Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH

PSIKOLOGI KLINIS

TOPIK-TOPIK KHUSUS DALAM PSIKOLOGI KLINIS

Dosen Pengampu : Ni Putu Rizky Arnani, M.Psi.

Nama Anggota Kelompok 12 :

Kelas : P I (3A)

1. Ana Wardina Umiaji (12308183017)


2. Sukron Bima Asyrafani (12308183021)
3. Erny Indah Aryati Aryaningrum (12308183051)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH

IAIN TULUNGAGUNG

NOVEMBER 2019

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam
semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW dan
semoga kita akan selalu mendapat syafaatnya baik didunia maupun di akhirat kelak.
Dengan pertolongan dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun makalah ini
untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Klinis yang berjudul “Topik-Topik
Khusus Dalam Psikologi Klinis”.
Kami menyadari tanpa bantuan dari berbagai pihak penulisan makalah ini tidak
mungkin terlaksana dengan baik. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :
1. Dr. Maftukhin, M.Ag, selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung.
2. Dr. A. Rizqon Khamami, Lc.,MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab
dan Dakwah.
3. Hj. Uswah Wardiana, M.Si. selaku Ketua Jurusan Psikologi Islam.
4. Ni Putu Rizky Arnani, M.Psi. selaku Dosen Pengampu yang telah
mengarahkan dan memberikan koreksi yang membangun sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.
5. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Dengan penuh harap semoga makalah ini bisa bermanfaat dan membantu bagi
para pembaca dengan adanya saran dan kritik yang bersifat konstruktif.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Tulungagung, 17 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

BAB I ................................................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1

C. Tujuan Penulisan.................................................................................................... 1

BAB II............................................................................................................................... 3

A. Psikologi Klinis Anak dan Remaja ........................................................................ 3

1. Isu-isu Psikologis Masa Kanak-kanak ............................................................... 3

2. Asesmen pada Anak dan Remaja ....................................................................... 4

3. Psikoterapi pada Anak dan Remaja.................................................................. 10

B. Psikologi Kesehatan ............................................................................................. 14

1. Definisi: Psikologi Kesehatan Versus Pengobatan Behavioral ........................ 15

2. Stres .................................................................................................................. 15

3. Stres dan Penyakit Fisik ................................................................................... 16

4. Stres dan Penanganannya ................................................................................. 16

5. Dukungan Sosial .............................................................................................. 17

6. Aplikasi Klinis ................................................................................................. 17

7. Klinik Kesehatan Berpusat-Pasien ................................................................... 21

8. Faktor-faktor Budaya dalam Psikologi Kesehatan ........................................... 22

C. Psikologi Forensik ............................................................................................... 22

1. Definisi dan Sejarah Psikologi Forensik .......................................................... 22

2. Kegiatan Forensik dalam Psikologi Klinis ....................................................... 24

BAB III ........................................................................................................................... 41

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 41

iii
B. Saran .................................................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 43

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai disiplin ilmiah memiliki sejarah yang cukup panjang, sehingga
untuk memperkenalkan perlu dipilih tahap-tahap tertentu dalam sejarah
perkembangannya yang dinilai relevan bagi terbentuknya wawasan dengan
perspektif historis mengenai ilmu yang bersangkutan. Berbagai disiplin ilmiah
telah berkembang dalam hitungan waktu yang cukup lama, serta dalam
perkembangannya ilmu-ilmu itu cenderung bercabang-cabang dalam berbagai
pengkhususan. Pengkhususan kemudian membangun gugus-gugus teoritik dan
konseptual sesuai dengan tuntutan kerja dalam bidangnya masing-masing.
Kenyataannya, bahwa topik-topik khusus dalam suatu bidang ilmu seringkali
justru berakibat semakin meluasnya jaringan kerja sama yang harus dibangun
bersama bidang ilmu lainnya. Begitu pula yang terjadi dengan ilmu psikologi
klinis dengan berbagai cabang pengkhususan. Oleh karena itu penulis membahas
mengenai topik-topik khusus dalam pskologi klinis yang meliputi psikologi
klinis anak dan remaja, psikologi kesehatan, psikologi forensik dalam makalah
ini.

B. Rumusan Masalah
a. Apa saja topik-topik khusus pada psikologi klinis anak dan remaja?
b. Apa saja topik-topik khusus mengenai psikologi klinis dalam psikologi
kesehatan?
c. Apa saja topik-topik khusus mengenai psikologi klinis dalam psikologi
forensik?

C. Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui topik-topik khusus pada psikologi klinis anak dan
remaja.
 Untuk mengetahui topik-topik khusus mengenai psikologi klinis dalam
psikologi kesehatan.

1
 Untuk mengetahui topik-topik khusus mengenai psikologi klinis dalam
psikologi forensik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Psikologi Klinis Anak dan Remaja

1. Isu-isu Psikologis Masa Kanak-kanak


a) Gangguan Masa Kanak-kanak
Sebagian psikolog klinis yang menangani anak-anak telah
membagi masalah-masalah psikologis anak menjadi dua
golongan besar: gangguan eksternalisasi dan gangguan
internalisasi. Gangguan eksternalisasi adalah gangguan-gangguan
ketika anak “bertingkah tanpa disadari” dan sering menjadi
gangguan bagi orangtua, guru atau anak lain. Gangguan-
gangguan ini termasuk ADHD, gangguan tingkah laku, dan
gangguan pembangkangan. Gangguan internalisasi, di lain pihak,
sering kali tidak dilihat dengan mudah karena lebih banyak
melibatkan pikiran dan perasaan yang maladaptif daripada
perilaku keluar yang disruptif. Gangguan suasana perasaan dan
gangguan kecemasan adalah contoh gangguan internalisasi pada
anak-anak.
b) Ketahanan dan Kerentanan
Penelitian tentang faktor-faktor yang berkontribusi pada
kerentanan seorang anak terhadap berbagai masalah psikologis
telah menghasilkan berbagai daftar faktor-faktor resiko yang
mencakup berbagai variabel di dalam maupun di sekitar anak
misalnya, Faktor-faktor lingkungan, faktor-faktor orangtua, dam
faktor-faktor anak.
Grotberg (2003) menyortir faktor-faktor yang
membedakan anak-anak tersebut menjadi tiga kategori: dukungan
eksternal, kekuatan batin dan keterampilan mengatasi masalah
interpersonal. Untuk ketiga ketegori ini, ia memberi label-label

3
ramah anak: “aku mempunyai” (dukungan eksternal), “aku
adalah” (kekuatan batin), dan “aku dapat” (keterampilan
interpersonal dan keterampilan mengatasi masalah).

2. Asesmen pada Anak dan Remaja


a) Perspektif Perkembangan
Berbagai masalah masa kanak-kanak mungkin memiliki
makna yang berbeda dan membutuhkan intervensi klinis yang
berbeda, tergantung kelaziman mereka untuk anak-anak pada usia
tertentu. Sebagai contoh, bayangkan bahwa Beth dan orangtuanya
mengunjungi seorang psikolog klinis karena perilaku Beth yang
suka membangkang dan melanggar aturan. Pada beberapa
kesempatan, beth mengabaikan jam malam dan larangan
orangtuanya tentang merokok. Pemahaman yang akurat dan
penuh tentang masalah ini akan sepenuhnya bergantung pada usia
Beth. Jika Beth berusia 7 tahun, masalah ini akan memiliki
konotasi yang sangat berbeda dengan jika ia berumur 17 tahun.
Serupa dengan itu, jika ibu Donyell membawanya pada seorang
psikolog klinis karena masalah mengompol, akan berbeda secara
signifikan jika ia berumur 3,9 atau 15 tahun didalam
konseptualisasi masalahnya.
Faktor-faktor etnik atau kultural lain tentu saja dapat
memengaruhi kematangan anak, karena orangtua dengan anggota
keluarga yang lain dari sebuah budaya tertentu mungkin
mengharapkan anak-anak untuk berkembang dengan relatif cepat
atau lambat didaerah-daerah tertentu (Park-Taylor, Ventura &
Ng, 2010).
b) Asesmen Komprehensif
Ketika psikolog klinis anak melaksanakan sebuah
penilaian komprehensif, lingkungan anak adalah salah satu
diantara banyak bidang penting yang harus dipertimbangkan.
Merrell (2008) menganjurkan sebuah pendekatan multisumber,
multimetode, multi-lingkungan untuk asesmen anak. Asesmen

4
multisumber melibatkan pihak-pihak seperti orangtua, saudara,
guru, personel sekolah lain, dan tentu saja anak itu sendiri
sebagai sumber informasi tentang masalahnya. Menyandarkan
diri pada salah satu diantara sumber-sumber ini berisiko
menghasilkan perspektif yang memihak atau tidak lengkap
mengenai masalahnya. Asesmen multimetode melibatkan
penggunaan metode-metode pengumpulan data yang berbeda
oleh psikolog klinis seperti wawancara, instrumen pensil dan
kertas yang dikerjakan oleh anak atau orang-orang yang
mengenal anak dengan baik, observasi langsung terhadap
perilaku anak, dan teknik-teknik lain. Asesmen multi-lingkungan
mengakui bahwa kadang-kadang masalah anak merembes ke
seluruh aspek kehidupannya, tetapi kadang-kadang spesifik untuk
situasi-situasi tertentu. Jadi, akan bijaksana untuk mengumpulkan
dari rumah, sekolah, kantor klinisi dan lingkungan lain yang
relevan.
c) Metode Asesmen
Psikolog klinis anak menggunakan berbagai alat dan teknik
asesmen. Secara umum, metode-metode tersebut dapat
dimasukkan kedalam enam kategori besar: wawancara klinis,
observasi perilaku, skala peringkat perilaku, skala laporan diri,
teknik proyektif atau eksprseif, dan tes intelektual.
1) Wawancara
Ketika seorang psikolog klinis menilai orang
dewasa, sangat sering klien adalah satu-satunya orang
yang diajak berbicara oleh psikolog. Prosesnya sangat
berbeda didalam asesmen anak, yaitu psikolog klinis
biasanya tidak hanya mewawancarai anak yang
bersangkutan tetapi juga orang-orang lain yang karena
kontak mereka dengan anak dapat menjelaskan tentang
masalah anak.
2) Obsevasi Perilaku

