A. Latar Belakang
Perilaku adiktif berarti perilaku kecanduan atau suatu tindakan dari diri
seseorang yang dilakukan berulang – ulang sehingga menyebabkan
ketergantungan. Kebanyakan orang – orang berfikir bahwa perilaku
kecanduan itu berasal dari obat – obatan yang menimbulkan efek negatif,
namun dapat kita lihat dalam kehidupan sehari – hari perilaku adiktif tidak
hanya karena obat – obatan saja tetapi juga bisa berasal dari selain obat,
seperti kecanduan belanja, kecanduan bermain game online, kecanduan
olahraga dan lainnya.
Perilaku adiktif terjadi di dalam kehidupan karena berbagai faktor ( faktor
lingkungan, sosial, budaya, ekonomi dan lainnya ). Selain faktor tersebut hal
yang paling berpengaruh dalam terbentuknya perilaku adiktif yaitu faktor
psikis dari dalam diri seseorang, jika psikis seseorang sehat maka orang
tersebut tidak mudah terpengaruh kedalam prilaku adiktif dan sebaliknya jika
psikis seseorang tidak sehat maka orang tersebut akan mudah terpengaruh.
Ada banyak bentuk intervensi yang dapat digunkan dalam dunia psikologi,
di antaranya intervensi preventif, promotif ( Psikoedukasi ), dan kuratif. Tiap
intervensi memiliki pendekatannya masing-masing seperti psikoanalisa,
psikodinamika, kognitif, behavior, humanistic, dan sebagainya. Salah satu
intervensi yang dapat diterapkan secara individual maupun kelompok adalah
psikoedukasi. Psikoedukasi dapat digunakan sebagai bagian dari treatment dan
sebagai bagian dari rehabilitasi bagi pasien yang mengalami penyakit atau
gangguan tertentu. Psikoedukasi tidak hanya dapat diterapkan di bidang
psikologi ataupun psikiater, tetapi dapat juga diterapkan di bidang lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Intervensi Psikologis pada Perilaku
Adiktif?
2. Bagaimana Intervensi Psikologis pada Perilaku Adiktif?
1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Intervensi
2. Untuk mengetahui Intervensi Psikologis pada Perilaku Adiktif
2
BAB II
Intervensi Psikologis Pada Perilaku Adiktif
A. Preventif
Beberapa hal yang dapat menjadi upaya preventif dalam intervensi
psikologis perilaku adiktif antara lain:
1) Peningkatan Resiliensi Inividu
Peningkatan resiliensi indiividu diperlukan sebagai upaya
perawatan dan atau pengobatan akibat penggunaan zat atau perilaku adiktif
yang dilakukan seseorang. Resiliensi menurut UNISDR (dalam
Fitri&Widiningsih 2016) adalah kemampuan sistem, komunitas, atau
masyarakat yang terkena bahaya untuk mengekspos, menyerap,
menampung dan memulihkan diri dari efek bahaya pada waktu tepat dan
3
efisien termasuk melalui pelestarian dan restorasi struktur dasar yang
penting dan fungsinya. Resiliensi merupakan kemampuan seseorang
seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi
yang sulit (Reivich & Shatt dalam Fitri&Widiningsih 2016)
Resiliensi sebagai kapasitas untuk menyerap dan pulih dari dampak
peristiwa berbahaya yang didorong dengan membantu orang untuk
menangani keadaan darurat dengan lebih baik melalui penggunaan
pengalaman dan kapasitas sumber daya dirinya sendiri (IFRCRCS dalam
Fitri&Widiningsih 2016). Resiliensi dengan kemampuan yang fleksibel
dalam menggunakan asset dan sumber daya yang tersedia, mentolerir
struktur kepemimpinan baru dan tidak memanjakan diri dalam
menyalahkan orang lain sehingga memungkinkan individu untuk
menghadapi dan trauma yang kembali dialaminya (McFarlane dalam
Fitri&Widiningsih 2016).
2) Meminimalisasi Bahaya
McKechine (dalam Fitri&Widiningsih 2016) menyatakan perlunya
focus perhatian pada masalah yang berhubungan dengan alcohol dengan
mengarahkan upaya untuk mengurangi masalah konsumsi alcohol.
