Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN TUGAS AKHIR PSIKOLOGI ABNORMAL

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Psikologi Abnormal


Dosen Pengampu:
Jehan Safitri, M.Psi., Psikolog
Rusdi Rusli, M.Psi., Psikolog

Di Susun Oleh:
Kelompok 8
Budiasih Retno Fadilla I1C113061 Pradana Aditya A. I1C114041
Husna Azizah I1C113073 Linda Dwi Pertiwi I1C114073
Widya Puspitasari I1C113081 M. Al Fatih I1C114078
Putri Sekar Wangi I1C113218 M. Riyansyah I1C114214
Atika Thoria I1C114008 Namora Gloria S. I1C114215
Dwi Retno Puspita I1C114015 Gladis Corinna M. I1C114230
Nabela Zatalina I1C114030

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan yang maha Esa atas segala rahmatnya
sehingga laporan ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dalam penyelesaian laporan ini. Dan harapan kami semoga laporan ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya
dan dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi laporan agar menjadi lebih
baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
laporan ini.

Banjarbaru, 2016
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara konvensional, manusia dibedakan menjadi dua jenis kelamin,


yakni laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini disebut dengan seks. Seks atau
jenis kelamin secara biologis merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian
Tuhan, bersifat permanen yang berarti tidak dapat dipertukarkan antara laki-
laki dan wanita. Perbedaan jenis kelamin dapat dilihat secara jelas secara
biologis, maka dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-
laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma.
Sementara seseorang disebut berjenis kelamin wanita jika ia mempunyai
vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui
(payudara) dan sebagian wanita mengalami kehamilan dan proses melahirkan.

Gender merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang menunjukkan


adanya perbedaan tingkah laku antara jenis kelamin, yang oleh masyarakat
dibentuk sedemikian rupa (Esterlita, 2013). Pandangan teori mengenai konsep
gender terbentuk bukan dari sifat alamiah yang dibawa oleh manusia sejak
lahir, namun pembentukan karakter pada laki-laki dan wanita akibat 2
pengetahuan yang dimiliki, budaya dan struktur sosial yang melekat dalam
masyarakat dan merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan
memiliki identitas yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat,
golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Identitas gender sangat berkaitan dengan aspek
psikologis, yaitu bagaimana seseorang merasa tentang identitas seksualnya,
dan bagaimana seseorang memutuskan untuk menafsirkan identitas seksual
untuk dirinya sendiri atas citra diri seksual (sexual self image), dan konsep diri
(Hamid, 2009).
Saat ini, sudah tidak jarang seseorang berpenampilan dan berperan
tidak sesuai dengan gendernya. Dalam masyarakat misalnya, dapat ditemukan
laki-laki yang bersifat feminin, sebaliknya ada perempuan yang bersifat
maskulin. Masyarakat tidak lagi dipermasalahkan bagaimana bertindak
layaknya wanita sebagaimana mestinya, maupun laki-laki sebagaimana
mestinya. Banyak ditemukan di masyarakat dalam berbagai kalangan, wanita
yang berperan, berdandan dan memiliki kegemaran layaknya laki-laki pada
umumnya dan sebaliknya seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan
dalam bersikap feminim, bahkan beberapa dari mereka memiliki hasrat yang
besar untuk benar-benar menjadi lawan jenisnya dan memiliki keinginan
melakukan peran yang seharusnya dilakukan oleh lawan jenisnya. Hal ini
dalam psikologi dikenal dengan istilah Gender Dysphoria.
Gender Dysphoria merupakan sebuah term general bagi mereka yang
mengalami kebingunan atau ketidaknyamanan tentang gender-kelahiran
mereka. Gender Dysphoria adalah ketidakpuasan afektif / kognitif individu
dengan jenis kelamin yang ditetapkan tetapi lebih khusus didefinisikan sebagai
katagori diagnostik. Gender Dysphoria diwujudkan dalam berbagai cara,
termasuk keinginan kuat untuk diperlakukan sebagai lain gender atau terbebas
dari karakteristik seksnya, atau keyakinan yang kuat bahwa salah satunya
memiliki perasaan dan reaksi yang khas dari jenis kelamin lainnya. GD
memiliki kriteria terpisah sesuai dengan tahapan perkembangan yaitu anak-
anak dan remaja / orang dewasa. (DSM-V).
Studi pendahuluan pun dilakukan peneliti pada salah seorang subjek
yang berusia 19 tahun (remaja akhir) di sebuah cafe, terlihat subjek
mengenakan pakaian baju kaos yang lengan bajunya di tarik ke bahu dan
memakai celana jins serta memakai sepatu, subjek terlihat berjalan dan
berbicara dengan tegas, rambut subjek pendek setelinga, saat subjek
memperkenalkan diri pertama kali, subjek menggunakan nama panggilan
cowok yang kemudian peneliti ketahui bukan merupakan nama asli subjek.
Subjek mengaku seringkali dianggap dan diperlakukan sebagai laki-laki oleh
teman-temannya dan subjek mengaku nyaman dengan penampilannya tersebut
karena subjek sudah sejak kecil berpenampilan seperti itu.
Berdasarkan penjelasan di atas, laporan ini akan membahas mengenai
Gender Dysphoria pada seorang perempuan remaja akhir.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka fokus penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran pada remaja akhir perempuan yang mengalami
gangguan Gender Dysphoria ?
2. Bagaimana etiologi dari gangguan Gender Dysphoria pada remaja akhir
perempuan ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui gambaran perempuan remaja / orang dewasa yang
mengalami gangguan Gender Dysphoria
2. Mengetahui etiologi dari gangguan Gender Dysphoria pada perempuan
remaja / orang dewasa

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai literatur dalam
pelaksanaan penelitian yang relevan di masa yang akan datang
b. Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan pengetahuan bagi
peneliti selanjutnya terutama dalam bidang psikologi klinis.
2. Manfaat praktis
a. Pembaca dapat mengenali perempuan yang memiliki gangguan
gender Dysphoria pada remaja / orang dewasa.
b. Memberi pemahaman kepada pembaca mengenai etiologi dari
subjek, sehingga pembaca, khususnya orang tua dapat
mengaplikasikan pola asuh yang benar pada anaknya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori
1. Gender Dysphoria
1.1. Pengertian
Gender Dysphoria adalah ketidakpuasan afektif / kognitif individu
dengan jenis kelamin yang ditetapkan tetapi lebih khusus didefinisikan
sebagai katagori diagnostik. Gender Dysphoria diwujudkan dalam
berbagai cara, termasuk keinginan kuat untuk diperlakukan sebagai lain
gender atau terbebas dari karakteristik seseorang seks, atau keyakinan
yang kuat bahwa salah satu memiliki perasaan dan reaksi yang khas dari
jenis kelamin lainnya. Gender Dysphoria memiliki kriteria terpisah sesuai
dengan tahapan perkembangan yaitu anak-anak dan remaja / orang
dewasa. (DSM-V).

