Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Gedung Bank Indonesia ini merupakan gedung De Javasche Bank yang

dibangun pada 2 Desember 1918 oleh Pemerintah Hindia Belanda atas hasil

rancangan sang biro arsitek terkemuka di Hindia Belanda, N.V.

ArchitectenIngenieurs BureauHulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te

Amsterdam yang didirikan pada tahun 1910 oleh Eduard Cuypers (1859- 1927) dan

Marius J. Hulswit bersama A.A. Fermont. De Javasche Bank sendiri, awalnya

didirikan di Amsterdam, Belanda pada tanggal 29 Desember 1826 atas prakarsa

Raja Belanda kala itu, yaitu Raja Willem I. Namun, gedung ini baru beroperasi

sebagai Bank dalam pengertian sesungguhnya pada 24 Januari 1828 melalui Surat

Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25. Kemudian, kantor pertama

De Javasche Bank di Hindia Belanda ini didirikan di Semarang pada tanggal 1

Maret 1829. Baru disusul daerah lainnya, seperti: Batavia, Surabaya, Bandung,

Cirebon, Yogyakarta, Solo, Kediri, Malang, Surabaya, Manado, Padang, dan Banda

Aceh.

Sampai saat ini, gedung Bank Indonesia ini tetap berdiri dan masih dalam

bentuk gedung De Javasche Bank seperti masa belanda dahulu. Walaupun ada

beberapa tiik yang sudah direnovasi karena dimakan usia.

Terlihat dari fisiknya bangunan ini memperlihatkan arsitektur kolonial yang

terkombinasikan dengan unsur-unsur bangunan tropis. Pada bagian atapnya berbentuk

1
limasan dan bentuk kerucut dengan jendela, juga ventilasi yang hampir memenuhi

seluruh dinding bangunan, dan pada tingkat dasar maupun pada tingkat atas. Sejak

awal gedung ini sudah difungsikan sebagai gedung bank, maka kesan bentuk sebagai

bangunan pemerintah terlihat pada bagian halaman depannya. Garis-garis lurus, tiang

semu pada jendela dan ventilasi hanya berfungsi sebagai penghias atau unsur-unsur

dekoratif.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kritik doktrinal terhadap bangunan Bank Indonesia di Banda

Aceh?

2. Bagaimana kritik sistematik terhadap bangunan Bank Indonesia di Banda

Aceh?

3. Bagaimana kritik terukur terhadap bangunan Bank Indonesia di Banda

Aceh?

4. Bagaimana kritik tipikal terhadap bangunan Bank Indonesia di Banda Aceh?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN

1. Untuk mengatahui metode kritik doktrinal terhadap bangunan Bank

Indonesia di Banda Aceh

2. Untuk mengatahui metode kritik sistematik terhadap bangunan Bank

Indonesia di Banda Aceh

2
3. Untuk mengatahui metode kritik terukur terhadap bangunan Bank Indonesia

di Banda Aceh

4. Untuk mengatahui metode kritik tipikal terhadap bangunan Bank Indonesia

di Banda Aceh

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Metode Kritik Dalam Arsitektur

Kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos, berarti “yang membedakan”.

Secara harafiah kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu

dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau

membantu memperbaiki pekerjaan (Wikipedia, 2015). Di dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, definisi kritik/kri·tik/ adalah “kecaman atau tanggapan, yang

terkadang disertai dengan uraian penjelasan mengenai baik dan buruknya suatu

karya, pendapat dan sebagainya” dan definisi mengkritik/meng·kri·tik/ adalah

mengemukakan kritik; mengecam. (KBBI, 2012-2015).