Minimalisasi masalah akibat perilaku adiktif dapat dilakukan dengan cara
mengurangi konsekuensi negative sehingga menghilangkan kebutuhan
untuk kebutuhan tingkat konsumsi adiktif.
Tober (dalam Fitri&Widiningsih 2016) mengemukakan bahwa
penurunan minum dapat terjadi karena munculnya akibat negative lebih
besar dari perilaku minum atau munculnya perilaku positif lainnya
sehingga mengurangi minum karena alasan positif yaitu mencari pekerjaan
baru, cinta baru atau minat kehidupan baru. Bahaya yang timbul akibat
perilaku negative dari pengunaan zat adaktif dapat diminimalisir dengan
mebebankan tanggung jawab kerusakan atau luka akibat pelanggan mabuk,
pelatihan menackup informasi tentang alcohol dan hukum, dan alcohol dan
kesehatan, mengenali keracunan dan berurusan dengan pelanggan mabuk,
4
pengambil alihan ekstra dari penjualan makanan dan minuman non-
alkohol, premi asuransi yang lebih rendah terhadap tanggung jawab
perdata dan pencegahan masalah yang melibatkan keluarga, melindungi
pendapatan keluarga, menjaga terhadap kecelakaan diruamah, dan
memastikan bahwa anak-anak mampu mengatasi krisis (misalnya dengan
menelepon dewasa yang bertanggungjawab), kelurga harus menolak
minum dan tidak peminum, menolak memiliki alcohol dirumah. Perilaku
adiktif dapat memunculkan sindrom Korsakoff yaitu memori terganggu
secara permanen akibat masalah kesehatan yang lebih serius terkait dengan
minum berat akibat kekurangan dari B-kompleks vitamin (tiamin) dan
dapat dicegah dengan pemberian suplemen vitamin.
B. Promotif
Psikoedukasi dapat dilakukan dalam ranah individual maupun
kelompok dan komunitas. Khususnya orangtua dalam ranah keluarga perlu
menanamkan nilai bahaya penggunaan napza, zat psikotropika, dan perilaku
adiktif lainnya. Masyarakat juga membutuhkan psikoedukasi dan memiliki
kesadaran utuh untuk memberikan psikoedukasi bagi anggota masyarakat
lainnya tentang bahaya jangka pendek dan jangka panjang dari perilaku adiktif
(Fitri & Widiningsih, 2016).
1. Ranah Individual
Dalam ranah individual, hal yang dapat dilakukan antara lain dengan
pendidikan ke diri sendiri dan anggota keluarga. Pendidikan tentang
perilaku adiktif seperti tentang penyalahgunaan alkohol dan obat lin,
ketergantungam dan pengobatan pasca penyalahgunaaan dan kergantungan
(rawat jalan, rawat inap, dan rekomunitas) mampu memberikan informasi
lengkap ke diri sendiri maupun anggota keluarga lainnya (Fitri &
Widiningsih, 2016). Selain itu, perlu adanya pemahaman konkrit untuk
memastikan ketepatan informasi tentang berbagai masalah anak dan
keluarga yang mampu menjauhkan diri dari perilaku mencoba,
membiasakan, dan sampai tingkat kecanduan (Fitri & Widiningsih, 2016).
5
2. Ranah Kelompok dan Komunitas
Perlunya keterlibatan keluarga bagi pencegahan dan pengobatan akibat
ketergantungan perilaku adiktif sehingga setiap anggota keluarga
memperoleh kesadaran dan pemahaman penyalahgunaan zat dan
ketergantungan sebagai penyakit kronis, membantu keluarga untuk
memiliki harapan yang realistis dan tujuan untuk pengobatan, membantu
untuk meningkatkan komunikasi dalam keluarga sehingga keluarga
kembali berfungsi secara utuh (Fitri & Widiningsih, 2016).
Keterlibatan kelompok (bisa keluarga inti, keluarga besar) dalam
masalah penyalahgunaan zat dalam sisi medis, kesehatan mental, atau
pendidikan mampu meningkatkan capaian edukasi perilku adiktif (Fitri &
Widiningsih, 2016). Hal ini dapat dimulai dengan memahami kebutuhan
dan kemampuan individu yang berbeda, bentuk dan tingkatan bantuan
untuk masalah penyalahgunaan zat sehingga setiap individu dalam
kelompok atau masyarakat memiiki pengetahuan dan pengalaman bekerja
dengan anggota masyarakat terkait upaya preventif sampai dengan kuratif
tentang masalah penyalahgunaan zat di lingkungan keluarganya. Hal ini
dapat dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan budaya sehingga
setiap individu merasakan kenyamanan (Fitri & Widiningsih, 2016).