1.2. Faktor Penyebab


a. Perspektif Biologis
Pandangan biologis terhadap gender dysphoria berfokus pada
efek dari hormon prenatal dalam perkembangan otak. Walaupun
mungkin mencakup beberapa mekanisme spesifik lainnya, secara
umum teori biologis memandang bahwa orang yang menderita
gangguan identitas gender memiliki level hormon yang tidak biasa.
Hal itu dapat mempengaruhi identitas gender dan orientasi seksual
dengan mempengaruhi perkembangan hipotalamus dan struktur otak
lain yang berhubungan dengan seksual. Salah satu studi mengatakan
bahwa hormon prenatal berpengaruh pada gender dysphoria. Studi
ini berfokus pada wanita yang meningkatkan level testosreron di
uterus yang dikaitkan dengan obat yang dimakan ketika hamil. Rata-
rata dari anak perempuan ini terlahir sebagai individu yang
maskulin. Beberapa perempuan juga mengalami homoseksual atau
biseksual. Dibandingkan dengan perempuan yang tidak
meningkatkan level testosteron, kebanyakan dari perempuan ini
mengidentifikasikan diri mereka sebagai perempuan, tetapi mereka
memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami gender dysphoria.
b. Perspektif Psikologis
Berdasarkan perspektif psikologi, terdapat dua teori yang
menjelaskan mengenai penyebab gender dysphoria. Pertama,
berdasarkan pendekatan psikodinamik menyatakan bahwa
gangguan ini terjadi karena faktor kedekatan hubungan ibu dengan
anak laki-laki yang sangat ekstrim; hubungan yang renggang antara
ibu dan ayah; ayah yang tidak ada atau jauh dari anaknya. Kedua,
berdasarkan pendekatan behavioral menekankan bahwa
ketidakhadiran ayah yang menjadi tokoh panutan menyebabkan
anak laki-laki tidak belajar menjadi sosok laki-laki. Orangtua yang
mengharapkan anaknya adalah sosok dari gender yang berbeda, lalu
mendorong anaknya dengan cara berpakaian atau pola bermain dari
gender yang berlawanan, juga dapat menyebabkan seorang anak
mengalami gangguan ini.
c. Perspektif Sosiokultural
Menurut pandangan sosiokultural, keluarga ikut memberikan
kontribusi terhadap munculnya rasa tidak senang anak terhadap jenis
kelamin biologisnya. Peran orang tua dalam membentuk identitas
gender anak berpengaruh, seperti anak laki-laki yang berperilaku
feminim dapat ditemukan pada anak yang orang tuanya ingin
memiliki anak bayi perempuan, sehingga orang tua tersebut melihat
dan memperlakukan anak perempuan. Sehingga anak tersebut sudah
terbiasa dengan pakaian dan mainan perempuan. Selain itu individu
yang mengalami gender dysphoria juga memiliki kemungkinan
untuk dikucilkan oleh teman sebaya bahkan oleh saudara. Trauma
yang terjadi pada anak terhadap jenis kelamin tertentu juga dapat
menyebabkan terjadinya gangguan identitas. Peran gender dan
norma sosial yang berlaku di lingkungan mengenai perilaku seksual
juga dapat menyebabkan terjadinya gender dysphoria.

1.3. Kriteria Gangguan


a. Gender Dysphoria Pada Anak-anak 302.6 (F64.2)
Ditandai dengan ketidak sesuaian seseorang dengan gender
dan gender yang ditugaskan. Hal ini terjadi selama 6 bulan berturut,
dan berikut adalah kriterianya:
1) Berkeinginan yang kuat untuk menjadi dari lawan gender, atau
alternatif dari ditugas gender-nya.
2) Preferensi untuk cross-dressing pada lawan gender yang
ditugaskan. Misalnya anak laki-laki mengenakan pakaian khas
feminim, sedangkan anak perempuan mengenakan pakaian
khas maskulin.
3) Preferensi yang kuat untuk lintas gender dalam bermain atau
berfantasi menjadi lawan gender.
4) Preferensi yang kuat untuk mainan atau kegiatan stereotip
digunakan atau terlibat oleh jenis kelamin lainnya.
5) Preferensi yang kuat untuk teman bermain dari lawan
gendernya.
6) Penolakan yang kuat terhadap mainan yang menjadi ciri khas
dari gendernya.
7) Tidak menyukai anatomi seksual.
8) Berkeinginan kuat untuk menjadi karakteristik seks primer dan
atau sekunder yang cocok dengan salah satu gender.
Kondisi ini terkait dengan distress klinis signifikan atau
penurunan sosial, sekolah, atau bidang-bidang penting lainnya
berfungsi.
b. Gender Dysphoria Pada Remaja dan Dewasa 302.85 (F64.1)
Ditandai dengan ketidaksesuaian seseorang dengan gender
dan gender yang ditugaskan. Hal ini terjadi selama 6 bulan berturut,
dan berikut kriterianya:
1) Ketidaksuaian yang dialami seseorang dari segi gender dan
karakteristik seks primer dan / atau sekunder.
2) Sebuah keinginan yang kuat untuk menyingkirkan
karakteristik seks primer dan/ sekunder dari gender yang
ditugaskan.
3) Memiliki keinginan yang kuat untuk karakteristik seks primer
dan / atau seksual dari lawan gendernya.
4) Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi lawan gender.
5) Berkeinginan yang kuat untuk diperlakukan sebagai lawan
gender yang ditugaskan.
6) Memiliki keyakinan yang kuat bahwa salah satu dari reaksi
atau perasaan yang sama dengan lawan gender.
Kondisi ini terkait dengan distress klinis signifikan atau
terjadinya penurunan sosial, pekerjaan, atau bidang-bidang penting
lainnya
c. Other Specified Gender Dysphoria 302.6 (F64.8)
Kategori ini berlaku untuk menampilkan di mana gejala
karakteristik dari gender dysphoria yang menyebabkan distress
klinis signifikan atau penurunan pada bidang sosial, pekerjaan, atau
bidang-bidang penting lainnya berfungsi mendominasi tetapi tidak
memenuhi kriteria penuh untuk dysphoria gender. Gender
dysphoria lain yang dispesifikasikan kategori digunakan dalam
situasi dimana dokter memilih untuk berkomunikasi alasan tertentu
yang presentasinya tidak memenuhi kriteria untuk gender
dysphoria. Hal ini dilakukan dengan mencatat "gender dysphoria
lain yang ditentukan" diikuti oleh alasan tertentu (misalnya brief
gender dysphoria).
Contoh presentasi yang dapat ditentukan dengan
menggunakan "other specified" yang ditunjukkan adalah sebagai
berikut: Gangguan yang telah memenuhi kriteria gejala untuk
gender dysphoria, tetapi durasinya kurang dari 6 bulan.
d. Unspecified Gender Dysphoria 302.6 (F64.9)
Kategori ini berlaku untuk menampilkan dimana gejala
karakteristik dari gender dysphoria yang menyebabkan distress
klinis signifikan atau penurunan sosial, pekerjaan, atau bidang
penting lainnya dari fungsi yang menonjol tetapi tidak memenuhi
kriteria penuh dari gender dysphoria. Kategori gender dysphoria
yang tidak jelas digunakan dalam situasi dimana dokter memilih
untuk tidak menentukan alasan bahwa kriteria tidak terpenuhi untuk
gender dysphoria, dan termasuk menampilkan di mana ada
informasi yang cukup untuk membuat diagnosis yang lebih spesifik.