5
Merrell (2008) menawarkan contoh seorang
psikolog klinis yang mengobservasi seorang anak
disebuah ruang kelas yang seluruh siswanya memiliki
etnisitas berbeda dengan psikolog tersebut. Ketika
observasi langsung alami, observasi terhadap sebuah
lokasi perilaku itu terjadi tidak praktis, psikolog klinis
anak sering kali melakukan observsi langsung analog.
Observasi langsung analog biasanya berlangsung
didalam ruangan klinik, yang menjadi tempat simulasi
situasi kehidupan nyata. Menurut definisinya, observasi
langsung analog mungkin tidak benar-benar sama
dengan situasi dunia nyata tempat perilaku bermasalah
itu timbul. Bagaimanapun juga, ini dapat menjadi suatu
tambahan penting bagi deskripsi tangan kedua tentang
perilaku bermasalah yang dimaksud.
3) Skala Peringkat Perilaku
Skala peringkat perilaku adalah bentuk pensil dan
kertas yang dikerjakan orangtua, guru, atau orang dewasa
lain tentang masalah yang dialami seorang anak. Mereka
biasanya terdiri atas sejumlah perilaku, yang masing-
masing diikuti oleh beberapa respons dan responden
memilih salah satu yang paling sesuai dengan anak.
Sebagai contoh, sebuah skala peringkat perilaku
mungkin memasukkan sebuah item yang berbunyi,
“Anak itu mendorong anak-anak lain”, dan semua item
pada skala ini mungkin diikuti oleh sebuah skala lima
poin yang terdiri atas sangat sering, sering, kadang-
kadang, jarang, sangat jarang. Dengan menjumlahkan
skor-skor dari berbagai subskala dan skala lengkap,
psikolog klinis anak bisa mendapatkan data objektif
untuk dibandingkan dengan standar yang telah
dipublikasikan untuk naka-anak direntang umur tertentu.

6
Keunggulan skala peringkat perilaku termasuk
kenyamanan, tidak mahal, dan objektivitasnya.
Kekurangannya termasuk fakta bahwa mereka melarang
responden untuk mengelaborasi respons-respons mereka
dan kemungkinan bahwa item-item skala itu tidak
menangkap perilaku bermasalah anak secara akurat.
4) Skala Laporan Diri
Persis seperti asesmen orang dewasa yang sering
melibatkan kuesioner untuk dikerjakan secara langsung
oleh klien, asesmen anak dan remaja juga sering
melakukannya. Tentu saja penggunaan ukuran-ukuran ini
mengasumsikan bahwa tingkat kemampuan membaca,
rentang perhatian, dan motivasi klien untuk mengerjakan
tes tersebut sesuai. Untuk alasan ini, skala laporan lebih
lazim digunakan pada remaja daripada anak-anak yang
lebih muda. Ini adalah tes pensil dan kertas yang
mengharuskan remaja membaca serangkaian pernyataan
dan setelah itu menandai respons (benar/salah atau
beberapa pilihan pada sebuah kontinum) yang paling
menggambarkan dirinya.
5) Teknik Proyektif atau Ekspreksif
Teknik-teknik proyektif dan ekspresif yang
digunakan didalam asesmen anak-anak termasuk tes-tes
yang sama yang digunakan pada orang dewasa, seperti
teknik bercak tinta rorschach, tes apersepsi tematik
(TAT), dan teknik-teknik melengkapi kalimat. Tes
aperespsi anak-anak adalah adaptasi tes bercerita TAT
yang menampilkan tokoh-tokoh binatang dan meminta
klien-klien muda untuk bercerita.
6) Tes-tes Intelektual
Tes-tes intelektual untuk anak-anak secara umum
terdiri atas tes-tes IQ dan tes-tes prestasi, dan mereka

7
berbeda dengan metode-metode yang dideskripsikan
diatas. Sementara metode-metode diatas menilai fungsi
perilaku dan emosional. Tes-tes IQ dan prestasi menilai
fungsi intelektual. Didalam sebuah evaluasi psikologis
lengkap, seorang psikolog anan mungkin menggunakan
metode-metode dari semua jenis kategori ini, tetapi pada
beberapa tipe evaluasi yang lazim dilakukan seperti
evaluasi disablitas belajar, secara ekslusif penekanannya
adalah pada tes-tes intelektual.
d) Frekuensi Penggunaan Teknik Asesmen Tertentu
Sebuah survei tahun 2002 terhadap para psikolog yang
mengkhususkan diri untuk menangani anak-anak dan remaja
mengukur frekuensi penggunaan tes-tes tertentu selama prosedur
asesmen (Cashel, 2002). Respondennya adalah para anggota
asosiasi psikologi amerika dari Divisi 53 (psikologi klinis anak)
atau divisi-divisi lain yang sama-sama fokus pada isu-isu anak
dan asesmen.
Hasil-hasilnya menunjukkan bahwa wawancara
digunakan jauh lebih sering dibandingkan teknik asesmen
spesifik yang lainnya. Secara keseluruhan, tampaknya beberapa
tes (misalnya WISC) relatif lazim, tetapi sejumlah variasi
signifikan tetap ada diantara para klinisi.
Tabel dibawah merangkum hasil-hasil survei tersebut.
Penggunaan Teknik Asesmen dalam Asesmen pada Anak-
anak
Teknik Persentase Klinis Jenis Teknik
Asesmen Anak yang
Menggunakan
Teknik Ini
Skala
intelegensi 75 Tes intelegensi
wechsler

8
untuk anak-
anak
Daftar
Skala peringkat
perilaku anak- 65
perilaku
anak
Skala Skala peringkat
peringkat 65 perilaku untuk orangtua
conners dan pengajar
Skala perilaku Wawancara semi-
adaptif 63 testruktur dan skala
vineland peningkat perilaku
Melengkapi
57 Proyektif/ekspresif
kalimat
Menggambar
56 Proyektif/ekspresif
orang
Bender-gestalt Penyaringan
56
neuropsikologis
Beery VMI Penyaringan
56
neuropsikologis
Tes kosakata
gambar 53 Tes intelegensi
peabody
Tes prestasi 53
individual Tes prestasi
wechsler

Penggunaan Teknik Asesmen Tertentu dalam Asesmen pada


Remaja
Teknik Asesmen Persentase Klinisi Jenis Teknik
Anak yang
Menggunakan
Teknik Ini

9
Skala intelegensi Tes intelegensi
70
wechsler untuk anak-anak
Melengkapi
60 Proyektif/ekspresif
kalimat
Daftar perilaku Skala peringkat
53
anak-anak perilaku
Teknik bercak tinta
48 Proyektif/ekspresif
rorschach
Skala peringkat
conners bagi Skala peringkat
48
orangtua dan perilaku
pengajar
Inventori depresi
48 Skala laporan diri
beck
Tes prestasi
48 Tes prestasi
individual wechsler
Inventori
kepribadian
46 Skala laporan diri
multifase
minnesota-remaja
Daftar perilaku
Skala peringkat
anak-anak-laporan 44
perilaku
dari pengajar
Tes apersepsi
43 Proyektif/ekspresif
tematik
Laporan 43 Skala laporan diri

3. Psikoterapi pada Anak dan Remaja


Meskipun terapi pada anak-anak dan remaja mungkin tampak cukup
berbeda dengan terapi pada orang dewasa, tetapi teknik-teknik yang
digunakan oleh kedua terapis seringkali berasal dari teori-teori yang
sama sebagai dasarnya. Artinya, pendekatan-pendekatan utama terapi,
10
termasuk psikodinamik, humanistik, behavioral dan kognitif, telah
menghasilkan berbagai aplikasi anak-anak maupun orang dewasa.

a) Terapi Kognitif-Behavioral untuk Anak-anak


Terapi-terapi ini melibatkan teknik-teknik behavioral
maupun kognitif, dan di banyak kasus, kedua tipe teknik ini
digunakan bersama-sama. Pada kebanyakan kasus, bukti-bukti
empiris ini diperoleh didalam studi-studi hasil psikoterapi yang
menerapkan penanganan berbasis panduan tertentu untuk
gangguan tertentu. Meskipun penganan kognitif-behavioral telah
ditemukan bermanfaan untuk beragam gangguan pada anak-anak,
termasuk depresi dan ADHD, mereka mendapat dukungan paling
kuat untuk gangguan-gangguan kecemasan. Bahkan ada
penanganan-penanganan tertentu yang didukung secara empiris
untuk anak-anak antara lain dengan gangguan obsesif-kompulsif
(OCD), gangguan panik, fobia (termasuk fobia sekolah) dan fobia
sosial.
b) Latihan Arahan Diri
Latihan arahan diri pada dasarnya adalah sebuah bentuk
terapi kognitif yang mengajarkan anak-anak untuk membicarakan
tentang situasi-situasi yang diakibatkan perilaku problematik
mereka secara rinci, untuk meningkatkan kemungkinan perilaku
yang lebih disukai.
Latihan arahan diri “dirancang untuk menumbuhkan sikap
mengatasi masalah dan memunculkan strategi kognitif spesifik
yang dapat digunakan klien diberbagai fase respons stres
mereka”, terapis yang menggunakan latihan arahan diri
mengenalkan “pernyataan diri” kepada klien mereka. Artinya,
ketika seorang anak menghadapi tantangan dan kurang memiliki
keterampilan mengatasi masalah atau membuat pernyataan diri
yang maladaptif seperti misalnya, “aku tidak bisa menangani ini”
atau “aku tidak punya ide tentang apa yang harus kukerjakan”
atau “aku akan terlibat masalah”, maka kemungkinan perilaku

