Anda di halaman 1dari 25

PERBEDAAN RUMAH ADAT ACEH PESISIR DAN RUMAH ADAT

ACEH TENGAH

A. Rumah Adat Daerah Pesisir Aceh


Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti
pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian
laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002
tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah
Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi, di mana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari
wilayah laut itu (kewenangan provinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas
administrasi kabupaten/kota.

Peta Provinsi Aceh


(Sumber: google.com)

Pada provinsi Aceh sendiri yang termasuk daerah pesisirnya adalah Kabupaten Simeulu,
Kota Banda Aceh, Calang, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh
Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Langsa Kota, Kabupaten Aceh Utara,
Kabupaten Bireun dan Kabupaten Pidie. Dimana dalam hal ini kami hanya akan mengambil
contoh dari beberapa Kabupaten/Kota yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Simeulu dan
Kabupaten Nagan Raya.

Rumoh Aceh dengan bentuknya yang kita kenal sekarang ini, merupakan hasil proses

yang panjang dalam sejarah. Rumah yang juga merupakan produk karya

secara perlahan sehingga menyamai bentuknya sekarang ini (Mirsa, 2012). Di awali

dengan rumoh Aceh oleh nenek moyang yang mana diyakini bahwa nenek moyang orang

Aceh berasal dari dataran Indo-Cina (Said, 1981). Nenek moyang yang membawa

kepercayaan Animisme berpengaruh pada rumah tepatnya rumah memiliki 3 (tiga)

pembagian secara vertikal (tripartite). Kepercayaan Animisme percaya bahwa roh/arwah

nenek moyang dan penghuni rumah yang sudah meninggal bersemayam di berbagai

objek/benda mati, termasuk rumah. Oleh karena itu, konsep tripartite ini dimaksudkan untuk

membagi area rumah yang ditujukan untuk menyediakan tempat bagi roh/arwah perusak di

bagian bawah (kolong), arwah nenek moyang dan arwah penghuni rumah di bagian atas

(atap), sementara bagian tengah untuk kehidupan manusia. Selanjutnya, rumoh Aceh

berakulturasi dengan ajaran Agama Islam yang masuk ke dalam masyarakat Aceh dan

menjadi landasan hidup sehingga memberi pengaruh juga pada pembaharuan filosofi

arsitektur rumoh Aceh.

Karakteristk Kunci

Rumoh Aceh dibangun dengan kesadaran tinggi terhadap kondisi

lingkungannya. Terlihat dari adanya kolong (miyub moh) sebagai respon terhadap

gangguan binatang buas, di mana saat itu tapak masih dikelilingi hutan. Di samping itu juga

sebagai respon dari banjir, dimana saat itu rumah dibangun didekat sungai untuk
memudahkan menjangkau air untuk memasak dan minum, namun di musim tertentu air

meluap ke pemukiman akibat dari belum adanya sistem irigasi seperti saat ini. Tiang kolong

selalu ditumpu batu agar tiang yang bermaterial kayu tidak langsung bersentuhan

dengan tanah yang mana kelembaban dan binatang tanah dapat merusak kayu. Di bawah

pengaruh Islam, kolong menjadi suatu manifestasi terhadap konsep suci, yaitu untuk

mengangkat lantai rumah dari permukaan tanah (dari jangkauan binatang seperti anjing

dan babi yang digolongkan ke dalam binatang haram di dalam Islam) agar terjaga

kesuciannya sebagai tempat melakukan shalat dan beribadah lainnya.

Atap berbentuk pelana sederhana sebagai respon terhadap hujan serta ketersediaan

material yang pada saat itu hanya dapat mengandalkan daun rumbia. Pada atap juga

dilengkapi tolak angin (tulak angen).

Rumoh Aceh juga dibangun dengan kesadaran tinggi terhadap pentingnya melindungi

wanita. Umumnya rumoh Aceh memiliki perbedaan ruang yang dimaksudkan untuk

memisahkan tempat berkegiatan pria dan wanita, terlebih ketika ada acara-acara tertentu.