Dapat disimpulkan bahwa kritik arsitektur merupakan tanggapan terhadap

sebuah ingkungan, yang meliputi tanggapan yang bersifat negative dan positif yang

bermaksud menyaring dan melakukan pemisahan.

a) Kritik Normatif

Mengkritik dengan model ini menggunakan teknik yang didasarkan pada

pedoman baku normative. Kritik ini berkaitan dengan keyakinan yang digunakan

sebagai pedoman baku untuk menilai rancangan bangunan atau kota. Kebenaran

dari kritik normative adalah meyakini bahwa setiap bangunan yang dibangun

dilingkungan manapun selalu dibangunan dengan suatu model, pola, standard atau

sandaran sebagai sebuah prinsip. Sehingga dengan keyakinan ini kualitas dan

kesuksesan sebuah lingkungan dapat dinilai. Norma bisa dikatakan sebuah standar

4
yang memiliki sfat fisik, tetapi juga bersifat kualitatif dan tidak dapat

dikuantitifikasikan. Kadangkala norma juga sesuatu yang tidak konkrit dan juga

bersifat umum bahkan hampir tidak ada kaitannya dengan bangunan sebagai sebuah

benda konstruksi. Kritik normative perlu dibedakan dalam metode sebagai berikut:

1. Kritik Doktrin

Paparan yang disajikan dalam kritik ini menggunakan norma yang bersifat

general, pernyataan yang tidak terukur. Bersifat tunggal dalam titik

pandangannya dan biasanya mengacu pada satu ISME yang dianggap paling

baik.

2. Kritik Sistematik

Karakter kritik ini lebih menyederhanakan tidak mencukupi atau kadaluarsa.

Pilihan lain dari keterbatasan kritik dengan satu dokrin ini dalam paparannya

dibuat dengan adanya jalinan prinsip dan factor yang dapat dibangun sebagai

satu sistem. Kritik sistematik diharapkan mampu menghadapi persoalan yang

kompleksitas.

3. Kritik Terukur
Kritik ini memiliki karakter pernyataannya sering menggunakan hukum-

hukum matematika tertentu. Nilai-nilai tersebut biasanya diperoleh dari

pengamatan langsung di lapangan/ observasi. Norma yang terukur digunakan

untuk memberi arah yang lebih kuantitatif. Pengolahan data melalui statistik

atau teknik lain secara matematis dapat mengungkapkan informasi baru tentang

objek yang terukur dan wawasan tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa

5
penggunaan kritik sistematik ini dibanding dengan kritik-kritik lain pada

metode normatif adalah teknik penganalisaannya menggunakan standardisasi

desain yang sangat kuantitatif dan terukur secara matematis.

4. Kritik Tipikal
Studi tipe bangunan saat ini telah menjadi pusat perhatian para sejarawan

arsitektur. Hal ini dapat dipahami karena desain akan menjadi lebih mudah

dengan mendasarkannya pada type yang telah standard, bukan pada innovative

originals (keaslian inovasi). Studi tipe bangunan lebih didasarkan pada kualitas,

utilitas dan ekonomi dalam lingkungan yang telah terstandarisasi dan kesemuanya

dapat terangkum dalam satu tipologi.

6
BAB III
METODE

3.1 METODA ANALISA

Sebagaimana telah disampaikan didepan, metode penganalisaan terhadap bangunan

cagar budaya ini dilakukan dengan kritik arsitektur. Di kota banda Aceh terdapat banyak

bangunan kuno yang telah masuk list cagar budaya yang dilindungin. Pada pembahasan ini,

kami mengangkat kasus dengan mengambil bangunan Bank Indonesia yang terletak di

pusta kota Banda Aceh. Dengan penganalisaan kritik normative terhadap responsibilitas

iklim tropis. Sementara pada kritik arsitektur terdapat dua jenis kritik lainnya. Sehingga

masih sangat terbuka untuk mengkaji suatu bangunan peninggalan colonial Belanda yatu

Bank Indonesia.

Metoda Kritik Arsitektur ini menjadi salah satu materi kuliah penting pada program

pendidikan Arsitektur Strata II di Indonesia dan telah banyak pula pengamatan dilapangan

dilakukan, walaupun secara sporadic/ tidak terfokus/tuntas/saling melengkapi.

7
Tabel 1. Bentuk Respon Bangunan Di Daerah Beriklim Tropis
(Prianto, Wahyudi, & Kusumastuti, 2015)

No Aspek Iklim Tropis Bentuk Respon Desain Bangunan

ATAP
 Diantara banyak bentukl atap bangunan,
1 OPTIMALKAN ALIRAN sebenarnya
atap berbentuk miring atau menyerupai
pelana adalah yang optimal dapat melindungi
semua bagian badan bangunan.