2. Remaja Akhir
2.1. Pengertian Remaja Akhir
Menurut Marat (2006) di negara-negara Barat, istilah remaja
dikenal dengan adolescene yang berasal dari kata dalam bahasa Latin
adolescere (kata bendanya adolescentia, yang artinya remaja), yang
berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi
dewasa.
Sarwono (2003) mengemukakan remaja adalah individu yang
berkembang pada saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekunder sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu yang
mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-
kanak menuju dewasa, dan individu yang mengalami peralihan dari
ketergantungan sosial ekonomi menjadi suatu kemandirian.
Bangsa primitif demikian pula orang-orang zaman purbakala
memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode-
periode lain dalam rentang kehidupan, anak dianggap sudah dewasa
apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Hurlock, 1999).
Perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang terjadi di masa
remaja berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak
sampai kepada kemandirian.

2.2. Batasan Remaja


Rentang usia individu sebagai remaja berbeda-beda. Menurut
Papalia et al. (2004), individu pada masa remaja berusia antara 11 tahun
sampai dengan 20 tahun. Sedangkan Sarwono (2003) mengemukakan
bahwa usia remaja berkisar antara 13 tahun sampai dengan 19 tahun,
namun definisi remaja untuk masyarakat Indonesia adalah individu yang
berusia antara 11 tahun sampai dengan 20 tahun.
Papalia (2008) membagi masa remaja menjadi 2 bagian, yaitu masa
remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung kira-
kira dari 11 tahun atau 12 tahun sampai 14 tahun. Masa remaja akhir
berlangsung kira-kira 15 tahun sampai 20 tahun.
Minat pada karir, pacaran dan ekplorasi identitas seringkali lebih
nyata dalam masa remaja akhir ketimbang dalam masa remaja awal.
Gunarsa & Gunarsa (2006) mengatakan remaja merupakan masa peralihan
antara masa anak dan masa dewasa, masa remaja akhir berusia sekitar 17
tahun 6 bulan sampai 22 tahun. Menurut Hurlock (1991) remaja artinya
tumbuh atau tumbuh mencapai kematangan, remaja akhir menurut
Hurlock (1991) pada wanita adalah 17 21 tahun dan pada pria 17 tahun
6 bulan 21 tahun.

2.3. Perkembangan Remaja


Perubahan-perubahan pada remaja berlangsung secara terus-
menerus dan ditandai oleh adanya perubahan dalam aspek biologis,
kognitif, psikologis, sosial serta moral dan spiritual (Geldard & Geldard,
2000).
Perubahan biologis meliputi perubahan fisiologis, perubahan
hormon dan perilaku seksual, serta perubahan emosional akibat adanya
perubahan biologis dan perubahan hormon seksual. Perubahan kognitif
meliputi peningkatan abstrak, kecenderungan egosentris untuk menjadi
pusat perhatian, dan adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis dan
kreatif. Perubahan psikologis meliputi pembentukkan identitas baru,
perubahan fungsi identitas diri, awal proses inviduasi, pemahaman
pengalaman baru dalam hidup, penghayatan etnis dan upaya penyesuaian
diri. Perubahan sosial mencakup upaya pemenuhan peran sosial,
pemenuhan harapan orang tua dan teman sebaya, serta usaha menjalani
peran remaja sesuai dengan lingkungannya. Pada periode ini juga
berlangsung perubahan moral dan spiritual, dan biasanya muncul
dorongan untuk mulai berafiliasi dengan kepercayaan tertentu (Geldard &
Geldard, 2000).
a. Perkembangan Biologis
Menurut Papalia (2001), perubahan fisik yang terjadi pada
remaja adalah terjadinya adolescent growth spurt. Adolescent growth
spurt adalah peningkatan secara tajam pada tinggi dan berat badan
yang diikuti kematangan seksual. Hal ini terjadi karena masa puber
yang dimulai peningkatan produksi hormon seksual.
Menurut Sarlito (dalam Yunita, 2002) menyatakan bahwa
perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja merupakan
gejala primer, sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul
sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik tersebut.
Hurlock (1999) membagi perubahan fisik pada remaja menjadi
2 jenis perubahan, yaitu perubahan eksternal dan perubahan internal.
Perubahan eksternal meliputi perubahan tinggi, berat, proporsi tubuh,
organ seks dan ciri-ciri seks sekunder. Perubahan internal meliputi
perubahan di sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem
pernapasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh.
b. Perkemabnagn Kognitif
Masa remaja berada pada tahap ke-empat dari teori
perkembangan kognitif Piaget dan yang terakhir, yaitu tahap
operasional formal. Pada tahap ini, remaja individu lebih melampaui
pengalaman konkrit dan berpikir dalam istilah yang abstrak, remaja
menciptakan bayangan situasi ideal (Santrock, 2007).
Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun rencana
pemecahan masalah dan secara sistematis menguji cara-cara
pemecahan yang dipikirkannya. Jenis proses pemecahan ini diberi
nama penalaran hipotetikal-deduktif (hypothetical-deducative
reasoning). Penalaran hipotetikal-deduktif ialah kemampuan kognitif
untuk mengembangkan hipotesis, atau memperkirakan cara
memecahkan masalah. Remaja melakukan deduksi secara sistematis,
atau menyimpulkan cara melakukan persamaan tersebut (Santrock,
2003).
c. Perkembangan Emosional
Hurlock (1999) menyatakan bahwa keadaan emosi remaja
berada pada periode badai dan tekanan (storm and stress) yaitu suatu
masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari
perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama
karena para remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi
kondisi dan harapan baru. Keadaan ini menyebabkan remaja
mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapinya.
Tidak semua remaja mengalami storm and stress. Namun
sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu
sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku
baru dan harapan sosial yang baru (Hurlock, 1999). Meskipun emosi
remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya
irasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan
perilaku emosional (Hurlock, 1999).
Perbedaan pola emosi remaja dan anak-anak terletak pada
rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, dan khususnya
pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka.
Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan cara gerakan
amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, tidak
mau berbicara, atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang
menyebabkan amarah (Hurlock, 1999).
Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada
akhir masa remaja tidak meledakkan emosinya di hadapan orang
lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat
diterima, individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum
bereaksi secara emosional (Hurlock, 1999).
Bila remaja ingin mencapai kematangan emosi, ia harus belajar
mengenai katarsis emosi untuk menyalurkan emosinya. Adapun cara
yang dilakukan adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja,
tertawa atau menangis. Akhirnya, remaja yang emosinya matang
memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari
satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain (Hurlock,
1999).