11
yang semestinya pun akan rendah. Jika pernyataan diri negatif itu
dapat digantikan dengan pernyataan diri yang konstruktif dan
lebih membantu yang menuntun anak dalam melalui langkah-
langkah yang diperlukan, maka perilaku yang lebih disukai jauh
lebih mungkin terjadi. Selama proses latihan, anak mungkin
mengucapkan pernyataan diri secara keras-keras, tetapi dengan
prkatik, pernyataan diri hanya perlu dipikirkan bukan diucapkan.
c) Latihan Bagi Orangtua
Seperti semua bentuk terapi perilaku yang lain, latihan
bagi orangtua dimulai dengan definisi yang jelas dan dapat diukur
tentang perilaku bermasalah anak. Setelah itu, bersama dengan
orangtua, terapis melaksanakan sebuah analisis fungsional untuk
mencoba memahami kemungkinan-kemungkinan yang
mempertahankan perilaku. Selanjutnya, bersama orangtua terapis
mengeksplorasi berbagai macam konsekuensi untuk perilaku
tersebut. Orangtua diajari tentang cara membangun berbagai
kemungkinan dan mengomunikasikannya kepada anak. Banyak
aspek pengondisian dapat didiskusikan selama terapis
mengedukasi orangtua, termasuk penguatan, hukuman, ekstingsi,
generalisasi, diskriminasi, jadwal penguatan (misalnya, tetap atau
bervariasi), dan konsep-konsep lainnya. Diakhir program
penanganan semacam itu, latihan bagi orangtua yang sukses tidak
hanya mendapatkan perilaku yang lebih baik pada anak, tetapi
juga orangtua yang lebih kompeten dan percaya diri.
d) Terapi Permainan
Terapi permainan adalah sebuah bentuk penanganan yang
unik untuk klien anak-anak. Lazim digunakan pada klien-klien
yang lebih muda (usia prasekolah atau sekolah dasar), terapi ini
memungkinkan anak-anak untuk berkomunikasi melalui tindakan
dengan objek-objek seperti rumah boneka, tokoh-tokoh dalam
film dan binatang mainan, bukan dengan kata-kata. Melalui
permainan anak-anak dapat mengungkapkan masalah-masalah

12
emosional mereka kepada psikolog klinis dan upaya-upaya untuk
mengatasinya. Brems (2008) mengatakan bahwa terapi bermain
memiliki tiga fungsi dasar: pembentukan hubungan penting,
pengungkapan perasaan dan pikiran, dan penyembuhan. Terapi
permainan bisa memiliki banyak bentuk, tetapi dua bentuk yang
paling lazim dipraktikkan muncul dari teori psikodinamik dan
humanistik.
1) Terapi Permainan-Psikodinamik
Tujuan dari terapi ini adalah membuat yang tidak
disadari menjadi disadari, tetapi pada anak-anak yang
masih muda, diasumsikan bahwa mereka kurang memiliki
keterampilan verbal dan rentang perhatian untuk
bercakap-cakap secara langsung dengan terapis tentang
isu-isu mereka. Sebaliknya, hal yang tidak disadari
diungkapkan melalui bermain, dan tugas terapis adalah
menginferensi isu-isu yang tidak disadari ini dan melalui
interpretasi membuat anak lebih menyadari tentang isu-
isu tersebut.
2) Terapi Permainan-Humanistik
Meskipun interpretasi adalah salah satu elemen
kunci terapi bermain psikoanalisis, terapis bermain
humanistik jarang menawarkan interpretasi, karena
mereka tidak memiliki tujuan primer yang sama dengan
terapis psikodinamik, yaitu membuat hal tidak disadari
menjadi disadari. Terapis bermain humanistik cenderung
merefleksikan perasaan klien, yang mungkin diungkapkan
secara tidak langsung melalui kegiatan bermainnya.
Refleksi ini adalah salah satu bagian penting dari tujuan
bermain humanistik secara keseluruhan, yang sama
seperti terapi humanistik untuk orang dewasa, yaitu untuk
memfalitasi aktualisasi diri. Jadi, selama terapis bermain
humanistik mengobservasi anak dan bermain bersamanya,

13
ia membangun hubungan yang menerima anak secara
utuh sebagaimana adanya. Anggapan positif tanpa syarat
dari terapis ini dianggap mewujudkan anggapan positif
tanpa syarat terhadap diri sendiri pada anak. Jika terapis
merefleksikan perasaan-perasaan anak secara “nyata” dan
tidak menghakimi, anak menjadi lebih menerima
pengalaman emosionalnya sendiri, yang meningkatkan
kongruensi dan akhirnya pertumbuhan dirinya.
e) Hasil Psikoterapi untuk Anak dan Remaja
Secara umum, efikasi psikoterapi untuk anak-anak dan
remaja cukup kuat. Faktanya, tema studi-studi semacam itu
serupa dengan tema studi-studi tentang hasil terapi untuk orang
dewasa. Anak-anak dan remaja yang menjalani psikoterapi secara
konsisten memperlihatkan kemajuan signifikan dibandingkan
anak-anak serupa yang tidak menerima penanganan sama sekali.
Yang paling sering, didalam berbagai meta-analisis dan tinjauan,
berbagai pendekatan terapi ditemukan memiliki efek-efek yang
kira-kira sebanding; kadang-kadang, efikasi penanganan perilaku
ditemukan sedikit lebih tinggi dibandingkan pendekatan
nonverbal.

B. Psikologi Kesehatan
Psikologi kesehatan adalah sebuah subspesialisasi yang relatif baru di dalam
psikologi klinis. Kemunculannya berkorespondensi dengan perubahan–
perubahan pada tipe-tipe penyakit yang merupakan ancaman terbesar di dalam
masyarakat kita. Seabad silam, penyakit-penyakit tersebut adalah pneumonia,
tuberkolosis, dan influenza, tetapi saat ini, penyakit –penyakit ini misalnya
adalah penyakit jantung, kanker, dan stroke. Psikologi kesehatan terutama
menyangkut cara-cara pikiran, perasaan, dan perilaku kita memengaruhi
kesehatan fisik kita. Meskipun istilah pengobatan behavioral sering saling
dipertukarkan penggunaannya dengan istilah psikologi kesehatan, namun kedua
istilah ini tidak tidak benar-benar sinonim.

14
1. Definisi: Psikologi Kesehatan Versus Pengobatan Behavioral
Para profesional perawatan kesehatan yang tertarik tentang
bagaimana cara-cara pikiran kita memengaruhi tubuh kita cenderung
tertarik dengan bidang pengobatan behavioral yang luas dan
interdispliner. Pengobatan behavioral melibatkan integrasi pengetahuan
dari beragam ilmu social, termasuk psikolgi, sosiologi, dan antropologi
dengan pengetahuan dari disiplin-disiplin medis. Psikologi kesehatan
adalah salah satu subdisiplin pengobatan behavioral yang secara spesifik
berhubungan dengan bagaimana proses-proses psikologis memengaruhi
kesehatan dan penyakit.

2. Stres
Psikolog kesehatan ini memiliki bidang yang luas. Aplikasi
pertama bidang psikologi kesehatan berurusan dengan topik stress . Stres
dalam hidup sehari-hari dapat memberikan rasa kurang atau tidak
nyaman, tetapi dapat pula justru memberikan rasa nyaman. Sebagai
elemen yang memberikan rasa nyaman ia dapat dimanfaatkan, dapat
dinikmati, selain sebagai pemberi rasa tersebut, juga sebagai pendorong
untuk maju dalam kehidupan. Sebagai faktor yang memberi disires, ia
akan menimbulkan banyak keluhan, dalam keadaan akut dalam bentuk
kegelisahan, dalam bentuk kronis, gangguan fisik maupun mental,
kebosanan, kelelahan dan akhirnya kematian. Meskipun istilah psikologi
kesehatan dan pengobatan behavioral belum dilontarkan sampai tahun
1970-an, ide bahwa stres dapat berdampak buruk pada tubuh sudah
muncul sejak lama.
Dalam arti umum stress merupakan pola reaksi serta adaptasi
umum, dalam arti pola reaksi menghadapi stresor, yang dapat berasal
dari dalam maupun luar individu yang bersangkutan, dapat nyata
maupun tidak nyata sifatnya. Durasi stressor bisa sangat bervariasi.
Stres kronis mengacu pada sindrom yang sangat lazim dialami, yang
didefinisikan berdasarkan tingkat stres yang tinggi dan tanpa henti secara
konsisten, sering kali karena gaya hidup yang sibuk dan bergerak cepat.

15
3. Stres dan Penyakit Fisik
Stres telah sering dikaitkan dengan banyak gejala dan penyakit,
termasuk sakit kepala migrain, osteoporosis, nyeri punggung kronis,
penyakit kardiovaskuler, borok lambung, diare, jerawat, dan masalah
kesuburan. Stres merupakan istilah yang membingungkan karena adanya
pendapat-pendapat yang sangat beranekaragam. Para peneliti di
American Institute of Stress (1997) memprakirakan bahwa 75% sampai
90% dari seluruh kunjungan ke penyedia pelayanan kesehatan
merupakan hasil dari gangguan-gangguan terkait stres. Di anatara
masalah-masalah kesehatan lain, stres kronis dapat mengakibatkan:
a) Meningkatnya kadar hormon tiroid yang mengakibatkan
insomnia dan kurang berat badan.
b) Menipisnya endorphin yang mengakibatkan rasa sakit secara
jasmaniah.
c) Menipisnya endorphin yang mengakibatkan ketidaksuburan atau
amenore.
d) Mati/beristirahatnya sistem pencernaan yang mengakibatan
pusing, kembung, dan mulut kering.

Disamping itu, salah satu efek paling membahayakan dari stres


adalah melemahnya sistem kekebalan (imun) kita. Stress mengaktifkan
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) aksis yang mengontrol pelepasan
hormon stress tubuh kita, kortisol. Kortisol bermanfaat dalam jumlah
yang tepat, tetapi stres kronis menyebabkan meningkatnya kadar
kortisol, yang mengakibatkan kemunduran pada sel-sel T, sel yang
esensial di dalam sistem kekebalan.