C. Kuratif
1. Intervensi Psikologis
Intervensi psikologis (psikoterapi) dapat di lakukan berdasarkan
pendekatan psikoanalitik dari freud, jung dll yang bersifat nondirektif
yaitu klien dibantu mengeksplorasi masalahnya unutk mendapatkan
wawasan dan pengetahuan diri terhadap perubahan yang mungkin terjadi
berdasarkan kesadaran dirinya. Psikoterapi dapat di lakukan unuk klien
individu atau kelompok.
Craig (1993) mengatakan bahwa psikoterapi dianggap bukan
pengobatan tunggal untuk penyalahgunakan zat karena :
6
a. Pecandu narkoba tidak memiliki kapasitas instrokpektif dan reflektif yang
di perlukan untuk psikoterapi untuk menjadi efektif
b. Pecandu narkoba memiliki masalah dalam membentukaliansi terapeutik
otentik karena mungkin bersiat sosiopat
c. Variable linkungan dan isyarat kondisional internal pengobatan memliki
efek lebih kuat pada prilaku pecandu narkoba daripada yang dapat diatasi
dengan psikoterapi.
2) Group Psychotherapy
Group psikoterapi digunakan untuk pengobatan dalam kelompok,
bukan untuk individu. Tujuan psikoterapi kelompok untuk mengontrol
prilaku sosial anggota yang mengamati prilakunya sendiri dan
mengnterpretasi dampak prilakunya bagi orang lain.
3) Family Therapy
Family Therapy adalah terapi yang melibatkan keluarga sebagai
suatu sistem interaksi sosial dengan tujuan untuk mengatasi masalah
tertentu seperti kecaduan narkoba pada salah satu anggota keluarga.
Contohnya orangtu terlibat aktif dalam pengatasan kecanduaan narkoba
pada anaknya.
4) Drug counseling
Konselling dilakuakan beberapa sesi secara teratur, dengan janji,
bukan dilakukan dengan santai, dengan frekuensi yang bervariasi sesuai
dengan kebutuhan klien. Konseling dapat dilakukan dengan konsep non
direktif yaitu tidak meghakimi konselor menerima tanpa sarat
7
mendengarkan secara aktif, dan merefleksikan kembali proses
konselingnya.
8
c) Covert Modelling. Yaitu teknik untuk berlatih mengatasi keterampilan
dalam imajinasi seseorang. Terapi covert conditioning adalah sebuah
terapi dengan proses pengkondisian tersembunyi, dimana klien diminta
untuk membayangkan suatu tingkah laku yang dianggap tidak
menyenangkan.situasi yang di bayangkan di tuangkan kedalam skenaro
secara inci. Scenario berfokus pada pengatasan masalah untuk mencegah
penyimpangan prilaku dan kekambuhan yang berfokus pada strategi untuk
menghindari tujuan pelanggaran efek.
8) Relapse Prevantion
Prilaku adiktif memiliki tingkat kekambuhan yang sangat tinggi,
klien mampu mengatasi dalam jangka penek akan tetai kesulitan pada
tahap pemulihan dan pemeliharaan jangka panjang. Sehingga
membutuhkan keteampilan klien untuk mengidentifikasi situasi yang
menimbulkan resiko untuk kambuh
Terapis mempersiapkan klien degan membantu dia
mengidentifikasi kesulitan kemungkinan dan melatih keterampilan koping
yang diperlukan. Tijuannya disini adalah untukmengembangkan self
efficacy dengan memunkinan klien untuk mengalami penguasaan atas suai.
Mattick dan Heather (dalam McMurran1999) mengemukakan
pencegahan pencegahan kekambuhan efektif bila di kombinasikan
9
penggunaannya dengan intervensi lain missal terapi prilaku dalam konteks
pernikahan, konselig an pengobatan untuk mengajarkan klien tentang
atribut kekambuhan fakor pribadi yang terkendali sehingga klien mampu
mengambil tanggung jawab pribadi yang lebih besar untuk menghindari
kekambuhannya dimasa depan, dan meningkatkan kemungkinan pantang
dari alcohol dan obat-obatan.