• Bentuk kemiringan atap, seyogyanya


dapat serah dengan arah datangnya angin,
sehinggi angin yang optimal dapat diperoleh
dalam bangunan.

• Pilihan bahan penutup (bahan dan


tektur) seyogyanya itentukan dengan karakter
kecepatan udaranya.

• Bukaan pada atap atau pembuatan


cerobong pada atap merupakan salah satu
solusi yang tepat.

DINDING

• Besarnya porosite (perbandingan luas


pelobangan dinding terhadap luas dinding
pada suatu fasade) menentukan kuantitas
angina yang masuk kedalam bangunan.

• Bentuk-bentuk pelobangan dinding


dapat berupa pintu, jendela maupun
pelobangan angin lainnya yang berada diatas
pintu/jendela atapun pada bagian dinding.

8
• Pelobangan dinding akan berfungsi
optimal, bilamana terletak searah sudut datang
angin. Bilamana tidak, didain parapet
bangunan akan menjadi solusinya.

LANTAI

• Makin tinggi permukaan bidang lantai


terhadap tinggi muka tanah, akan
mendapatkan effek optimal keberadaan angin.
Dengan mengetahui karakter gerakan udara
secara natural, maka bangunan seyognyanya
memposisiokan ketinggian lantai yang
semakin tinggi kearah wilayah interiornya.

• Kekasaran permukaan lantai juga


mempengaruhi

gerakan udara yang masuk kedalam bangunan


2 CURAH HUJA YANG ATAP
TINGGI •Kemiringan Atap yang tepat akan memberi
luang gerak curah hujan yang menerpa
bangunan.

•Penentuan tektur material penutup atap (licin


dan kuat) berfungsi mengatisipasi tanaman
liar/lumut.

•Talang dalam/jurai dalam merupakan solusi


untuk menyelesaikan pertemuan antar
kemiringan atap

•Kebocoran dapat terjadi jika kemiringan atap


tidak sebanding dengan tumpang tindihnya
elemen atap.

DINDING

•Sebagaimana pilihan material atap, maka


pilihan pelapis dinding juga berfungsi dalam

9
menatisipasi gangguan
tanaman liar/jamur bahkan lumut pada
musim hujan. Dan pilihan pelapis yang licin
dan berbahan keras, merupakan solusi yang
tepat, seperti pelapisan dinding keramik
ataupun pelapisan cat yang gilap/licin.

•Pola aliran air hujan seyogyanya direspon


dengan menempatkan tritisan atau alur air
yang tepat pada dinding

LANTAI

•Kekasaran muka lantai merupakan solusi


yang tepat bagi bangunan yang sering basah
terkena air hujan. Kemiringan lantai/ pada
bangian bawah bangunan sangat dianjurkan.

•Ketinggian permukaan lantai yang signifikan


merupakan solusi antisipasi luapan alir hujan
pada bagian bawah bangunan
3. PANCARAN SINAR ATAP
MATAHARI •Kemiringan atap dan lebar tritisan yang
maksimal suatu bangunan akan optimal dalam
melindungi dinding dari paparan sinar
matahari langsung

•Ruang bawah atap merupakan media isolasi


yang tepat untuk daerah tropis dalam
mengatisipasi terpaan sinar matahari
sepanjang hari. Apalagi bila dimungkin kan
ditempatkan lubang ventilasi pada bagian ini,
maka akan berfungsi dalam menurunkan suhu
udara ruangan

di bawahnya.

•Penggunaan penutup atap dengan lapisan


yang mengilat dan terang dapat memantulkan
panas matahari

10
DINDING

•Pilihan material dinding yang semakin keras


akan membantu mrngurangi hantara panas
sinar matahari masuk kedalam bangunan.

•Finishing dinding fasad sangat signifikan


dalam mengurangi beban panas. Dinding yang
belum finishing (terlihat susunan bata) akan
lebih cocok untuk daerah dingin/pegunungan.
Dinding rumah daerah panas (seperti kota
Semarang), sangat diperlukan finising dinding
yang optimal dan tambahan pilihan
pewarnaan dinding yang lebih terang.

•Warna warna putih lebih menguntungkan


dalam pengurangan panas ruangan dalam
dibanding warnawarna menyolok lainnya.