B. Ringkasan Masalah
Subjek berinisial A. Subjek berjenis kelamin perempuan. Subjek merupakan
anak kedua dari 4 bersaudara. Subjek memiliki 1 orang kakak laki-laki dan 2 orang
adik perempuan. Subjek sudah berpenampilan seperti laki-laki sejak kecil. Hal
tersebut disebabkan karena orang tua subjek sangat sibuk. Penampilan subjek selalu
disamakan dengan kakak laki-laki subjek. Hal tersebut dilakukan karena menurut
orang tua subjek untuk mempermudah merawat subjek. Sering kali subjek
dipakaikan pakaian bekas kakak laki-laki subjek. Subjek juga tidak pernah
berambut panjang. Hal tersebut juga karena alasan yang sama. Menurut orang tua
subjek, lebih sulit untuk merawat rambut yang panjang daripada rambut pendek.
Ketika orang tua subjek sibuk, subjek dirawat oleh nenek subjek. Subjek juga tidak
memakai perhiasan seperti anting dan gelang. Subjek hanya mau memakai kalung
dan cincin. Tetapi subjek hanya mau memakai perhisaan dari bahan emas putih.
Saat ini subjek berkuliah di Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.
Teman-teman subjek juga memperlakukan subjek seperti layaknya laki-laki. Sering
kali teman-teman subjek lupa bahwa subjek adalah seorang perempuan. Subjek juga
sering memeberikan pandangan kepada teman-temannya yang bercerita kepada
subjek dengan pandangan seorang laki-laki. Subjek juga gemar bermain futsal.
Bahkan subjek pernah mengalami patah tulang akibat bermain futsal. Sejak setelah
kejadian itu, subjek tidak diizinkan lagi untuk bermain futsal oleh orang tuanya.
Sampai saat ini subjek selalu berpakaian seperti laki-laki. Menurut subjek,
penampilannya saat ini membuat dia nyaman. Subjek tidak ingin mengubah
penampilannya seperti wanita pada umummnya. Ketika ada acara keluarga, subjek
merasa terpaksa memakai pakaian perempuan karena disuruh oleh orang tuanya.
Subjek juga sering bertukar pakaian dengan Ayahnya. Subjek sering meminjam
sepatu ayahnya karena memiliki ukuran yang sama. Di rumah, subjek juga
melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki seperti mencuci
mobil, mengganti gas dan berbagai macam pekerjaan laki-laki lainnya. Tetapi
subjek sering dilarang Ibunya untuk keluar malam. Subjek sering protes kepada
Ibunya. Subjek ingin bisa seperti kakak laki-lakinya. Menurutnya menjadi laki-laki
itu lebih menyenangkan. Bisa diizinkan keluar malam dan berbagai aktifitas
lainnya. Subjek memiliki keingginan untuk menjadi seorang laki-laki.
BAB III

METODE ASESMEN

A. Teknik dan Tujuan Asesmen


1. Wawancara
Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
muka anatara pewawancara dengan informan atau orang yang di
waawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pendoman (guide)
wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan
sosial yang relatif lama (Saryono, 2011).
Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak
terstruktur, dan dapat dilakukan melalui tatap muka (face to face) maupun
dengan menggunakan telepon. Wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara mendalam dan semi terstruktur.
Wawancara semi-terstruktur termasuk dalam kategori in-dept interview,
dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan
wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk
menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak
wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan
wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa
yang dikemukakan oleh informan ( Sugiyono, 2010 ).
Tujuan dalam peneliti menggunakan wawancara semi-terstruktur
dalam penelitian ini adalah agar lebih bebas mengungkapkan pendapat dan
ide-ide nya mengenai bagaimana penampilannya di hadapan orang lain. Hal
ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana gambaran dan evaluasi
mengenai penampilan dan keseluruhan bentuk fisik subjek.
2. Observasi
Sugiyono (2009) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu
proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses
biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses
pengamatan dan ingatan. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil
obeservasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan,
kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alsan peneliti melakukan
observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau
kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku
manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek
tertentu melakukan umpan baliik terhadap pengukuran tersebut.
Dari segi proses pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat
dibedakan menjadi participant observation (observasi berperan serta) dan
non participant observation, selanjutnya dari segi instrumentasi yang
digunakan maka observasi dapat dibedakan menjadi observasi terstruktur
dan tidak terstruktur (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini peneliti akan
menggunakan observasi non-partisipan. Observasi ini dilakukan dengan
tujuan mengamati perilaku subjek mengenai bagaimana ia menampilkan
penampilan fisik nya ketika wawancara sedang berlangsung. Tetapi tidak
turut serta dalam kegiatan sehari-hari subjek.

B. Pelaksanaan Asesmen
No Tempat Tanggal Jenis Assesmen Keterangan

1 Cafe di Studi pendahuluan Untuk mengetahui secara


Banjarbaru dasar gangguan yang
dialami subjek apakah
memenuhi kriteria atau
tidak
2 Cafe di Wanwacara dan Untuk mengetahui dan
Banjarbaru Observasi menggali lebih dalam lagi
kriteria yang dimiliki
subjek apakah sudah
memenuhi kriteria
gangguan yang ada atau
belum
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Asesmen
1. Identitas Subjek
a. Nama :A
b. Tempat/Tanggal Lahir : Banjarbaru, 05 April 1997
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Usia : 19 tahun
e. Status Keluarga : Anak 2 dari 4 bersaudara

2. Riwayat Kasus
a. Riwayat Perkembangan dan Kesehatan
A yang memiliki identitas gender perempuan, tumbuh dengan
normal seperti anak perempuan pada umumnya. Akan tetapi A lebih
nyaman menjadi seorang laki-laki dengan cara berpakaian dan
berperilaku seperti laki-laki.
b. Riwayat Keluarga dan Tempat Tinggal
Anak kedua dari berempat bersaudara, di mana kaka laki-laki dan
bapaknya menjadi role model. A yang tinggal bersama orang tua
beserta kakak dan adiknya. A sering membantu pekerjaan rumah
yang sifatnya pekerjaan laki-laki seperti memasang bola lampu,
membeli gas, dan mencuci mobil.
c. Riwayat Pendidikan dan Sekolah
A yang selalu merasakan pendidikan dari tingkat taman kanak-
kanak hingga sekarang sedang menempuh pendidikan S1.

3. Hasil Observasi
Hasil observasi ketika melalukan penggalian informasi atau
wawancara Sabtu, 24 Desember 2016 di cafe adalah subjek yang
beinisial A berumur 19 tahun dengan tinggi sekitar 160 cm, model
rambut pendek seperti laki-laki dan kulit berwana kuning langsat. Tidak
terlihat perhiasan yang menempel di tubuh subjek hanya ada jam tangan
berwarna hitam di tangan kiri subjek.
Subjek yang mengenanakan baju kemeja bergaris dengan wana biru
dengan kombinasi putih, lengan tangan yang di gulung hingga siku.
Celana jeans panjang warna hitam dan menggunakan sepatu vans warna
hitam.
Ekspresi yang diberikan subjek A ramah, terlihat subjek menyapa
dengan suara tegasnya dan memberikan tangan kepada peneliti terlebih
dahulu. Subjek yang datang lebih awal memilih duduk dipojokan
sebelah kanan dari cafe tersebut. Subjek yang duduk dengan tenang.
Peretengahan penggaliaan informasi tangan sebelah kanan subjek A
ditaruh disebelah kanan diatas kursi, perhelangan kaki kanan ditaruh ke
atas lutut kaki kiri, dan tubuh sambil bersandar di kursi. Akhir sesi
wawancara posisi duduk subjek berubah, dengan tubuh membukuk yang
ditahan oleh kedua siku tangan di lutut kedua kaki, dan telapak tangan
seperti kaum kristen berdoa. Cara berjalan dan cara berbicara subjekpun
benar-benar terlihat seperti laki-laki.