4. Stres dan Penanganannya


Untuk mengurangi stress yang muncul dalam diri setiap individu,
yang pertama dan utama adalah mengetahui penyebab timbulnya stress.
Dengan mengetahui penyebabnya, akan mempermudah dalam
menentukan cara mengurangi stress yang muncul pada diri individu.
Beberapa cara untuk mengurangi stress antara lain melalui pola makan

16
yang sehat dan bergizi, memelihara kebugaran jasmani, latihan
pernapasan, latihan relaksasi, melakukan aktivitas yang
menggembirakan, berlibur, menjalin hubungan yang harmonis,
menghindari kebiasaan yang jelek.
Individu yang memiliki kebugaran jasmani baik akan terhindar
dari stress, karena memiliki kemampuan ambang rangsang psikis yang
tinggi terhadap stress. Sebab landasan yang kuat bagi kondisi psikologis
individu adalah makanan yang sehat dan bergizi, waktu istirahat yang
cukup, dan kebugaran jasmani yang baik. Untuk itu, aktivitas jasmani
yang dilakukan secara teratur dan rutin mampu mengurangi potensi
serangan stress.

5. Dukungan Sosial
Sebagian orang berpendapat bahwa dukungan sosial adalah
sumber daya tunggal paling vital dalam melawan stres. Dukungan sosial
dapat dideskripsikan sebagai persepsi bahwa orang memiliki hubungan
dengan orang-orang lain yang dapat menyediakan dukungan di waktu
krisis dan juga dapat berbagi nasib baik. Dukungan sosial adalah salah
satu di antara fenomena yang paling banyak didokumentasikan di bidang
psikologi kesehatan, manfaatnya bagi kesehatan fisik melimpah dan tak
dapat diingkari. Sebagian pihak menghipotesiskan bahwa perasaan-
perasaan positif yang berkaitan dengan memiliki dukungan sosial
memungkinkan kita untuk memersepsikan pemicu stress sebagai sesuatu
yang lebih dapat ditanggulangi.

6. Aplikasi Klinis
a) Manajemen Berat Badan
Di Amerika Serikat, kejadian obesitas dan kelebihan berat
badan mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah. Saat ini, 67%
orang Amerika dewasa penderita obesitas, dan jumlahnya terus
meningkat setiap tahun pada populasi dewasa maupun anak-anak.
Salah satu pendekatan yang lazim digunakan para psikolog
kesehatan dalam menangani orang-orang dengan kelebihan berat

17
badan dikenal sebagai ABCDS. Yakni peningkatan aktivitas
(Activity), perubahan perilaku (Behavior), perubahan kognitif
(Cognitive), perubahan diet (Diet), dan dukungan sosial (Social).
b) Rokok
Rokok adalah masalah kesehatan publik yang sangat
besar. Rokok saat ini penyebab tunggal terbesar kematian yang
sebenarnya dapat dicegah, yang menjelaskan lebih dari 450.000
kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya. Merokok telah
dibuktikan sebagai salah satu faktor resiko utama di dalam
penyakit jantung, kanker, penyakit vaskuler, stroke, dan
gangguan depresi mayor. Masalah utama bukan bahwa orang-
orang tidak mengetahui bahaya merokok; sebaliknya, masalahnya
terletak pada implementasi sebuah perubahan perilaku yang
sangat sulit: berhenti merokok.
Sayangnya, begitu menjadi adiksi (kecanduan), merokok
memegang kontrol yang sangat kuat atas aspek-aspek fisiologis,
psikologis, dan sosial dari kehidupan si perokok. Sebagian
senjata terkuat yang dimiliki para psikolog kesehatan dalam
memerangi rokok adalah pengganti nikotin, dukungan sosial,
manajemen stress, dan pencegahan kekambuhan.
Salah satu aspek penting upaya menghentikan kebiasaan
merokok adalah ketersediaan jaringan dukungan sosial tanpa
rokok. Adanya perokok di dalam kelompok sosial telah
dibuktikan merupakan kerugian signifikan untuk upaya
menghentikan kebiasaan merokok dan juga prediksi yang
signifikan untuk kekambuhan. Perokok sering kali melaporkan
bahwa mereka merokok karena menganggap rokok itu membuat
rileks dan mengurangi stres. Dengan demikian, salah satu tugas
penting psikolog kesehatan adalah bekerja sama dengan klien
untuk mengembangkan dan mempraktikkan strategi-strategi
pengganti merokok alternative untuk relaksasi dan mengurangi
stress sebelum si perokok memulai proses berhenti merokok.

18
c) Penyalahgunaan dan Ketergantungan Alkohol
Penyalahgunaan alkohol adalah istilah yang digunakan
untuk mendeskripsikan sebuah pola pengunaan alkohol yang
telah menjadi maladaptif dan mengakibatkan keluhan yang
signifikan secara klinis. Ketergantungan alkohol mengacu pada
keadaan toleransi dan sakaw fisiologis maladaptif (Asosiasi
Psikiatri Amerika, 1994). Alkohol merupakan jenis depresan
atau penenang yang menyerang dan menumpulkan pusat-pusat
penting dalam otak, sehingga penilaian dan proses-proses
rasional lainnya dalam diri seorang alkoholik menjadi terganggu
disamping kontrol dirinya pun menjadi lemah. Alkohol
merupakan katalisator bagi tindak kekerasan, termasuk
pembunuhan, penyerangan dan perkosaan. Jika kadar alkohol
dalam darah mencapai 0,1 persen maka kondisi keracunan mulai
terjadi. Penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol seringkali
merupakan bagian dari penyalahgunaan banyak zat, contohnya
80-85 persen penyalahguna alkohol adalah perokok.
Sangat mirip dengan penghentian merokok, penanganan
sukses alkoholisme termasuk komponen-komponen manajemen
stres, pencegahan kekambuhan dan dukungan sosial. Karena
alkohol lazim digunakan untuk mengurangi stres, psikolog
kesehatan akan bekerja bersama-sama klien untuk
mengidentifikasi alternatif-alternatif yang lebih sehat untuk
menanggulangi stres, seperti olahraga, atau menelpon seorang
teman untuk berbicara.
d) Manajemen Rasa Sakit dan Biofeedback
Rasa sakit/nyeri yang berlangsung 6 bulan atau lebih lama
memengaruhi sampai 35% populasi. Meskipun komponen besar
manajemen rasa sakit berbasis medis, fakta bahwa depresi
maupun kecemasan memperburuk pengalaman rasa sakit
menunjukkan bahwa psikologi kesehatan seharusnya juga
merupakan bagian integral dari setiap rencana manajemen rasa

19
sakit yang komprehensif. Salah satu teknik yang diterapkan
psikologi kesehatan di dalam manajemen rasa sakit adalah
biofeedback. Untuk membawa proses-proses ini menuju
kesadaran, sebuah mesin biofeedback mengonversi sebagian
aspek fungsi fisiologis (misal, detak jantung, ketegangan otot)
menjadi sebuah nada untuk di dengar oleh klien atau garis pada
sebuah grafik untuk dilihat klien. Para kritikus latihan
biofeedback mengatakan bahwa manfaatnya kalah oleh biaya dan
intensivitas waktunya. Untungnya, sebuah alternatif yang
ekonomis dan relatif lebih cepat telah ditemukan di dalam sebuah
intervensi yang awalnya di kembangkan bertahun-tahun yang lalu
untuk gangguan kecemasan. Latihan relaksasi melibatkan
mengajari klien untuk secara sadar mengubah tubuhnya menjadi
keadaan ketegangan dan gairah yang lebih rendah.
e) Kepatuhan terhadap Aturan Medis
Pada sebagian kasus, psikolog kesehatan menangani
klien-klien yang masalah nya berasal dari kontributor-kontributor
psikolog dari penyakit medis. Sebaliknya, klien ini membutuhkan
bantuan untuk mematuhi aturan medis. Ketidak patuhan terhadap
aturan medis dapat memiliki beragam bentuk, seperti tidak
minum obat yang diresepkan,melanggar larangan diet. Sebuah
studi menemukan bahwa pasien kurang patuh dengan aturan
pengobatan jika mereka mengetahui tentang efek sampingnya,
bahkan jika efek samping itu ringan dan atau sangat kecil
kemungkinannya untuk terjadi. Kadang mereka bertindak sebagai
penghubung antara petugas dan pasien untuk mengomunikasikan
rencana penanganan yang diusulkan secara lebih hati-hati dan
seksama dengan cara yang dapat dimengerti dan penuh kasih.
f) Menghadapi Prosedur Medis
Psikolog kesehatan juga memainkan peran signifikan
dalam membantu para pasien medis untuk mengatasi stres dalam
mengahadapi sebuah prosedur medis. Prosedur medis ini bisa

20
termasuk operasi, terapi-terapi dengan efek samping, terapi fisik
yang menyakitkan, atau prosedur-prosedur yang lebih
eksperimental seperti stimulasi otak dalam. Tugas utama psikolog
kesehatan di dalam peran ini adalah mengedukasi klien dan
menerangkan prosedur medisnya, sehingga menaikkan rasa
kendali dan kenyamanan pasien. Selain mengotimalkan
komunikasi, psikolog kesehatan juga menggunakan intervensi
kognitif-behavioral seperti latihan relaksasi dan belajar untuk
memikirkan dengan cara yang berbeda tentang ketidaknyamanan
situasinya.
Pada sebagian kasus, seorang psikolog kesehatan dapat
diminta menilai kesiapan psikologis pasien untuk menghadapi
sebuah prosedur medis sebelum personel medis memutuskan
untuk melaksanakannya. Dalam kapasitas ini, psikolog kesehatan
dapat menyisihkan pasien-pasien yang keadaan pikiranya
kemungkinan besar akan membuat sebuah prosedur medis tidak
efektif atau kontra-produktif. Prosedur medis lain yang
melibatkan asesmen kelayakan psikologis oleh psikolog
kesehatan adalah donasi organ. Psikolog kesehatan dapat
menggunakan pengetahuannya tentang asesmen klinis maupun
berbagai ramifikasi atau percabangan psikologis dari donasi
organ untuk memberikan pelayanan penting ini.

