ACEH TENGAH
Pada provinsi Aceh sendiri yang termasuk daerah pesisirnya adalah Kabupaten Simeulu,
Kota Banda Aceh, Calang, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh
Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Langsa Kota, Kabupaten Aceh Utara,
Kabupaten Bireun dan Kabupaten Pidie. Dimana dalam hal ini kami hanya akan mengambil
contoh dari beberapa Kabupaten/Kota yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Simeulu dan
Kabupaten Nagan Raya.
Rumoh Aceh dengan bentuknya yang kita kenal sekarang ini, merupakan hasil proses
yang panjang dalam sejarah. Rumah yang juga merupakan produk karya
secara perlahan sehingga menyamai bentuknya sekarang ini (Mirsa, 2012). Di awali
dengan rumoh Aceh oleh nenek moyang yang mana diyakini bahwa nenek moyang orang
Aceh berasal dari dataran Indo-Cina (Said, 1981). Nenek moyang yang membawa
nenek moyang dan penghuni rumah yang sudah meninggal bersemayam di berbagai
objek/benda mati, termasuk rumah. Oleh karena itu, konsep tripartite ini dimaksudkan untuk
membagi area rumah yang ditujukan untuk menyediakan tempat bagi roh/arwah perusak di
bagian bawah (kolong), arwah nenek moyang dan arwah penghuni rumah di bagian atas
(atap), sementara bagian tengah untuk kehidupan manusia. Selanjutnya, rumoh Aceh
berakulturasi dengan ajaran Agama Islam yang masuk ke dalam masyarakat Aceh dan
menjadi landasan hidup sehingga memberi pengaruh juga pada pembaharuan filosofi
Karakteristk Kunci
lingkungannya. Terlihat dari adanya kolong (miyub moh) sebagai respon terhadap
gangguan binatang buas, di mana saat itu tapak masih dikelilingi hutan. Di samping itu juga
sebagai respon dari banjir, dimana saat itu rumah dibangun didekat sungai untuk
memudahkan menjangkau air untuk memasak dan minum, namun di musim tertentu air
meluap ke pemukiman akibat dari belum adanya sistem irigasi seperti saat ini. Tiang kolong
selalu ditumpu batu agar tiang yang bermaterial kayu tidak langsung bersentuhan
dengan tanah yang mana kelembaban dan binatang tanah dapat merusak kayu. Di bawah
pengaruh Islam, kolong menjadi suatu manifestasi terhadap konsep suci, yaitu untuk
mengangkat lantai rumah dari permukaan tanah (dari jangkauan binatang seperti anjing
dan babi yang digolongkan ke dalam binatang haram di dalam Islam) agar terjaga
Atap berbentuk pelana sederhana sebagai respon terhadap hujan serta ketersediaan
material yang pada saat itu hanya dapat mengandalkan daun rumbia. Pada atap juga
Rumoh Aceh juga dibangun dengan kesadaran tinggi terhadap pentingnya melindungi
wanita. Umumnya rumoh Aceh memiliki perbedaan ruang yang dimaksudkan untuk
memisahkan tempat berkegiatan pria dan wanita, terlebih ketika ada acara-acara tertentu.
Adat Aceh menyebutkan bahwa, ketika anak perempuan telah menginjak umur 7 tahun,
maka sang ayah mulai mengumpulkan bahan-bahan kayu, bahan atap berupa daun rumbia
atau daun nipah dan bahan-bahan lain untuk mendirikan rumah untuk anak perempuannya
(Hoesin, 1970 dalam Arif, 2015). Rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak
Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra-é (faraidh-hukum
waris). Jika seorang suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik
anak -anak perempuan atau menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai
Phang isteri Sultan Iskandar Muda membuat qanun tersebut di abad ke 17. Qanun
ini melindungi kehidupan seorang janda, sehingga bila seorang isteri diceraikan oleh
suaminya, maka janda tersebut memiliki rumah yang dibuat oleh sang suami tersebut.
Pada awalnya rumoh Aceh tanpa dilengkapi jendela (Hadjat dkk, 1984), karena
dinding rumah yang dibuat dari tepas. Namun perlahan rumoh Aceh dilengkapi jendela.
Orientasi rumah menghadap Utara-Selatan sebagai respon terhadap arah mata angin,
yang mana angin barat bertiup paling kencang dan dikhawatirkan membahayakan rumah.
Masuknya Islam ke Aceh membuat arah rumah yang memanjang Timur-Barat dikaitkan
dengan penyesuaian arah kiblat (Barat), yang mana posisi demikian dimaksudkan untuk
memudahkan para tamu yang datang langsung mengetahui arah kiblat ketika hendak shalat
(Mirsa, 2012).