10
13) Rehabilitasi
Rehabilitas adalah proses pengintegrasian premium atau obat
pengguna ke dalam masyarakat sehingga pengguna dapat mengatasi tanpa
obat dan dapat dikembalikan ke tingkat kemungkinan terbaik dari fungsi
kehidupan yang dimiliki.
Detoksifikasi
McMurran (1994) menjelaskan bahwa detoksifikasi adalah
proses menghentikan penggunaan obat-obatan. Hal ini dapat dilakukan
secara bertahap, dengan dibawah pengawasan medis atau keperawatan.
Obat dapat digunakan untuk melawan geajala penarikan, dan perhatian
kesehatan umum klien dan kesejahteraan. Dalam proses detoksifikasi
biasanya diberikan suplemen vitamin dan mineral karena peminum dan
pengguna narkoba sering kekurangan gizi. Sementara detoksifikasi
akan mengungtungkan klien, intervensi psikologis mungkin diperlukan
untuk membantu orang yang mengembangkan keterampilan untuk
mempertahankan perubahan proses pengobatan yang dijalani.
Farmakologi
Tiga jenis terapi obat untuk mengatasi masalah kecanduan, yaitu:
a) Pengunaan obat yang mengubah efek dari obat kecanduan. The
disulfiram obat antidipsotropic, biasanya dikenal dengan nama
dagang dari Antabuse, tidak berpengaruh sampai alcohol konsumsi,
dimana terjadi reaksi fisik yang tidak menyenangkan yaitu:
berpengalaman-pembilasan, jantung berdebar dan muntah.
Penggunaan obat antidiopstropic tidak sama sebagai terapi
aversion. Antabuse memiliki efek jera pada calon peminum,
sehingga mungkin memaksa peminum dalam posisi harus
11
mempelajari strategi alternative untuk mengatasi berbagai situasi,
dan dengan demikian merupakan bentuk paparan isyarat dan
pencegahan respon (Brewer dalam Fitri&Widiningsih 2016).
Naltrexone adalah antagonis opiat yang menghambat efek opiate,
sehingga mengambil efek menyenangkan (Ghodse dalam
Fitri&Widiningsih 2016). Hal ini membuat penggunaan heroin
agak sia-sia. Kleber mencatat bahwa pemberian obat yang diawasi
adalah penting untuk mengobati diri klien yang sering tidak
mematuhi program; namun telah terbukti berguna dengan klien
yang baik termotivasi untuk berubah.
b) Perawatan resep. Perawatan diberikan seperti adanya obat opiate,
biasanya metadon, untuk mencegah keinginan dan penarikan,
sehingga memungkinkan klien untuk hidup normal dan
menghindari bahaya yang berhubungan dengan pasar gelap.
Kebanyakan program bertujuan untuk menyapih klien secara
bertahap off metadon, tetapi banyak melanjutkan pemeliharaan
metadon selama bertahun-bertahun. Akhirnya, obat ditujukan
untuk mengobati psikopatologi yang mendasarinya. Klien yang
mengalami ketergantungan alcohol dan obat banyak yang
mengalami masalah, seperti kecemasan dan depresi, namun dapat
diatasi dengan obat yang diresepkan. Sementara perawatan obat
bermanfaat bagi klien, namun kadangkala ada masalah non teknis
seperti perilaku petugas pengobatan yang memiliki efek samping
merusak kesehatan klien sehingga tetap perlu ditambah dengan
intervensi psikologis untuk pemeliharaan perubahan.
3. Intervensi Religius
Allport dan Ross (Nailuvar dalam Fitri&Widiningsih 2016)
mengemukakan bahwa orientasi religious adalah motivasi dan visi
psikologis yang berkenaan dengan kehidupan beragama seseorang.
Seseorang yang imannya kuat walau apapun yang terjadi tidak akan
12
mengganggu atau mempengaruhi bahkan keimanan itu tidak akan
membawa ketentraman dan kebahagiaan hati (Widjanarko dalam
Fitri&Widiningsih 2016).