7. Klinik Kesehatan Berpusat-Pasien


Klinik kesehatan berpusat-pasien telah diusulkan sebagai sebuah
solusi untuk memberikan perawatan primer yang lebih berkualitas dan
lebih efektif biaya. Klinik ini bermaksud menyediakan perawatan yang
terpusat-pasien, sangat mudah diakses dan terjangkau, komprehensif dan
terkoordinasi. Di dalam model ini, setiap pasien memiliki seorang dokter
perawatan primer pribadi yang bertanggung jawab untuk mengatur
perawatan pasien dengan para profesional lain pada tim perawatan pasien
yang sebagian besar berada di satu lokasi sentral. Klinik kesehatan
berpusat-pasien memanfaatkan rekam kesehatan elektronik untuk

21
komunikasi yang lebih tinggi di antara para petugas dan meningkatkan
partisipasi di dalam perawatan orang yang bersangkutan oleh pasien itu
sendiri dan keluarga pasien.

8. Faktor-faktor Budaya dalam Psikologi Kesehatan


Di semua aspek pekerjaan mereka, penting bagi psikolog
kesehatan untuk sepenuhnya mengapresiasi dampak faktor-faktor budaya
pada pengalaman terkait kesehatan dan terkait penyakit klien mereka.
Faktanya, penelitian telah menunjukkan bahwa intervensi psikologi
kesehatan yang telah diadaptasi untuk kelompok-kelompok budaya
tertentu biasanya lebih efektif dibandingkan intervensi-intervensi serupa
yang belum diadaptasi secara kultural. Faktor-faktor budaya juga dapat
memainkan peran yang kuat dalam menentukan cara orang yang sakit
secara medis memahami sumber masalah medisnya. Penting bagi
psikolog kesehatan untuk menangguhkan keputusan mereka tentang
bagaimana para klien dari beragam latar belakang dan etnik ini
memersepsikan penyakit mereka atau bagaimana mereka mendekati
penanganan mereka.

C. Psikologi Forensik

1. Definisi dan Sejarah Psikologi Forensik


Psikologi forensik merupakan penerapan metode dan prinsip
psikologi di dalam sistem hukum. Kata forensik (forensic) dalam ilmu
(sains) maupun pada praktik selalu dikaitkan dengan segala hal
pencarian alat bukti kejahatan yang ujungnya akan digunakan dalam
proses di pengadilan. Definisi yang umum dari kamus Inggris dapat kita
lihat sebagai berikut : term "forensic" identifies these issues as
"belonging to courts of law; used in courts or legal proceedings; or
pertaining to or fitted for legal or public argumentation." (Webster's
New Universal Unabridged Dictionary, 2nd Edition, 1983, pp. 718).
Dengan begitu dapat dikatakan forensik sebagai sebuah proses mulai
terjadi ketika sebuah kejahatan ingin diungkap, bukti dikumpulkan, dan
hal yang berkaitan dengan kejahatan tersebut bisa dijelaskan, itulah yang

22
kita sebut dengan forensik. Usaha untuk mengumpulkan bukti tersebut
beserta landasan ilmiah untuk memvalidasinya akan melibatkan berbagai
disiplin ilmu, mulai ilmu alam (fisika, kimia, kedokteran, biologi,
toxicology, teknologi) sampai ilmu sosial (budaya, antropologi,
sosiologi, psikologi).

Pekerjaan forensik telah berkembang menjadi sebuah bidang


spesialisasi unik bagi psikolog klinis. Berbeda dengan kebanyakan
situasi klinis, ini menempatkan psikolog klinis di tengah hubungan
perlawanan antara para pihak yang saling berkonflik. Akibatnya,
“Perasaan menyenangkan dan hubungan positif yang lazim di dalam
hubungan psikoterapeutik tidak ada di dalam setting forensik” (Knapp &
VandeCreek, 2006, hlm. 161). Serupa dengan itu, psikolog klinis yang
bekerja di dalam lingkungan forensik harus mengakui bahwa ketika
mereka menilai seorang individu, tujuannya belum tentu untuk
membantu individu tersebut, tetapi untuk membantu sistem hukum
dengan menawarkan informasi dan rekomendasi tentang individu
tersebut. Jadi, ketika melaksanakan asesmen forensik, psikolog klinis
harus berinteraksi dengan klien secara “tidak memihak, netral, dan
objektif” dan bukan pendekatan “suportif, empati” yang mereka ambil di
kebanyakan lingkungan klinis lain (Goldstein, 2003, hlm. 6). Di samping
itu, kepercayaan yang menjadi ciri, dan sampai tingkat tertentu
memfasilitasi, begitu banyak hubungan klinis lainnya akan tidak ada di
dalam pekerjaan klinis. Ini karena kemungkinan klien dalam
berpenampilan palsu agar tampak lebih atau kurang terganggu
dibandingkan yang sebenarnya adalah sangat besar (Goldstein, 2003)

Kontribusi psikologi dalam bidang forensik sebenarnya


mencakup area kajian yang sangat luas, mulai membuat kajian tentang
profil para pelaku kejahatan (offender profilling), mengungkap dasar
neuropsikologik, genetik, dan proses perkembangan pelaku, saksi mata
(eyewitness), mendeteksi kebohongan, menguji kewarasan mental, soal
penyalahgunaan obat dan zat adiktif, kekerasan seksual, kekerasan

23
domestik, soal perwalian anak, dan juga soal rehabilitasi psikologis di
penjara. Dengan begitu luasnya cakupan kontribusi psikologi dalam
bidang forensik, subbidang ilmu ini sebenarnya sangat menjanjikan baik
bagi karier akademis ataupun profesional praktisioner dalam bidang ini.

2. Kegiatan Forensik dalam Psikologi Klinis


a) Kegiatan Asesmen
Asesmen klinis adalah salah satu kegiatan menonjol di
kalangan psikolog klinis yang bekerja di bidang forensik.
Asesmen yang paling lazim adalah dibidang hak asuh anak,
kompetensi, dan evaluasi sebelum hukuman dijatuhkan. Tetapi
asesmen juga dilaksanakan di dalam beberapa keputusan
pembebasan bersyarat, gugatan hukum cedera pribadi, dengar
pendapat konpensasi pekerja, penyaringan personel hukum
sebelum dipekerjakan, dan evaluasi disabilitas untuk
mendapatkan tunjangan jaminan sosial (Wood, Garb, Lilienfeld
& Nezworski, 2002). Selalu penting untuk mempertimbangkan
isu-isu etis seperti batas-batas kerahasiaan ketika melaksanakan
sebuah pemeriksaan psikologis, khususnya ketika melaksanakan
evaluasi forensik, karena peran psikolog tidak sejelas di dalam
situasi-situasi klinis yang lebih lazim.
Meskipun asesmen forensik merepresentasikan sebuah
bidang praktik klinis terspesialisasi, namun banyak teknik yang
digunakan di dalam forensik sama dengan yang lebih umum
digunakan oleh para psikolog klinis, termasuk wawancara klinis,
tes kecerdasan dan tes kepribadian. Sebuah survei terhadap para
psikolog forensik yang sangat dipercayai dan berpengalaman
memeriksa penggunaan tes-tes tertentu untuk maksud- maksud
forensik tertentu (Lally, 2003). Survei tersebut menunjukkan
bahwa banyak tes yang menerima dukungan terkuat
(direkomendasikan) adalah tes-tes kepribadian objektif seperti
Inventori Kepribadian Multifase Minnesota-2 (MMPI-2) dan tes-
tes kecerdasan dengan reliabilitas dan validitas terbukti seperti

24
Skala Inteligensi Wechler untuk Dewasa (WAIS). Di pihak lain,
banyak tes yang menerima peringkat paling negatif (tidak
direkomendasikan) adalah tes-tes kepribadian proyektif seperti
Teknik Bercak Tinta Rorschach, Tes Apersepsi Tematik (TAT),
dan tes menggambar proyektif. Para pakar forensik sangat
mendukung pendekatan asesmen mutimetode dengan
menggunakan banyak tes, bukan tes tunggal. Apapun teknik
asesmen yang digunakan di dalam evaluasi forensik, teknik
tersebut seharusnya didasari secara solid oleh ilmu psikologi dan
bukan ilmu semu (Lilienfeld & Landfield, 2008). Heilbrun dan
Brooks (2010) mencatat bahwa sudah ada kemajuan di dalam
perkembangan ukuran-ukuran asesmen khusus untuk kapasitas
umum.
Beberapa keterampilan asesmen terspesialisasi sangat
penting bagi psikolog klinis. Sageman (2003) mendeskripsikan
tiga keterampilan tersebut:
1) Keterampilan pertama, pengetahuan tentang isu-isu
hukum, mungkin melibatkan pemahaman tentang
tanggung jawab pidana, definisi kompetensi dan definisi
ketidakwarasan.
2) Keterampilan kedua, menanggapi tuntutan sistem hukum,
seringkali melibatkan upaya netralitas tentang klien,
memprediksi masa depan dengan sebaik-baiknya, dan
mengumpulkan data tentang kasus secara seksama dan
tidak bias.
3) Keterampilan ketiga, berlaku pada litigasi (kasus
pengadilan) dan melibatkan pemahaman tentang strategi
masing-masing pengacara, melibatkan pemahaman
tentang strategi masing-masing pengacara, memberikan
kesaksian yang semestinya, dan tunduk pada orang lain
yang terlubat di dalam kasus, bilamana perlu.
1) Memprediksi Bahaya

25
Ketika sebuah kasus hukum berpusat pada perilaku
kekerasan atau berbahaya seseorang, hakim atau juri sering
mempertimbangkan kemungkinan bahwa individu akan
berperilaku kasar atau berbahaya lagi di masa mendatang.
Psikolog klinis sering direkrut untuk membantu dalam
memprediksi bahaya, khususnya jika dindividu tersebut
memiliki riwayat penyakit mental selain perilaku agresif.
Psikolog klinis dapat menilai potensi untuk bahaya di
masa mendatang dengan beragam cara, yang sebagian besar
dapat ditempatkan ke dalam salah satu di antara dua kategori,
yakni:
a. Metode penelitian klinis.
Di dalam metode klinis, penilai menggunakan tes
psikologi, wawancara klinis, pengalaman klinis, dan
pertimbangan pribadi untuk menentukan bahaya.
b. Metode prediksi statistik atau metode prediksi aktuaria.
Di dalam metode statistik, penilai memprediksi
bahaya berdasarkan rumus statistik atau aktuaria
(penafsiran) yang didapatkan dari perbandingan
karakteristik-karakteristik seseorang individu dengan
korelasi-korelasi yang telah diketahui dengan bahaya di
masa mendatang (Grove, Zald, Lebow, Snitz, & Nelson,
2000)
Variabel-variabel yang dinilai biasanya bersifat objektif,
bukan subjektif, dan mungkin termasuk:
a. Variabel disposisional, seperti umur, ras, jenis kelamin,
kelas sosial, dan variabel kepribadian.
b. Variabel historis, seperti riwayat kekerasan, riwayat
pekerjaan, riwayat kesehatan mental, dan riwayat
kejahatab.
c. Variabel kontekstual, seperti dukungan yang ada,
adanya atau ketersediaan senjata, dan tingkat stres.