4. Hasil Wawancara
A yang tercatat sedang menempuh pendidikan stratra satu (S1)
disalah satu universitas negri yang berada di Banjarbaru Kalimantan
Selatan. 19 tahun sudah A diperlakukan sebagai laki-laki baik itu di
lingkungan rumah dan lingkungan teman sepermainan. Hal ini berawal
sejak kecil, A yang mempunyai kaka laki-laki selalu berteman dengan
kaka dan teman-teman kakanya yang mayoritas laki-laki. Begitu pula
kedua orang tuanya terutama ibunya yang menyamakan dalam hal
perawatan dan memperlakukan sama seperti anak laki-laki pada
umumnya. Penyamaan yang dilakukan oleh ibunya seperti membelikan
baju, celana, permainan, dan aksesoris yang sama seperti kakanya atau
anak laki-laki pada umumnya, selain itu, dengan memotong rambut A
menjadi pendek, bahkan ketika rambut A panjang banyak keluarga yang
merasa tidak nyaman dengan penampilan tersebut, dan langsung
menyuruh A untuk kembali memotong rambutnya. A terakhir kali
memakai pakaian wanita ketika sekolah dasar, setelah memasuki SMP
ia mulai tidak mau lagi menggunakan pakaian wanita. Perlakuannya pun
di samakan dengan laki-laki, subjek A yang sejak kecil diajarkan
melakukan pekerjaan rumah yang sifatnya pekerjaan laki-laki seperti
mengganti bola lampu, mencuci mobil, mengangkat dan manruh air isi
ulang ke tempatnya, membeli dan memasang tabung gas.
Pakaian yang selalu dikenakan subjek A seperti laki-laki, dengan
kaos yang longgar agar tetutup payudara, celana-celana jeans panjang
atau pendek, sepatu vans. Bahkan subejek sering bertukar pakaian baik
itu celana ataupun baju kepada bapaknya. Rambut pendek selalu
menjadi ciri khasnya sejak kecil hingga sekarang. Hubungan dengan
bapaknya pun akrab seperti hubungan pertemanan. Subjek A merasakan
lebih nyaman ketika berbagi cerita dengan bapaknya, karena subjek A
merasakan memiliki pemikiran yang sama dengan bapaknya.
Begitu pula dengan lingkungan sepermainannya, dimana teman-
temannya selalu menerima A yang berpenampilan dan berperilaku laki-
laki. A yang banyak memiliki teman-teman, bahkan banyak teman-
teman perempuannya yang cerita masalah pacarnya. Teman-teman
perempuannya merasakan nyaman ketika becerita dengan subjek karena
subjek memberikan pandangan sebagai laki-laki kepan teman-teman
perempuan yang cerita kepadanya. Subjek sangat menggemari
berolahraga seperti badminton, futsal, basket. Namun, subjek lebih
menyukai olahraga futsal, bahkan sejak kecil subjek sering bermain
futsal bersama teman-temannya. Kesukaannya bermain futsal
menyebabkan subjek patah tulang.
Subjek mengatakan lebih menyukai peran laki-laki daripada wanita,
A merasa bahwa ia sudah terlalu nyaman dengan keadaannya sekarang
dan juga tidak ada yang melarangnya. A sendiri mengatakan ia
sebenarnya sudah lama memiliki keinginan untuk menjadi laki-laki
karena sudah merasa nyaman dan tidak seribet wanita. Selain itu, ia
merasa tidak nyaman dengan adanya payudara ditubuhnya. Menurutnya
menjadi wanita terlalu merepotkan seperti mengenakan kerudung, dll.
A mengaku sangat ingin diperlakukan selayaknya laki-laki. A juga
menyatakan ia jarang bercerita dengan orangtuanya kecuali memang
ditanyakan. Saat ia berpakaian seperti laki-lakipun ayahnya tidak
melakukan apa-apa, kecuali ibunya yang terkadang menegurnya ketika
ia memakai celana yang robek-robek. Bahkan ayah A sering
membiarkannya meminjam sepatu miliknya. A juga megaku lebih
nyaman menggunakan pakaian laki-laki karena kebiasaan duduknya
yang sembarangan, ia juga merasa tidak masalah dengan pandangan
oranglain mengenai dirinya, karena ia menganggap bahwa dengan ia
berpakaian laki-lakilah ia merasa nyaman. Subjek A menyatakan ia
lebih senang berkumpul dengan teman laki-laki karena wanita
dianggapnya sangat mengganggu. Bahkan teman-teman wanitanya
mengatakan bahwa cara pandang subjek A terlihat seperti laki-laki.