Pengaruh Islam juga terlihat pada peletakan pintu. Setelah Islam masuk, letak pintu
dipastikan selalu berada di sebelah utara, selatan, atau timur rumah. Hal ini dimaksudkan
agar memudahkan orang yang keluar atau masuk ketika ada yang sedang shalat (terutama
(holobis.net-RumohAceh)
Rumoh Aceh terdiri dari 3 pembagian ruang utama, yaitu (Gambar 2.8 dan 2.9):
1. Serambi depan (seuramoe keue) dikuhususkan untuk publik, diantaranya: menerima
tamu, shalat berjama’ah, dan lain-lain.
serta terdapat sebuah kamar pemilik dan sebuah kamar anak perempuan.
3. Serambi belakang (seuramoe likeut), serambi yang dikhususkan untuk kaum wanita
(Sabila, 2014)
Adapun karakteristik rumah tradisional Aceh yang menjadi acuan
KARAKTERISITIK GAMBAR
KARAKTERISITIK GAMBAR
Rumoh Aceh hanya terdiri dari satu massa tunggal yang melayang di
atas tiang. Kondisi bangunan seperti ini, menurut Ching memberi kesan masiv
pada bangunan (Ching, 2002). Massa rumoh Aceh memberi kesan ringan. Hal ini
sangat dipengaruhi oleh kehadiran tiang (tameh) pada bagian kolong yang
material paling ringan di antara material lainnya. Menurut Ching berat suatu
Selain itu dipengaruhi juga oleh tinggi bangunan yang hanya 7 meter dan luas
2 2 .
seluruh bangunan berkisar antara 81 m hingga 135 m (Ching, 2002),
Sehingga bila dibandingkan dengan ukuran tubuh manusia, rumoh Aceh tidak
(Widiarti,
2015)
Setiap bagian rumoh Aceh, mulai dari kolong, dinding, hingga atap,
elemen yang memiliki ukuran tertentu dapat mempertegas ukuran dan skalanya
(Ching, 2002).
a.Flora
b. Fauna
(riafariha.blogspot.co.id/arsitektur-rumah-aceh)
Ukiran-ukiran tersebut tersebar pada bagian-bagian berikut (Mirsa, 2012):
1. Rinyeun (tangga)
2. Kindang
3. Binteh (dinding)
4. Peulangan
5. Bara
6. Tingkap (jendela)
7. Pinto (pintu)
Bukaan pada rumoh Aceh terdiri dari pintu, jendela, dan ventilasi
dinding. Terdapat juga bukaan yang tidak terlalu besar di lantai yang berfungsi
(Hadjat dkk, 1984). Pintu umumnya diposisikan di sisi utara/selatan dan timur.
Jendela diposisikan pada 4 sisi bangunan. Pada sisi Timur dan Barat, hanya 1
jendela setiap bagian ruang dan diposisikan di tengah (Gambar 2.13). Sementara
rumah di sebelahnya (Mirsa, 2012) serta saling menjaga rumah dan ketertiban
aceh, yaitu pintu utama dan pintu belakang. Tinggi pintu hanya 150-180 cm
budaya orang aceh. Pintu selalu berada di posisi tengah atau tepi yang berada di
sisi Timur pada sisi Utara/Selatan, atau sisi tepi serambi depan (seuramoe keu)
pada sisi Timur. Namun mulanya pintu berada sisi lantai rumah.
Gambar 2. 15 Pintu di posisi tengah atau tepi yang pada sisi Utara/Selatan
(sibijehmata.files.wordpress.com)
(putrirahmita.files.wordpress.com)
Pintu di posisi bawah
( Sumber: rinaldimunir.files.wordpress.com)
Material
sama persis, kecuali pada satu sisi (baik di sisi Timur, Utara, atau Selatan) di
mana ada peletakan pintu. Setiap desain pada salah satu sisi fasade akan
diulang pada sisi satunya lagi. Fasade terbentuk dari susunan komponen
mengangkat lantai
letak/posisi jalan. Namun ketentuan yang berlaku adalah sisi dinding dengan
sebagai respon terhadap angin, dan seiring masuknya Agama Islam, orientasi
(Sumber: google.com)
Kabupaten Aceh Tengah adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Ibu
kotanya adalah Takengon, sebuah kota kecil berhawa sejuk yang berada di salah satu
bagian punggung pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang
Pulau Sumatera. Kabupaten Aceh Tengah berada di kawasan Dataran Tinggi Gayo.