26
d. Variabel klinis, seperti gangguan mental, penyalah
gunaan obat dan alkohol, dan tingkat fungsi secara
keseluruhan saat ini.
Karena sifat individual dan subjektifnya, metode klinis
berbeda dari klinisi ke klinisi, dan perbedaan di antara para
klinisi ini cenderung membuat metode ini kurang reliabel. Di
samping itu, metode klinis menyisakan ruang bagi bias dan
bentuk-bentuk kesalahan manusia lain di dalam pengambilan
keputusan subjektif. Metode statistik cenderung kurang
fleksibel namun lebih baik secara empiris karena
objektivitasnya.
Sebuah prediksi klinis tentang bahaya, meskipun sifat
primernya subjektif, namun dapat memasukkan variabel-
variabel objektif tentang klien. Serupa dengan itu, sebuah
prediksi statistik tentang bahaya, meskipun sifat primernya
objektif, dapat memasukkan variabel-variabel subjektif yang
oleh evaluatornya dikonversikan menjadi peringkat objektif
(misalnya ciri-ciri sifat kepribadian, kecenderungan perilaku).
Jadi, memprediksi bahaya dapat dianggap terdapat pada sebuah
kontinum yang meliputi komponen-komponen klinis maupun
aktuaris (Litwack, Zapf, Groscup, & Hart, 2006; Skeem &
Monahan, 2011)
Ketika memprediksi perilaku berbahaya atau kekerasan,
psikolog klinis berusaha untuk mengidentifikasi secara akurat
mengenai mereka yang benr-benar akan menjadi berbahaya
(prediksi “benar-benar positif”) dan mereka yang tidak akan
menjadi berbahaya (prediksi “benar-benar negatif”). Di dalam
praktik aktual, untuk melindungi masyarakat, psikolog klinis
mungkin akan condong ke arah mengidentifikasi seseorang
mungkin lebih berbahaya dibandingkan sebenarnya (prediksi
“positif-palsu”). Di lain pihak, biaya mengidentifikasi
seseorang kurang berbahaya dibandingkan sebenarnya

27
(prediksi “negatif-palsu) dapat merugikan jika orang tersebut
kemudian membunuh atau menyakiti orang lain. Jadi, psikolog
klinis mungkin akan sangat berhati-hati tentang pembuatan
prediksi.
2) Tidak Bersalah karena Ketidakwarasan (Not Guilty by Reason
of Insanity; NGRI)
Menurut sistem hukum Amerika Serikat, orang-orang
yang melakukan kejahatan seharusnya hanya dihukum jika
mereka melakukan kejahatan itu atas kehendaknya sendiri. Jika
seseorang individu tidak dapat mengontrol tindakannya akibat
sebuah gangguan mental, individu tersebut tidak akan dianggap
bertanggung jawab atas kejahatannya tersebut, tetapi akan
dinyatakan tidak bersalah karena ketidakwarasan (not guilty by
reason of insanity; NGRI). Jadi, asesmen seorang psikolog
klinis atas keadaan mental seseorang terdakwa pada saat tindak
kejahatan dilakukan dapat menjadi salah satu komponen krusial
dari proses hukum. Jika terdakwa dinyatakan NGRI, mereka
tidak akan dipenjarakan dalam pengertian biasanya, karena
hukuman semacam itu diciptakan sebagai pencegahan dan
kontrol sosial (Darley, Fulero, Haney, & Tyler, 2002).
Pemenjaraan secara efektif tidak akan mencegah seseorang
yang tidak melakukan kejahatan berdasarkan kehendaknya
sendiri. Sebaliknya, pelembagaan individu-individu yang
dinyatakan NGRI, yang terjadi di unit psikiatri rawat-inap atau
fasilitas-fasilitas serupa, adalah untuk penanganan mereka dan
disesuaikan dengan konstelasi masalah-masalah emosionla dan
perilaku individu yang bersangkutan.
Terdapat banyak kesalahan konsepsi tentang pembelaan
berdasarkan NGRI, sebagian di antaranya timbul dari kasus-
kasus pengadilan yang dipublikasikan secara luas misalnya
publik memersepsikan bahwa terdakwa mungkin mencari label
NGRI untuk menghindari hukuman semata. Melton dkk.

28
(20070 mengidentifikasi empat kesalahpahaman lazim tentang
pembelaan NGRI, yakni
a. Publik umum mungkin berpikir bahwa pembelaan ini
sering digunakan orang.
b. Orang-orang mungkin berpikir bahwa pembelaan
semacam ini sering berhasil.
c. Orang-orang mungkin berpikir bahwa terdakwa NGRI
sering kali dilepaskan tanpa dilembagakan, tetapi ini
sangat tidak lazim. Biasanya, orang yang dinyatakan
NGRI dilembagakan di sebuah rumah sakit mental
hampir sama lamanya jika ia dipenjarakan jika
diputuskan bersalah atas kejahatan yang sama.
d. Terdapat kesalahpahaman bahwa individu-individu
yang dinyatakan NGRI lebih berbahaya dibandingkan
yang sebenarnya.
Tes M’Naghten merupakan standar hukum pertama untuk
NGRI di dalam hukum sejarah sistem hukum Amerika, muncul
selama pertengahan abad kesembilan belas. Di dalam kasus
M’Naghten, terdakwa (Daniel M’Naghten) didakwa mencoba
membunuh Perdana Menteri Inggris karena delusi persekutori
yang dimiliki M’Naghten tentang Partai Konservatif Inggris
dan pemimpinnya, Perdana Menteri Sir Robert Peel.
Pengadilan memutuskan, untuk menetapkan pembelaan
berdasarkan ketidakwarasan, harus dibuktikan dengan jelas
bahwa, pada saat melakukan tindakan tersebut, pihak tertuduh
mengalami cacat penalaran, akibat penyakit pikiran, sehingga
tidak mengetahui sifat dan kualitas tindakan yang
dilakukannya; atau, jika ia mengetahuinya, ia tidak tahu bahwa
yang dilakukannya keliru. (Melton dkk., 2008, hlm. 206).
Menurut tes ini, dikatakan bahwa seseorang tidak waras
secara hukum jika ia tidak mampu mengontrol perilakunya
bahkan jika sast itu polisi ada pada jarak satu siku dari dirinya.

29
Tes-tes yang lebih mutakhir tentang tanggung jawab
kriminal dikembangkan oleh himpunan masyarakat hukum.
Salah satu tes hukum tersebut diciptakan oleh American Law
Institute (1962) dan digunakan oleh banyak yurisdiksi.
Tes itu berbunyi,
Seseorang tidak bertanggung jawab atas tindakan kriminal
jika pada saat itu perbuatannya merupakan akibat dari penyakit
atau cacat mental sehingga ia tidak memiliki kapasitas
substansial untuk menyadari kriminalitas perbuatannya dengan
persyaratan hukum. (Dikutip di dalam Meyer & Weaver, 2006,
hlm. 119).
Saat ini, standar hukum untuk NGRI bervariasi di tingkat
negara bagian dan federal, tetapi semua mensyaratkan bahwa
sebuah penyakit atau cacat mental dan terjadi pada saat
perbuatan kriminal itu dilakukan (Goldstein dkk., 2003). Salah
satu perkembangan hukum terkini adalah provisi atau ketetapan
bahwa seorang terdakwa dapat dinyatakan bersalah namun
sakit secara mental.
3) Evaluasi Hak Asuh Anak
Hak asuh anak adalah sebuah area menyeluruh dengan
berbagai tantangan akibat pentingnya keputusan dan
kepentingan pihak orangtua yang bersaing. Akan tetapi, bukan
kepentingan orangtua yang paling penting di dalam keputusan
hak asuh anak. Sebaliknya, keputusan hak asuh dibuat
berdasarkan sebuah prinsip hukum yang dikenal sebagai
“doktrin kepentingan yang terbaik bagi anak”.
Psikolog dapat berpartisipasi di dalam hak asuh anak
dengan berbagai cara seperti sebagai evaluator orangtua atau
anak, investigator, saksi ahli, mediator, ilmuwan-peneliti, atau
pemberi penanganan. Asosiasi Psikologi Amerika (1994)
mengembangkan 16 standar untuk melaksanakan evaluasi hak
asuh anak. Standar-standar ini mengikhtisarkan maksud dan

30
pedoman untuk melaksanakan evaluasi hak asuh anak. Adapun
pedoman-pedomannya sebagai berikut:
Pedoman Asosiasi Psikologi Amerika untuk Melaksanakan
Evaluasi Hak Asuh Anak

I. Pedoman Orientasi: Tujuan Evaluasi Hak Asuh Anak


1. Tujuan utama evaluasi adalah untuk menilai
kepentingan psikologis yang terbaik bagi anak.
2. Kepentingan dan kesejahteraan anak adalah yang
terpenting.
3. Fokus evaluasi adalah pada kapasitas parenting,
kebutuhan psikologis dan perkembangan anak,
dan kesehatan yang diakibatkannya.
II. Pedoman Umum: Persiapan Untuk Evaluasi Hak Asuh
Anak
4. Peran psikolog adalah sebagai ahli profesional
yang berusaha menjaga sikap objektif dan tidak
memihak.
5. Psikolog mencapai kompetensi spesialisasi.
6. Psikolog menyadari tentang bias pribadi dan bias
masyarakat dan terlibat dalam praktik yang tidak
diskriminatif.
7. Psikolog menghindari hubungan ganda.
III. Pedoman Prosedural: Melaksanakan Evaluasi Hak
Asuh Anak
8. Cangkupan evaluasi ditentukan oleh evaluator,
berdasarkan sikap pertanyaan rujukannya.
9. Psikolog mendapatkan persetujuan tertulis dari
partisipan dewasa dan memberitahukan kepada
partisipan anak sebagaimana mestinya.
10. Psikolog memberitahukan para partisipan
tentang batas-batas kerahasiaan dan

31
pengungkapan informasi.
11. Psikolog menggunakan multimetode untuk
pengumpulan data
12. Psikolog tidak memberikan pendapat tentang
fungsi psikologis individu yang belum dievaluasi
secara personal
13. Psikolog tidak memberikan pendapat tentang
fungsi psikologis individu yang belum dievaluasi
secara personal
14. Rekomendasi, bila ada, didasarkan pada apa
yang sesuai dengan kepentingan psikologis
terbaik anak.
15. Psikolog menglarifikasi pengaturan keuangan.
16. Psikolog membuat catatan tertulis.