B. Pembahasan
Subjek yang sekarang mengnjak usia 19 tahun sudah masuk tahap
remaja akhir sesuai dengan Papalia (2008) membagi masa remaja menjadi
2 bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal
berlangsung kira-kira dari 11 tahun atau 12 tahun sampai 14 tahun. Masa
remaja akhir berlangsung kira-kira 15 tahun sampai 20 tahun. Terjadinya
perubahan biologis, kognitif, psikologis dan perubahan sosial. Perubahan
biologis meliputi perubahan fisiologis, perubahan hormon dan perilaku
seksual, serta perubahan emosional akibat adanya perubahan biologis dan
perubahan hormon seksual. Subjek A yang tentunya sudah mengalami
mentruasi dan mengalami perubahan secara fisik dengan bertambah
besarnya payudara, semakin tumbuhnya bulu-bulu atau rambut-rambut
diarea tertentu. Mentruasi atau lenturnya diding rahim disetiap bulannya
tentunya terjadi perubahan hormon yang membuat subjek A lebih sensitif
dari pada biasanya.
Perubahan kognitif meliputi peningkatan abstrak, kecenderungan
egosentris untuk menjadi pusat perhatian, dan adanya peningkatan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Terlihat pula ketika wawancara yang
mampu berpikir abtrak dan mampu berpikir kritis ketika diberikan
pertanyaan peneliti tentang pandangan peran laki-laki dan perempuan,
dimana subjek menjawab menjadi peran laki-laki ataupun perempuan sama
saja, tergantung pribadi setiap individu tersebut menjalaninya,
senyamannya individu tersebut menjalani dengan segala aktifitas tanpa
berpura-pura sebagai orang lain. Berdiskusi dengan bapaknya pun sering
terjalin dengan harmonisnya, serta menjadi tempat cerita untuk teman-
temannya perempuan yang bercerita tentang pasangannya ditanggapi
dengan padangan laki-laki. Kecendrungan egois terlihat di subjek A yang
melanggar aturan dari ibunya untuk tidak keluyuran di malam hari, bagi A
dengan perannya sebagai perempuan menghambat dia untuk berpegian ke
mna-mana di malam hari, A yang berkeinginan seperti kakanya yang dengan
mudahnya keluar malam tanpa omelan dari ibunya.
Perubahan psikologis meliputi pembentukkan identitas baru,
perubahan fungsi identitas diri, awal proses inviduasi, pemahaman
pengalaman baru dalam hidup, penghayatan etnis dan upaya penyesuaian
diri. Perubahan psikologis yang sangat terasa bagi subjek A dimana A
merasakan kenyamanan di zona yang memperlakukan, menerima dan
mendukung dia layaknya sebagai laki-laki. Subjek A yang lebih senang
diperlakukan sebagai lawan gendernya. Subjek A pun yang sudah mencoba
menggunakan pakaian seperti perempuan pun merasakan bahwa berpakaian
seperti ini bukanlah dirinya.
Perubahan sosial mencakup upaya pemenuhan peran sosial,
pemenuhan harapan orang tua dan teman sebaya, serta usaha menjalani
peran remaja sesuai dengan lingkungannya. Pada periode ini juga
berlangsung perubahan moral dan spiritual, dan biasanya muncul dorongan
untuk mulai berafiliasi dengan kepercayaan tertentu. Adanya penerimaan
dan dukungan yang diberikan lingkungan keluarga dan teman sepermainana
dengan sepperti itu, maka dengan mudahnya subjek melakukan dan
menjalani perannya sebagai remaja sesuai dengan norma yang berlaku di
lingkungan tersebut.
Jika dianalisis dari perkembangan remaja akhir dapat diketahui bahwa
subjek berada di usia 19 tahun yang dapat dikategorikan sebagai remaja
akhir. Dimana remaja akhir berlangsungkira-kira 15 tahun sampai 20 tahun.
Dapat dikatakan bahwa subjek berada di masa peralihan yaitu masa dimana
subjek mencari identitas diri dalam hal ini subjek memiliki kenginan yang
kuat untuk menjadi lawan gendernya (laki-laki). Dalam perkembangan
biologis subjek memiliki pertumbuhan seks primer dan seks sekunder yang
normal. Subjek juga mengalami perubahan eksternal yang normal seperti
terjadinya perubahan tinggi, berat, proporsi tubuh yang normal. Dalam
perkembangan kognitif remaja akhir memasuki tahap operasional formal
dimana mampu melakukan pengalaman konkrit dan berpikir abstrak,
menciptkan bayangan situasi ideal. Dalam hal ini subjek belum mampu
berpikir secara logis dikarenakan berkeinginan untuk menjadi seorang laki-
laki dan tidak menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Dalam
perkembangan emosional subjek tidak menunjukkan adanya ledakan emosi
yang berarti yang diketahui bahwa dapat menunjukkan reaksi emosional
yang stabil kepada kami ketika diwawancarai dan tidak marah ketika di
berikan pertanyaan yang menjurus pada batas privasinya.
Gender Dysphoria adalah ketidakpuasan afektif / kognitif individu
dengan jenis kelamin yang ditetapkan tetapi lebih khusus didefinisikan
sebagai katagori diagnostik. Gender Dysphoria diwujudkan dalam berbagai
cara, termasuk keinginan kuat untuk diperlakukan sebagai lain gender atau
terbebas dari karakteristik seseorang seks, atau keyakinan yang kuat bahwa
salah satu memiliki perasaan dan reaksi yang khas dari jenis kelamin
lainnya. Subjek A adalah seorang perempuan yang berada pada usia
perkembangan remaja akhir. Subjek A merupakan anak kedua dari empat
bersaudara. Kakak subjek adalah seorang laki-laki, subjek A memiliki
orangtua yang sibuk sehingga subjek sering dirawat oleh neneknya. subjek
merasa bahwa dia tidak puas dengan jenis kelaminnya (perempuan)
sekarang dan merasa lebih nyaman untuk berperilaku dan berpakaian seperti
lawan jenis kelamin (laki-laki), seperti subjek merasa lebih nyaman untuk
bergaul dan bermain dengan remaja laki-laki seusianya, walaupun tidak
menutup untuk bergaul dan bermain dengan remaja perempuan. Tidak
jarang pula teman perempuannya curhat dengan dia, dan teman-temannya
tersebut mengatakan bahwa pola pikir kamu seperti anak laki-laki. Di
lingkungan rumah subjek juga tidak ingin diperlakukan sebagai anak
perempuan dan lingkungan keluarga mendukung hal tersebut, dengan cara
subjek tidak takut untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang merupakan
tugas seorang laki-laki seperti angkat gas, bohlam lampu, nyuci mobil dsb.
Subjek juga berkeinginan untuk mengubah jenis kelaminnya tapi hal ini dia
rahasiakan dari orang tua dan lingkungannya.
Orangtua subjek A yang sibuk dan tidak ingin repot terhadap A pada
akhirnya menyamaratakan subjek dengan kakak laki-lakinya dari segi
penampilan. Subjek A memakai baju bekas kakak laki-lakinya dan memiliki
rambut pendek. Sedari kecil penampilan subjek A sudah terbiasa seperti
laki-laki sehingga sampai sekarang pun subjek A masih berpenampilan
seperti itu. Penampilan yang seperti itu menyebabkan subjek A
diperlakukan sebagai laki-laki dilingkungan pergaulannya. Selain