Kabupaten lain yang berada di kawasan ini adalah Kabupaten Bener
Meriah serta Kabupaten Gayo Lues. Tiga kota utamanya yaitu Takengon, Blang Kejeren,
dan Simpang Tiga Redelong. Jalan yang menghubungkan ketiga kota ini melewati daerah
dengan pemandangan yang sangat indah. Pada masa lalu daerah Gayo merupakan
kawasan yang terpencil sebelum pembangunan jalan dilaksanakan di daerah ini.
(Sumber: google.com)
Berdasarkan asal usul nya Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang)dalam
bahasa Gayo berarti peninggalan raja Baluntara yang sebenarnya nama aslinya Jalaluddin.
Sudah berdiri dari sejak jaman pra-kemerdekaan sebelum kolonial Belanda masuk. Rumah
adat Tujuh Ruang ini menjadi bukti sejarah dari orang asli Gayo yang sampai sekarang
masih ada.
Rumah adat ini, bermaksud menjelaskan bahwa orang Gayo bermukim di sebuah
kampung di pinggiran Danau Laut Tawar. Tepatnya yaitu di Kampung Toweren, Kec. Laut
Tawar Aceh Tengah.
Rumah adat Tujuh Ruang memiliki ukuran umum panjang 9 meter dan lebar 12 meter.
Dengan bentuk rumah, seperti rumah panggung pada umumnya dengan 5 anak tangga,
menghadap utara. Didalamnya terdapat 4 buah kamar, dan 2 ruang bebas (lepo) di timur
& barat.
Rumah adat ini memiliki keunikan yaitu pada pembuatan susunan rumah tidak
menggunakan paku. Melainkan dengan dipasak dengan kayu dengan bermacam-macam
ukiran di setiap kayunya. Ukiran tersebut berbeda- beda, ada yang berbentuk hewan
sampai dengan ukiran seni Kerawang Gayo dengan pahatan khusus.
Semua sambungan pasak kayu dengan ukiran Kerawang kebanyakan. Salah satunya
motif puter tali, dsb. Di tengah ukiran Kerawang terdapat ukiran bentuk ayam dan ikan
yang melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Ada juga ukiran naga yang merupakan
lambing kekuatan, kekuasaan, dan kharisma. Walaupun tidak menggunakan paku akan
tetapi kekuatan rumah adat ini sangat kuat, karena kualitas kayu zaman dulu yang bagus.
Akan tetapi, bagaimana pun kalau kurang adanya perawatan maka akan rusak juga.
Rumah adat itu sebagai bukti sejarah bahwa Orang Gayo yang masih ada di Dataran
Tinggi Gayo, akan tetapi lambat laun warna rumah mulai pudar bahkan sudah beberapa
yang rusak karena mungkin kurangnya perawatan. Yang sebenarnya adalah disayangkan
apabila sebuah nilai sejarah pudar dan hilang begitu saja di makan waktu. Bukan rumah
adat yang di Linge dan Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon yang ialah copy an
dari yang aslinya.
Selain dari rumah adat Tujuh Ruang ini, terdapat asset bersejarah yang bernilai yang
lain yaitu disimpan rapi oleh keluarga seperti Bawar. Bawar adalah sebuah tanda kerajaan
yang diberikan oleh Sultan Aceh kepada Raja Baluntara.
Selain bawar juga masih ada beberapa peninggalan bersejarah lain yang kini masih
disimpan oleh keluarga keturunan raja Baluntara. Antara lain, seperti piring, pedang, cerka
dan sejumlah barang lain.
Raja Baluntara merupakan seorang raja yang juga mengusai kawasan hutan sehingga
disebut Reje Baluntara (Reje Baluntara – Red). Menurut sebuah cerita yang berkembang,
salah seorang keluarga Reje Baluntara yang bekerja di Jakarta, almarhum Reje Amat Banta
pernah menemukan foto tentang kekuasaan Reje Baluntara yang dibuat oleh Belanda
sekitar tahun 1990.
Singkat cerita Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) di Aceh Tengah ini
merupakan salah satu cerita tentang tempat yang bernilai sejarah tinggi. Yang kemudian
rumah adat ini di copy untuk sebagai icon wisata yaitu di Linge dan Mess Pitu Ruang di
Kampung Kemili Takengon, karena rumah yang asli sudah di makan zaman.
C. Kesimpulan Perbedaan
Rumah adat pitu ruang merupakan salah satu warisan kebudayaan suku Gayo.
Etnik Gayo merupakan sebuah n ama suku yang terdapat di dataran tinggi Aceh,
berada di kawasan pegunungan jantung Aceh. Meski hidup dan berkembang di
Aceh, namun karakter , budaya serta bahasa sangat berbeda dengan kebanyakan
Aceh Pesisir lainnya.
Budaya dan bahasa ada beberapa macam di provinsi Aceh, seperti halnya bahasa yang
terdapat di Aceh, yaitu bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Jamee, bahasa Alas,
bahasa Singkil serta bahasa yang lain. Sebaliknya budaya Gayo juga beragam seperti
bahasa yang terdapat di Ace h. Budaya Gayo sendiri memiliki perbedaan secara adat,
budaya dan bahasa. Seperti contoh antara Gayo Lues dengan Gayo Lut. Kedua
perbedaan ini sangat mencolok, seperti halnya gaya berbahasa, Gayo lues atau Gayo
belang terkenal dengan cara berbicara yang keras dan tegas, lebih suka terbuka daripada
menyembunyikan sesuatu, Gayo Lues juga terkenal dengan sistem sosial yang ramah
serta menggangap tamu adalah raja. Kebiasaan ini masih mendarah daging sampai
sekarang di Gayo Lues walaupun dipengaruhi globalisasi. Sedangkan Gayo Lut terkenal
dengan gaya bah asa yang lemah lembut dan ramah , perbedaan ini yang sangat
mendasar, sehingga semua budaya dan adat istiadat yang ada di provinsi Aceh berbeda
satu sama lainnya .
Mengingat perbedaan budaya, bahasa serta adat istiadat di dataran tinggi Gayo, tetapi
yang menyamakan suku Gayo adalah rumah adat pitu ruang Gayo. Rumah adat
tersebut sama secara desai n bentuk, interior, motif serta makna , baik itu di Gayo Lues
atau Gayo Belang , Aceh Tengah dan daerah lainnya. Walau berbeda daerah antara
Gayo satu dengan yang lain tetapi nilai estetika pada rumah adat pitu ruang tetap sama.
Nilai estetika yang terkandung pada rumah adat sangat artistik, mulai dari nilai simbolik
pada rumah adat, segi nilai estetika, nilai simbolik, nilai arsitektur , histori dan makna
yang terdapat pada rumah adat pitu ruang Gayo. Daya tarik dari rumah adat pitu ruang
adalah seni arsitektur dan ukiran (motif) yang terdapat di setiap sudut bangunan
rumah adat . Mulai dari bagian kaki rumah adat, dinding, ditambah dengan atap yang
mengunakan bahan dari alam. Semua unsur yang terdapat pada rumah adat Gayo
memiliki makna pada masyarakat Gayo.
Proses pembuatan ukiran yang terdapat pada rumah adat Gayo merupakan tiruan dari
alam sekitar daera h Gayo dan diaplikasikan pada rumah adat sehingga memiliki nilai
simbolis yang tidak ternilai. Menurut (Mahmud, 1998:4) rumah adat merupakan
bangunan milik masyarakat pada umumnya.
Rumah adat adalah komponen pentin g dari unsur fisik yang mencerminkan kesatuan
sakral dan kesatuan sosial. Pembangunan rumah adat dilaksanakan secara bergotong
royong.
Hiasan yang terdapat pada dinding dan seluruh bagian rumah adat memiliki makna
tersendiri dari segi religius maupun secara karakteristik. Secara keseluruhan
rumah adat yang ada di seluruh Aceh h ampir mempunyai kesamaan secara kontruksi .
Perbedaan antara rumah ada t pitu ruang Gayo dengan rumah adat Aceh lain adalah
design interior serta motif. Secara keseluruhan kontruksi warna dan bentuk hampir
sama dengan rumah adat yang ada di dataran tinggi Gayo yaitu rumah adat pitu
ruang Gayo Takengon Aceh Tengah (zulkarnain, Harian aceh, 2010 ).
Dewasa ini perkembangan teknologi yang semakin canggih sehingga mulai memudarnya
nilai budaya di kalangan masyarakat Gayo sehingga perlunya penyelamatan budaya.
Skripsi ini sebagai referensi kedepan guna memperkenalkan nilai budaya Gayo pada
generasi yang akan datang, Sekaligus mensosialisasikan keberadaan dan fungsi rumah
adat pitu ruang dan nilai yang terkandung di dalamnya sehingga tidak terjadinya salah
penafsiran terhadap nilai estetika dan makna simbolik motif yang terdapat pada
rumah adat tersebut. Di samping itu keindahan yang dikandungnya tentu tidak
muncul begitu saja akan tetapi melalui proses dan perenungan yang mendalam oleh
para senimannya. Keindahan itu akan semakin sempurna dirasakan jika orang yang
melihatnya mengerti akan nilai estetiknya, fungsi dan tujuannya.