Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PSIKOLOGI SOSIAL

STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI

DI
SUSUN OLEH :
NAMA KELOMPOK
1. RORO AJENG PUSPANINGRUM PUTRI AGUNG
2. ENJELA SUKMA HANDAYANI
3. AGNESIA TAMARANI
4. WIDYA DWI RAHAYU
5. IHSAN JOMISA
6. ANDRE GUNAWAN
DOSEN PENGAMPUH : DWI HURRIYATI, S.Psi.,M.Si
MATA KULIAH : PSIKOLOGI SOSIAL

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS BINA DARMA


TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “STEREOTIP,
PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Dwi
Hurriyati, S.Psi.,M.Si pada Program Studi Psikologi Universitas Bina Darma. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang STEREOTIP, PRASANGKA,
DAN DISKRIMINASI bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dwi Hurriyati, selaku dosen mata kuliah
Psikologi Sosial yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Palembang, 17 Maret 2020 

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
A. DEFINISI STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI................................4
1. STEREOTIP................................................................................................................4
2. PRASANGKA.............................................................................................................5
3. DISKRIMINASI..........................................................................................................6
B. HUBUNGAN STEREOTIP, PRASANGKA, DISKRIMINASI....................................7
C. SOLUSI STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI...................................8
BAB II......................................................................................................................................10
PENUTUP................................................................................................................................10
BAB I

PEMBAHASAN

A. DEFINISI STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI


Stereotip, prasangka, dan diskriminasi merupakan tiga konsep yang sering kali digunakan
secara bersamaan. Hal ini karena ketiga kosenp tersebut berkaitan dengan satu sama lain.
Stereotip dapat dipahami sebagai sekumpulan informasi terkait objek tertentu yang dapat
bersifat positif, negatif, atau kombinasi keduanya. Sementara prasangka merupakan sikap
secara umum terhadap objek sosial tertentu. Seperti sikap pada umumnya, prasangka terdiri
atas komponen kognitif (stereotip), emosi (cemas, takut, iri), dan perilaku atau yang dikenal
sebagai diskriminasi. Kemudian, diskriminasi sendiri merupakan aspek konatif dari
prasangka, yaitu prilaku negatif membatasi hak orang lain hanya karena keanggotaannya
pada kelompok tertentu. Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan ketiga komponen
mewakili tiga komponen bias sosial, yaitu kognitif (stereotip), afektif (prasangka), dan
konatif (dikriminasi).

1. STEREOTIP
Pengertian Stereotip menurut para ahli :
1) Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu
kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto,
1993).
2) Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita
miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian.
3) stereotip sebagai “pemberian sifat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang
berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia berasal dari suatu
kelompok tertentu (in group atau out group), yang bisa bersifat positif maupun
negatif” (Amanda G., 2009).
4) Lippmann (1922) stereotip adalah “gambaran yang muncul di kepala kita” yang
memudahkan bagaimana orang berpikir mengenai individu dari berbagai kelompok.

Dapat disimpulkan bahwa stereotip adalah sekumpulan informasi yang terasosiasi dengan
sebuah kelompok atau individu dari kelompok tertentu.Stereotipe juga dapat diartikan
menjadi salah satu bentuk prasangka antar etnik atau ras. Orang cenderung membuat kategori
atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin,
kebangsaan, dan tampilan kounikasi verbal maupun non verbal. Stereotipe merupakan salah
satu bentuk utama prasangka yang menunjukkan perbedaan “kami” (in group) dan ”mereka”
(out group).
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang
bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa
sifat positif maupun negatif. Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotipe adalah
keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif
tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu.
Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari
stereotipe:
a. Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku,
gender dan etnis. Misalnya wanita priangan itu suka bersolek.
b. Bentuk atau sifat perilaku turun temurun sehingga seolah-olah melekat pada semua
anggota kelompok. Misalnya orang ambon itu keras.
c. Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada individu
yang menjadi anggota kelompok tersebut.

Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe:
a. Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau
mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu
berdasarkan sifat psikhologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita
lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
b. Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang
hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
c. Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan
kelompok lain (out group).
d. Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.

2. PRASANGKA
Pengertian prasangka menurut para ahli:

1) Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak
luwes.
2) Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan
keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu.
3) Menurut John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara
menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi
karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang
melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan
atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang
nyata.
Kata Allport, prasangka negatif terhadap etnik merupakan sikap antipati yang dilandasi
oleh kekeliruan atau generalisasi yang tidak fleksibel, hanya karena perasaan tertentu dan
pengalaman yang salah.
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
a. Generalisasi yang keliru pada perasaan,
b. Stereotipe antaretnik,
c. Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai
kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “kami.”
Dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan
bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke
tindakan sistematis. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif
(berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatu stereotipe) dan
konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif).

3. DISKRIMINASI
Pengertian diskriminasi menurut para ahli :
1) Sears, Freedman & Peplau (1999) diskriminasi adalah perilaku menerima atau
menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok.
2) Diskriminasi secara leksikal adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok yang
didasarkan pada golongan atau kategori tertentu.
3) Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara
berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang
lain.
4) Diskriminasi dapat diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada orang
tertentu karena keanggotaannya dalam suatu kelompok (Todd, Bodenhausen,
Richeason, dan Galinsky, 2011).
Diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh
orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat
istiadat, kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling
menguatkan, selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang
sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi.
Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari
kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya.
Diskriminasi secara gamblang seperti kasus di atas sudah jarang ditemukan. Itu karena
kesadaran mengenai kesetaraan telah meningkat. Selain itu, adanya peraturan atau
perundang-undangan yang mengatur kesamaan hak seluruh individu maupun golongan juga
turut meredam diskriminasi telah hilang sepenuhnya.

