor penting yang terkait
dengan proses dan hasil membantu konseli. Saat ini, sebagian besar pratisipan
perilaku stres nilai membangun hubungan kerja kolaboratif dengan konseli
mereka. Sebagai contoh, Lazarus (1993) percaya repertoar fl exible dari gaya
hubungan, ditambah berbagai teknik, meningkatkan hasil pengobatan. Dia
menekankan perlunya fleksibilitas dan fleksibilitas terapeutik di atas segalanya.
Lazarus berpendapat bahwa irama interaksi konseli-konselor berbeda dari
individu ke individu dan bahkan dari sesi ke sesi. Konselor terampil
mengkonseptualisasikan masalah secara perilaku dan memanfaatkan hubungan
konseli-konselor dalam memfasilitasi perubahan.
Seperti yang Anda ingat, konseling pengalaman (konseling eksistensial,
konseling yang berpusat pada orang, dan konseling Gestalt) menempatkan
penekanan utama pada sifat dorongan antara konselor dan konseli. Sebaliknya,
sebagian besar partisipan perilaku berpendapat bahwa faktor-faktor seperti
kehangatan, empati, keaslian, permisif, dan penerimaan diperlukan, tetapi tidak
cukup, karena perubahan perilaku terjadi. Hubungan konseli-konselor adalah
fondasi di mana strategi konseling dibangun untuk membantu konseli berubah ke
arah yang mereka inginkan.

2.7 Prosedur dan Teknik


Dalam konseling behavior, yang dimaksud dengan kekuatan pendekatan
behavior adalah pengembangan prosedur konseling yang spesifik yang harus
terbukti efektif melalui sarana obyektif (Corey, G. 2013:255). Pengembangan
prosedur konseling di sini artinya tahap-tahap konseling yang dikembangkan
haruslah sangat jelas dan benar-benar mampu memberikan perubahan yang lebih
baik dengan menggunakan suatu alat yang nilai kesepakatannya tinggi. Hasil dari
penggunaan pendekatan ini dapat terlihat jelas karena nantinya konselor akan
menerima umpan balik secara langsung dan terus-menerus dari konseli mereka.
Ciri khas pendekatan behavior adalah bahwa teknik konseling didukung
secara empiris dan praktik berbasis bukti sangat dihargai (Corey, G. 2013:255).
Secara empiris dapat diartikan sebagai cara-cara yang dilakukan konselor dapat
diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat melihatnya dan

16
mengetahui cara menggunakannya. Ketika konselor menggunakan teknik
konseling, maka akan sangatlah baik jika itu berdasarkan bukti yang sudah
dimiliki sebelumnya melalui beberapa pengukuran, jadi perilakunya akan lebih
spesifik dan jelas.
Melalui berbagai proses, perilaku dapat dibentuk, dipersempit
(diskriminasi), diperluas (digeneralisasikan), atau sebaliknya diubah (Sharf,
2012:286). Berbagai proses yang mana lebih jelasnya adalah tahapan dalam
menggunakan teknik behavior. Dalam mempelajari behavior, tentunya nanti juga
akan memahami 2 hal yang selalu ada dalam setiap perilaku itu muncul, yakni
antiseden dan konsekuensi. Antiseden adalah peristiwa yang terjadi sebelum
perilaku itu muncul atau justru yang membuat perilaku tersebut terjadi, sedangkan
konsekuensi adalah peristiwa yang terjadi setelah munculnya perilaku dan hal ini
yang dapat membuat penguatan perilaku seseorang dapat berlanjut atau
berkurang.
Terdapat berbagai teknik dalam konseling behavior sendiri yakni: analisis
behavior terapan, pelatihan relaksasi, desensitisasi sistematis, konseling
pemaparan, desensitisasi gerakan mata dan pengolahan ulang, pelatihan
keterampilan sosial, program manajemen diri dan behavior self-directed,
multimodal konseling, dan pendekatan mindfulness dan penerimaan berbasis.

a) Analisis Behavior Terapan: Teknik Pengkondisian Operan


Beberapa prinsip utama pengkondisian operan adalah penguatan positif,
penguatan negatif, kepunahan, hukuman positif, dan hukuman negatif. Kelima hal
tersebut adalah yang nantinya akan memengaruhi suatu perilaku yang ditunjukkan
individu akan berlanjut atau tidak. Fungsi masing-masing juga berbeda, tapi sama-
sama untuk memengaruhi perilaki yang dimunculkan oleh individu. Kontribusi
paling penting dari analisis behavior terapan adalah ia menawarkan pendekatan
fungsional untuk memahami masalah konseli dan mengatasi masalah ini dengan
mengubah anteseden dan konsekuensi (model ABC). Prinsip-prinsip dasar
perilaku, terutama yang berasal dari pengkondisian operan, menggambarkan
penguatan, proses di mana konsekuensi perilaku meningkatkan kemungkinan

17
bahwa perilaku akan dilakukan lagi. dan kurangnya penguatan dapat
menyebabkan kepunahan perilaku.
1) Penguatan Positif
Menurut Spiegler & Guevremont (Sharf, 2012: 286) ketika peristiwa
positif mengikuti perilaku, dan frekusensi perilaku meningkat, hal tersebut
tersebut merupakan penguat positif. Para Behavioris percaya bahwa kita
merespons dengan cara yang dapat diprediksi karena keuntungan yang kita alami
(penguatan positif) (Corey, G. 2013:256). Dari kedua penjelasan tentang
penguatan positif, maka dapat disimpulkan bahwa penguatan positif merupakan
suatu hal positif yang diberikan kepada individu setelah melakukan suatu perilaku
tertentu dan dapat membuat suatu perilaku tersebut akan semakin dimunculkan
oleh individu. Penguatan positif diberikan tujuannya untuk meningkatkan
frekuensi perilaku yang dimunculkan oleh individu.
Peguatan positif dapat berupa konsumsi, sosial, aktivitas, dan simbol. Hal
ini diberikan ketika perilaku itu sudah terjadi, contohnya adalah ketika seorang
siswa dapat mengerjakan pekerjaan rumah dengan betul semua yaitu skornya 100,
maka guru dapat memberikan penguatan positif berupa konsumsi seperti susu
coklat. Hal ini dapat membuat atau mendorong anak tersebut meningkatkan
perilakunya, yakni dapat mengerjakan pekerjaan rumah dengan benar semua.
Penguatan yang paling mudah diberikan adalah dengan cara memberikan pujian
kepada siswa seperti “Kamu hebat!”, “Bagus sekali!”, dan berbagai pujian yang
lainnya. Tetapi penguatan diberikan juga harus berdasarkan pengamatan tentang
individu tersebut, apakah itu nanti memberikan efek yang lebih baik atau justru
biasa saja tidak memberikan efek.
2) Penguatan Negatif
Menurut Corey (2013:256) para Behavioris percaya kita merespons
merespons dengan cara yang dapat diprediksi karena kebutuhan untuk melarikan
diri atau menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan (penguatan negatif),
sedangkan menurut Sharf (2012:286) dalam penguatan negatif konsekuensi yang
tidak diinginkan dari perilaku dihapus, yang meningkatkan kemungkinan bahwa
perilaku akan diulang. Dalam kedua penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa
penguatan negatif merupakan suatu peristiwa yang diberikan kepada individu