Pentingnya penggunaan intervensi religious dijelaskan oleh Ganje-
Fling dan McCarthy (dalam Alfiatin, 2013) bahwa intervensi religious
berguna untuk menciptakan hubungan baru antara individu dengan Tuhan
yang memiliki kemampuan diluar kendali manusia.hal tersebut mampu
menumbuhkan harapan dan keyakinan.penggunaan keyakinan religious
juga sangat membantu dalam proses pemulihan saat sedang menghadapi
kesulitan hidup (Swank&Pargament dalam Alfiatin, 2013).
Adapun Terapi Psikoreligiositas yang aplikatif bagi individu yang
mengalami adiksi antara lain: Terapi Shalat, Dzikir , Hydrotherapy,
Tadabur Qur’an, Supportive Family, Modelling, dan Hijrah Intervensi.
A. Terapi Shalat
Berikut ini dijelaskan mekanisme kuratif bagi individu yang
mengalami adiksi dengan menggunakan gerakan tubuh berdasarkan
gerakan yang dilakukan ketika sholat. Hal ini disebut postur tubuh sholat
yaitu sebagai berikut.
Postur I
a. Nama Sikap Tubuh adalah Niat
Mengangkat tangan dengan telapak tangan yang terbuka, sampai
didaerah telinga dan letakkan ibu jari dibelakang daun telinga
seraya mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar).
b. Efek yang bermanfaat
Tubuh merasa dibebaskan dari beban karena pembagian beban
yang sama pada kedua kaki. Luruskan punggung sehingga
memperbaiki sikap tubuh. Pikiran dikenalikan oleh akal budi.
Pandangan dipertajam dengan memfokuskan pada lantai atau
tempat sujud.otot-otot punggung bagian atas dan bawah
dilemaskan. Pusat otak bagian atas dan bawah dipadukan
membentuk suatu kesatuan tujuan.
13
Postur II
a. Nama Sikap Tubuh adalah Qiyam
Yaitu membaca surat Al-Fatihah dan diikuti oleh bacaan surat-
surat pendek dengan posisi tangan kanan diatas tangan kiri pada
bagian pusar.
b. Efek yang bermanfaat
Memperpanjang konsentrasi, menyebabkan pengendoran kaki dan
punggung, menimbulkan perasaan kerendahan hati, kesederhanaan
dan kesalehan. Dalam pembacaan ayat-ayat tadi benar-benar semua
suara yang keluar dalam bahasa Arab yang diucapkan dapat
merangsang penyebaran Sembilan puluh Sembilan nama Allah
keseluruh tubuh, pikiran dan jiwa pada tingkat yang terkendali.
Getaran-getaran suara vocal panjang a, i, dan u merangsang
jantung, kelenjar gondok (thyroid), kelenjar pineal, kelenjar bawah
otak, kelenjar adrenal dan paru-paru sehingga membersihkan dan
meringankan semua organ tersebut.
Postur III
a. Sikap Tubuh disebut Ruku’
Membungkuk pada pinggang, letakkan telapak tangan pada lutut
dengan jari-jarinya direnggangkan. Punggung sejajar dengan lantai,
sedemikian rupa sehingga kalau segelas air diletakkan diatasnya
makan tidak akan tumpah. Mata memandang kebawah, tepat
kedepan. Jangan membengkokkan lutut.
b. Efek yang bermanfaat
Sepenuhnya melonggarkan otot-otot punggung bagian bawah paha
dan betis. Darah dipompa kebatang tubuh bagian atas.
Melonggarkan otot-otot perut, abdomen dan ginjal. Postur ini
menimbulkan kepribadian serta menimbulkan kebaikan hati dan
keselarasan batin.
14
Postur IV
a. Sikat Tubuh disebut Qauma (I’tidal)
Kembali ke posisi berdiri dengan tangan disamping tubuh.
b. Efek yang bermanfaat
Darah segar yang naik ke batang tubuh pada postur sebelumnya,
kembali pada keadaan semula dengan membawa toksin atau racun.
Tubuh dalam keadaan rileks dan melepaskan regangan.