•Untuk cat dinding berwarna selain putih,


warna biru dinilai lebih baik dibandingkan
warna merah karena dapat menurunkan suhu
dinding.

• Diantara jenis pilihan batu alam pelapis


dinding, untuk bangunan di kota Semarang
secara berurutan lebih tepat menggunakan
batu palimanan, batu andesit kemudian batu
candi.

LANTAI

• Pilihan tektur dan warna lantai pada


bagian bawah dan luar bangunan yang terkena
sinar matahari,. M,emberikan effek
panas/pantul sinar ke arah dalam ruangan.

11
• Pasda daerah yang relatif sering kena
air/ daerah rob, pilihan dan disain bagian
bawah bangunan seyognyanya difungsikan
memperoleh pancaran sinar matahari yang
optimal agar ruangan dalam/bangunan tidak
lepuk/cepat lembab

Lingkup kajian pada paper ini adalah mengungkap dan menggali secara

mendalam responsibilitas disain Bank Indonesia Banda Aceh terhadap iklim tropis.

Kajian akan dilakukan terhadap 4 (empat) kajian dalam kritik Normatif ini

1. Kritik Doktrin, mengandung pemahaman berdasarkan norma yang bersifat

general dengan pernyataan yang tidak terukur terhadap suatu obyek.

2. Kritik Sistematik dipandang cukup lebih baik daripada doktrin yang tunggal

untuk dihadapkan pada kompleksitas suatu telaahan. Dengan adanya jalinan

prinsip dan faktor yang terbangun menjadi satu sistem.

3. Kritik terukur, Perbedaan tegas dari kritik terukur ini terhadap kritik normatif

lainnya adalah terletak pada metode yang digunakan yang berupa standardisasi

desain yang sangat kuantitatif dan terukur secara matematis.

4. Dan Kritik Tipikal, yaitu suatu kritik yang lebih didasarkan pada kualitas,

utilitas dan ekonomi dalam lingkungan yang telah terstandarisasi, bukan pada

innovative originals (keaslian inovasi).

Sedangkan 3 (tiga) variabel aspek iklim tropis adalah: aspek gerakan udara,

aspek pancaran sinar matahari, aspek kelembaban dan aspek curah hujan. Dan element

12
bangunan yang hendak dikaji, meliputi 3 (tiga) zona : zona atas bangunan (atap), zona

badang bangunan dan zona bagian bawah bangunan. Secara diagramatis pola

pembahasan ini dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini.

13
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 KRITIK DOKRINAL BANGUNAN BANK INDONESIA DI BANDA ACEH

Secara prinsip, kritik Dokrinal ini mendasarkan norma yang bersifat general

dengan pernyataan yang tidak terukur. Bangunan Bank Indonesia ini merupakan

bangunan berarsitektur kolonial peninggalan belanda yang dibangun pada 2

Desember 1918 yang dulunya dikenl sebagai kantor cabang De Javasche Bank

sebelum di ambil alih oleh BI pada1 juli 1953 yang hingga kini masih dimanfaatkan

sebagai gedung Bank Indonesia.

Salah satu norma general yang coba kami kaji adalah form follow function.

Salah satu kaidah arsitektur modern yang dikemukakan oleh louis Sullivan dan

kaidah internasional style dari arsitekturmodern ( Jurgen,1959). Bentuk

denahbangiuan Bank Indonesia, dapat dikatakan bahwa sang arsitek Vernont cuypers

dan Huswit menganut salah satu kaidah form follow function. Bentuk denah yang

mengikuti bentuk persegi panjang, sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan bank

dalam kemudahan sirkulasi.

Norma form follow function tidak hanya diterapkan pada bentuk bangunan

terkait dengan fungsi secara ergonomis saja, tapi juga terkait desain yang tanggap

iklim tropis. Massa bangunan yang dengan bentang panjang biasanya mengharuskan

penggunaan energi yang besar pula (Rahim H. R., 2012. Hal 1).

14
4.2 KRITIK SISTEMATIK BANGUAN BANK INDONESIA

Kritik Sistematik ini dipandang cukup lebih baik daripada doktrin yang tunggal

untuk dihadapkan pada kompleksitas suatu kajian.Kelemahan kajian hanya dengan

satu doktrin karena terkandunga aspek penyederhanaan (simplistic), tidak tercukupi

materi kajian (inadequate) atau suatu kajian yang kadaluarsa (out of dated ). Untuk

itu kajian seperti diatas,seyogyanya dilakukan dari beberapa dokrin, walaupun saling

terpisah. Pada kajian sistematik Bank Indonesia ini, kami kaji dari aspek penggunaan

materialnya, aplikasi kesederhanaan arsitektur modern.

Salah satu ciri dari arsitektur modern adalah penggunaan material-material

seperti baja dan beton bertulang (Yulianto Sumalyo,1997, hal 9). Gedung ini

dibangun dengan semangat kolonialisme yang tinggi. Arsitektur yang bercorak neo

kolonial terlihat dari penggunaan pondasi yang tinggi, atap yang tinggi dan landai

juga beton dan dinding yang tebal.Penggunaan arsitektur bergaya kolonial tidak

terlepas dari konsep politik pemerintah Hindia Belanda saat itu yang ingin

menunjukkan kekuasaannya melalui arsitektur. Hal yang lazim kita kenal sebagai

rupa-rupa Intimidasi melalui politik struktur, politik semiotik.

Seluruh bahan utama terbuat dari beton bangunan. Bentuk menara yang

terletak di kiri dan kanan bangunan induk berlantai tiga, beratap sirap dan berbentuk

kuba. Setiap sisi dinding lantai tiga menara dikelilingi oleh jendela sebanyak empat

buah. Pada dinding lantai dasar terdapat dua buah jendela yang masing-masing

15
berukuran besar dan kecil. Pada lantai dasar bangunan terdapat lima ruang dan lima

buah jendela.

Secara fisik, bangunan ini memperlihatkan arsitektur Kolonial yang

dikombinasikan dengan unsur-unsur bangunan tropis. Bagian atapnya berbentuk

limasan dan bentuk kerucut dengan jendela, serta ventilasi hampir memenuhi

keseluruhan dinding bangunan, baik pada tingkat dasar maupun pada tingkat atas.

Sebagai bangunan pemerintah yang didirikan pada masa Kolonial maka tidak

mengherankan apabila bangunan ini tampak begitu kokoh dengan dua menara yang

mengapit bangunan tersebut. Bangunan menghadap ke arah timur berdenah segi

empat. Bangunan terdiri atas tiga bagian yaitu, bangunan induk terletak ditengah-

tengah yang diapit oleh dua bangunan yang menyerupai menara yang saling

berhubungan.

4.3 KRITIK TERUKUR BANGUNAN BANK INDONESIA

Perbedaan kritik terukur ini terhadap kritik normatif lainnya adalah terletak pada

metode yang digunakan yang berupa standardisasi desain yang sangat kuantitatif dan

terukur secara matematis. Dengan penggunaan bilangan atau angka maka polakritik

terukur ini dapat mengungkapkan kajian terhadap iklim tropis ini secara cermat dan

tepat. Pada kajian ini, kami mengambil standarisasi yang tentunya terkait respon

disain terhadap faktor-faktor iklim tropis, yaitu, terkait tinggi plafond, kenyamanan

area sirkulasi didalam ruang dan proporsi lebar tritisan serta pilihan finishing

pewarnaan dinding daerah tropis.

16
Pertama, tingkat kenyamanan dapat dihitung dengan tingkat standar tinggi

bangunan plafond di ruangan. Ketinggian yang mencukupi dapat memberikan ruang

udara yang cukup, sehingga mengatur tingkat kenyamanan pengguna ruang. Secara

sederhana ketinggian langit-langit yaitu 4 meter. pilihan warna eksterior bangunan

Bank Indonesia , didominasi warna putih, dengan demikian pilihan warna putih ini

tepat dalam usaha mempengaruhi tingkat suhu udara dalam bangunan menjadi lebih

sejuk atau dibawah suhu udara eksteriornya.

4.4 KRITIK TIPIKAL BANGUNAN BANK INDONESIA


Secara prinsip, kritik tipikal ini lebih didasarkan pada kualitas, utilitas dan

ekonomi dalam lingkungan yang telah terstandarisasi dan kesemuanya dapat

terangkum dalam satu tipologi. Salah satu ciri arsitektur modern adalah penggunaan

material baja dan kaca dan diperkenalkannya struktur kolom balok beton bertulang

(Frampton, 1985). Karakter kualitas dan kuantitas yang mendominasi karakter

bangunan Bank Indonesia ini ada dua hal: Pertama aspek kualitas maupun kuantitas

dari pemakaian bahan baja. Ketepatan akan pemakaian bahan ini telah membuktikan

kebertahanan bangunan Bank Indonesia ini pada kejadian tsunami 2004. Pada

bangunan ini, penggunaan material ini sangat mendominasi pada setiap konstruksi

bangunannya, baik dari disain kolom, disain rangka tritisan, rangka kuda-kuda atap

bangunan hingga bahan penutup atap. Bahkan tuntutan bentang lebar suatu suatu

bangunan seperti Bank Indonesia ini pun terakomodir dengan pemakaian material

ini.

17
Kedua, aspek kualitas dan kuantitas rancangan Bank Indonesia terhadap aspek

hemat energi, dimana terbentuknya jendela yang banyak, akhirnya menghadirkan

penerangan alami secara optimal. Dari pembahasan diatas, dapatlah kita rekap point-

point disain Bank Indonesia dalam usaha merespon iklim tropis, sebagaimana

terakomodir pada tabel 1 dibawah ini.

KRITIK NORMATIF

Kata kunci Pemaparan

Keterpesonaan akan Bank Indonesia menggunakan langgam arsitektur


a colonial
sejarah namun tetap mempertimbangkan kontekstual
Tropis
Indonesia

b Mengacu pada satu Bank Indonesia menganut kaidah form follow


“isme” function,
dimana bentuk form follow Bank Indonesia di
aplikasikan
dengan cermat dalam fungsi dan bentuk desain
bangunan
yang tanggap iklim tropis

c Jalinan prinsip dan factor. Bank Indonesia merupakan warisan budaya


arsitektur colonial modern, enggan desain yang
adaptif. Dengan struktur betonbertulang khas
colonial modern memungkinkan bentuk atap sirap
dan berbentuk kubah.
d Pengolahan Konsep dengan menggunakan aliran Hindia Baru.
secara Terlihat pada jendela yang di gunakan Bank
matematis/terukur Indonesia memiliki banyak ventilasi yang
memungkinkan udara masuk kedalam bangunan
dengan baik.

18
e Material struktural Dominasi penggunaan material baja berkualitas „terbaik‟
untuk struktur utama hingga konstruksi kuda-kuda atap
bahkan material penutup atap. Bangunan ini sangat kuat
dan kokoh karena saat bencana dahsyat yang melanda
banda aceh yaitu tsunami pada tahun 2004 bangunan ini
tetap kokoh dan berdiri tegak. Keberadaan bangunan ini
sampai hingga kini masih tetap eksis dan tetap berdiri
kokoh.
f Fungsi Tuntutan kenyamanan pada bangunan berbentang besar
didaerah tropis, adalah keberhasilan menghadirkan
penerangan alami semaksimal mungkin dan
menghadirkan kulitas udara, membuat bangunan
terhindar dari ketidaknyamanan karena kelembaban.
Kualitas dan kuantitas penerangan alami tercipta di
bangunan ini
g Bentuk Bentuk bangunan Bank Indonesia menghadap ke arah
timur berdenah segi empat. Bangunan terdiri atas tiga
bagian yaitu bangunan induk terletak di tengah bangunan
yang di apit oleh dua bangunan yang menyerupai menara
yang saling berhubungann. Bangunan Bank Indonesia ini
dari bentuk dan façade nya sudah terlihat bentuk
pemerintahan

Berikut merupakan studi banding dari kritik tipikal :


1. Lawang sewu

Lawang Sewu adalah bangunan kuno yang dibangun pada zaman Belanda dan

dipergunakan sebagai kantor pusat perusahaan kereta api milik Belanda atau

Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij (NIS). Profesor Jacob F. Klinkhamer

19
dan BJ Queendag adalah arsitek yang bertanggung jawab atas bangunan yang

terletak di sisi timur Tugu Muda Semarang ini. Bangunan ini memiliki tiga lantai

dengan gaya arsitektur art deco. Arsitektur Lawang Sewu disesuaikan dengan

kondisi cuaca di Indonesia yang selalu disinari matahari. Agar lantai selalu dingin,

dibuatlah lorong bawah tanah yang digenangi air dan dilengkapi dengan lorong-

lorong yang berfungsi sebagai ventilasi pada setiap ruangan di atasnya. Desain atap

dan langit-langit dibuat dengan perencanaan yang baik supaya dapat menyirkulasi

udara panas keluar melalui ventilasi.