Tidak ada dua evaluasi hak asuh anak yang tepat sama,
tetapi beberapa teknik lazim digunakan. Lebih dari 90%
evaluator melaksanakan wawancara klinis dengan masing-
masing orangtua, wawancara klinis dengan anak, observasi
interaksi orangtua anak, melaksanakan tes psikologis pada
orangtua, dan meninjau dokumen-dokumen yang relevan
selama sebuah evaluasi. Di samping itu, lebih dari 60%
evaluator melaksanakan tes psikologi pada anak (Bow &
Quinnell, 2001), meskipun wawancara orangtua, wawancara
anak, dan obsevasi orangtua-anak dianggap lebih penting
dibandingkan tes-tes oleh sebagian besar psikolog yang
disurvei (Bow, 2006). Tes yang paling lazim untuk anak di
dalam evaluasi hak asuh anak termasuk tes IQ dan tes
kepribadian proyektif seperti TAT dan Tes Apersepsi Anak-
anak, sementara tes yang paling lazim untuk orang dewasa
adalah MMPI-2. Beberapa tes spesifik-hak asuh anak juga
sering digunakan (E. Ellis, 2008; Hagen & Castagna, 2001).

32
4) Kompetensi untuk Menghadapi Sidang
Standar kemampuan untuk menghadapi sidang yang
ditetapkan di dalam Dusky v. United States (1960) adalah
standar yang digunkan di sebagian besar wilayah Amerika
Serikat. Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk
menghadapi persidangan, seseorang harus memiliki
“kemampuan yang cukup pada saat ini untuk berkonsultasi
dengan pengacaranya dengan derajat pemahaman rasional yang
wajar dan pemahaman rasional maupun faktual tentang proses
terhadap dirinya” (dikutip di dalam Melton dkk., 2007, hlm.
127).
Kompetensi mengacu pada kemampuan terdakwa untuk
memahami proses pidana dan kemampuannya untuk
menjalankan funngsinya di dalam proses tersebut. Akan tetapi,
definisi kompetensi ini tidak termasuk status mental
sebelumnya atau mental status pada saat tindak kejahatan itu
dilakukan. Sebaliknya, status mental sebelumnya itu akan
dimasukkan ke dalam diskusi-diskusi tentang tanggung jawab
kriminal. Dengan kata lain, periode waktu yang dimaksud
dimaksud di dalam asesmen kompetensi adalah saat ini, dan
periode waktu yang dimaksud untuk tanggung jawab pidana
adalah titik di masa lalu pada saat tindak kejahatan itu terjadi.
Beragam instrumen psikologis sering digunakan dalam
menilai kompetensi, dan ada beberapa tes khusus untuk
keperluan ini. Praktik penggunaan tes-tes psikologi standar dan
bukan instruman-instrumen kompetensi khusus telah menuai
kritik karena tes-tes tersebut belum divalidasi untuk menilai
kompetensi (Zapf, Viljoen, Whittemore, Poythress & Roesch,
2002). Sebagian pakar di bidang ini merekomendasikan sebuah
evaluasi fungsional kompetensi, yang didasarkan pada ide
bahwa kompetensi untuk menghadapi persidangan bergantung
pada tuntutan kognitif dan psikologis kasus yang bersangkutan.

33
Jadi, seorang terdakwa yang dinyatakan memiliki sebuah
gangguan mental belum tentu tidak kompeten untuk sebuah
kasus tertentu, dan seorang terdakwa yang dinyatakan tidak
memiliki gangguan mental belum tentu kompeten untuk kasus
tertentu. (Zapf & Roesch, 2006).
Budaya dapat memainkan peran penting di dalam evaluasi
kompetensi. Sebagian kriteria yang digunakan untuk
menentukan kompetensi, termasuk tes IQ dan diagnosis DSM,
dapat terbias melawan kelompok etnis dan rasial tertentu. Di
samping itu, kecerdasan didefinisikan dengan cara berbeda
oleh kelompok budaya yang berbeda. Semua evaluasi
kompetensi seharusnya mempertimbangkan budaya sebagai
salah satu faktor di dalam interpretasi tentang data penilaian
(Tsytsarev & Landes, 2008).
5) Penahanan di Rumah Sakit Jiwa
Penahanan sipil di dalam sebuah institusi mental (rumah
sakit jiwa) adalah proses ketika seseorang dimasukkan secara
paksa (di luar kehendaknya) oleh otoritas sipil demi
kesejahteraan orang tersebut dan orang lain. Penahanan sipil
memiliki standar hukum yang lebih rendah dibandingkan
kasus-kasus pidana, tetapi saat ini standar tersebut jauh lebih
tinggi dibandingkan era 1970-an ketika individu-individu
sering dimasukkan ke rumah sakit jiwa atas permintaan
keluarga (Melton dkk., 2007)
Keputusan tentang penahanan paksa pada umumnya
mengikuti sebuah proses dua-langkah, yaitu yurisdiksi pada
awalnya memberikan admisi gawat darurat sebagaimana
ditentukan oleh seorang klinisi atau otoritas lain, tetapi
persetujuan pengadilan dibutuhkan untuk penahanan
berkelanjutan. Seluruh negara bagian memiliki kriteria untuk
penahanan paksa yang mengharuskan terpenuhinya syarat-
syarat berikut:

34
a. Kriteria fundamental dan yang pertama, untuk seluruh
undang-undang negara bagian adalah bahwa individu
memiliki sebuah gangguan mental.
b. Kedua, sebagian undang-undang mensyaratkan bahwa
orang itu tidak mampu memahami kebutuhan akan
penanganan akibat gangguan yang dideritanya.
c. Ketiga, orang itu harus berbahaya bagi dirinya sendiri atau
orang lain karena gangguan mentalnya tersebut.
d. Keempat, sebagian besar negara bagian juga
mempertimbangkan kemampuan individu untuk mengurus
kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai bagian dari kriteria
penahanan.
e. Kelima, sebagian negara bagian mensyaratkan bahwa ada
kebutuhan akan penanganan/perawatan.
f. Terakhir, penahanan itu harus terjadi di lingkungan yang
setidaknya membatasi (Melton dkk., 2007)
b) Penanganan dan Kegiatan Forensik Lain
1) Penanganan Klien Forensik
Penanganan di dalam konteks forensik dapat memiliki
banyak bentuk. Di dalam kasus individu yang dinyatakan tidak
kompeten untuk menjalani persidangan, fokus penanganannya
biasanya adalah meningkatkan pengetahuan mereka tentang
sistem pengadilan yang relevan dengan kasusnya. Penanganan
kedua golongan individu ini terutama difokuskan pada tujuan-
tujuan jangka-pendek yang mengarah pada pengenalan
kembali orang itu ke masyarakat dan pelayanan berbasis-
masyarakat di dalam kasus yang pertama dan mengarah pada
persidangan di dalam kasus yang kedua. Di lain pihak,
individu-individu yang dikurung di dalam penjara biasanya
memiliki kebutuhan penanganan dengan jangka lebih panjang.
Tujuan memenjarakan kriminal termasuk hukuman,
pencegahan, inkapasitasi (menghilangkan kemampuan untuk

35
melakukan tindak kejahatan), dan rehabilitasi (Melton dkk.,
2007). Ketika menangani penjahat kriminal, psikolog klinis
dan terapis-terapis lainnya biasanya fokus pada empat tugas
terapi dasar, baik sendirian atau secara kombinasi, yakni:
a) Manajemen krisis. Penanganan manajemen
diterapkan jika ada tipe krisis tertentu. Ini termasuk
seseorang yang terlibat dalam tindakan menyakiti
diri sendiri atau perilaku kekerasan.
b) Penanganan pemeliharaan. Penanganan
pemeliharaan digunakan pada individu-individu
yang dikurung karena memiliki masalah yang lebih
menetap seperti retardasi mental dan skizofrenia,
dan mereka sering kali dikurung dan ditangani di
dalam unit-unit pemukiman khusus.
c) Psikoterapi rawat-jalan. Banyak tipe psikoterapi
rawat-jalan digunakan pada populasi penjara, dan
keberhasilan atau kegagalan terjadi seperti yang
terjadi di dalam lingkungan yang lebih tradisional.
d) Program-program tertarget. Program-program yang
menarget masalah-masalah tertentu seperti
penanganan alkohol dan obat serta penanganan
pelaku penyerangan seksual sering kali juga tersedia
bagi individu-individu yang dikurung. Program-
program tersebut memiliki bebeapa keunggulan
dibandingkan penanganan rawat-jalan, termasuk
kemampuan untuk memiliki lebih banyak jam
kontak dengan klien.
2) Saksi Ahli
Psikolog klinis, bersama psikiater dan pekerja sosial,
adalah profesional yang paling lazim memberikan kesaksian
ahli untuk pengadilan tentang isu-isu kesehatan mental, dan
secara bersama-sama mereka terlibat di dalam lebih dari 1 juta