B. HUBUNGAN STEREOTIP, PRASANGKA, DISKRIMINASI

Stereotip, prasangka, dan diskriminasi memiliki hubungan yang sangat erat satu sama
lain. Namun ada kalanya ketiga sikap tersebut dapat berdiri sendiri secara terpisah.
Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan
untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotip
negatif. Stereotip jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau
bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda
mengenai asal mula stereotip. Psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu
kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog
menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam
tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis (misalnya Sander Gilman)
menekankan bahwa stereotip secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan
penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa memperdulikan kenyataan yang
sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotip itu sepenuhnya akurat, namun beberapa
penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotip sesuai dengan fakta
terukur.
Stereotip yang berlebihan akan memunculkan prasangka terhadap orang atau kelompok
lain tergantung dari pengetahuan terhadap orang/kelompok tersebut (dalam hal ini stereotip
didasarkan atas pengetahuan/kognitif), namun masih dalam tataran sikap (belum tindakan).
Sedangkan sikap berprasangka yang berlebihan dapat memunculkan perlakuan yang
diskriminatif/diskriminasi (sudah dalam tataran perilaku). Perilaku diskriminasi ini dapat
terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya sikap menganak-tirikan orang atau kelompok lain
karena kriteria tertentu, atau karena ia/mereka bukan termasuk bagian dari kelompok tertentu.
Jadi prasangka merupakan disposisi dari stereotip, sedangkan diskriminasi adalah disposisi
dari prasangka. Namun, muncul pula suatu kecenderungan bahwa prasangka bisa terjadi
tanpa diawali oleh adanya stereotip, begitu pula stereotip belum tentu berujung pada
munculnya sikap berprasangka.
Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang
berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996) . Akan
tetapi selalu terjadi kecenderungan yang kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminiasi.
Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk
mendiskriminasikan kelompok tersebut. Jika digambarkan dalam bentuk bagan, maka
hubungan antara ketika konsep di atas dapat dilihat pada bagan berikut.

C. SOLUSI STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI

1. Mengakui keberagaman identitas budaya daerah yang ada dan membiarkannya


tumbuh sewajarnya. Dengan adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-
masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling
berkomunikasi. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya
dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural.
Namun kondisi aneka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan
subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada
komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada
berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik.
2. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan
manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan
Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan
semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang
dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
3. Mengurangi fanatisme sempit yang menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling
benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Kecintaan dan kebanggaan
pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu
bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku
menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif.
Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan
oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga
merupakan contoh dari fanatisme sempit ini.
4. Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati.
Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya
diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Apabila tontonan
sudah bukan lagi menjadi tuntunan, maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang
untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran dan
membentuk opini negatif dalam masyarakat.
BAB II

PENUTUP

Prasangka dapat diartikan sebagai evaluasi negatif yang diarahkan kepada seseorang
hanya karena keanggotaannya dalam sebuah kelompok sosial tertentu. Seperti sikap,
prasangka memiliki komponen kognitif yang mendasari penilaian afektif tersebut, yaitu
stereotip. Stereotip merupakan kumpulan informasi dasar yang dimiliki individu terkait objek
sosial tertentu. Informasi ini bisa bermuatan positif maupun negatif. Ketika prasangka
terimplementasi dalam bentuk perilaku maka perilaku ini disebut sebagai diskriminasi.
Diskriminasi merupakan perlakuan tidak adil yang diarahkan kepada seseorang karena
keanggotaannya dalam kelompok.
Faktor penyebab prasangka, stereotip, dan diskriminasi antara lain kategorisasi sosial,
kerpibadian right wing authoritarianism (otoritarianisme sayap kanan), orientasi dominansi
sosial, ketidakadilan sosial, emosi, norma, persepsi terancam, dan sikap implisit.
Stereotip positif maupun negatif akan berdampak pada target. Jika individu menyadari bahwa
dirinya dinilai memiliki keterampilan dibidang tertentu maka ia akan berperilaku sesuai
dengan pandangan tersebut.
Stereotip pada dasarnya dapat dikendalikan, yaitu dengan menemukan informasi yang
lebih lengkap dan menumbuhkan motivasi yang kuat. Hal tersebut dapat dilakukan untuk
mengurangi aplikasi stereotip negatif pada objek sosial tertentu.
Pengurangan prasangka dan dikriminasi dapat dilakukan melalui kontak
antarkelompok. Kontak ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dengan
dukungan norma sosial sehingga lebih efektif. Pengurangan prasangka dapat juga dilakukan
dengan menumbuhkan identitas bersama. Fokus individu diarahkan bukan pada identitas
sosial yang dapat membedakan dua orang atau lebih, tetapi lebih kepada identitas sosial yang
dapat menyatukan mereka.

Anda mungkin juga menyukai