Postur V
a. Sikap Tubuh disebut Qu’ud/ Duduk antara dua Sujud
Bagi laki-laki tumit kaki kanan dilekuk dan bobot kaki serta bagian
tubuh bertumpu pada tumit kaki tersebut. Bagi wanita kedua kaki
disatukan dibawah tubuhnya.
b. Efek yang bermanfaat
Bagi laki-laki sikap ini membantu menghilangkan sifat
toksin/racun pada hati dan merangsang gerakan peristaltic usus
besar. Untuk perempuan pada saat ini tubuh kembali ke posisi
pengendoran yang lebih besar dan postur ini membantu pencernaan
dengan mendesak turun isi perut.
Postur VI
a. Sikap Tubuh disebut Sujud/ engulangan postur V
b. Efek yang bermanfaat
Pengulangan sujud yang lama dalam beberapa detik membersihkan
sistem pernafasan, sistem peredaran darah dan syaraf. Merasakan
keringanan tubuh dan kegembiraan emosional. Penyebaran oksigen
ke seluuruh tubuh. Menyeimbangkan sistem simpatik dan para
simpatik.
B. Hydrotherapy
Mandi
Kebersihan diri dan menstimulasi kerja sistem saraf.
15
Menjaga Wudhu
Terapi wudhu merupakan terapi tambahan untuk
mengembalikan kesegaran fisiologis dan menstimulasi fungsi
kognitif subjek. Wudhu yang dijalankan dengan penuh
kesungguhan, khusu’, tepat, ikhlas dan kontinu, diduga dapat
menumbuhkan persepsi dan motivasi positif dan mengefektifkan
coping. Respon emosi positif (positive thinking) dapat
menghindarkan reaksi stress (Rehata dalam Fitri&Widiningsih
2016). Pada bagian akhir usapkan air pada wilayah tengkuk dengan
pijatan yang lembut secukupnya.
C. Dzikir
Beberapa manfaat dzikir bagi kesehatan jiwa dapat dijabarkan
sebagai berikut:
Menjaga alam kejiwaan dari dorongan-dorongan negative.
Perjanjian kepada Allah SWT untuk senantiasa mengakui
kebenaran-Nya dalam setiap relung hati seorang hamba.
Menjadikan hati senantiasa waspada dan taat (wara’)
Sugesti diri agar menjadi lebih percaya diri.
Menanamkan rasa rendah hati.
Menciptakan rasa tawakal kepada Allah SWT.
D. Tadabbur Qur’an
Upaya mempelajari dan memahami makna ayat-ayat Al-
Qur’an adalah metode Islami lainnya yang snagat efektif.
Membaca Al-Qur’an 3 ayat dengan memahami artinya jauh lebih
efektif bagi proses kuratif dibandingkan membaca 30 ayat Al-
Qur’an tetapi tidak memahami artinya.
Pilih ayat-ayat favorit dari Al-Qur’an untuk membentuk
pola kognitif yang baik dan mengambil hikmah dari sebuah
peristiwa buruk/musibah. Mislanya, Qur’an Surah Al-Baqarah 216,
16
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia baik untukmu,
boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal dia buruk untukmu.
Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak tahu apa-apa”.
Tadabbur Qur’an penting sebagai modalitas filosofis untuk
memperbaiki cara pandang dalam memaknai peristiwa. Gunakan
kombinasi Terapi Kognitif (RET) dalam penerapannya.
F. Hijrah
Hasil penelitian Dadang Hawari (Pendekatan Psikiarti
Klinis Pada Penyalahgunaan Zat, 1990) memperlihatkan bahwa
81,3% pengguna napza karena pengaruh teman. Jadi, jika seorang
penyalahguna napza tidak meninggalkan (hijrah) dari lingkungan
lamanya, maka besar kemungkinan dia akan kembali menggunakan
napza.
Ginarni (dalam Fitri&Widiningsih 2016) menemukan
faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada penyalahguna
napza adalah faktor teman pengguna, sugesti dan stress, sedangkan
faktor yang paling utama yaitu orang atau teman.
17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Penulis
18
menyerankan agar beberapa hal terkait Intervensi Psikologis pada Perilaku Adiktif
lebih dikembangkan pada penulis selanjutnya, terutama terkait psikoedukasi pada
masyarakat.
19
Daftar Pustaka
Fitri, Ahyani Radhiani dan Yuli Widiningsih. 2016. Psikologi Adiktif. Pekanbaru:
Al-Mujtahadah Press.
20