18
untuk mengurangi frekuensi perilaku yang dimunculkan. Penguatan negatif
digunakan individu untuk mengurangi rasa cemas atau tidak senang yang dimiliki
setelah melakukan suatu perilaku tertentu dan kemudian melakukan suatu perilaku
yang lebih positif.
Terdapat 2 macam penguatan negatif, kondisi pelarian dan kondisi penghindaran.
Keduanya sama-sama bertujuan untuk mengurangi bahkan menghilangkan
stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh kondisi pelarian adalah ketika
seorang siswa berjalan pulang dan di tengah jalan kehujanan, maka untuk
mengurangi ketidaksenangannya terkena hujan siswa tersebut akan berteduh.
Sedangkan contoh kondisi penghindaran adalah jika siswa sudah pernah pulang
kehujanan kemudian untuk menghindari rasa tidak senang, siswa tersebut sudah
membawa paying atau jas hujan.
3) Kepunahan
Kepunahan adalah proses tidak lagi menghadirkan penguat (Sharf,
2012:286). Kepunahan digunakan untuk menangani perilaku bermasalah yakni
menghilangkan hubungan antara behavior tertentu (tantrum) dan penguatan positif
(perhatian). Contohnya adalah ketika anak ingin coklat yang dijual di toko tetapi
orangtua tidak membelikan, maka anak tersebut akan menangis sebagai upayanya
supaya tetap dibelikan, sedangkan orangtua di sini jika memberikan perhatian
menenangkan anak dengan cara menurutinya yaitu membelikan coklat tersebut
maka kedepannya perilaku menangis ketika meminta suatu hal mungkin saja akan
dilakukan lagi. Kepunahan di sini berfungsi untuk menghilangkan perilaku
menangis tersebut, yaitu dengan cara orangtua membiarkan anak tersebut
menangis dan tidak membelikan coklat artinya menghentikan perhatian bagi anak
supaya perilaku menangis tidak akan muncul lagi.
4) Hukuman
Hukuman merupakan prinsip terakhir dari pengkondisian operan.
Hukuman terkadang juga disebut sebagai kontrol aversif, yang mana konsekuensi
dari behavior tertentu menghasilkan penurunan behavior itu, artinya konsekuensi
tersebut dapat membuat suatu frekuensi perilaku menurun. Tujuan hukuman
adalah untuk mengurangi behavior sasaran, yakni perilaku yang tidak ingin dilihat
dimunculkan lagi.

19
Miltenberger (Corey, G. 2013:257) menjelaskan dua jenis hukuman yang
dapat terjadi sebagai konsekuensi dari behavior: hukuman positif dan hukuman
negatif. Dalam hukuman positif, stimulus permusuhan ditambahkan setelah
behavior untuk mengurangi frekuensi suatu behavior (seperti prosedur time-out
dengan seorang anak yang menunjukkan behavior yang salah). Dalam hukuman
negatif, stimulus penguatan dihapus setelah behavior untuk mengurangi frekuensi
behavior sasaran (seperti mengurangi uang dari gaji pekerja karena waktu yang
hilang di tempat kerja, atau mengambil waktu televisi jauh dari anak karena
kelakuan buruk).

b) Relaksasi Otot Progresif


Masalah yang dimiliki seseorang mungkin saja tidak ada habisnya, maka
tidak jarang seseorang merasa tertekan akan masalah yang sedang dihadapinya.
Salah satu teknik yang digunakan adalah relaksasi otot. Relaksasi otot mulai
semakin popular untuk membantu seseorang dalam mengatasi masalah atau
tekanan yang dimiliki dalam hidup. Relaksasi otot bertujuan untuk mencapai
relaksasi otot dan mental yang mana mudah untuk dipelajari (Corey, G.
2013:257). Semakin rutin dilakukan, maka semakin efektif juga dampaknya
dalam mengatasi tekanan. Dalam satu hari, waktu yang dibutuhkan maksimalnya
adalah 25 menit.
Relaksasi otot progresif melibatkan beberapa komponen. Konseli
diberikan satu set instruksi yang mengajarkan mereka untuk bersantai. Bersantai
artinya melepaskan segala pikiran dan perasaan yang tertekan yang mana dapat
membuat otot-otot rileks. Pernapasan dalam dan teratur juga dikaitkan dengan
menghasilkan suatu kondisi rileks. Pada saat yang sama, konseli belajar untuk
secara mental “melepaskan”, mungkin dengan berfokus pada pikiran atau gambar
yang menyenangkan. Konseli diinstruksikan untuk benar-benar merasakan dan
mengalami ketegangan yang menumpuk, untuk memperhatikan otot-otot mereka
semakin ketat dan mempelajari ketegangan ini, dan untuk menahan dan
sepenuhnya mengalami ketegangan. Ini berguna bagi konseli untuk mengalami
perbedaan antara keadaan tegang dan santai. Konseli kemudian diajarkan
bagaimana mengendurkan semua otot saat memvisualisasikan berbagai bagian

20
tubuh, dengan penekanan pada otot-otot wajah. Kemudian nanti akan merambat
kepada otot-otot yang tubuh yang lainnya. Penggunaan yang paling umum adalah
masalah yang berkaitan dengan stres dan kecemasan, yang sering
dimanifestasikan dalam gejala psikosomatis.

c) Desensitisasi sistematis
Menurut Sharf (2012:292) desensitisasi sistematis dikembangkan oleh
Joseph Wolpe pada tahun 1958, desensitisasi sistematis dirancang untuk
mengobati pasien yang mengalami kecemasan atau ketakutan ekstrem terhadap
peristiwa tertentu. Joseph Wolpe merupakan salah satu tokoh pelopor konseling
behavior. Desensitisasi sistematis adalah prosedur konseling behavior yang diteliti
secara empiris yang memakan waktu, namun jelas efektif dan efisien dalam
mengurangi kecemasan maladaptif dan mengobati gangguan terkait kecemasan,
terutama di bidang fobia spesifik menurut Cormier et al (Corey, G. 2013:259).
Berdasarkan kedua pengertian yang sudah dipaparkan maka yang dimaksud
dengan desensitisasi sistematis adalah tahap-tahap konseling behavior yang
bertujuan untuk membantu mengobati konseli dalam ketakutan ekstrem atau
kecemasan spesifik dirinya dalam kondisi tertentu. Prosedur ini mengajak siswa
untuk mengekspos diri mereka pada gambar yang membangkitkan kecemasan
sebagai cara untuk mengurangi kecemasan. Tujuan dasarnya adalah meminta
konseli untuk mengganti perasaan cemas konseli dengan relaksasi.
Sebelum melakukan prosedur ini, konselor sudah melakukan wawancara
terlebih dulu dengan konseli. Wawancara ini terjadi dalam beberapa sesi yang
bertujuan untuk benar-benar mengidentifikasi informasi spesifik terkait
kecemasan yang dimiliki konseli. Tidak berhenti di situ, informasi-informasi juga
dicari dengan teknik pengumpulan data yang lainnya, seperti kuesioner, supaya
konselor dapat memahami bagaimana kecemasan ekstrem yang dimiliki konseli.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut
1) Relaksasi
Pada dasarnya ini melibatkan otot-otot tegang dan rileks, termasuk lengan,
wajah, leher, bahu, dada, perut, dan kaki, untuk mencapai tingkat relaksasi yang
lebih dalam dan lebih dalam. Dalam langkah ini konselor menggunakan suara

21
yang sangat tenang, lembut, dan menyenangkan untuk mengajarkan relaksasi otot
progresif. Konseli diminta untuk membuat citra dari situasi yang sebelumnya
santai, seperti di pegunungan. Hal ini berfungsi supaya konseli merasakan
ketenangan dan kadamian dan bisa juga dilakukan di luar sesi
2) Hirarki Kecemasan
Memperoleh informasi rinci dan sangat spesifik tentang peristiwa yang
menyebabkan konseli menjadi gelisah adalah inti dari membangun hierarki
kecemasan. Konselor membangun daftar peringkat situasi yang menimbulkan
peningkatan tingkat kecemasan atau penghindaran. Hirarki diatur dalam urutan
dari situasi yang paling membangkitkan kecemasan yang dapat dibayangkan oleh
konseli sampai ke situasi yang membangkitkan sedikit kecemasan. Ini sering
dilakukan dengan menetapkan angka dari 0 hingga 100 untuk setiap peristiwa.
Dengan cara ini satuan subjektif skala ketidaknyamanan (SUD) dikembangkan,
dengan 0 mewakili total relaksasi dan 100 mewakili kecemasan yang sangat
tinggi.Jika telah ditentukan bahwa konseli memiliki kecemasan yang terkait
dengan rasa takut ditolak, misalnya, situasi yang menimbulkan kecemasan
tertinggi mungkin penolakan oleh pasangan, selanjutnya, penolakan oleh teman
dekat, dan kemudian penolakan oleh rekan kerja.
3) Desensitisasi
Proses desensitisasi dimulai dengan konseli mencapai relaksasi lengkap
dengan mata tertutup. Situasi netral disajikan, dan konseli diminta untuk
membayangkannya. Jika konseli tetap santai, dia diminta untuk membayangkan
situasi yang paling membangkitkan kecemasan pada hierarki situasi yang telah
dikembangkan. Selama sesi desensitisasi pertama, konselor bertanya kepada
konseli, setelah mereka relaks, berapa banyak skala ketidaknyamanan yang
mereka alami. Jika levelnya terlalu tinggi, di atas 25, relaksasi dilanjutkan.
Situasi pertama yang disajikan adalah situasi yang netral, seperti bunga
dengan latar belakang. Ini memberikan kesempatan bagi konselor untuk
mengukur seberapa baik klien dapat membayangkan atau memvisualisasikan.
Konselor bergerak secara progresif naik hierarki sampai konseli memberi sinyal
bahwa dia mengalami kecemasan, pada saat adegan dihentikan. Relaksasi
kemudian diinduksi lagi, dan adegan tersebut diperkenalkan kembali lagi sampai

22
sedikit kecemasan yang dialami untuk itu. Tahap ini berakhir ketika konseli dapat
tetap dalam keadaan rileks sambil membayangkan adegan yang sebelumnya
paling mengganggu dan menimbulkan kecemasan. Inti dari langkah desensitisasi
adalah bagaimana menceritakan atau menjelaskan kembali situasi kecemasan
dalam imajinasi konseli. Inti dari desensitisasi sistematis adalah pemaparan
berulang dalam imajinasi untuk situasi kecemasan tanpa mengalami konsekuensi
negatif.

d) In Vivo Exposure and Flooding


Terapi exposure dirancang untuk mengobati ketakutan dan tanggapan
emosional negatif lainnya dengan memperkenalkan klien dengan situasi yang
memberikan kontribusi terhadap masalah tersebut. Eksposur adalah proses kunci
dalam mengobati berbagai masalah yang berkaitan dengan ketakutan dan
kecemasan. Terapi exposure melibatkan konfrontasi sistematis dengan rangsangan
ditakuti, baik melalui imajinasi atau nyata. Imajinal eksposur dapat digunakan
mengimplementasikan ketika klien ketakutan begitu parah bahwa klien tidak
mampu berpartisipasi dalam hidup (Hazlett-Stevens & Craske, 2008). Rute apa
pun digunakan, exposure melibatkan kontak dengan apa yang ditakuti.
Desensitisasi adalah salah satu jenis terapi exposure, tetapi ada juga yang lain.
Dua variasi desensitisasi sistematis tradisional adalah in vivo exposure dan
flooding.
In vivi exposure melibatkan paparan klien sebenarnya kecemasan
membangkitkan peristiwa daripada hanya membayangkan situasi ini. Paparan
hidup telah menjadi landasan terapi perilaku selama beberapa dekade. Hazlett
Stevens dan Craske (2008) menjelaskan elemen-elemen kunci dari proses di vivo
eksposur. Biasanya, pengobatan dimulai dengan analisis yang fungsional objek
atau situasi orang yang menghindari atau ketakutan. Bersama-sama, terapis dan
klien menghasilkan hirarki situasi untuk klien menemukan kesulitan.
In vivo exposure melibatkan paparan ketakutan berulang secara sistematis,
mulai dari bawah hirarki. Klien terlibat dalam serangkaian singkat, lulus eksposur
terhadap peristiwa-peristiwa yang ditakuti. Seperti halnya dengan sistematis
desensitisasi, klien belajar tanggapan yang bertentangan dengan kecemasan,

23
seperti tanggapan yang melibatkan relaksasi otot. Klien akhirnya mengalami
respon penuh ketakutan mereka selama exposure tanpa penghindaran. Antara sesi
terapi, klien melakukan latihan exposure mandiri. Klien mengalami kemajuan,
dan terapis memberikan umpan balik tentang bagaimana klien bisa menghadapi
kesulitan yang dihadapi.
Dalam beberapa kasus terapis dapat menyertai klien ketika mereka
menghadapi situasi yang ditakuti. Sebagai contoh, seorang terapis bisa pergi
dengan klien dalam Lift jika mereka memiliki fobia menggunakan elevator. Tentu
saja, prosedur yang digunakan serta masalah-masalah keamanan yang tepat selalu
dianggap.
Orang yang memiliki ketakutan ekstrim hewan tertentu bisa bertemu
hewan-hewan ini dalam kehidupan nyata dalam suasana aman dengan terapis.
klien mengekspos diri mereka sendiri untuk kecemasan membangkitkan acara
sendiri adalah sebuah alternatif ketika itu tidak praktis untuk terapis harus dengan
klien dalam situasi kehidupan nyata.
Flooding bentuk lain dari terapi exposure adalah flooding, yang mengacu
pada imajinal atau nyata membangkitkan rangsangan kecemasan untuk jangka
waktu tertentu. Seperti karakteristik semua eksposur terapi, meskipun klien
memiliki pengalaman kecemasan selama eksposur, tidak terjadi konsekuensi
takut.
Flooding yang terjadi secara intens dan berkepanjangan yang
menimbulkan kecemasan sebenarnya memproduksi rangsangan. Dengan ditakuti
diberi rangsangan untuk jangka waktu yang lama tanpa terlibat dalam perilaku
mengurangi kecemasan memungkinkan kecemasan berkurang dengan sendiri.
Umumnya, klien yang meliliki rasa sangat takut untuk mengekang kecemasan
mereka melalui penggunaan perilaku maladaptive. Flooding, klien dapat dicegah
terlibat dalam tanggapan maladaptive membangkitkan situasi kecemasan mereka.
in vivo exposure cenderung untuk mengurangi kecemasan dengan cepat.
Flooding imajinal didasarkan pada prinsip-prinsip yang sama dan
mengikuti prosedur yang sama kecuali exposure terjadi di imajinasi klien bukan
dalam kehidupan sehari-hari.

24
Keuntungan dari menggunakan flooding imajinal adalah bahwa tidak ada
batasan pada sifat kecemasan yang membangkitkan situasi yang dapat diobati. In
vivo exposure sebenarnya peristiwa traumatis (kecelakaan pesawat terbang,
perkosaan, kebakaran, banjir) ini sering tidak mungkin juga tidak sesuai untuk
alasan etika dan praktis. flooding imajinal dapat menciptakan keadaan trauma
dengan cara yang tidak membawa konsekuensi yang merugikan klien. Selamat
dari kecelakaan pesawat, misalnya, mungkin menderita dari berbagai melemahkan
gejala. Mereka cenderung memiliki mimpi buruk dan kilas balik untuk bencana;
mereka mungkin menghindari perjalanan melalui udara atau memiliki kecemasan
tentang perjalanan dengan cara apapun; dan mereka mungkin memiliki berbagai
gejala menyedihkan seperti rasa bersalah, kecemasan dan depresi. in vivo
exposure dan imajinal, serta flooding, sering digunakan dalam pengobatan
perilaku untuk kecemasan terkait gangguan, khusus fobia, fobia sosial, gangguan
panik, obsesif kompulsif, gangguan stress pascatrauma, dan agoraphobia (Hazlett-
Stevens & Craske, 2008).
Karena ketidaknyamanan yang berhubungan dengan exposure yang
berkepanjangan dan intens, beberapa klien tidak dapat memilih perawatan paparan
ini. Hal ini penting untuk perilaku terapis untuk bekerja dengan klien untuk
membuat motivasi dan kesiapan untuk terapi exposure. Dari perspektif etika, klien
harus memiliki informasi yang memadai tentang eksposur berkepanjangan dan
intens terapi sebelum menyetujui untuk berpartisipasi. Sangat penting bahwa
mereka mengerti bahwa kecemasan akan diinduksi sebagai cara untuk mengurangi
itu. Klien perlu untuk membuat keputusan yang tepat setelah mempertimbangkan
Pro dan kontra menundukkan diri sementara stres aspek pengobatan. Klien harus
diberitahu bahwa mereka dapat mengakhiri exposure jika mereka mengalami
tingkat tinggi kecemasan.
Keberhasilan berulang terapi exposure dalam mengobati berbagai
gangguan telah menghasilkan perawatan untuk gangguan kecemasan. Spiegler
dan Guevremont (2010) menyimpulkan bahwa paparan terapi tunggal paling
ampuh untuk gangguan kecemasan yang terkait, dan mereka dapat memiliki efek
jangka panjang. Namun, mereka menambahkan, menggunakan eksposur sebagai
satu-satunya pengobatan prosedur ini tidak selalu terkini. Dalam kasus yang

25
melibatkan gangguan parah dan multifaset, lebih dari satu intervensi perilaku
sering diperlukan. Semakin eksposur imajinal dan in vivo yang digunakan dalam
kombinasi, yang sesuai dengan tren dalam terapi perilaku untuk menggunakan
paket perawatan sebagai cara untuk meningkatkan efektivitas terapi.

e) Gerakan mata desensitisasi dan pengolahan (eye movement


desensitization and reprocessing)
Gerakan mata desensitisasi dan pengolahan (EMDR) adalah suatu bentuk
terapi eksposur yang memerlukan penilaian dan persiapan, flooding imajinal, dan
restrukturisasi kognitif dalam pengobatan individu dengan traumatic masa lalu.
Perawatan melibatkan penggunaan gerakan mata yang cepat, berirama dan
rangsangan lain secara berkesinambungan untuk memperlakukan klien yang
mengalami trauma stres. Dikembangkan oleh Francine Shapiro (2001), prosedur
terapi ini menarik dari berbagai intervensi perilaku. Dirancang untuk membantu
klien dalam berurusan dengan gangguan stress karena trauma, EMDR telah
diterapkan untuk berbagai populasi termasuk anak-anak, pasangan, korban
pelecehan seksual, veteran pertempuran, korban kejahatan, korban pemerkosaan,
korban kecelakaan, dan individu berurusan dengan kecemasan, panik, depresi,
kesedihan, kecanduan, dan fobia. Pengobatan terdiri dari tiga tahap dasar yang
melibatkan penilaian dan persiapan, flooding imajinal, dan restrukturisasi
kognitif.
Shapiro (2001) menekankan pentingnya keselamatan dan kesejahteraan
klien dengan menggunakan pendekatan ini. EMDR mungkin tampak sederhana
untuk beberapa, tetapi etis penggunaan prosedur menuntut pengawasan pelatihan
dan klinis, seperti benar menggunakan eksposur terapi secara umum. Karena
reaksi yang kuat dari klien, sangat penting bahwa praktisi tahu cara aman dan
efektif mengelola kejadian-kejadian ini. Terapis tidak harus menggunakan
prosedur ini kecuali mereka menerima pelatihan dan pengawasan dari instruktur
EMDR resmi. Diskusi lebih lengkap dari prosedur perilaku ini dapat ditemukan di
Shapiro (2001, 2002a).
Ada beberapa kontroversi atas Apakah gerakan mata (eye movement)
sendiri membuat perubahan atau penerapan teknik kognitif yang dipasangkan

26
dengan undang-undang gerakan mata (eye movement) sebagai agen perubahan.
Peran gerakan mata (eye movement) lateral belum jelas ditunjukkan, dan beberapa
bukti menunjukkan bahwa komponen gerakan mata (eye movement) mungkin
tidak menjadi bagian integral pengobatan (Prochaska & Norcross, 2010; Spiegler
& Guevremont, 2010). Dalam review dari studi terkontrol EMDR dalam
pengobatan trauma, Shapiro (2002b) melaporkan bahwa EMDR jelas melebihi
ada pengobatan dan mencapai hasil yang sama atau unggul sebagai metode lain
mengobati trauma. Ketika datang untuk efektivitas keseluruhan EMDR,
Prochaska dan Norcross catatan (2010) bahwa "dalam sejarah 20 tahun, EMDR
telah mengumpulkan lebih terkontrol penelitian daripada metode lainnya yang
digunakan untuk mengobati trauma" (p. 236). Dalam menulis tentang masa depan
EMDR, Prochaska dan Norcross membuat beberapa prediksi: jumlah praktisi akan
menerima pelatihan di EMDR; hasil penelitian akan menumpahkan cahaya pada
efektivitas EMDR's dibandingkan terapi lain saat ini untuk trauma; dan praktek
dan penelitian lebih lanjut akan memberikan rasa efektivitas dengan gangguan
selain gangguan stress karena trauma.

f) Pelatihan keterampilan sosial (social skills training)


Pelatihan keterampilan sosial adalah kategori luas yang berhubungan
dengan kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain
dalam berbagai situasi sosial; Hal ini digunakan untuk membantu klien
mengembangkan dan mencapai keterampilan interpersonal. Keterampilan sosial
melibatkan mampu berkomunikasi dengan orang lain dengan cara yang tepat dan
efektif.
Orang-orang yang mengalami masalah psikososial yang sebagian
disebabkan oleh kesulitan interpersonal adalah kandidat yang baik untuk pelatihan
keterampilan sosial. Biasanya, pelatihan keterampilan sosial melibatkan berbagai
perilaku teknik seperti psycho education, pemodelan, perilaku latihan, dan umpan
balik (Antony & Roemer, 2011b). Pelatihan keterampilan sosial efektif dalam
mengobati masalah psikososial dengan meningkatkan keterampilan interpersonal
klien (Segrin, 2008). Keterampilan sosial melibatkan kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain dalam cara yang tepat dan efektif. Beberapa aspek

27
yang diinginkan dari pelatihan ini adalah bahwa ia memiliki dasar yang sangat
luas dari penerapan dan bahwa itu dapat dengan mudah disesuaikan agar sesuai
dengan kebutuhan khusus perorangan.
Segrin (2008) mengidentifikasi elemen kunci dari pelatihan, keterampilan
sosial yang memerlukan sekumpulan teknik: penilaian, instruksi langsung dan
pembinaan, pemodelan, bermain peran dan tugas pekerjaan rumah. Klien
mempelajari informasi yang mereka dapat menerapkan untuk berbagai situasi
interpersonal dan keterampilan yang meniru mereka sehingga mereka dapat benar-
benar melihat bagaimana keterampilan dapat digunakan. Langkah kunci yang
melibatkan perlunya klien meletakkan ke dalam tindakan mereka memperoleh
informasi. Ini adalah melalui peran bermain bahwa individu aktif mempraktekkan
perilaku yang diinginkan yang diamati. Catatan Segrin bahwa dengan memantau
klien keberhasilan dan kegagalan terapis dapat dipertunjukan. Umpan balik dan
penguatan klien menerima membantu mereka dalam konseptualisasi dan
menggunakan satu set keterampilan sosial yang memungkinkan mereka untuk
berkomunikasi lebih efektif. Tahap lanjutan penting untuk klien dalam
membangun berbagai efektif perilaku yang dapat diterapkan untuk berbagai
situasi sosial.
Beberapa contoh aplikasi berbasis bukti sosial keterampilan pelatihan
termasuk penyalahgunaan alkohol zat, gangguan perhatian defisit hiperaktif,
bullying, kecemasan sosial, masalah emosional dan perilaku anak-anak, terapi
perilaku untuk pasangan, dan depresi (Antony & Roemer, 2011b; Segrin, 2008).
Variasi populer sosial keterampilan pelatihan adalah pelatihan manajemen
kemarahan, yang dirancang untuk individu yang memiliki masalah dengan
perilaku agresif. Pernyataan pelatihan, yang dijelaskan selanjutnya, ini berguna
untuk orang-orang yang kekurangan keterampilan tegas.
Pernyataan salah satu bentuk khusus pelatihan keterampilan sosial
pelatihan terdiri dari mengajar orang bagaimana untuk bersikap tegas dalam
berbagai situasi sosial. Banyak orang mengalami kesulitan yang merasa bahwa itu
tepat atau kanan untuk menyatakan diri mereka sendiri. Orang-orang yang
kekurangan keterampilan sosial sering mengalami kesulitan interpersonal di
rumah, di tempat kerja, di sekolah, dan selama waktu luang. Pernyataan pelatihan

28
dapat berguna bagi mereka (1) yang memiliki kesulitan mengekspresikan
kemarahan, (2) yang mengalami kesulitan mengatakan tidak, (3) yang terlalu
sopan dan memungkinkan orang lain untuk mengambil keuntungan dari mereka,
(4) yang sulit untuk mendapatkan kasih sayang dan respon positif orang lain, (5)
yang merasa mereka tidak memiliki hak untuk mengekspresikan pikiran mereka,
keyakinan, dan perasaan, atau (6) yang memiliki fobia sosial.

Asumsi dasar pernyataan pelatihan adalah bahwa orang-orangi berhak


memiliki (tetapi tidak berkewajiban) untuk mengekspresikan diri. Salah satu
tujuan dari pernyataan pelatihan adalah untuk meningkatkan perilaku orang
sehingga mereka dapat membuat pilihan apakah untuk bersikap tegas dalam
situasi tertentu. Penting bahwa klien mengganti maladaptive keterampilan sosial
dengan keterampilan baru. Tujuan lain adalah mengajar orang-orang untuk
mengekspresikan diri mereka dengan cara yang mencerminkan kepekaan terhadap
perasaan dan hak orang lain. Pernyataan tidak berarti agresi; orang-orang yang
benar-benar tegas tidak berdiri untuk hak-hak mereka di semua kehidupan,
mengabaikan perasaan orang lain.
Umumnya, terapis baik mengajar dan model perilaku yang diinginkan
klien yang ingin memperoleh. Perilaku ini dipraktekkan di kantor terapi dan
kemudian ditetapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar program
pelatihan pernyataan fokus pada pernyataan diri negatif klien, keyakinan
mengalahkan diri dan berpikir nehatif. Orang sering berperilaku dengan cara yang
tidak tegas karena mereka tidak berpikir mereka memiliki hak untuk menyatakan
sudut pandang atau meminta untuk apa yang mereka inginkan atau layak. Dengan
demikian pemikiran mereka mengarah pada perilaku yang pasif. Program
pelatihan pernyataan efektif lebih memberi orang keterampilan dan teknik untuk
menghadapi situasi sulit. Program ini menantang orang kepercayaan yang
menemani kurangnya ketegasan dan mengajar mereka untuk membuat
pernyataan-pernyataan diri yang konstruktif dan mengadopsi seperangkat
keyakinan yang akan mengakibatkan perilaku tegas.
Pernyataan pelatihan sering dilakukan dalam kelompok. Ketika format
grup yang digunakan, pemodelan dan petunjuk yang disampaikan kepada seluruh

29
kelompok, dan anggota berlatih keterampilan perilaku dalam peran bermain
situasi. Setelah latihan, anggota diberikan umpan balik yang terdiri dari
memperkuat aspek perilaku dan petunjuk tentang cara untuk meningkatkan
perilaku yang benar. Setiap anggota terlibat dalam latihan lebih tegas perilaku
sampai keterampilan yang dilakukan memadai dalam berbagai simulasi situasi
(Miltenberger, 2012).
Karena pernyataan pelatihan berdasarkan budaya Barat pengertian tentang
nilai ketegasan, itu mungkin tidak cocok untuk klien dengan latar belakang
budaya yang menempatkan lebih menekankan pada harmoni daripada menjadi
tegas. Pendekatan ini bukanlah obat mujarab, tetapi dapat menjadi pengobatan
yang efektif untuk klien yang memiliki keterampilan defisit dalam perilaku tegas
atau untuk orang yang mengalami kesulitan dalam hubungan interpersonal
mereka. Meskipun konselor dapat menyesuaikan bentuk keterampilan sosial
pelatihan prosedur untuk sesuai dengan gaya mereka sendiri, penting untuk
memasukkan latihan perilaku dan terus-menerus penilaian sebagai dasar aspek
program.
g) Program Mengelola Diri Sendiri dan Perilaku yang Diarahkan
Sendiri
Ada kecenderungan yang meningkat menuju ke pengintegrasian metode
behavioral dan kognitif untuk menolong konseli dalam mengelola masalah
mereka sendiri (Kanfer & Goldsstein, 1986). Trend yang terkait, menuju ke “
memberikan cara psikologi”, mencakup psikologi yang mau berbagi pengetahuan
mereka sehingga “ “konsumen” dapat semakin sanggup dalam menjalani hidup
yang diarahkan sendiri dan tidak tegantung lagi pada pakar untuk berurusan
dengan masalah mereka. Para psikologi yang mau berbagi perspektif terutama
untuk mengajarkan orang mengenai keterampilan yang nanti diperlukan untuk
mengelola hidup mereka sendiri secara efektif.
Mengelola diri sendiri adalah fenomena yang relatif baru dalam konseling
dann terapi, dan laporan dari aplikasi klinis telah tumbuh kembang sejak tahun
1970. Dalam konseling ini, konseli memiliki peran secara langsung dalam
pengobatan mereka sendiri, teknik yang ditujukan untuk mengubah diri sendiri

30
cenderung untuk meningkatkan keterlibatan dan komitmen terhadap perawatan
mereka.
Strategi mengelola diri sendiri termasuk pemantauan diri, penghargaan
diri, kontrak mandiri, dan pengendalian stimulus. Strategi mengelola diri sendiri
ini telah diaplikasikan pada banyak populasi dan banyak mengelola seperti
kecemasan, depresi dan kepedihan. Gagasan pokok dari penilaian pengelolaan diri
dan intervensi adalah bahwa perubahan bisa terjadi dengan mengajarkan orang
untuk menggunakan keterampilan mengatasi situasi bermasalah. Generalisasi dan
pemeliharaan hasil ditingkatkan dengan mendorong klien untuk menerima
tanggung jawab untuk melaksanakan strategi ini dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam program mengelola diri, orang mengambil keputusan tentang hal
yang mengenai perilaku spesifik yang ingin kendalikan atau ubah. Contoh yang
umum diantaranya pengendalian merokok, mengelola waktu, urusan kegemuka
dan terlalu banyak makan. Seringkali orang menemukan bahwa alasan utama dari
orang yang tidak dapat mencapai tujuan adalah karena tidak memiliki
keterampilan atau kurangnya keterampilan. Dalam kawasan seperti itulah
pendekatan pengarahan sendiri bisa memberikan garis besar bagaimana bisa
didapat perubahan dan sebuah rencana yang akan membawa ke perubahan.
Agar konseli dapat berhasil dalam program seperti ini, analisis yang
cermat tentang konteks pola perilaku sangat penting, dan konseli harus bersedia
mengikuti beberapa langkah dasar seperti yang disediakan oleh Watson dan Tharp
(2007):
1. Memilih atau penyaringan sasaran
Tahap pembukaan mulai dengan merinci perubahan apa yang diinginkan.
Langkah ini, tujuan harus ditentukan satu perubahan, dan harus dapat diukur, bisa
dicapai, positif, dan signifikan untuk konseli. persyaratan terakhir ini sangat
penting, bahwa harapan menjadi realistis. Apabila orang itu mengembangkan
suatu program mengubah diri sendiri yang didasarkan pada tujuan yang
ditentukan oleh orang lain, maka program itu kemungkinan akan gagal dalam
mencapai tujuan.
2. Menerjemahkan sasaran ke dalam perilaku target (yang diinginkan)

31
Berikutnya, sasaran yang dipilih dalam tahap pembukaan itu
diterjemahkan menjadi perilaku yang diinginkan.
3. Pemantauan perkembangan diri sendiri
Dalam proses pemantauan diri sendiri, terdiri dari dengan kesengajaan,
sistematis dalam mengamati perilaku diri sendiri (Kanfer & Gaelick, 1986).
Pemantauan ini, mungkin bisa membawa ke kesadaran, difokuskan kepada
perilaku yang dapat diamati, kongkrit dan bukan dari peristiwa pengalaman dari
perasaan. Menyimpan catatan harian perilaku bersama dengan komentar tentang
petunjuk penyerta yang relevan serta konsekuansinya, merupakan salah satu
metode yang paling sederhana untuk mengamati perilaku seseorang.
4. Buatlah rencana perubahan
Rancang sebuah program aksi untuk membawa perubahan yang
sebenarnya. Berbagai rencana untuk tujuan yang sama dapat dirancang, masing-
masing dapat efektif. Beberapa jenis sistem penguatan diri diperlukan dalam
rencana ini karena penguatan adalah landasan terapi perilaku modern. Penguatan
diri adalah strategi sementara yang digunakan sampai perilaku baru telah
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ambil langkah-langkah untuk
memastikan bahwa keuntungan yang dibuat akan dipertahankan.
5. Mengevaluasi rencana
Evaluasilah rencana perubahan untuk menetapkan tingkat keberhasilan
konseli dalam mencapai tujuan. Tujuan dipelajari. Evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan daripada kejadian satu kali.
Strategi manajemen diri telah berhasil diterapkan ke banyak populasi
dan masalah, beberapa di antaranya termasuk mengatasi serangan panik,
membantu anak-anak untuk mengatasi rasa takut gelap, meningkatkan
produktivitas kreatif, mengelola kecemasan dalam situasi sosial, mendorong
berbicara di depan kelas, meningkat latihan, kontrol merokok, dan berurusan
dengan depresi (Watson & Tharp, 2007). Penelitian tentang manajemen diri telah
dilakukan dalam berbagai macam masalah kesehatan, beberapa di antaranya
termasuk radang sendi, asma, kanker, penyakit jantung, substansi pelecehan,
diabetes, sakit kepala, kehilangan penglihatan, depresi, nutrisi, dan perawatan
kesehatan diri (Cormier et al., 2013).