Pada awal 2012 bangunan utama Lawang Sewu sudah selesai direnovasi dan

bangunan di belakangnya kini dijadikan museum kecil untuk menceritakan sejarah

NIS.

2. Gedung bank indoneia ( yogyakarta)

Gedung Bank Indonesia atau yang disebut de Javasche Bank pada zaman

penjajahan, diresmikan pada 1 April 1879 sebagai kantor cabang ke-8 di Nusantara.

20
Bangunan yang hingga kini masih megah dan kokoh tersebut, dirancang oleh Arsitek

Belanda Marius J. Hulswit dan Edward Cuypers dengan menampilkan aura

kemegahan arsitektural bergaya Eropa. Secara struktur, gedung BI Jogja, terdiri dari

bangunan dengan tiga lantai dengan fungsi yang berbeda di setiap lantainya. Lantai

paling bawah difungsikan sebagai ruang penyimpanan bisa dilihat dari ruang

khazanah yang berfungsi menyimpan uang. Ruang utama dan kasir terdapat di lantai

satu, sedangkan lantai dua dulunya adalah tempat tinggal bagi direksi dan

keluarganya.

Setelah lebih dari 100 tahun, bangun dari gedung ini pun tidak banyak berubah.

Kalaupun ada perubahan skala nya adalah perubahan-perubahan kecil. Sedangkan di

bagian dalam gedung, perubahan juga lebih karena pergeseran fungsi atau

peruntukkan menyesuaikan dengan perkembangan jaman dan kebutuhan. Tak hanya

tampilan fisiknya yang anggun dan megah ala bangunan neo-renaissance, konstruksi

gedung peninggalan Belanda ini juga sangat kuat. Masyarakat yang kerap melewati

kawasan Kilometer nol Yogyakarta pasti akan ikut mengagumi tampilan fisiknya.

21
BAB V
KESIMPULAN

1. Dengan memahami ragam model mengkritik bagi bangunan karya arsitektur,

terutama pada produk bangunan kuno/ cagar budaya, maka akan didapatkan

informasi disain yang respond terhadap iklim setempat, yang telah teruji lewat

waktu/jaman.

2. Pemahaman yang komprehensif pada motode ini diharapkan akan menggeser

persepsi masyarakat awam terhadap kata „kritik‟ yang sering biasa menjadi

sesuatu yang menelanjangi/ jelek atau mengaburkan masalah dari pada solusi

yang diharapkan

3. Kritik Normatif terhadap bangunan Bank Indonesia ini, guna mengungkap

informasi secara mendalam aspek disainnya yang respond terhadap iklim tropis.

Kajian Kritik Normatif dari kajian terhadap tinjauan suatu norma general yang

tidak terukur, kemudian dilanjutkan penggunaan standarisasi yang kuantitatif

dan terukur matematis hingga pada penelaahan yang didasari aspek kualitas,

utilitas dan faktor ekonomi dalam suatu lingkungannya

4. Pemakaian material baja dan beton secara dominan dan tepat serta berkualitas

baik telah membuktikan kebertahanan bangunan ini hingga 2019 dari tahun

1918.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kuliah Arsitektur. (2008, Nopember 14). Retrieved Oktober 14, 2014, from Sejarah,

Teori dan Kritik Arsitektur: http://www.Kuliah Arsitektur - Architecture Lectures

Sejarah, Teori, Dan Kritik Arsitektur.Htm

Lippsmier, G. (1994). Bangunan Tropis. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Suriawidjaya, E. (1986). Persepsi Bentuk dan Konsep Arsitektur. Jakarta: Djambatan

Sumalyo, Y. (2016). Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia. Jogja: Universitas


Gajah Mada Press

23

Anda mungkin juga menyukai