36
kasus per tahun (Melton dkk., 2007). Psikolog harus
“bertindak sebagai advokat yang efektif untuk data mereka,
terlepas apakah hal itu menjadikan mereka advokat yang
efektif bagi pihak yang memanggil mereka ke pengadilan atau
tidak” (Melton dkk., 2007, hlm. 578).
Seorang saksi ahli disetujui untuk pengadilan melalui
sebuah proses yang disebut voir dire. Di dalam proses voir
dire, pendidikan, pelatihan, dan pengalaman profesional sang
ahli diperiksa. Kadang-kadang kedua belah pihak
mestimulasikan (menetapkan) — artinya menerima tanpa
mensyaratkan bukti bahwa seorang psikolog memenuhi kriteria
yang dibutuhkan sebagai seorang saksi ahli, dan pada saat yang
lain soal itu diperdebatkan dengan sengit oleh para pengacara
yang saling berlawanan.
Saksi ahli yang disetujui oleh pengadilan dapat
memberikan fakta maupun pendapat, dapat membuat interfensi
tentang fakta, dapat memberikan informasi tentang fakta-fakta
yang diperselisihkan, dan dapat membantu mengedukasi juri
atau pengadilan tentang informasi ilmiah (Sales & Shuman,
2005).
Sebelum tahun 1993, kesaksian ilmiah ahli dapat diterima
di pengadilan jika kesaksian tersebut secara umum diterima di
bidang keahliannya. Sedangkan menurut standar yang berlaku
sekarang (yang dikenal sebagai standar Daubert, atau standar
Aturan Federal mengenai Bukti), dapat diterima atau tidaknya
bukti-bukti atau kesaksian di pengadilan didasarkan pada
reliabelitas dan validitasnya, dan bukan penerimaannya secara
umum di bidang tersebut.
3) Hak-hak Pasien
Di seluruh Amerika Serikat, undang-undang penahanan
sipil memungkinkan orang-orang untuk ditahan di rumah sakit
jiwa secara paksa. Undang-undang ini dirancang untuk

37
memberikan perawatan kesehatan mental bagi individu yang
bersangkutan dan tidak dimaksudkan sebagai hukuman. akan
tetapi, terdapat berbagai penyalahgunaan pasien di rumah sakit
jiwa, misalnya banyak orang yang ditahan berdasarkan apa
yang pada zaman sekarang dianggap sebagai alasan remeh. Di
paruh pertama tahun 1900-an, penanganan medis yang
dianggap menjanjikan diupayakan, tetapi ditemukan memiliki
efek samping negatif yang signifikan dan bahkan dapat
menyebaban kerugian signifikan pada pasien.
Pada 1960-an dan 1970-an, sikap dan opini hukum
berkembang untuk mendukung perbaikan hak-hak hukum
pasien. Pada 1975, Mahkamah Agung (O’connor v.
Donaldson) memberikan pendapat tentang penahanan sipil
pasien mental dengan memutuskan bahwa memiliki sebuah
penyakit mental bukan kriteria yang cukup untuk penahanan
sipil. Sebaliknya, Mahkamah Agung menjadikan law of the
land (prinsip fundamental keadilan yang sepadan dengan
proses yang adil) bahwa orang tersebut harus memiliki sebuah
gangguan mental yang dianggap berbahaya. Selama seorang
individu tidak berbahaya dan mampu bertahan hidup dengan
bantuan keluarga dan teman-teman, maka penahanan sipil
secara paksa buak menjadi pilihan.
Pengadilan juga telah mengidentifikasi hak-hak lain yang
dimiliki pasien di rumah sakit jiwa. Di dalam Youngberg v.
Romeo (1982), Mahkamah Agung memperluas hak-hak pasien
mental untuk memasukkan “kondisi penahanan yang cukup
aman, kebebasan dari pengekangan tubuh yang tidak wajar,
dan pelatihan yang paling sedikit cukup memadai yang
dibutuhkan untuk kepentingan ini” (hlm. 307). Hak untuk
menolak pengobatan juga diberikan oleh pengadilan federal
pada 1970-an. Hak untuk menolak pengobatan ini dapat
dikesampingkan jika pasien memiliki kebutuhan darurat untuk

38
menerima pengobatan, berbahaya bagi dirinya sendiri atau
orang lain, atau tidak mampu membuat keputusan yang
kompeten (Stafford, 2003)
4) Konsultasi dengan Penegak Hukum
Psikolog klinis sering melakukan evaluasi pra-kerja calon
untuk pekerjaan penegak hukum atau evaluasi kesesuaian
tugas bagi para petugas saat ini, yang status psikologisnya
dipertanyakan. Psikolog klinis juga bekerja sebagai konsultan
tentang beragam isu untuk departemen kepolisian, dan
sebagian bahkan bekerja purna-waktu di departemen
kepolisian. Di samping itu, psikolog klinis sering kali
memberikan intervensi terapeutik langsung kepada petugas,
khususnya ketika stres atau trauma pekerjaan memengaruhi
mereka secara adversif. Psikolog klinis dapat memberikan
manfaat besar pada departemen kepolisian dengan memberikan
pelatihan di bidang-bidang seperti mengurangi stres,
menangani orang-orang yang mengalami gangguan mental,
pelatihan multikultural, dan bilang-bidang keahlian lain.
Diantara semua cara psikolog bekerja sama dengan
departemen kepolisian, melaksanakan evaluasi pra-kerja
adalah yang paling lazim, meskipun evaluasi semacam itu
kurang memiliki konsistensi dan standardisasi (Dantzker,
2011). Asesmen-asesmen ini biasanya melibatkan tes
kepribadian objektif seperti MMPI-2 untuk menilai
psikopatologi, ukuran kemampuan kognitif atau kemampuan
mengatasi masalah seperti Tes Personal Wonderlic, dan
wawancara klinis. Juga tersedia tes-tes yang dirancang secara
khusus untuk penyaringan pra-kerja petugas polisi, seperti
misalnya Inventori Kepribadian Inwald. Tujuan evaluasi
adalah untuk menilai sejauh mana calon memiliki masalah
psikologis, keterbatasan kognitif, atau karakteristik

39
kepribadian yang mungkin mengganggu tugas-tugas seorang
polisi.
Evaluasi kesesuaian kerja adalah tipe asesmen lain yang
dilakukan psikolog klinis terhadap personel polisi (Scrivner,
2006). Evaluasi ini biasanya diminta setelah pengalaman stres
ekstrem yang dialami seorang petugas, misalnya tertembak
atau menyaksikan peristiwa traumatis saat bertugas. Evaluasi
tersebut kadang-kadang juga digunakan untuk menilai apakah
seorang petugas mampu terus bekerja selama ia menerima
psikoterapi atau pengobatan untuk depresi, kecemasan, atau
masalah-masalah psikologis lain. Evaluasi ini sering kali lebih
ekstensif dibandingkan ujian pra-kerja, termasuk wawancara
klinis yang lebih rinci, wawancara dengan orang lain yang
signifikan, wawancara dengan petugas sejawat dan penyelia,
dan pengadministrasian beragam tes psikologi.

40
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Topik-topik khusus dalam psikologi klinis membahas mengenai
beberapa bidang, diantaranya yakni psikologi klinis anak dan remaja, psikologi
kesehatan, dan psikologi forensik.
Psikolog klinis anak dan remaja menangani beragam isu, termasuk
gangguan eksternalisasi (seperti ADHD, gangguan tingkah laku, gangguan
perkembangan) maupun gangguan internalisasi (misalnya gangguan suasana
perasaan). Mereka memasukkan sebuah perspektif perkembangan dengan tetap
menyadari tentang umur dan tahap perkembangan klien sebagai sebuah konteks
untuk berbagai isu klinis. Asesmen biasanya melibatkan banyak sumber
informasi, banyak lingkungan dan banyak metode. Terapi dengan anak-anak dan
remaja memiliki beragam bentuk, kebanyakan berdasarkan orientasi-orientasi
dasar yang sama seperti bentuk-bentuk psikoterapi orang dewasa. Di semua
aspek pekerjaan mereka, psikolog klinis anak dan remaja senantiasa
mengapresiasi latar belakang budaya klien mereka dan keluarga tempat mereka
tinggal.
Psikologi kesehatan dalam psikologi klinis sudah dikenal dengan nama
Medical Psychology, namun sekarang selalu dikaitkan dengan Behavioral
Medicine. Dasar pemikiran Psikologi kesehatan adalah adanya hubungan antara
fikiran manusia dengan tubuhnya. Psikologi kesehatan terutama menyangkut
cara-cara pikiran, perasaan, dan perilaku kita memengaruhi kesehatan fisik kita.
Psikologi forensik merupakan merupakan aplikasi pengetahuan
psikologi, khususnya psikologi klinis, pada masalah-masalah yang dihadapi
jaksa, polisi, dll dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan
keadilan sipil, kriminalitas, dan administratif.

B. Saran
Karena bidang psikologi sangat luas, sebagai psikolog yang kompeten
sudah seharusnya memahami mengenai topik-topik khusus dalam psikologi
tentang apa yang menjadi fokusnya. Materi yang telah kami paparkan dalam

41
makalah semoga mampu memberikan tambahan pengetahuan dan semoga
bermanfaat untuk kedepannya. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami menerima kritik
maupun saran yang membangun agar kedepannya lebih baik lagi.

42
DAFTAR PUSTAKA

Diana, S. 2014. Ketergantungan dan Penyalahgunaan Alkohol.


(https://www.kompasiana.com/sarahdiana/551f924e813311b77f9df89c/k
etergantungan-dan-penyalahgunaan-alkohol, diakses: 17 November
2019)
Muluk, H. 2013. “Kajian dan aplikasi forensik dalam perspektif psikologi.”
Jurnal Sosioteknologi, Vol. 12, No. 29.
Musradinur 2016. “Stres dan cara mengatasinya dalam perspektif
psikologi.”Jurnal Edukasi, Vol. 2, No.2.
Pomerantz, A. M. 2014. Psikologi Klinis. Terjemahan oleh Helly Prajitno
Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

43

Anda mungkin juga menyukai