Adat Aceh menyebutkan bahwa, ketika anak perempuan telah menginjak umur 7 tahun,

maka sang ayah mulai mengumpulkan bahan-bahan kayu, bahan atap berupa daun rumbia

atau daun nipah dan bahan-bahan lain untuk mendirikan rumah untuk anak perempuannya

(Hoesin, 1970 dalam Arif, 2015). Rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak

perempuan atau ibunya.

Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra-é (faraidh-hukum

waris). Jika seorang suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik

anak -anak perempuan atau menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai

anak perempuan. Itu sebabnya isteri di dalam bahasa Aceh disebut


”peurumoh” (yang punya rumah). Adat ini telah ada di Aceh semenjak Putroe

Phang isteri Sultan Iskandar Muda membuat qanun tersebut di abad ke 17. Qanun

ini melindungi kehidupan seorang janda, sehingga bila seorang isteri diceraikan oleh

suaminya, maka janda tersebut memiliki rumah yang dibuat oleh sang suami tersebut.

Pada awalnya rumoh Aceh tanpa dilengkapi jendela (Hadjat dkk, 1984), karena

dinding rumah yang dibuat dari tepas. Namun perlahan rumoh Aceh dilengkapi jendela.

Orientasi rumah menghadap Utara-Selatan sebagai respon terhadap arah mata angin,

yang mana angin barat bertiup paling kencang dan dikhawatirkan membahayakan rumah.

Masuknya Islam ke Aceh membuat arah rumah yang memanjang Timur-Barat dikaitkan

dengan penyesuaian arah kiblat (Barat), yang mana posisi demikian dimaksudkan untuk

memudahkan para tamu yang datang langsung mengetahui arah kiblat ketika hendak shalat

(Mirsa, 2012).

Pengaruh Islam juga terlihat pada peletakan pintu. Setelah Islam masuk, letak pintu

dipastikan selalu berada di sebelah utara, selatan, atau timur rumah. Hal ini dimaksudkan

agar memudahkan orang yang keluar atau masuk ketika ada yang sedang shalat (terutama

ketika berjama’ah) yang menghadap Barat sebagai kiblat.


Gambar 2. 7 Rumoh Aceh

(holobis.net-RumohAceh)

Rumoh Aceh terdiri dari 3 pembagian ruang utama, yaitu (Gambar 2.8 dan 2.9):
1. Serambi depan (seuramoe keue) dikuhususkan untuk publik, diantaranya: menerima
tamu, shalat berjama’ah, dan lain-lain.

2. Serambi tengah (tungai/rambat), lebih tinggi 50 cm dari serambi yang mengapitnya

serta terdapat sebuah kamar pemilik dan sebuah kamar anak perempuan.

3. Serambi belakang (seuramoe likeut), serambi yang dikhususkan untuk kaum wanita

dan terdapat dapur.


Gambar 2. 8 Gambar Kerangka Rumoh Aceh dari sisi Barat/Timur
(Hadjat dkk, 1984)

Gambar 2. 9 Pembagian ruang rumoh Aceh

(Sabila, 2014)
Adapun karakteristik rumah tradisional Aceh yang menjadi acuan

dalam penelitian ini dapat diuraikan seperti di dalam Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Karakteristik Kunci Rumoh Aceh

KARAKTERISITIK GAMBAR

3 bagian; kolong, dinding, atap

Atap pelana sederhana dengan


tulak angen (penolak angin)

Dinding tegak artikulasi tegas

Lantai bagian tengah arah timur-


barat lebih tinggi dari lantai di
sebelah kiri dan kanan
Terdapat kolong yang tersusun dari
tiang-tiang (umumnya 4 di arah utara-
selatan, atau lebih dari itu sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan
finansial)

Jendela di sisi depan dan samping


Tabel 2.1 (Lanjutan)

KARAKTERISITIK GAMBAR

Pintu selalu berada dibawah (lantai),


di utara/selatan, atau di timur

Ada yang mengaplikasikan ornamen


dan ada yang tidak (tergantung
kemampuan finansial)

Ornamen (dipahat atau gergaji)


berbentuk flora, fauna, alam, unsur
islami (kaligrafi arab), dan bentukan-
bentukan tiruan benda mati lainnya
(tali, rantai, kipas, pedang/rencong,
topi khas Aceh, dan sebagainya)