penampilan, subjek A juga menyukai olahraga yang sering disukai oleh
kaum laki-laki seperti futsal, bahkan subjek A sering melakukan aktifitas
dan pekerjaaan yang lumrahnya dikerjakan oleh seorang laki-laki.
Faktor penyebab Gender Dysphoria terbagi menjadi 3, yaitu
perspektif biologis, perspektif psikologis, dan perspektif sosiokultural.
Berdasarkan kasus subjek A, faktor penyebab yang berpengaruh berasal dari
perspektif psikologis dan sosiokultural. Dari perspektif psikologis, subjek A
mengalami pembiaran sejak kecil, subjek A memiliki orangtua yang sibuk
sehingga mengabaikan status gender anak dengan menyamaratakan subjek
A dengan kakak laki-laki subjek. Sejak kecil subjek sudah dibiasakan
memakai pakaian laki-laki dan dekat dengan kaka laki-lakinya sehingga
subjek menjadi terbiasa dengan semua hal yang berhubungan dengan laki-
laki. Bahkan untuk penampillan rambutnya pun orangtua subjek tidak
membedakan sesuai gender-nya hanya dengan alasan tidak ingin repot
merawat rambut anak mereka. Tidak adanya perhatian dari orangtua subjek
A mengenai gender subjek sedari kecil menyebabkan subjek terbiasa
dengan penampilannya yang seperti laki-laki dan menginginkan penampilan
tersebut selamanya bisa dimilikinya dan dipertahankannya.
Dari perspektif sosiokultural, keluarga ikut memberikan kontribusi
terhadap munculnya rasa tidak senang anak terhadap jenis kelamin
biologisnya. Keluarga subjek A dalam hal ini orangtuanya tidak
mempedulikan penampilan subjek sedari kecil bahkan sampai sekarang
subjek seperti dibiarkan berpenampilan seperti itu, dilihat dari pernyataan
subjek A yang memiliki olahraga laki-laki dan sering bertukar pakaian
dengan ayahnya. Keluarga subjek terkesan membiarkan dan mengiyakan
perilaku dan penampilan subjek yang seperti laki-laki sehingga subjek pun
memiliki keinginan untuk menjadi seorang laki-laki. Hal ini terjadi ketika
kedua orang tua subjek sedang sibuk-sibuknya berkarir. Subjek memiliki
seorang kakak laki-laki dan subjek merupakan anak kedua. Saat itu ibu
subjek yang sibuk bekerja memilih cara yang sederhana dalam mengasuh
anaknya, seperti memberikan perlakuan yang sama antara subjek yang
merupakan anak perempuan dan kakak subjek yang merupakan anak laki-
laki dalam hal berpakaian misalnya baju, celana dan gaya rambut yang
disamakan dengan kakak subjek. Selain itu semasa kecil subjek dan kakak
subjek tidak di asuh langsung oleh orang tuanya tapi mendapat bantuan dari
nenek dan pengasuh, sehingga hal ini membuat subjek tidak mendapat
pembenaran dan pengawasan perilaku yang seharusnya seorang anak
perempuan lakukan. Subjek ketika SMP masih mau untuk menggunakan
pakaian dan berdandan seperti anak perempuan kebanyakan, namun hal ini
pula tidak didukung dengan keluarga dekat subjek yang lebih suka dan
nyaman melihat subjek berpenampilan dan berperilaku seperti anak laki-laki
dan merasa aneh jika subjek harus menjadi seseorang yang lebih feminim.
Dalam lingkungan perkuliahan pun telah terbiasa dan menerima dengan
perilaku subjek yang seperti laki-laki. Subjek telah terbiasa bergaul dengan
teman laki-lakinya, ikut serta dan menyenangi dalam olahraga yang sering
dilakukan anak laki-laki, seperti futsal dan basket. Sehingga hal ini pula
yang membuat subjek untuk berkeinginan menjadi seorang laki-laki.
Menurut kriteria gangguan gender dsyphoria dalam DSM V dapat
didiagnosis yaitu subjek telah mengalami ketidaksuaian dengan gender
yang ditugaskan lebih dari 6 bulan, subjek mengalami hal ini secara
konsisten dari Sekolah Menengah Pertama dan subjek memenuhi beberapa
kriteria, yaitu (1) Ketidaksuaian yang dialami seseorang dari segi gender
dan karakteristik seks primer dan / atau sekunder. Jika dianalisis, pada
subjek diketahui bahwa pertumbuhan seks primer / sekunder yang normal.
Dimana subjek mengalami menstruasi yang normal. Dalam seks sekunder
subjek pun normal. Ditandai dengan tumbuhnya payudara, pinggul, paha
dan pantat mulai membesar, tumbuh rambut-rambut halus, kulit yang lebih
halus. Jadi, dalam hal ini tidak ditemukan adanya ketidaksuaian yang
dialami subjek dilihat dari segi gender dan karakteristik seks primer
dan/atau normal, selain itu subjek juga merasa hal tersebut wajar karena ia
dilahirkan sebagai wanita. (2) Sebuah keinginan yang kuat untuk
menyingkirkan karakteristik seks primer dan/ sekunder dari gender yang
ditugaskan. Dalam hal ini subjek menunjukkan perilaku dimana dia ingin
menjadi seorang laki-laki dan tidak merasa nyaman adanya payudara di
tubuhnya. Sehingga, dapat dikatakan subjek memenuhi syarat kriteria ini
karena subjek berkeinginan untuk menyingkirkan karakteristik seks
sekunder dari gender yang ditugaskan (3) Memiliki keinginan yang kuat
untuk memiliki karakteristik seks primer dan / atau seksual dari lawan
gendernya. Dalam hal ini subjek memang tidak mengatakan secara jelas
namun dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa subjek memang ada
keinginan untuk memiliki karakteristik tersebut (4) Memiliki keinginan
yang kuat untuk menjadi lawan gender. Dalam hal ini subjek menunjukkan
keinginan yang kuat untuk menjadi lawan gendernya (laki-laki). Hal ini
ditunjukkan dengan perilaku subjek dan penampilan subjek yang seperti
laki-laki. Melakukan aktivitas-aktivitas yang dilakukan laki-laki, seperti
menyukai olahraga futsal dan basket, melakukan pekerjaan berat yang
dilakukan oleh laki-laki, bergaul dengan kelompok anak laki-laki
berpakaian dan gaya rambut seperti laki-laki. Jadi, dapat dikatakan subjek
memenuhi syarat kriteria ini. (5) Berkeinginan yang kuat untuk
diperlakukan sebagai lawan gender yang ditugaskan. Subjek memenuhi
kriteria ini dikarenakan subjek tidak ingin untuk memakai penampilan
gendernya (perempuan), seperti tidak lagi memakai dress dan anting ketika
ibunya menawarkan untuk dibelikan anting-anting. Sejak kecil pula subjek
telah diperlakukan oleh orang tuanya sama dengan kaka laki-lakinya, selain
itu subjek juga merasa ketika temannya curhat kepadanya ia merasa tidak
nyaman karena temannya masih menganggapnya sebagai wanita. (6)
Memiliki keyakinan yang kuat bahwa salah satu dari reaksi atau perasaan
yang sama dengan lawan gender. Subjek memenuhi kriteria ini dikarenakan
dia beranggapan bahwa pemikirannya tidak seperti anak perempuan dan hal
ini didukung dengan teman-temannya yang mengatakan bahwa pola pikir
dia seperti laki-laki yang cenderung simple. Jadi dapat disimpulkan bahwa
dari ke enam kriteria gender dsyphoria, subjek memenuhi empat kriteria.
C. Bagan Masalah