32
h) Konseling Multimodal
Terapi multimodal adalah pendekatan pada modifikasi behavioral yang
komprehensif, sistematis, dan holistik terhadap terapi perilaku yang
dikembangkan oleh Arnold Lazarus (1989, 1997a, 2005, 2008a). Lazarus (2008a)
mengklaim bahwa istilah "terapi perilaku multimodal" adalah sesuatu yang keliru.
Meskipun proses penilaian multimodal, pengobatannya adalah perilaku kognitif
dan mengacu pada metode yang didukung secara empiris. Terapi multimodal
didasarkan pada teori sosial-kognitif dan menerapkan beragam teknik perilaku
untuk berbagai masalah. Pendekatan ini berfungsi sebagai penghubung utama
antara beberapa prinsip perilaku dan pendekatan perilaku kognitif.
Terapi ini adalah suatu system terbuka dan mendorong adanya eklektisme
teknis.
Multimodal terapis meminjam teknik dari banyak sistem terapi lainnya
(Lazarus,2008b). Teknik-teknik baru terus diperkenalkan dan teknik yang ada
diperbaiki, tetapi mereka tidak pernah digunakan secara sembarangan (Lazaruz,
1989b). Para konselor multimodal bertanya: “siapa dan apa yang paling baik bagi
orang yang satu ini?” jadi konselor sangat berhati-hati untuk tidak memasukan
konseli yang bersifat unik dalam program penanganan yang sudah ditentukan
sebelumnya. Melainkan, diusahakan secara cermat untuk menetapkan secara tepat
hubungan dan strategi penanganan apa yang akan berfungsi paling baik terhadap
setiap konseli dan dalam keadaan khusus yang bagaimana.
Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa karena individu mengalami
sebuah kesulitan yang disebabkan oleh problema khas yang dihadapi, maka
dianggap hal yang tepat kalau strategi penanganan ganda digunakan untuk
membawa kesebuah perubahan. Konselor multimodal selalu menyesuaikan
prosedur mereka untuk mencapai tujuan konseli. Konselor membutuhkan untuk
memutuskan kapan dan bagaimana menjadi menantang atau mendukung dan
bagaimana menyesuaikan mereka gaya hubungan dengan kebutuhan konseli
(Lazarus, 1993, 1997a). Multimodal terapis cenderung sangat aktif selama sesi
terapis, berfungsi sebagai pelatih, pendidik, konsultan, pelatih, dan model peran.
Mereka memberikan informasi, instruksi, dan umpan balik serta pemodelan

33
perilaku asertif. Mereka menawarkan saran, bala bantuan positif, dan
mengungkapkan diri dengan tepat.
Id dasar
Inti dari pendekatan multimodal Lazarus adalah premisnya bahwa
kepribadian kompleks manusia dapat dibagi menjadi tujuh bidang fungs utama :
(1) P = perilaku, (2) A = response afektif, (3) S = sensasi, (4) kh = khayal (image),
(5) kg = kognisi, (6) I = hubungan interpersonal, dan (7) O = obat, fungsi biologis,
nutrisi, dan olahraga (Lazarus, 1989b, 1989c).
Terapi multimodal dimulai dengan penilaian komprehensif dari tujuh
modalitas
fungsi manusia dan interaksi di antara mereka. Terapi multimodal mempunyai
pandangan bahwa penilaian lengkap dan program penanganan harus
memperhitungkan setiap modalitas dari DASAR, yang merupakan peta kognitif
yang menghubungkan setiap aspek kepribadian.
Berikut ini adalah suatu modifikasi dari proses penilaian ini yang
didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang biasanya ditanyakan Lazarus
1) Perilaku
Yang dimaksud dengan modalitas ini terutama adalah perilaku yang
berlebihan, termasuk tindakan, kebiasaan, dan reaksi yang dapat diamati dan
diukur. Beberapa pertanyaannya adalah “Apa yang ingin anda ubah?” “ Sampai
seberapa aktifkah Anda?” “Apa yang ingin Anda mulai lakukan?” “Apa yang
ingin Anda berhenti lakukan?”
“Apa saja kekuatan utama Anda?” “Perilaku khas apa yang membuat Anda tidak
bisa mendapatkan apa anda inginkan?”
2) Affek
Modalitas ini mengandung arti emosi, suasana hati, dan perasaan yang
kuat. Termasuk pertanyaan yang sering diajukan adalah “Emosi apa yang paling
sering Anda alami?” “Apa yang membuatmu tertawa?” “Apa yang membuatmu
menangis?” “Apa yang membuatmu sedih, marah, senang, takut?”
3) Sensasi
Kawasan ini mengacu pada lima indera dasar, yaitu sentuhan, rasa, bau,
penglihatan, dan pendengaran. Contoh pertanyaan yang diajukan adalah “Apakah

34
Anda menderita dari rasa-rasa yang tidak menyenangkan, seperti rasa sakit, pegal-
pegal, pusing, dan sebagainya?” “sampai seberapa banyak anda memusatkan
perhatian pada rasa sakit anda?” “Apa yang paling Anda senangi atau tidak
senangi dari yang anda lihat, cium, dengar, sentuh, dan cicipi?”.
4) Khayalan
Modalitas ini ada hubungannya dengan bagaimana kita melihat diri kita
sendiri, dan mencakup ingatan dan mimpi. Beberapa pertanyaan yang diajukan
adalah “mimpi apa yang sering timbuk dan kenangan-kenangan yang anda anggap
menjengkelkan?” “Apakah anda sering berkhayal dan melamun?” “Apakah anda
memiliki imajinasi hidup?” “Bagaimana anda melihat diri anda sekarang?”
“Bagaimana perasaan anda apabila anda bisa melihat diri anda dimasa depan?”.
5) Kognisi
Modalitas ini berarti pemahaman, falsafah, gagasan, dan fundamental.
Pertanyaannya adalah “cara apa yang bisa memenuhi kebutuhan intelektual
anda?” “Bagaimana pikiran anda mempengaruhi emosi anda?” “Apa nilai dan
keyakinan yang paling anda menghargai?” “hal negative apa saja yang anda
katakana pada diri anda sendiri?” “Apa saja keyakinan utama Anda yang salah?”
“Bagaimana kesemuanya itu menghalangi keefektifan hidup anda?”.
6) Hubungan interpersonal
Modalitas ini berarti interaksi dengan orang lain. contoh pertanyaannya
diantaranya “Sampai seberapa anda bisa termasuk dalam kelompok sosial anda?”
“Sampai seberapakah anda mendambakan keakraban dengan orang lain?” “Apa
yang anda harapkan dari orang penting dalam hidup anda?” “Apa yang mereka
harapkan dari anda?” “Adakah hubungan anda dengan orang lain yang anda
harapkan bisa berubah?” “Kalau memang demikian, perubahan apa saja yang anda
inginkan?”
7) Obat/biologi
Modalitas ini mencakup lebih dari hanya obat; juga diperhitungkan
masalah kebiasaan nutrisi dan pola olahraga. Beberapa pertanyaan yang diajukan
adalah “Apakah anda sehat dan sadar?” “Apakah anda mencemaskan kesehatan
anda?” ”Apakah anda minum obat dengan resep dokter?” “Apakah kebiasaan
anda yang berhubungan dengan diet, olahraga dan kebugaran jasmani?”

35
Premis utama terapi multimodal adalah bahwa keluasan seringkali lebih
penting
dari kedalaman. Semakin banyak respons yang dipelajari konseli dalam konsling,
semakin sedikit peluang yang kambuh. Konselor mengidentifikasi satu masalah
spesifik dari masing-masing aspek DASAR I.D. Kerangka kerja sebagai target
untuk perubahan dan mengajar konseli dalam berbagai teknik, mereka dapat
menggunakannya untuk memerangi pemikiran yang salah, belajar untuk bersantai
dalam situasi yang penuh tekanan, dan untuk memperoleh keterampilan
interpersonal yang efektif. Konseli kemudian dapat menerapkan keterampilan ini
untuk berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penyelidikan awal
dari BASIC I.D. kerangka kerja memunculkan beberapa tema sentral dan
signifikan yang dapat dieksplorasi secara produktif, menggunakan detail
kuesioner riwayat hidup. (Lihat Lazarus dan Lazarus, 2005, untuk Multimodal
Inventaris Riwayat Hidup.) Setelah profil utama dari BASIC I.D. telah
didirikan, langkah selanjutnya terdiri dari pemeriksaan interaksi di antara
modalitas yang berbeda. Sangat penting bahwa konselor mulai darimana konseli
berada dan kemudian pindah ke area produktif lainnya untuk eksplorasi.
i) Perhatian penuh dan Terapi Perilaku Kognitif Berbasis Penerimaan
Mindfulness melibatkan kesadaran akan pengalaman kita dengan cara
reseptif dan terlibat dalam aktivitas berdasarkan kesadaran tidak dalam
menghakimi (Robins & Rosenthal, 2011). Dalam praktek kesadaran, konseli
melatih diri mereka secara sengaja untuk fokus pada pengalaman mereka saat ini.
Mindfulness melibatkan mengembangkan sikap rasa ingin tahu dan welas asih
untuk menyajikan pengalaman. Konseli belajar untuk fokus pada satu hal, satu
waktu dan untuk membawa perhatian mereka kembali pada saat sekarang ketika
gangguan muncul.
Sebagai intervensi klinis, perhatian menunjukkan janji di berbagai masalah
klinis, termasuk untuk depresi, gangguan kecemasan umum, masalah hubungan,
dan gangguan kepribadian borderline (Dimidjian & Linehan, 2008) serta berguna
untuk pengobatan gangguan stres pasca trauma di kalangan veteran militer.
Melalui latihan mindfulness, veteran mungkin lebih mampu mengamati pemikiran

36
negatif berulang dan mencegah keterlibatan luas dengan proses ruminatif
maladaptif (Vujanovic, Niles, Pietrefesa, Schmertz, & Potter, 2011).
Penerimaan adalah proses yang melibatkan menerima pengalaman
seseorang saat ini tanpa penilaian atau preferensi, tetapi dengan rasa ingin tahu
dan kebaikan, dan berjuang untuk kesadaran penuh dari saat sekarang (Germer,
2005b). Penerimaan tidak mengundurkan diri dari masalah hidup; melainkan, ini
adalah proses aktif afirmasi diri (Wilson, 2011). Penerimaan adalah cara alternatif
untuk menanggapi pengalaman internal kami. Dengan mengganti penilaian, kritik,
dan penghindaran dengan penerimaan, kemungkinan hasilnya peningkatan fungsi
adaptif (Antony & Roemer, 2011b). Pendekatan perhatian dan penerimaan adalah
jalan yang baik untuk integrasi spiritualitas dalam proses konseling. Subjek
perhatian dan penerimaan hanya dijelaskan secara singkat dalam bab ini. Untuk
diskusi yang bermanfaat dan ekstensif mengenai topik-topik ini, lihat Herbert and
Forman (2011), Penerimaan dan Perhatian dalam Terapi Perilaku Kognitif:
Memahami dan Menerapkan Terapi Baru.
Empat pendekatan utama dalam perkembangan terakhir dari tradisi
perilaku meliputi (1) terapi perilaku dialektik (Linehan, 1993a, 1993b), yang telah
menjadi pengobatan yang diakui untuk gangguan kepribadian borderline; (2)
pengurangan stres berdasarkan mindfulness (Kabat-Zinn, 1990, 2003), yang
melibatkan program kelompok 8- hingga 10 minggu yang menerapkan teknik-
teknik kesadaran untuk mengatasi stres dan mempromosikan kesehatan fisik dan
psikologis; (3) terapi kognitif berdasarkan kesadaran (Segal et al., 2002), yang
ditujukan terutama untuk mengobati depresi; dan (4) terapi penerimaan dan
komitmen (Hayes, Strosahl, & Houts, 2005; Hayes, Strosahl, & Wilson, 2011),
yang didasarkan pada mendorong klien untuk menerima, daripada mencoba untuk
mengendalikan atau mengubah, sensasi tidak menyenangkan. Keempat
pendekatan ini menggunakan strategi mindfulness yang telah tunduk pada
pengawasan empiris, yang merupakan ciri khas dari tradisi perilaku.
Dialectical Behavior Therapy (DBT)
DBT adalah perpaduan teknik perilaku dan psikoanalitik yang menjanjikan
untuk mengobati gangguan kepribadian ambang. Strategi pengobatan DBT
mencakup strategi penerimaan dan perubahan yang berorientasi. Program

37
perawatan diarahkan untuk membantu konseli membuat perubahan dalam perilaku
dan lingkungan mereka, dan pada saat yang sama mengkomunikasikan
penerimaan keadaan mereka saat ini (Robins & Rosenthal, 2011). Untuk
membantu konseli yang memiliki masalah khusus dengan regulasi emosi, DBT
mengajarkan konseli untuk mengenali dan menerima keberadaan kekuatan yang
serentak dan berlawanan. Dengan mengakui hubungan dialektika mendasar —
seperti tidak ingin terlibat dalam perilaku tertentu, namun mengetahui bahwa
mereka harus terlibat dalam perilaku jika mereka ingin mencapai tujuan yang
diinginkan — konseli dapat belajar untuk mengintegrasikan gagasan penolakan
dan penerimaan yang bertentangan, dan konselor dapat mengajarkan konseli
bagaimana mengatur emosi dan perilaku mereka. Prosedur mindfulness diajarkan
dan dipraktekkan untuk mengembangkan sikap penerimaan (Fishman, Rego, &
Muller, 2011).
DBT sangat terstruktur, tetapi tujuan disesuaikan untuk setiap individu.
Konselor membantu konseli dalam menggunakan keterampilan apa pun yang
mereka miliki untuk mengatasi masalah perilaku (Robins & Rosenthal, 2011).
Keterampilan diajarkan dalam empat modul: kesadaran, efektivitas interpersonal,
regulasi emosional, dan toleransi marabahaya (Simpson, 2011). Mindfulness
adalah keterampilan mendasar dalam DBT dan dianggap sebagai dasar untuk
keterampilan lain yang diajarkan. Perhatian penuh membantu klien untuk
merangkul dan menoleransi emosi kuat yang mereka alami ketika menghadapi
situasi yang menyusahkan. Efektivitas interpersonal melibatkan belajar untuk
meminta apa yang dibutuhkan dan dipelajari untuk mengatasi konflik
interpersonal. Keterampilan ini memerlukan peningkatan peluang bahwa tujuan
klien akan terpenuhi, sementara pada saat yang sama tidak merusak hubungan.
Peraturan emosi termasuk mengidentifikasi emosi, mengidentifikasi hambatan
untuk mengubah emosi, mengurangi kerentanan, dan meningkat emosi positif.
Konseli dapat belajar manfaat dari mengatur emosi seperti marah, depresi, dan
kecemasan. Toleransi distress ditujukan untuk membantu individu untuk tenang
mengenali emosi yang terkait dengan situasi negatif tanpa menjadi kewalahan
oleh situasi ini. Konseli belajar bagaimana mentolerir rasa sakit atau
ketidaknyamanan dengan terampil. Keterampilan ini adalah rute yang dapat

38
diambil oleh konseli dalam mencapai tujuan mereka. "Terapi ini bertujuan untuk
membantu konseli untuk belajar mengendalikan perilaku, sepenuhnya mengalami
emosi, meningkatkan keterampilan hidup sehari-hari, dan mencapai rasa
kelengkapan" (Simpson, 2011, p. 230).
Mindfulness-based stress reduction (mbsr)-pengurangan stress
Inti dari pengurangan stres berdasarkan mindfulness (MBSR) terdiri dari
gagasan bahwa banyak penderitaan penderitaan kita, hasil dari terus
menginginkan hal-hal yang menjadi berbeda dari bagaimana mereka sebenarnya
(Salmon, Sephton, & Dreeben, 2011). MBSR bertujuan untuk membantu orang-
orang dalam mempelajari cara untuk hidup lebih baik di masa kini daripada
memikirkan tentang masa lalu atau terlalu khawatir tentang masa depan.
Pendekatan yang diadopsi dalam program MBSR adalah mengembangkan
kapasitas untuk perhatian yang diarahkan secara berkelanjutan melalui latihan
meditasi formal. Keterampilan yang diajarkan termasuk meditasi duduk dan yoga
yang penuh perhatian, yang ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran. Program
ini mencakup meditasi pemindaian tubuh, yang membantu konseli untuk
mengamati semua sensasi dalam tubuh mereka. Konseli didorong untuk
membawa perhatian penuh ke dalam semua kegiatan sehari-hari mereka, termasuk
berdiri, berjalan, dan makan. Mereka yang terlibat dalam program ini didorong
untuk berlatih kesadaran formal meditasi selama 45 menit setiap hari. Program
MBSR dirancang untuk mengajarkan peserta untuk berhubungan dengan sumber
stres eksternal dan internal dengan cara yang konstruktif. MBSR menempatkan
penekanan berat pada pengalaman belajar dan proses penemuan diri konseli
(Dimidjian & Linehan, 2008). MBSR memiliki banyak aplikasi klinis, dan
diharapkan bahwa pendekatan ini akan berkembang untuk mengatasi berbagai
kondisi psikologis negatif, seperti kecemasan, stres, dan depresi. Pendekatan ini
memiliki banyak aplikasi di bidang kesehatan dan kebugaran dan dalam
mempromosikan perubahan gaya hidup sehat. Sumber yang bagus untuk
perawatan MBSR yang lebih rinci adalah Salmon, Sephton, dan Dreeben (2011).
Mindfulness-based cognitive therapy (mbct)
MBCT merupakan integrasi teknik dari MBSR dan mengajarkan intervensi
perilaku kognitif kepada konseli. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah

39
kesadaran konseli dan hubungannya dengan pikiran negatif mereka. Para peserta
diajarkan bagaimana menanggapi dengan cara yang terampil dan disengaja ke
pola pemikiran negatif otomatis mereka. Fesco, Flynn, Mennin, dan Haigh (2011)
menggambarkan esensi dari ketujuh
sesi dalam program MBCT:
1. Konseling dimulai dengan mengidentifikasi pemikiran otomatis negatif dari
orang yang mengalami depresi dan dengan memperkenalkan beberapa praktik
mindfulness dasar.
2. Di sesi kedua, peserta belajar tentang reaksi yang harus mereka hadapi
pengalaman dan belajar lebih banyak tentang praktik mindfulness.
3. Sesi ketiga dikhususkan untuk mengajarkan teknik pernapasan dan fokus
perhatian pada pengalaman mereka saat ini.
4. Dalam sesi empat, penekanannya adalah pada belajar untuk mengalami
momen tanpa menjadi melekat pada hasil sebagai cara untuk mencegah
kekambuhan.
5. Sesi kelima mengajarkan peserta bagaimana menerima pengalaman
mereka tanpa bertahan.
6. Sesi enam digunakan untuk mendeskripsikan pemikiran sebagai "hanya
pikiran;" klien belajar itu mereka tidak harus bertindak berdasarkan pikiran
mereka. Mereka dapat mengatakan pada diri mereka sendiri, “Aku bukan milikku
pikiran "dan" Pikiran bukan fakta. "
7. Di sesi akhir, peserta belajar cara merawat diri mereka sendiri, untuk
mempersiapkan untuk kambuh, dan untuk menyamaratakan praktik kesadaran
mereka ke kehidupan sehari-hari.

acceptance and commitment therapy (act)


Pendekatan mindfulness-based lainnya adalah terapi penerimaan dan
komitmen (Hayes et al., 2005, 2011), yang melibatkan sepenuhnya menerima
pengalaman saat ini dan melepaskan rintangan secara mindful. Dalam pendekatan
ini, “penerimaan bukan hanya sekedar toleransi — melainkan penerimaan yang
aktif dan tidak menghakimi di sini dan saat ini” (Hayes, 2004, hlm. 32).
Penerimaan adalah sikap atau postur untuk melakukan konseling dan dari mana
konseli dapat melakukan kehidupan yang memberikan alternatif untuk bentuk

40
kontemporer terapi perilaku kognitif (Eifert & Forsyth, 2005). Sebaliknya,
penekanannya adalah pada penerimaan (kesadaran tidak menghakimi) dari
kognisi. Tujuannya adalah agar individu menjadi sadar dan memeriksa pikiran
mereka. Konseli bisa belajar bagaimana mengubah hubungan mereka dengan
pikiran mereka.
Selain penerimaan, komitmen untuk bertindak sangat penting. Komitmen
melibatkan membuat keputusan sadar tentang apa yang penting dalam hidup dan
bersedia melakukan hidup yang bernilai dan bermakna (Wilson, 2011). Sebagai
contoh, satu bentuk pekerjaan rumah yang diberikan kepada konseli meminta
mereka untuk menulis tujuan hidup atau hal-hal yang mereka hargai dalam
berbagai aspek kehidupan mereka. Fokus dari ACT adalah memungkinkan
pengalaman untuk datang dan pergi sambil mengejar kehidupan yang bermakna.
ACT adalah bentuk konseling yang efektif (Eifert & Forsyth, 2005) yang
terus berlanjut mempengaruhi praktik konseling perilaku. Germer (2005a)
menyarankan “perhatian mungkin menjadi konstruk yang menarik teori klinis,
penelitian, dan praktik lebih dekat bersama-sama, dan membantu
mengintegrasikan kehidupan pribadi dan profesional para konselor ”(hal. 11).
ACT telah efektif untuk pengobatan berbagai gangguan, termasuk
penyalahgunaan zat, depresi,kecemasan, fobia, gangguan stres pasca trauma, dan
gangguan panik (Eifert & Forsyth, 2005).

41
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terapi tingkah laku atau behavioristik ini merupakan penerapan aneka
ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Teori
belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan kematangan.
Tujuan umum terapi tingkah laku adaiah menciptakan kondisi-kondisi
baru bagi proses belajar. Dasar alasanya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah
dipelajari (learned), termasu tingkah laku yang maladaktif. Jika tingkah laku
neurotik learned , maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan). Dan tingkah laku
yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakekatnya terdiri atas
proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-
pengalaman belajar yang didalamnya respons-respons yang layak yang belum
dipelajari.
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam
pemberian treatmen, yakni terapis menerapkan pengtahuan ilmiyah pada
pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah manusia, pada kliennya.
Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengaruh, dan ahli dalam
mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalm menentukan prosedur-
prosedur penyembuhan yang,diharapkan,mengarah pada tingkah laku yang baru
dan adjustive
Peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan.
Para terapis tingkah laku tidak di cetak untuk memainkan peran yang dingin dan
impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin – mesin yang deprogram
yang memakakan teknik – teknik kepada para klien yang mirip robot –
robot. Sedangkan aspek yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku
adalah, klien di dorong untuk breksperimen dengan tingkah laku baru dengan
maksud memperluas perbendarahaan tingkah laku adaptifnya. Terapi terlebih
dahulu harus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan
bahwa ia memahami dan menerima pasien, kedua orang di antara mereka bekerja

42
sama dan ada beberapa teknik-teknik dan prosedur-prosedur dalam teori atau
terapi tingkah laku.

3.2 Saran
Kepada para konselor hendaknya lebih meningkatkan tingkat
penguasaannya terhadap teori-teori konseling yang ada, teknik-teknik dan
prosedur terapeutik yang biasanya digunakan dalam konseling, khususnya teori
behaviorisme dan teknik-teknik serta prosedur terapeutiknya dengan model yang
sesuai dengan teori konseling yang akan digunakan sehingga konseling bisa
berjalan secara efektif dan efisien.

43
DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont,


CA: Brooks/Cole.

44

Anda mungkin juga menyukai