Berdiri sendiri (tidak sambung


menyambung)
Memakai material dinding-lantai-
tiang kayu, atap rumbia, dan tali
sambungan rotan

Warna monochrome (alami


dari material itu sendiri)
Berikut pembahasan karakteristik rumoh aceh menurut 5 (lima) faktor

yang mana menurut Quirix dan suleman berpengaruh penting dalam

mempertegas adanya keberlanjutan (Quirix dan suleman, 2014):

Massa dan artkulasi Rumoh Aceh

Rumoh Aceh hanya terdiri dari satu massa tunggal yang melayang di

atas tiang. Kondisi bangunan seperti ini, menurut Ching memberi kesan masiv

pada bangunan (Ching, 2002). Massa rumoh Aceh memberi kesan ringan. Hal ini

sangat dipengaruhi oleh kehadiran tiang (tameh) pada bagian kolong yang

cenderung ramping yang menumpu bagian tengah dan atas (atap/bubong)

rumah. Di pengaruhi juga penggunaan material kayu yang merupakan

material paling ringan di antara material lainnya. Menurut Ching berat suatu

material mempengaruhi bobot perseptual seseorang terhadap suatu bangunan.

Selain itu dipengaruhi juga oleh tinggi bangunan yang hanya 7 meter dan luas

2 2 .
seluruh bangunan berkisar antara 81 m hingga 135 m (Ching, 2002),

Sehingga bila dibandingkan dengan ukuran tubuh manusia, rumoh Aceh tidak

terkesan gigantis (Gambar 2.10).


Gambar 2. 10 Tinggi dan lebar rumoh
Aceh

(Widiarti,
2015)

Setiap bagian rumoh Aceh, mulai dari kolong, dinding, hingga atap,

tersambung dengan artikulasi tegas. Artikulasi tepi–sudut membentuk garis

lurus dan runcing di sudutnya. Sementara artikulasi permukaan dipertegas

dengan penggunaan elemen-elemen jendela yang mana kehadiran elemen-

elemen yang memiliki ukuran tertentu dapat mempertegas ukuran dan skalanya

(Ching, 2002).

Detail arsitektur Rumoh Aceh

Ornamen dan dekorasi yang menghiasi rumoh Aceh berupa pahatan

dan bentukan-bentukan yang terbagi ke dalam:

a.Flora

b. Fauna

c. alam dan bentukan geometris

d. unsur Islami dan kaligrafi Arab


Contoh-contoh ornamen pada rumoh Aceh antara lain:

Gambar 2. 11 Contoh ornamen pada Rumoh


Aceh (a) (helloacehku.com)

Contoh ornamen pada Rumoh Aceh

(riafariha.blogspot.co.id/arsitektur-rumah-aceh)
Ukiran-ukiran tersebut tersebar pada bagian-bagian berikut (Mirsa, 2012):

1. Rinyeun (tangga)

2. Kindang

3. Binteh (dinding)

4. Peulangan

5. Bara

6. Tingkap (jendela)

7. Pinto (pintu)

8. Diri (tiang penopang bubungan), dan lain-lain.

Bukaan Rumoh Aceh

Bukaan pada rumoh Aceh terdiri dari pintu, jendela, dan ventilasi

dinding. Terdapat juga bukaan yang tidak terlalu besar di lantai yang berfungsi

sebagai tempat aliran pembuangan air dalam proses pemandian jenazah

(Hadjat dkk, 1984). Pintu umumnya diposisikan di sisi utara/selatan dan timur.

Jendela diposisikan pada 4 sisi bangunan. Pada sisi Timur dan Barat, hanya 1
jendela setiap bagian ruang dan diposisikan di tengah (Gambar 2.13). Sementara

pada sisi Utara-Selatan, jendela ada sepanjang dinding berderet dengan

interval/jarak. Melalui jendela, penghuni dapat mengobrol dengan penghuni

rumah di sebelahnya (Mirsa, 2012) serta saling menjaga rumah dan ketertiban

lingkungan (Widosari, 2010).

Posisi jendela rata tengah pada dinding rumoh Aceh

Posisi jendela pada sisi yang Utara-Selatan

Hanya ada 1 pintu, atau sebanyak-banyaknya 2 pintu, pada rumoh

aceh, yaitu pintu utama dan pintu belakang. Tinggi pintu hanya 150-180 cm

dimaksudkan agar setiap orang yang masuk membungkukkan badan untuk

memperlihatkan sikap hormat pada pemilik rumah. Sikap badan


membungkuk ketika lewat di hadapan orang yang lebih tua memang termasuk

budaya orang aceh. Pintu selalu berada di posisi tengah atau tepi yang berada di

sisi Timur pada sisi Utara/Selatan, atau sisi tepi serambi depan (seuramoe keu)

pada sisi Timur. Namun mulanya pintu berada sisi lantai rumah.

Gambar 2. 15 Pintu di posisi tengah atau tepi yang pada sisi Utara/Selatan

(sibijehmata.files.wordpress.com)

Pintu di posisi tepi serambi depan pada sisi timur

(putrirahmita.files.wordpress.com)
Pintu di posisi bawah
( Sumber: rinaldimunir.files.wordpress.com)

Material

Seperti rumah tradisional nusantara pada umumnya, rumoh Aceh

juga menggunakan material organis, yaitu kayu dan daun-daunan, serta

material alam, yaitu batu.

Prinsip susunan fasade

Setiap sisi yang berseberangan pada fasade rumoh Aceh didesain

sama persis, kecuali pada satu sisi (baik di sisi Timur, Utara, atau Selatan) di

mana ada peletakan pintu. Setiap desain pada salah satu sisi fasade akan

diulang pada sisi satunya lagi. Fasade terbentuk dari susunan komponen

pelingkup. Komponen pelingkup rumoh Aceh teriri dari:

1. Atap pelana sederhana dengan penolak angin (tulak angen)


2. Dinding bujur sangkar dengan pengulangan jendela dan ornamen

3. Rangka tiang kayu silinder pada kolong (miyub moh) untuk

mengangkat lantai

Setiap sisi dinding dapat menjadi fasade depan berdasarkan

letak/posisi jalan. Namun ketentuan yang berlaku adalah sisi dinding dengan

bidang atap segitiga berorientasi Timur-Barat (Gambar 2.19). Hal tersebut

sebagai respon terhadap angin, dan seiring masuknya Agama Islam, orientasi

tersebut dipertahankan agar tersedia ruang untuk shalat berjam’ah.

Gambar 2. 19 Orientasi Rumah Aceh

B. Rumah Adat Daerah Aceh Tengah


Peta Daerah Aceh Tengah

(Sumber: google.com)

Kabupaten Aceh Tengah adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Ibu
kotanya adalah Takengon, sebuah kota kecil berhawa sejuk yang berada di salah satu
bagian punggung pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang
Pulau Sumatera. Kabupaten Aceh Tengah berada di kawasan Dataran Tinggi Gayo.
Kabupaten lain yang berada di kawasan ini adalah Kabupaten Bener
Meriah serta Kabupaten Gayo Lues. Tiga kota utamanya yaitu Takengon, Blang Kejeren,
dan Simpang Tiga Redelong. Jalan yang menghubungkan ketiga kota ini melewati daerah
dengan pemandangan yang sangat indah. Pada masa lalu daerah Gayo merupakan
kawasan yang terpencil sebelum pembangunan jalan dilaksanakan di daerah ini.

Rumah Adat Gayo

(Sumber: google.com)

Berdasarkan asal usul nya Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang)dalam
bahasa Gayo berarti peninggalan raja Baluntara yang sebenarnya nama aslinya Jalaluddin.
Sudah berdiri dari sejak jaman pra-kemerdekaan sebelum kolonial Belanda masuk. Rumah
adat Tujuh Ruang ini menjadi bukti sejarah dari orang asli Gayo yang sampai sekarang
masih ada.

Rumah adat ini, bermaksud menjelaskan bahwa orang Gayo bermukim di sebuah
kampung di pinggiran Danau Laut Tawar. Tepatnya yaitu di Kampung Toweren, Kec. Laut
Tawar Aceh Tengah.
Rumah adat Tujuh Ruang memiliki ukuran umum panjang 9 meter dan lebar 12 meter.
Dengan bentuk rumah, seperti rumah panggung pada umumnya dengan 5 anak tangga,
menghadap utara. Didalamnya terdapat 4 buah kamar, dan 2 ruang bebas (lepo) di timur
& barat.
Rumah adat ini memiliki keunikan yaitu pada pembuatan susunan rumah tidak
menggunakan paku. Melainkan dengan dipasak dengan kayu dengan bermacam-macam
ukiran di setiap kayunya. Ukiran tersebut berbeda- beda, ada yang berbentuk hewan
sampai dengan ukiran seni Kerawang Gayo dengan pahatan khusus.

Semua sambungan pasak kayu dengan ukiran Kerawang kebanyakan. Salah satunya
motif puter tali, dsb. Di tengah ukiran Kerawang terdapat ukiran bentuk ayam dan ikan
yang melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Ada juga ukiran naga yang merupakan
lambing kekuatan, kekuasaan, dan kharisma. Walaupun tidak menggunakan paku akan
tetapi kekuatan rumah adat ini sangat kuat, karena kualitas kayu zaman dulu yang bagus.
Akan tetapi, bagaimana pun kalau kurang adanya perawatan maka akan rusak juga.

Rumah adat itu sebagai bukti sejarah bahwa Orang Gayo yang masih ada di Dataran
Tinggi Gayo, akan tetapi lambat laun warna rumah mulai pudar bahkan sudah beberapa
yang rusak karena mungkin kurangnya perawatan. Yang sebenarnya adalah disayangkan
apabila sebuah nilai sejarah pudar dan hilang begitu saja di makan waktu. Bukan rumah
adat yang di Linge dan Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon yang ialah copy an
dari yang aslinya.

Selain dari rumah adat Tujuh Ruang ini, terdapat asset bersejarah yang bernilai yang
lain yaitu disimpan rapi oleh keluarga seperti Bawar. Bawar adalah sebuah tanda kerajaan
yang diberikan oleh Sultan Aceh kepada Raja Baluntara.

Selain bawar juga masih ada beberapa peninggalan bersejarah lain yang kini masih
disimpan oleh keluarga keturunan raja Baluntara. Antara lain, seperti piring, pedang, cerka
dan sejumlah barang lain.
Raja Baluntara merupakan seorang raja yang juga mengusai kawasan hutan sehingga
disebut Reje Baluntara (Reje Baluntara – Red). Menurut sebuah cerita yang berkembang,
salah seorang keluarga Reje Baluntara yang bekerja di Jakarta, almarhum Reje Amat Banta
pernah menemukan foto tentang kekuasaan Reje Baluntara yang dibuat oleh Belanda
sekitar tahun 1990.

Singkat cerita Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) di Aceh Tengah ini
merupakan salah satu cerita tentang tempat yang bernilai sejarah tinggi. Yang kemudian
rumah adat ini di copy untuk sebagai icon wisata yaitu di Linge dan Mess Pitu Ruang di
Kampung Kemili Takengon, karena rumah yang asli sudah di makan zaman.
C. Kesimpulan Perbedaan
Rumah adat pitu ruang merupakan salah satu warisan kebudayaan suku Gayo.
Etnik Gayo merupakan sebuah n ama suku yang terdapat di dataran tinggi Aceh,
berada di kawasan pegunungan jantung Aceh. Meski hidup dan berkembang di
Aceh, namun karakter , budaya serta bahasa sangat berbeda dengan kebanyakan
Aceh Pesisir lainnya.

Budaya dan bahasa ada beberapa macam di provinsi Aceh, seperti halnya bahasa yang
terdapat di Aceh, yaitu bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Jamee, bahasa Alas,
bahasa Singkil serta bahasa yang lain. Sebaliknya budaya Gayo juga beragam seperti
bahasa yang terdapat di Ace h. Budaya Gayo sendiri memiliki perbedaan secara adat,
budaya dan bahasa. Seperti contoh antara Gayo Lues dengan Gayo Lut. Kedua
perbedaan ini sangat mencolok, seperti halnya gaya berbahasa, Gayo lues atau Gayo
belang terkenal dengan cara berbicara yang keras dan tegas, lebih suka terbuka daripada
menyembunyikan sesuatu, Gayo Lues juga terkenal dengan sistem sosial yang ramah
serta menggangap tamu adalah raja. Kebiasaan ini masih mendarah daging sampai
sekarang di Gayo Lues walaupun dipengaruhi globalisasi. Sedangkan Gayo Lut terkenal
dengan gaya bah asa yang lemah lembut dan ramah , perbedaan ini yang sangat
mendasar, sehingga semua budaya dan adat istiadat yang ada di provinsi Aceh berbeda
satu sama lainnya .

Mengingat perbedaan budaya, bahasa serta adat istiadat di dataran tinggi Gayo, tetapi
yang menyamakan suku Gayo adalah rumah adat pitu ruang Gayo. Rumah adat
tersebut sama secara desai n bentuk, interior, motif serta makna , baik itu di Gayo Lues
atau Gayo Belang , Aceh Tengah dan daerah lainnya. Walau berbeda daerah antara
Gayo satu dengan yang lain tetapi nilai estetika pada rumah adat pitu ruang tetap sama.

Nilai estetika yang terkandung pada rumah adat sangat artistik, mulai dari nilai simbolik
pada rumah adat, segi nilai estetika, nilai simbolik, nilai arsitektur , histori dan makna
yang terdapat pada rumah adat pitu ruang Gayo. Daya tarik dari rumah adat pitu ruang
adalah seni arsitektur dan ukiran (motif) yang terdapat di setiap sudut bangunan
rumah adat . Mulai dari bagian kaki rumah adat, dinding, ditambah dengan atap yang
mengunakan bahan dari alam. Semua unsur yang terdapat pada rumah adat Gayo
memiliki makna pada masyarakat Gayo.

Proses pembuatan ukiran yang terdapat pada rumah adat Gayo merupakan tiruan dari
alam sekitar daera h Gayo dan diaplikasikan pada rumah adat sehingga memiliki nilai
simbolis yang tidak ternilai. Menurut (Mahmud, 1998:4) rumah adat merupakan
bangunan milik masyarakat pada umumnya.

Rumah adat adalah komponen pentin g dari unsur fisik yang mencerminkan kesatuan
sakral dan kesatuan sosial. Pembangunan rumah adat dilaksanakan secara bergotong
royong.

Proses pembangunan rumah adat mempunyai tata cara tersendiri dengan


melaksanakan serangkaian upacara kegiatan Religi us. Oleh masyarakat Gayo
penempatan rumah adat tersebut di buat membujur dari timur ke barat, di
maksudkan untuk mengetahui dan memudahkan dalam mengenal arah kiblat
sembahyang (Shalat) serta menghindarkan terpaan angin yang sering terjadi di Gayo.

Hiasan yang terdapat pada dinding dan seluruh bagian rumah adat memiliki makna
tersendiri dari segi religius maupun secara karakteristik. Secara keseluruhan
rumah adat yang ada di seluruh Aceh h ampir mempunyai kesamaan secara kontruksi .
Perbedaan antara rumah ada t pitu ruang Gayo dengan rumah adat Aceh lain adalah
design interior serta motif. Secara keseluruhan kontruksi warna dan bentuk hampir
sama dengan rumah adat yang ada di dataran tinggi Gayo yaitu rumah adat pitu
ruang Gayo Takengon Aceh Tengah (zulkarnain, Harian aceh, 2010 ).

Dewasa ini perkembangan teknologi yang semakin canggih sehingga mulai memudarnya
nilai budaya di kalangan masyarakat Gayo sehingga perlunya penyelamatan budaya.
Skripsi ini sebagai referensi kedepan guna memperkenalkan nilai budaya Gayo pada
generasi yang akan datang, Sekaligus mensosialisasikan keberadaan dan fungsi rumah
adat pitu ruang dan nilai yang terkandung di dalamnya sehingga tidak terjadinya salah
penafsiran terhadap nilai estetika dan makna simbolik motif yang terdapat pada
rumah adat tersebut. Di samping itu keindahan yang dikandungnya tentu tidak
muncul begitu saja akan tetapi melalui proses dan perenungan yang mendalam oleh
para senimannya. Keindahan itu akan semakin sempurna dirasakan jika orang yang
melihatnya mengerti akan nilai estetiknya, fungsi dan tujuannya.

Anda mungkin juga menyukai