Subjek A

Perempuan, 19 Tahun, Mahasiswi S1, Anak kedua dari empat bersaudara

Faktor Penyebab

Perspektif Sosiokultural

Pola asuh orang tua yang menyamakan pola Perspektif Biologis


asuh subjek A (perempuan) dengan kakak
Pertumbuhan seks primer dan
(laki-laki)
sekunder normal
Menyerahkan pengasuhan ke nenek dan Perspektif Psikologis
Perkembangan kognitif, belum
pengasuh
Memiliki kedekatan dan mampu berpikir secara logis
Tidak melakukan pembenaran perilaku sesuai dikarenakan berkeinginan
merasa nyaman dengan
gender untuk menjadi seorang laki-laki
Ayah dibandingkan dengan
Pembiaran keluarga dan lingkungan Ibu dan tidak menerima dirinya
perkuliahan yang terbiasa dengan perilaku dan sebagai seorang perempuan.
penampilan subjek seperti laki-laki Perkembangan emosional
stabil.

Perilaku

Berpakaian, berpenampilan seperti laki-laki


Menyukai aktivitas laki-laki seperti olahraga dan pekerjaan berat yang dilakukan laki-laki
Bergaul dengan kelompok laki-laki

Diagnosis Gender Dysphoria dalam DSM V

Sebuah keinginan yang kuat untuk menyingkirkan karakteristik seks primer dan/ sekunder dari gender
yang ditugaskan.
Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi lawan gender.
Berkeinginan yang kuat untuk diperlakukan sebagai lawan gender yang ditugaskan.
Memiliki keyakinan yang kuat bahwa salah satu dari reaksi atau perasaan yang sama dengan lawan
gender.

Gender Dysphoria
D. Saran Intervensi
Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah pola
interaksi keluarga sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam
keluarga (Gurman, Kniskern & Pinsof, 1986). Terapi keluarga muncul dari
observasi bahwa masalah-masalah yang ada pada terapi individual
mempunyai konsekwensi dan konteks social. Contohnya, klien yang
menunjukkan peningkatan selama menjalani terapi individual, bisa
terganggu lagi setelah kembali pada keluarganya. Menurut teori awal dari
psikopatologi, lingkungan keluarga dan interksi orang tua- anak adalah
penyebab dari perilaku maladaptive (Bateson et al,1956; Lidz&Lidz, 1949
;Sullivan, 1953).
Teori keluarga memiliki pandangan bahwa keluarga adalah fokus
unit utama. Keluarga inti secara tradisional dipandang sebagai sekelompok
orang yang dihubungkan oleh ikatan darah dan ikatan hukum. Fungsi
keluarga adalah sebagai tempat saling bertukar antara anggota keluarga
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional setiap individu. Untuk
menjaga struktur mereka, sistem keluarga memiliki aturan, prinsip-prinsip
yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas-tugas hidup sehari-
hari. Beberapa peraturan yang dinegosiasikan secara terbuka dan terang-
terangan, sedangkan yang lain terucap dan rahasia. Keluarga sehat
memiliki aturan yang konsisten, jelas, dan ditegakkan dari waktu ke waktu
tetapi dapat disesuaikan dengan perubahan perkembangan kebutuhan
keluarga. Setiap anggota keluarga memiliki peranan yang jelas terkait
dengan posisi sosial mereka.
Terapi keluarga sering dimulai dengan fokus pada satu anggota
keluarga yang mempunyai masalah.Khususnya, klien yang diidentifikasi
adalah remaja laki-laki yang sulit diatur oleh orang tuanya atau gadis
remaja yang mempunyai masalah makan. Sesegara mungkin, terapis akan
berusaha untuk mengidentifikasi masalah keluarga atau komunikasi
keluarga yang salah, untuk mendorong semua anggota keluarga
mengintrospeksi diri menyangkut masalah yang muncul. Tujuan umum
terapi keluarga adalah meningkatkan komunikasi karena keluarga
bermasalah sering percaya pada pemahaman tentang arti penting dari
komunikasi (Patterson, 1982).
Dalam kasus ini A mengalami ketidakpuasan terhadap gender yang
ia miliki dan hal ini mendorongnya untuk menjadi gender yang lain,
berdasarkan wawancara yang telah dilakukan terlihat bahwa peran
orangtuanya sangatlah besar terhadap masalah yang ia hadapi, dimana
orangtuanya memperlakukannya seolah-olah laki sejak kecil hanya untuk
meringankan kesibukan yang mereka miliki, memotong rambut subjek,
memakaikan pakaian laki-laki, dan bahkan saat subjek tumbuh
membiarkannya melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan laki-laki
seperti mengganti bohlam, mengangkat gallon dan gas, selain itu adanya
pembiaran dari orangtuanya melihat subjek yang sudah tumbuh besar
menggunakan pakaian dan bertingkah selayaknya laki-laki, belum lagi
pandangan keluarganya yang lain yang merasa tidak nyaman ketika subjek
memanjangkan rambutnya, hal-hal tersebut malah mendorong keinginan
subjek untuk menjadi laki-laki semakin menjadi-jadi dengan berbagai
macam pikiran dimana menurutnya menjadi wanita merupakan hal yang
merepotkan. Disini kami menyarankan adanya penerapan family terapi
untuk mencoba menyadarkan anggota keluarga mengenai masalah yang
dialami oleh anak mereka, dan bagaimana pembiaran yang mereka
lakukan dapat berdampak kepada subjek. Dengan adanya terapi ini
mungkin saja bisa membuat orangtua sadar akan betapa besarnya peran
mereka terhadap pembentukan karakter anak, selain itu pada subjek sendiri
mungkin dengan adanya dukungan dari orangtua, ia bisa kembali
menemukan jati dirinya sebagai perempuan.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Subjek berinisial A. Subjek berjenis kelamin perempuan. Subjek merupakan


anak kedua dari 4 bersaudara. Subjek memiliki 1 orang kakak laki-laki dan 2 orang
adik perempuan. Subjek sudah berpenampilan seperti laki-laki sejak kecil. Hal
tersebut disebabkan karena orang tua subjek sangat sibuk. Penampilan subjek selalu
disamakan dengan kakak laki-laki subjek. Menurut subjek, menjadi laki-laki itu
lebih menyenangkan. Bisa diizinkan keluar malam dan berbagai aktifitas lainnya.
Subjek memiliki keingginan untuk menjadi seorang laki-laki.

Subjek mengatakan lebih menyukai peran laki-laki daripada wanita, A


merasa bahwa ia sudah terlalu nyaman dengan keadaannya sekarang dan juga tidak
ada yang melarangnya. A sendiri mengatakan ia sebenarnya sudah lama memiliki
keinginan untuk menjadi laki-laki karena sudah merasa nyaman dan tidak seribet
wanita. Selain itu, ia merasa tidak nyaman dengan adanya payudara ditubuhnya.
Menurutnya menjadi wanita terlalu merepotkan seperti mengenakan kerudung, dll.

Faktor penyebab Gender Dysphoria terbagi menjadi 3, yaitu perspektif


biologis, perspektif psikologis, dan perspektif sosiokultural. Berdasarkan kasus
subjek A, faktor penyebab yang berpengaruh berasal dari perspektif psikologis dan
sosiokultural. Kemudian, dari ke enam kriteria gender dysphoria (Berdasarkan
DSM V), subjek memenuhi empat kriteria.

B. Saran

Saran yang dapat di berikan kepada subjek adalah adalah agar subjek dapat
mempertimbangkan lagi secara lebih mendalam terkait dengan keinginannya untuk
untuk menjadi seperti lawan gendernya baik secara fisik maupun psikologis.
Pertimbangan tersebut tentunya berdasarkan hubungan petemanan, dukungan
sosial, dukungan keluarga, dan masa depan. Mempertimbangkan setiap
kemungkinan dan peluang keberhasilan untuk menjalani kehidupan sesuai dengan
lawan gendernya.

Jika masih ada peluang bagi subjek untuk menjalani kehidupan sesuai
dengan gendernya, maka saran yang dapat di berikan kepada orang tua adalah
memberikan segala macam bantuan baik berupa dukungan psikologis seperti pujian
ketika subjek berperilaku maupun berpenampilan layaknya perempuan pada
umumnya, maupun dukungan secara fisik atau materi seperti membelikan pakaian
dan perlengkapan untuk remaja perempuan pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai