Anda di halaman 1dari 44

KARYA TULIS ILMIAH

BAHAYA TOXIC RELATIONSHIP PADA REMAJA

Dosen Pengampu:

Irdianti, S.Psi., M.Si

NIP: 199012152019032025

Disusun Oleh:

Almira Salsabila Wargadipura

NIM: 200701502106

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah-Nya

kepada kita semua, sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan

tepat waktu yang berjudul “Bahaya Toxic Relationship pada Remaja” sebagai

bentuk pengajuan tugas dari mata kuliah Teknik Penulisan Karya Tulis Ilmiah oleh

Ibu Irdianti, S.Psi., M.Si. selaku dosen Pengampu pada mata kuliah Teknik

Penulisan Karya Tulis Ilmiah.

Harapan kami, karya tulis ilmiah ini bisa memberikan manfaat sebesar

mungkin bagi siapapun yang membacanya. Kami menyadari masih banyak

kekurangan dalam penulisan makalah ini. Semoga para pembaca juga berkenan

memaafkan jika dalam karya tulis ilmiah ini terdapat kekurangan dan kesalahan,

sehingga sangat diharapkan bagi para pembaca berkenan memberikan saran dan

kritik yang sifatnya membangun bagi karya tulis ilmiah ini agar penyusunan karya

tulis ilmiah berikutnya dapat menyajikan sesuatu yang lebih baik. Semoga karya

tulis ilmiah ini bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik.

Makassar, 14 November 2020

Pemulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………...………….ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………..………...iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………...…………………………….1

B. Rumusan Masalah.…………………………………………………………......5

C. Tujuan Penelitian.……………………………………………………………....5

D. Manfaat Penelitian.……………………………………………….…………....6

BAB II Pembahasan

A. Remaja…………………………………...…………………………………….8

B. Pacaran…………………………………...……………………………….…..10

C. Menjaga Keseimbangan Hubungan Pacaran………………………………….16

D. Ciri-Ciri Toxic Relationship yang Perlu Diwaspadai…………………………18

E. Pengaruh Toxic Relationship Terhadap Kesehatan Mental…………….…………..29

F. Cara Keluar dari Toxic Relationship…………………………...……...………….31

BAB III Penutup

A. Kesimpulan…………………………………………………………………...36

B. Saran………………………………………………………..…………………36

iii
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan yang sehat adalah hubungan yang saling memberi dukungan

dan memelihara satu sama lain. Hubungan sehat ini memiliki ciri-

ciri, meliputi rasa kasih sayang, rasa aman, kebebasan dalam berpikir, saling

peduli dan menyayangi, serta menghormati perbedaan pendapat yang ada.

Akan tetapi, mungkin pengalaman yang terjadi justru sebaliknya dari

penjabaran mengenai hubungan sehat di atas. Bukannya merasa aman, tetapi

malah merasa tidak nyaman ketika berhadapan dengan teman. Selain itu,

bukannya merasakan ada kebebasan, tetapi malah merasa lelah menghadapi

pasanganmu sendiri.

Istilah toxic relationship menjadi sebutan yang akhir-akhir ini sering

dibahas. Secara umum, toxic relationship adalah pola hubungan yang terjadi

antara setidaknya dua orang. Baik itu hubungan antara anak dengan orang

tua, hubungan pertemanan, hingga hubungan percintaan. Meskipun

begitu, toxic relationship sering kali menjadi topik menarik untuk dibahas

dalam hubungan percintaan.

Pacaran bukan lagi suatu hal yang tabu bagi masyarakat. Pacaran

merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya

berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan

berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Hampir setiap orang pernah

1
berpacaran, biasanya dalam hubungan tersebut selalu berkaitan dengan

harapan, keinginan, kasih sayang, cinta bahkan pengorbanan, sehingga

sudah pasti para pelakunya sangat mendambakan sebuah kebahagiaan.

Namun, hal tersebut akan akan berbeda ketika pada kenyataannya banyak

dari mereka yang berpacaran tidak mendapat kebahagiaan seperti yang

didambakan oleh setiap pasangan.

Ada beberapa hal yang membuat individu melakukan hubungan

berpacaran selain untuk memenuhi kebutuhan akan rasa cinta dan kasih

sayang. Berpacaran dilakukan bertujuan untuk menyeleksi pasangan hidup

dan mempersiapkan individu menuju hubungan yang lebih serius, yaitu

pernikahan. Melalui berpacaran individu dapat mengembangkan

pemahaman yang lebih baik mengenai sikap dan perilaku pasangan satu

sama lain. Individu juga dapat belajar bagaimana cara mempertahankan

hubungan, mendiskusikan, dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan

yang terjadi. Jika kita jalani dengan benar, pacaran dapat mempunyai tujuan,

menyenangkan dan menjadi berkat bagi hidup kita. Namun, jika dijalani

dengan salah, pacaran dapat menguras dan mengalihkan kita dari tujuan

pacaran yang sebenarnya. Hubungan berpacaran dikalangan masyarakat ini

seringkali dilingkupi hal-hal yang bersifat negatif. Salah satu fenomena

yang saat ini semakin banyak terjadi pada hubungan berpacaran adalah toxic

relationship.

Cemburu adalah salah satu bentuk ciri dari toxic relationship. Menurut

Hupka, dkk (1985), cemburu adalah “emotions, cognitions, and behavior

2
assosiated with the appraisal of the threat arising from the potential, actual,

or imagined involvement of one’s loved one or mate in a relationship with

an interloper” (Hupka dkk, 1985: 425). Cemburu sendiri merupakan hal

yang biasa dalam suatu hubungan (Buunk & Sharpsteen, dalam Baron &

Bryne, 1997). Dalam penelitian Knox, Breed, dan Zusman (2007) pada 291

mahasiswa di Amerika Serikat, 51,9% mengatakan bahwa cemburu

merupakan hal yang normal.

Di Indonesia ditemukan mahasiswi lebih cemburu dibandingkan dengan

mahasiswa apabila pacarnya berteman dekat dengan lawan jenis lain,

pacarnya akrab dengan lawan jenis lain dan pacarnya mengagumi orang lain

(Nugraha, 1998). Dalam penelitian lain, perempuan cenderung cemburu

apabila pihak ketiga merupakan mantan pacar pasangannya, sedangkan laki-

laki cenderung cemburu apabila pasangannya dekat dengan laki-laki lain

(Yulianto, 2002).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hansen di Amerika, mahasiswi

merasa cemburu bila pacarnya terlalu mementingkan hobi dan keluarganya.

Selain itu juga, pekerjaan dan keterlibatan pasangan dengan teman-

temannya juga dapat memicu cemburu (Hansen, dalam Bringle & Buunk,

1991).

Dr. Primatia Yogi Wulandari, M.Si., Psikolog pakar psikologi

Universitas Airlangga (UNAIR) dari Departemen Psikologi Pendidikan dan

Perkembangan pada Rabu (18/12/19) menyebutkan bahwa toxic

relationship paling berbahaya bila terjadi pada kalangan remaja atau

3
pasangan yang menjadi orang tua dari anak-anaknya. Hal ini karena toxic

relationship memiliki dampak yang bermacam-macam.

Dalam UNAIR NEWS, berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi

Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2019, dari 13.568

kasus kekerasan yang tercatat, 9.637 kasus berada di ranah privat (71%).

Jumlah ini meningkat dari tahun 2018. Dari jumlah tersebut, jumlah

kekerasan dalam pacaran mencapai 2.073 kasus, dan jumah kekerasan

terhadap istri mencapai 5.114 kasus.

Hal tersebut merupakan salah satu sebab dari sebuah hubungan yang

tidak sehat atau biasa dikenal dengan “toxic relationship”. Hubungan

tersebut memiliki beberapa karakteristik yang berlawanan dengan

hubungan yang sehat. Bila hubungan yang sehat lebih bersifat dua

arah, toxic relationship cenderung satu arah dan menguntungkan satu pihak

saja, adapun pihak lain lebih sering merasa dirugikan.

Banyak pasangan yang terlihat menunjukkan kasih sayangnya dengan

cara memberikan perhatian lebih dan mengatur aktivitas pasangannya,

namun berujung pada sifat posesif yang sebenarnya itu adalah tanda bahwa

pasangan tersebut berada pada toxic relationship. Terkadang membedakan

toxic relationship dengan rasa sayang tulus memang sedikit sulit. Terlebih

jika sepasang kekasih sudah menjalani hubungan yang cukup lama (sekitar

hitungan bulan atau tahun), maka perbedaan antara rasa sayang tulus dan

toxic relationship sudah tidak lagi terlihat jelas.

4
Dalam hal ini, tentu salah satu pihak yang menjadi korban merupakan

orang yang dirugikan. Orang tersebut akan merasakan tekanan atau kondisi

yang semakin tidak nyaman jika mempertahankan hubungan yang termasuk

toxic relationship. Bersamaan dengan kesadaran masyarakat untuk lebih

mencintai dan menghargai diri sendiri, mengakhiri hubungan yang

termasuk toxic relationship merupakan salah satu upayanya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bahaya toxic relationship bagi kesehatan mental pada

remaja?

2. Bagaimana perkembangan remaja dalam menjalin hubungan lawan

jenis?

3. Apa itu pacaran?

4. Bagaimana cara menjaga keseimbangan hubungan saat berpacaran?

5. Apa saja ciri-ciri toxic relationship yang perlu diwaspadai?

6. Bagaimana cara keluar dari toxic relationship?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bahaya toxic relationship bagi kesehatan mental pada

remaja

2. Untuk mengetahui perkembangan remaja dalam menjalin hubungan

lawan jenis

3. Untuk mengetahui tentang pacaran

4. Untuk mengetahui cara menjaga keseimbangan hubungan saat

berpacaran

5
5. Untuk mengetahui ciri-ciri toxic relationship yang perlu diwaspadai

6. Untuk mengetahui cara keluar dari toxic relationship

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

untuk:

a. Memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi pembaca

tingkat remaja terkait bahayanya toxic relationship terhadap

kesehatan mental remaja agar tidak terjebak dalam hubungan

tersebut.

b. Memberikan sumbangan ilmiah dalam ilmu psikologi, yaitu

penelitian tentang bahaya toxic relationship pada remaja.

c. Sebagai pijakan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya

yang berhubungan dengan kondisi psikologi remaja ketika

mengalami toxic relationship.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

untuk:

a. Bagi penulis dan pembaca

Dapat menambah wawasan tentang bahayanya toxic relationship

terhadap kesehatan mental remaja dan apa saja yang menjadi ciri-

ciri dari toxic relationship, serta cara mengatasi toxic relationship

agar tidak terjebak dalam hubungan tersebut.

6
b. Bagi remaja

Dapat menambah pengetahuan dan sumbangan pemikiran

tentang bahaya toxic relationship terhadap kesehatan mental remaja

dan apa saja yang menjadi ciri-ciri dari toxic relationship, serta cara

mengatasi toxic relationship agar tidak terjebak dalam hubungan

tersebut.

7
BAB II

PEMBAHASAN

A. Remaja

Remaja merupakan transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa

(Santrock, 2002: 7, 72). Perubahan banyak terjadi pada masa transisi, baik

itu perubahan fisik, kognitif, emosi dan sosial. Pada masa transisi banyak

terjadi perubahan, tetapi kontinuitas tetap mewarnai periode ini (Santrock,

2002:74). Usia yang tergolong remaja adalah antara 12-21 tahun. Pada

umumnya pengelompokan tahapan perkembangan remaja dibagi menjadi

tiga, yaitu: usia 12-14 tahun adalah masa remaja awal, usia 15-17 tahun

adalah masa remaja madya, dan usia 18-21 tahun adalah remaja akhir.

Masa remaja merupakan masa yang krisis karena belum ada pegangan

nilai dan norma, sedangkan kepribadian diri sedang mengalami

pembentukan identitas. Selama masa remaja, individu mulai menyadari

perasaan mengenai identitas dirinya yang unik dan berguna untuk memasuki

kehidupan sosial selanjutnya. Pada masa ini, terjadi perubahan yang sangat

mencolok dan membutuhkan penyesuaian diri terhadap tuntutan sosial.

8
Masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa

dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan

hormon (Hurlock, 1980: 212). Masa ini berkembang emosi atau perasaan-

perasaan dan dorongan-dorongan baru yang belum pernah dialami

sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan

lebih intim dengan lawan jenis (Syamsu, 2002: 197). Tidak semua remaja

mengalami masa “badai dan tekanan”, namun benar juga bila sebagian besar

remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi

dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial baru

(Hurlock, 1980: 213).

Perubahan yang terjadi pada remaja adalah dalam hal sikap dan perilaku

sosial yang paling menonjol terjadi di bidang hubungan heteroseksual.

Waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak

menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari

lawan jenisnya daripada teman sejenis (Hurlock, 1980: 214). Masa ini

berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang

lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik

menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya.

Pemahaman ini mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang

lebih akrab dengan mereka (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan

persahabatan maupun percintaan (pacaran) (Syamsu, 2002: 198).

Menurut Boyke Dian Nugraha (dalam Syarbini, 2011: 4)

mengemukakan bahwa masa remaja ditandai dengan perubahan fisik secara

9
cepat, ketertarikan pada lawan jenis dan keinginan untuk memberontak.

Masa remaja adalah masa pubertas dimana terjadi perubahan-perubahan

yang pesat secara fisik maupun mental. Banyak hal yang terjadi pada masa

transisi remaja dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Suatu proses masa

yang semua anak manusia telah, sedang dan akan terjadi dalam sebuah

proses tumbuh kembang remaja. Salah satu hal yang menarik dan terjadi

dalam dunia remaja adalah trend pacaran yang digemari sebagian remaja

walau tidak sedikit juga orang dewasa gemar melakukannya.

B. Pacaran

Cinta merupakan kata yang indah, pendek, dan mudah diucapkan,

namun gemanya bisa terngiang selamanya. Jatuh cinta di kalangan remaja

merupakan hal yang manusiawi karena manusia selalu membentuk

hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan sosial ini akan meningkat

seiring dengan pertambahan usia manusia. Interaksi dengan orang lain

dalam hal ini hubungan sosial terdapat perubahan yang dramatis.

Pacaran dimulai pada masa remaja dimana terjadi perubahan radikal dari

yang tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai serta ingin

diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenisnya. (Adawiyah. 2004:

74). Aktualisasi rasa cinta dan saling memiliki oleh seseorang yang dicintai,

untuk mendapatkan perhatian dan penghargaan orang lain tercermin dari

perilaku-perilaku orang tersebut. Seperti berpegangan tangan atau

merangkul di tempat umum, seolah menunjukkan bahwa keduanya tidak

akan terpisahkan.

10
Pada sebagian remaja menganggap bahwa pacaran itu kebutuhan mutlak

yang harus segera dipenuhi, jika tidak terpenuhi membuat para pelakunya

tidak semangat melakukan aktivitas apapun. Mulai banyak terjadi hal-hal

yang negatif dikalangan remaja akibat menganut budaya pacaran. Banyak

remaja yang terpengaruh oleh budaya westernisasi (budaya kebarat-

baratan). Perubahan kemudian dijadikan kambing hitam, kebobrokan moral

dianggap zamannya dan pacaran itu trend, jika tidak pacaran dikatakan

kuper (kurang pergaulan).

Menurut Irawan (dalam Luqman, 2014: 262) setelah melewati masa

pacaran, sebagaian besar para remaja juga banyak yang mengalami putus

pacaran. Kesan pertama yang diambil dari seseorang yang putus pacaran

adalah kesedihan yang mendalam. Sangat bertolak belakang dengan saat

berpacaran, lesu, tidak bergairah, dan tentunya tanpa semangat. Keceriaan

hilang berganti dengan kemurungan. Perasaan gembira seketika berubah

menjadi keluhan yang tidak terucapkan, tidak ketinggalan air mata bahagia

menjadi berubah menjadi deraian air mata kesedihan. Dunia serasa runtuh

dan tidak ada lagi denyut kehidupan. Hidup terasa hampa. Hari-hari terasa

begitu lambat dan berat untuk dilewati, apa saja yang dilakukan salah. Ada

perasaan bahwa ia adalah orang yang tidak beruntung, emosinya menjadi

tinggi, dan juga ada yang sampai pada tingkat depresi.

Hal ini bisa sangat fatal apabila terjadi pada remaja, karena dalam

pikiran mereka kejadian tersebut adalah akhir dari kehidupan yang menjadi

sangat kesepian dan juga menarik diri dari pergaulannya. Biasanya remaja

11
yang merasa hidupnya tidak bermakna lagi tanpa seorang kekasih,

merupakan pikiran remaja yang irrasional. Mereka cepat sekali mengalami

stress, depresi, pendiam, frustasi, mengasihani diri sendiri dan bahkan

mengakibatkan munculnya perilaku negatif. Di dalam Pendekatan Rasional

Emotif Terapi, gangguan yang dialami oleh manusia misalnya frustasi,

stress, rasa kasihan pada diri sendiri, dan lain-lain merupakan manifestasi

dari pemikiran yang irrasional. Datangnya cinta itu sendiri dapat dilihat dari

beberapa sudut pandang berikut:

1. Neurobiologi

Orang yang sedang jatuh cinta bisa mengalami mood swing

(perubahan suasana hati yang relatif cepat). Terkadang kita senang, lalu

tiba-tiba berubah menjadi khawatir, bingung tanpa alasan, susah tidur,

jantung berdetak lebih cepat, mendadak tidak nafsu makan, dan

biasanya seolah punya "dunia sendiri". Berdasarkan beberapa ciri-ciri

yang muncul itulah, para pakar neurobiologi merumuskan bahwa ketika

dua orang sedang jatuh cinta, pusat rasa senang di otak mereka akan

aktif. Aktivasi tersebut menyebabkan lepasnya beberapa hormon seperti

dopamine, pheromones, dan serotonin. Hormon-hormon itulah yang

secara langsung bertanggung jawab atas munculnya perasaan gembira,

peningkatan detak jantung. kesulitan tidur, dan hilangnya nafsu makan.

Secara terperinci, inilah peran masing-masing hormon tersebut:

• Dopamine

12
Hormon inilah yang membuat orang yang sedang jatuh cinta

terlihat lebih ceria. Biasa- nya ia akan lebih sering tersenyum dan

memikirkan hal yang indah-indah.

• Pheromones

Hormon ini sama persis dengan hormon yang diproduksi oleh

ratu lebah untuk mengenali lebah yang berasal dari kawanannya.

Artinya, ketika menyukai seseorang, tubuh kita secara otomatis

mengeluarkan aroma tertentu. Kalau orang yang kita sukai merasa

cocok dengan aroma tersebut, maka cinta kita pun mungkin saling

berbalas.

• Serotonin

Hormon ini menimbulkan perasaan senang dan mood yang baik.

Mengonsumsi cokelat dalam jumlah tertentu dapat memicu

pelepasan hormon serotonin di otak.

Di samping ketiga hormon tersebut, ada beberapa hormon lain yang

dipercaya juga berperan penting dalam proses cinta, yaitu:

• Phenilethylamine (PEA)

Hormon ini menyebabkan peningkatan suhu tubuh, gula,

tekanan darah, denyut jantung, dan produksi keringat di tangan.

• Oxytocin

Hormon ini membuat seseorang merasa ingin dipeluk atau

dicium oleh pasangannya. Hormon ini sangat berpengaruh dalam

13
mempererat hubungan antara dua individu secara umum tidak hanya

antara laki-laki dan perempuan saja. Oxytocin juga ditemukan dalam

hubungan antara ibu dan bayinya, serta antara orang tua dan anak

• Vasopressine

Hormon ini adalah pengatur perilaku sosial yang bersifat gentle,

misalnya agresivitas, keramahan, perhatian, tanggung jawab, dan

kedewasaan.

• Norepinephrine

Hormon pemicu semangat ini mendorong aliran darah mengalir

lebih cepat, sehingga tubuh terasa lebih berenergi dan bahagia.

2. Antropologi

Kebutuhan untuk dicintai merupakan hal mendasar yang menurut

Dr. Helen Fisher harus dipenuhi dengan cara yang berbeda dengan

kebutuhan dasar manusia lainnya (rasa lapar, haus, kehangatan, dan

kebutuhan untuk tidur). Pakar antropologi yang meneliti secara

ekstensif tentang evolusi cinta mengatakan bahwa cinta merupakan

"fenomena alami". Menurut teori "Four Years Itch" dari Dr. Fisher,

dikemukakan bahwa gejolak cinta manusia yang meluap-luap tidak jauh

beda dengan reaksi kimia yang hanya memiliki "daya tahan" empat

tahun saja, lalu hancur. Seperti halnya sebuah reaksi kimia, begitu

hancur, wujudnya pun enggak akan kembali seperti semula. Menurut Dr

Fisher, hal inilah yang menjadi salah satu penyebab maraknya kasus

perceraian saat usia perkawinan mencapai empat tahun. Kalaupun masa

14
empat tahun itu berhasil dilalui, kemungkinan besar itu berkat kehadiran

anak.

3. Psikologi

Dalam dunia psikologi, cinta merupakan suatu hal yang masih

abstrak untuk dipelajari. Salah seorang pakar psikologi, Robert

Sternberg berusaha menjabarkan cinta dalam konteks hubungan antara

dua orang. Menurut Sternberg, cinta adalah sebuah kisah yang ditulis

oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat, dan

perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Kisah setiap orang berasal

dari “skenario" yang sudah dikenalnya lebih dulu, entah itu dari orang

tua, pengalaman, cerita, dan sebagainya. Kisah ini biasanya

memengaruhi sikap dan tindakan seseorang dalam sebuah hubungan.

Sementara menurut psikolog asal Beijing, Diane Lie, meskipun

urusan cinta dapat dijelaskan secara kimia (seperti pendapat Dr. Fisher),

proses jatuh cinta itu tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh hormon

dengan berbagai reaksi kimianya. Tidak selalu berarti kadar hormon

yang berkurang menyebabkan berkurangnya getaran cinta. Hormon

memang punya pengaruh khusus, tapi tetap ada faktor lain yang ikut

memengaruhi kadar cinta seseorang. Misalnya, dalam hal pernikahan,

faktor sosial juga menjadi faktor penentu hubungan cinta seseorang.

Pada dasarnya, manusia memang merupakan makhluk yang paling

kompleks. Jika reaksi kimia ini terjadi pada hewan, barulah teori

rendahnya daya tahan hormon, terutama phenilethylamine (yang hanya

15
sanggup bertahan empat tahun) ini dapat dipercaya. Lie meyakini ada

unsur lain yang ikut berkontribusi dalam suatu hubungan cinta, seperti

persahabatan dan kasih sayang. Kedua unsur tersebut pada akhirnya bisa

mempertahankan keutuhan hubungan saat cinta (mungkin) mulai

menipis-mungkin karena kejenuhan atau rutinitas- setelah beberapa

waktu.

C. Menjaga Keseimbangan Hubungan Pacaran

Jika pasangan kita adalah orang yang baik, maka ia bisa menjadi

penyemangat dan mungkin bisa meningkatkan prestasi kita melalui

dukungannya. Sebaliknya, jika si pacar memiliki perilaku yang buruk, maka

ia akan memberi pengaruh buruk bagi kita. Tentu saja itu akan mengganggu,

bahkan mungkin menjatuhkan prestasi. Beberapa faktor penting yang

sebaiknya diperhatikan saat sudah memiliki pacar adalah sebagai berikut:

1. Waspada terhadap sifat pacar dalam suatu hubungan

Penting untuk mengenali dan memahami karakter pacar. Hal ini

berguna untuk mengantisipasi berbagai kejadian yang tidak diinginkan.

Contohnya, kita tahu pacar kita termasuk orang yang gampang

terpengaruh oleh lingkungan atau situasi tertentu, maka sebisa mungkin

kita sebaiknya menghindari lingkungan yang mungkin membawa

pengaruh negatif padanya dan pada kita, antara lain dengan tidak

mengajaknya berkencan di tempat yang sepi atau terlalu romantis.

Dengan demikian kita sudah beru-saha mencegah satu kemungkinan

negatif yang bisa terjadi antara kita dan pacar.

16
Pada kasus yang lain, misalnya saja kita tahu pacar kita itu memiliki

sifat yang gampang cemburu. Jika rasa cemburunya tidak berlebihan,

kita sebaiknya menghormatinya dengan tidak melakukan tindakan yang

bisa membuatnya cemburu. Misalnya, jaga perasaannya dengan tidak

sembarangan melontarkan kata-kata manis pada teman (lawan jenis)

yang lain. Intinya, penting untuk saling memahami di antara pasangan.

Meski untuk beberapa kasus tertentu, kita juga wajib menentukan

batasan sejauh mana sifat pacar boleh ditolerir. Jika sifatnya sudah

mengganggu dan merugikan kita, sebaiknya kita lebih mendahulukan

kenyamanan diri sendiri. Dengan adanya rasa saling pengertian, kita

juga bisa mencegah stres dalam suatu hubungan.

2. Stabilitas emosi

Masa perkembangan jiwa pada remaja ditandai dengan labilitas

emosi yang tinggi. Dr. Sawitri menyebutkan pada masa transisi ini,

remaja merasa kurang nyaman dengan kondisi psikologis dan

lingkungan di mana ia hidup. Tidak aneh bila remaja sering mengalami

konflik dan kurang nyaman berinteraksi dengan anggota keluarganya

sendiri. Labilitas emosi pada masa remaja pun menjadikan remaja

mudah dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya.

Menurut Dr. Sawitri, labilitas emosi ini juga sangat dipengaruhi oleh

tontonan kita sehari-hari. Tidak heran jika seorang teman kita yang hobi

menonton film drama akan lebih sensitif menanggapi kejadian yang

menimpanya atau teman kita yang hobi menonton film action akan lebih

17
mendahulukan penyelesaian masalah melalui kekerasan. Jika kita

termasuk orang yang kurang mampu mengendalikan emosi atau

cenderung berpikir menggunakan emosi ketimbang rasio, maka setiap

aktivitas atau keputusan yang kita ambil cenderung terburu-buru tanpa

mempertimbangkan baik- buruknya di masa yang akan datang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa emosi kita mengalami up and down.

Saat sedang down, sebaiknya kita menjaga jarak dengan orang lain,

pastinya didahului dengan pemberitahuan yang baik. Misalnya, saat kita

sedang bertengkar dengan pacar, jangan lantas melampiaskannya

kepada orang lain.

3. Rasa tanggung jawab

Kita juga bertanggung jawab dalam mengatur hubungan kita dan

pacar di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat. Contohnya, demi

kepentingan bersama, kita sebaiknya tidak membiarkan pacar

mengunjungi kita sampai larut malam. Meskipun kita dan pacar tidak

melakukan hal yang buruk, kondisi ini bisa memicu penilaian negatif

dari tetangga sekitar. Oleh karena itu, kita harus menjalin hubungan baik

dengan tetangga dan menjaga nama baik keluarga kita di masyarakat.

D. Ciri-Ciri Toxic Relationship yang Perlu Diwaspadai

1. Tidak pernah merasa cukup

Menurut ahli, dalam hubungan asmara yang sehat, kedua belah

pihak seharusnya saling menyayangi, mendukung, menghormati, dan

menerima satu sama lain. Namun, ciri-ciri toxic relationship justru

18
kebalikannya. Pasangan yang toxic akan membuat kita selalu merasa

menjadi seorang manusia serba kekurangan. Kita selalu dibuat merasa

seolah tidak cukup rupawan, tidak cukup baik, tidak cukup mengayomi,

tidak cukup pintar, dan tidak cukup layak untuk bersanding dengannya.

Jika terus-terusan diperlakukan seperti ini akan membuat kita merasa

semua yang kita lakukan selalu salah dan selalu merasa perlu

membuktikan kontribusi kita agar akhirnya diakui oleh pasangan.

19
2. Susah menjadi diri sendiri

Tidak bisa menjadi diri sendiri bisa dibilang adalah ciri-ciri yang

paling khas dari toxic relationship dan masih ada hubungannya dengan

poin di atas. Usaha mati-matian yang kita lakukan demi "menyamakan

level" dengan pasangan dapat membuat kita rela berubah menjadi orang

lain. Hal ini semata-mata dilakukan agar si pacar dapat mengakui

keberadaan kita di sisinya. Misalnya, sebelum menjalin hubungan

dengan si pacar, kita sebetulnya adalah orang yang humoris dan

menggemari musik K-pop. Namun, pasangan kita menganggap semua

karakter itu adalah hal yang kekanak-kanakan dan tidak pantas lagi di

usia dewasa ini. Oleh sebab itu, demi menyenangkan hati si pasangan

dan membuatnya menganggap kita adalah orang yang ideal, maka kita

rela meninggalkan apa yang kita sukai selama ini. Kita juga merasa

harus selalu memerhatikan apa yang kita lakukan dan ucapkan karena

merasa takut jika nanti akan melakukan kesalahan.

3. Direndahkan

20
Ciri-ciri lain yang bisa membantu menyadari bahwa kita sedang

terjebak dalam toxic relationship adalah setiap kali kita merasa

direndahkan. Contohnya, hal yang paling sederhana dan langsung bisa

kita amati adalah dari komentar-komentar yang ia lontarkan. Mungkin

ia pernah berkata "Masa gitu doang kamu nggak bisa sih?" Ini terjadi

ketika kita kesulitan untuk mengerjakan sesuatu yang awam bagi kita

sendiri. Selanjutnya, ia mungkin merendahkan penampilan kita

misalnya, "Kamu tuh nggak pantes deh pakai baju yang kayak gitu"

Pasangan yang merendahkan juga akan membuat kita senantiasa

merasa enggan untuk berpendapat atau menyampaikan sesuatu karena

takut diremehkan dan menghadapi reaksi negatif darinya. Selain itu,

mulailah cari jalan keluar ketika ia memanggil kita dengan kata-kata

yang tidak pantas. Itu bukanlah panggilan sayang, melainkan pertanda

ia tidak menganggap kita sebagai pihak yang sejajar dalam hubungan

asmara tersebut.

4. Selalu dijadikan kambing hitam

21
Ketika ada konflik, kita selalu merasa sebagai sumber masalah.

Bukannya saling bekerja sama dan mencari solusi, pasangan justru tidak

pernah mau mengakui kesalahannya dan terus menerus menyalahkan

kita dengan berbagai cara. Padahal kita sebetulnya yakin dan tahu pasti

itu bukan kesalahan kita. Namun, cara-caranya untuk memanipulasi dan

menempatkan kesalahan pada kita justru membuat keyakinan kita

tersebut goyah dan ikut terpengaruh olehnya. Hubungan ini tentu akan

sangat merugikan mental kita. Pasalnya, kita akan selalu berusaha untuk

mencari tempat dan waktu demi berbaikan dengan pasangan.

5. Terisolasi dari dunia luar

Posesif sering dianggap sebagai tanda cinta. Namun, kenyataannya

tidak. Pasangan yang posesif dan terlalu suka mengatur akan berusaha

sekeras mungkin untuk mengucilkan kita dari keluarga atau teman

dekat. Rasa tidak aman atau tidak nyaman yang mereka alami di

lingkungan rumah, lantas membuat mereka berpikir bahwa orang lain

akan bersikap sama seperti keluarganya. Perasaan negatif seperti ini lah

yang membuat individu sulit bergaul, sering diliputi kecurigaan

berlebihan terhadap lingkungan. Saat akhirnya mendapatkan

kepercayaan (sesuatu yang jarang mereka rasakan selama ini) dari pacar

atau teman, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk

mempertahankannya.

22
Sikap yang berlebihan ini bisa mendorong seseorang menjadi

pribadi yang posesif. Pastinya setiap kali mau beraktivitas, kita mesti

memberikan laporan lengkap, mulai dari akan pergi ke acara apa, pergi

dengan siapa, pulang jam berapa, hingga membatasi apa-apa saja yang

boleh dan tidak boleh kita lakukan, dan sebagainya. Belum lagi

ditambah dengan telepon/sms yang setiap waktu memantau keberadaan

kita. Tentu kita merasa risih dengan sikap pasagan yang seperti ini.

Akibatnya, kita tidak lagi merasa nyaman dan bebas untuk bersosialisasi

dengan siapapun orang yang ditemui selain pasangan. Jika hal ini sudah

mulai terjadi dan Anda sudah mulai merasa terisolasi, baiknya segera

cari cara untuk melepaskan diri dari jeratan si pasangan.

Akan tetapi, solusi dari masalah ini adalah kita cukup memberikan

pengertian padanya betapa pentingnya memiliki kegiatan pribadi meski

sudah berstatus pacaran. Untuk mencegah sikap posesifnya berlanjut,

kenalkan saja pacar pada beberapa teman terdekat yang sering jalan

bareng kita. Jika perlu, sesekali ajak pacar double date bersama teman-

teman kita. Dengan begitu, ia tidak akan merasa ditinggalkan.

23
Sedikit demi sedikit, kepercayaannya pada kita akan terbangun

karena sebenarnya ia tetap menjadi bagian dalam hidup kita meskipun

kita tidak selalu bersamanya setiap saat. Jika semua cara sudah ditempuh

tapi pasangan kita tidak juga berubah, tetap posesif dan over-protektif,

maka menurut saya, lebih baik meninggalkan pacar tersebut daripada

membuat kita lelah dengan sikapnya, apalagi menimbang status yang

masih berpacaran rasanya akan berlebihan jika kita mempertahankan

hubungan yang seperti itu.

6. Selalu dicemburui tanpa alasan

Cemburu bisa dibilang tanda kasih sayang. Cemburu menandakan

pasangan peduli dengan kita. Akan tetapi, tentu tidaklah tepat jika rasa

cemburu ditunjukkan berlebihan, tidak masuk akal, dan secara terus-

menerus. Saat pasangan selalu menanyakan posisi kita dan marah jika

kita tidak segera menjawab pesan singkatnya, sebaiknya kita mulai

mempertimbangkan keluar dari hubungan yang toxic ini. Rasa cemburu

yang muncul pun biasanya tidak hanya berkaitan dengan hubungan

pasangan dengan orang lain, tetapi juga yang menyangkut karir hingga

penghasilan.

24
Cemburu sebenarnya dapat terjadi pada hubungan pertemanan

ataupun hubungan percintaan. Di dalam hubungan pertemanan kita

biasanya lebih membebaskan temannya untuk berhubungan dengan

orang lain dibandingkan dengan membebaskan pasangan. Sehingga bila

pasangan terlibat hubungan dengan orang lain, kita lebih

mempersepsikan adanya ancaman dalam hubungan dengan pacar

dibandingkan dengan teman (Brehm, 1992). Dengan kata lain, kita akan

lebih cemburu dalam hubungan percintaan dibandingkan dalam

hubungan pertemanan. Cemburu di dalam hubungan percintaan ini

disebut sebagai romantic jealousy (Bringle, 1991).

Tingkat cemburu yang rendah dapat menimbulkan dampak yang

positif. Sebaliknya, cemburu yang berlebihan akan mengakibatkan

dampak negatif. Tingkah laku yang didasarkan cemburu sering tidak

beralasan dan terlalu berlebihan untuk situasi yang ada serta dapat

merusak hubungan yang menyenangkan.

25
Individu yang cemburu mengalami beberapa reaksi emosional

seperti takut, kehilangan, cemas, sakit, kemarahan terhadap

pengkhianatan, mudah terluka, kecurigaan, dan putus asa. Cemburu juga

dapat menyebabkan stres. Pada beberapa orang cemburu cenderung

disertai keinginan untuk melukai pihak ketiga, memotivasi untuk

menganiaya pasangan, bunuh diri, bahkan sampai membunuh. Namun,

ada hal positif yang dihasilkan dari cemburu, antara lain:

mempertahankan hubungan dekat dan membuat individu merasakan

cinta yang lebih besar terhadap pasangan sehingga memutuskan untuk

tetap melanjutkan hubungan yang ada.

7. Merasa tidak didukung

Hubungan yang sehat, seharusnya dapat memberikan dampak positif

dalam aspek-aspek kehidupan, termasuk aspek profesional, dan bukan

sebaliknya. Hubungan kita dengan pasangan dapat dibilang toxic

apabila tidak ada rasa saling mendukung satu sama lain untuk mencapai

cita-cita atau tujuannya.

26
Sebagai contoh, ketika kita mengutarakan keinginan untuk pindah

kerja atau naik jabatan di kantor. Pasangan kita mungkin akan

meremehkan dengan mengatakan bahwa kita tidak cukup pantas untuk

memegang jabatan itu dan tidak mampu menanggung beban pekerjaan

baru, meski kita sebetulnya memiliki kapabilitas yang baik.

Menurut Gregory Kushnick, seorang psikolog asal Amerika Serikat,

perkembangan diri dan keinginan pribadi untuk belajar sering dijadikan

objek kecemburuan oleh pasangan karena dipandang sebagai ancaman.

Ia tidak mau dan tidak rela memiliki pasangan yang lebih baik darinya.

8. Buruknya komunikasi

Dalam toxic relationship, konsep saling menghargai tidaklah

berlaku, sehingga saat berkomunikasi satu sama lain atau ada perbedaan

pendapat bukanlah saran dan kritik membangun yang disampaikan,

melainkan sarkasme, kritik tanpa dasar, dan kata-kata kasar yang keluar.

Hal ini kemudian berujung pada enggannya pasangan tersebut untuk

saling berbicara.

9. Kekerasan

Sugarman dan Hotaling (1989; dalam Rollins, 1996:220),

berpendapat bahwa kekerasan dalam pacaran adalah perilaku ataupun

ancaman tindakan kekerasan fisik oleh minimal seorang dari hubungan

dua orang yang belum menikah pada seorang lainnya dalam konteks

proses pacaran. Kekerasan dalam pacaran dapat berbentuk bermacam-

macam, antara lain kekerasan psikologis, kekerasan fisik, kekerasan

27
seksual, dan kekerasan ekonomi. Faktor-faktor yang menyebabkan

beresiko terjadi kekerasan dalam pacaran adalah terutama pada

pendapatan keluarga rendah, rendahnya pendidikan, tingkat stres yang

tinggi, dan lingkungan yang mendukung norma patriaki (Rollins,

1996:221). Kekerasan dalam pacaran termasuk dalam intimate violence,

yang mengikuti satu siklus dimana setiap fase saling berhubungan

dengan fase lainnya. Pola yang berkembang dalam sebuah hubungan

yang dilandasi kekerasan dikemukakan oleh Lenore Walker (1989;

dalam Rollins, 1996: 230-231), yang diistilahkan dengan cycle of

violence, siklus ini terdiri atas tiga fase, yaitu: The Tension Buliding

Phase, The Acute Battering Incident, dan Tranquil Phase (Reda).

Kekerasan muncul akibat dari motif seseorang yang ingin memenuhi

kebutuhan. Misalnya seseorang yang ingin diperhatikan dan disayang.

Namun hal tersebut tidak diperolehdari keluarga ataupun orang tuanya,

maka orang tersebutakan mencari dari orang lain. Oleh sebab itu,

munculah hubungan pacaran. Kemudian hubungan pacaran tersebut

menimbulkan Drive and Incentives. Drive adalah dorongan untuk

bertindak, sedangkan incentives adalah situasi (keadaan) yang

merangsang tingkah laku.

28
E. Pengaruh Toxic Relationship Terhadap Kesehatan Mental

Meski ciri-ciri toxic relationship lebih sering menjerat wanita, tidak

menutup kemungkinan hal yang sama bisa dialami oleh pria. Toxic

relationship dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang.

Semakin lama kita berada dalam hubungan ini, maka makin besar risiko

untuk mengalami stres berat, depresi, dan gangguan kecemasan. Tidak

hanya pada kesehatan mental. Toxic relationship juga tidak baik untuk

kesehatan fisik.

Penelitian Callahan (2003:664; dalam www.sagepub.com), ditemukan

bahwa korban kekerasan dalam pacaran, baik perempuan maupun laki-laki,

akan mengalami lower psychological well-being, termasuk didalamnya

adalah meningkatnya kecemasan, depresi, menurunnya kepercayaan diri

dan kepuasan hidup. Para remaja putri mengalami posttraumatic stress dan

dissociation, sedangkan para remaja putra mengalami kecemasan, depresi

dan posttraumatic stress.

Depresi adalah kondisi emosional yang ditandai oleh adanya kesedihan,

ketakutan, perasaan tak berguna, perasaan bersalah, penarikan dari dari

orang lain, sulit tidur, kehilangan nafsu makan dan seksual, kehilangan

minat dan kesenangan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari

(Davidson & Neale, 1993:225).

29
Depresi dapat dikenali dengan memperhatikan gejala-gejala yang

muncul. Greenberger & Padesky (2004:186) menjelaskan yang termasuk

gejala-gejala depresi, adalah kognitif, perubahan perilaku, fisik dan

emosional. Gejala-gejala kognitif meliputi mencela diri sendiri, tanpa

harapan, keinginan bunuh diri, kesulitan berkonsentrasi, dan negativistis

secara umum. Perubahan perilaku yang terkaita dengan depresi adalah

menarik diri dari orang lain, tidak banyak melakukan aktivitas yang

menyenangkan, dan memiliki kesulitan untuk memulai berbagai macam

aktivitas. Yang termasuk gejala-gejala fisik antara lain meliputi insomnia

(sulit tidur), tidur tidak banyak atau kurang dari biasanya, mudah capek,

makan lebih banyak atau kurang, dan perubahan berat badan. Sedangkan

gejala-gejala emosional meliputi perasaan sedih, jengkel, rasa bersalah, dan

gugup.

Terpengaruhnya kesehatan mental akibat toxic relationship pun akan

berdampak pada sistem kekebalan tubuh. Menahan perasaan, terutama rasa

marah dan kesal, seperti yang banyak dilakukan orang yang berada di

dalam toxic relationship dilaporkan dapat memengaruhi kesehatan jantung

dan pembuluh darah. Individu yang berada di dalam hubungan toxic

memiliki risiko lebih besar terkena penyakit jantung. Hal ini

termasuk serangan jantung yang parah, dibandingkan dengan mereka yang

tidak menjalani hubungan beracun.

30
Toxic relationship umumnya berlangsung hanya seumur jagung.

Namun, bukan berarti keluar dari hubungan ini adalah perkara mudah. Agar

dapat mengatasinya, kita perlu terlebih dahulu mengenali ciri-ciri toxic

relationship yang sedang dialami. Ketika kesadaran telah terbentuk, maka

jalan untuk meninggalkan hubungan beracun tersebut akan semakin

terbuka.

F. Cara Keluar dari Toxic Relationship

Setiap patah hati, kita meninggalkan sebagian dari diri kita dengan orang

lain itu dan kita mungkin tidak akan pernah mendapatkan bagian itu

kembali. Seiring waktu, kekosongan itu akan sembuh dan dapat diisi dengan

kegembiraan, meskipun pengalaman, ingatan, pikiran, emosi, air mata, dan

tawa mungkin selalu ditinggalkan oleh orang-orang masa lalu yang

kehidupan kita telah dibagikan kepadanya.

Inilah pengalaman manusia dan perjalanan untuk menemukan cinta

sejati. Mencintai diri sendiri adalah langkah terpenting dalam suatu

hubungan dan menyadari kapan harus meninggalkan suatu hubungan adalah

yang kedua. Hubungan dapat menghabiskan banyak ruang mental dan

emosional kita dan jika terjadi kesalahan, hal itu dapat menyebabkan rasa

sakit yang tak terukur.

Keluar dari toxic relationship akan membutuhkan waktu dan kesabaran

yang ekstra. Kita juga perlu dukungan dari orang-orang terdekat. Berikut

adalah beberapa hal yang dapat dilakukan:

1. Cari bantuan

31
Orang-orang yang berada dalam hubungan yang beracun

membutuhkan bantuan dari teman, keluarga, dan profesional untuk

berkomitmen pada perubahan. Perubahan adalah proses dan bukan

hanya keputusan. Seseorang terkadang sering kembali ke hubungan

yang beracun, karena sudah merasa akrab dan nyaman. Mereka tidak

mengenal persona lain kecuali diri mereka yang hancur. Inilah sebabnya

pagar dan dinding sering mengelilingi tempat perlindungan wanita.

Orang-orang dalam hubungan yang beracun membutuhkan

rehabilitasi, sebuah proses yang membutuhkan waktu. Temukan teman,

anggota keluarga, atau profesional yang mendukung untuk membantu

melalui proses penyembuhan. Tetapi jika mengalami pelecehan fisik,

verbal, atau seksual dalam suatu hubungan, kita harus segera keluar dan

mencari bantuan.

2. Ekspresikan perasaan

Penting untuk mengungkapkan perasaan kita kepada orang yang

memiliki hubungan beracun dengan kita, baik itu teman, rekan kerja,

anggota keluarga, atau orang penting lainnya. Percakapan ini sering kali

memanas dan disusul oleh emosi. Jika orang lain memiliki temperamen

yang pendek atau sangat emosional, mungkin yang terbaik adalah

menuliskan perasaan kita. Sebaliknya, jika orang tersebut dewasa secara

emosional, percakapan tatap muka yang tepat mungkin yang terbaik.

32
Seperti biasa, penting untuk menyatakan bagaimana perasaan orang

tersebut terhadap kita tanpa menyalahkan. Untuk memulai percakapan

dengan pijakan yang netral, hindari frasa seperti, "Kamu membuatku

merasa ..." Sebaliknya, mulailah dengan sesuatu yang mengekspresikan

emosi diri sendiri. Misalnya, "Saya merasa sangat sedih atau marah saat

mendengar kamu berkata…"

Mengekspresikan apa yang ingin dikatakan dalam catatan, email,

atau bahkan pesan teks dapat memberi orang lain waktu untuk

memikirkan apa yang kita katakan dan merespon. Ingatlah bahwa kita

tidak dapat mengontrol cara orang lain merespon, tetapi kita dapat

mengontrol cara mendekati ekspresi perasaan kita. Mungkin pasangan

kita akan menjadi defensif atau marah dan membuat pilihan untuk

meninggalkan hubungan atau mungkin dia akan mencoba menebus

kesalahan. Terlepas dari tanggapan mereka, mengungkapkan perasaan

adalah langkah penting untuk memperbaiki atau meninggalkan

hubungan.

3. Buat keputusan

33
Setelah kita mengungkapkan perasaan, putuskan apakah hubungan

itu layak untuk diperjuangkan atau mungkin lebih baik tanpa orang ini.

Pikirkan bagaimana tanggapan orang tersebut ketika kita

mengungkapkan perasaan: Apakah pasangan kita bersikap defensif?

Apa pasangan kita menyalahkan kita? Apakah mereka membuat alasan,

atau mengabaikan kita? Ini adalah tanda-tanda bahwa kita harus

meninggalkan hubungan dan memperbaiki diri.

Jika orang tersebut menerima ungkapan kita dan meminta maaf atau

setuju bahwa ada masalah besar dan kebutuhan untuk mencari bantuan,

mungkin hubungan itu layak untuk diperjuangkan. Orang ini mungkin

mendapat manfaat dari pergi ke terapi atau mengambil langkah-langkah

untuk mendapatkan kesadaran diri dan wawasan tentang perilaku toxic-

nya. Penting untuk tidak membiarkan orang tersebut mengulangi

perilaku toxic-nya.

4. Membangun lingkungan positif

34
Jika kita telah membuat keputusan, apakah akan meninggalkan atau

memperbaiki hubungan, penting untuk mengelilingi diri kita dengan

sikap positif dan mempraktikkan perawatan diri. Habiskan waktu

dengan orang-orang yang membuat kita merasa lebih baik, manjakan

diri dengan makanan favorit, pergi ke rumah ibadah, menghabiskan

waktu di luar, atau melakukan apa pun yang membuat kita bahagia.

Mengalami masa-masa sulit dalam suatu hubungan dapat menyebabkan

stress yang tak terhitung. Penting untuk mencoba menggantikan emosi

negatif itu dengan kepositifan.

5. Berpegang teguh terhadap keputusan

Seringkali setelah meninggalkan seseorang, kita mulai

merindukannya. Itu normal dan sangat mudah bagi otak kita untuk

mengingat saat-saat indah dan melupakan bagian buruk dari suatu

hubungan. Kita mungkin tergoda untuk menginginkan orang tersebut

kembali dalam hidup kita, tetapi ingatlah hal ini telah diputuskan setelah

melalui proses yang panjang dan penuh pertimbangan. Tetap berpegang

pada keputusan dan ingat bahwa itu dibuat untuk kita dan hidup yang

lebih baik.

Mungkin akan membantu jika teman, anggota keluarga, atau

profesional mendukung kita untuk tetap bertanggung jawab terhadap

keputusan yang telah diambil. Saat kita merasakan dorongan untuk

membiarkan toxic relationship itu kembali ke dalam hidup kita, maka

lebih baik hubungi orang yang memberi dukungan kepada kita.

35
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pacaran yang tidak sehat, mau tidak mau kita akan terlibat di dalam

kehidupan pacar dan sebaliknya. Keterlibatan emosi dengan pacar sering

kali jadi masalah tersendiri didalam hubungan kita, meskipun masalah yang

lagi dia hadapi tidak berhubungan langsung dengan kita, hawa negatif sudah

terasa dan mungkin tertular hanya dengan melihat muka pacar yang kusut

saat berhadapan dengan kita. Hubungan dapat menghabiskan banyak ruang

mental dan emosional kita dan jika terjadi kesalahan, hal itu dapat

menyebabkan rasa sakit yang tak terukur.

Keluar dari toxic relationship akan membutuhkan waktu dan

kesabaran yang ekstra. Kita juga perlu dukungan dari orang-orang terdekat.

Setelah kita mengungkapkan perasaan, putuskan apakah hubungan itu layak

untuk diperjuangkan atau mungkin lebih baik tanpa orang ini. Jika pasangan

kita bersikap defensif, maka ini adalah tanda-tanda bahwa kita harus

meninggalkan hubungan dan memperbaiki diri.

B. Saran

Jika kita mampu menumbuhkan setidaknya salah satu cara keluar

dari toxic relationship tersebut, maka tidak ada salahnya untuk melanjutkan

hubungan dengan pasangan kita. Sebalikya, jika kita sudah mencoba, tetapi

36
tetap tidak berhasil, sebaiknya kita mempertimbangkannya lagi unuk tetap

menjadikannya seorang pacar.

Solusinya adalah mengakhiri atau berusaha mempertahankan

hubungan sambil pelan-pelan membantu pacar berubah menjadi lebih baik.

Keputusan tersebut harus dipertimbangkan secara matang. Jika kata "putus"

adalah satu-satunya pilihan yang bisa diambil, jangan khawatir. Silahkan

menangis agar dapat merasa lebih lega karena patah hati tersebut.

37
DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, Rob’iah. (2004). Kenapa Harus Pacaran. Bandung: Mizan.

Callahan, Michelle R T, Richard M. & Saunders, D G. (2003). Adolescent Dating

Violence Victimization and Psychological Well-Being. Journal of

Adolescent Research, 18 (6), 664-681. Diakses dari

https://www.researchgate.net

Corey, G. (2013). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: Redika

Adimata.

Davidson, G C. & Neale, J M. (1993). Abnormal Psychology. (sixth ed). New York:

John Wilwy & Sons, Inc

DeGenova, M.K. & Rice, F.P. (2005). Intimate relationships, marriages, and

families. (sixth ed). New York: McGraw-Hill.

Devi, C. N. (2013). Studi Kasus pada Mahasiswa yang pernah melakukan

Kekerasan dalam Pacaran. Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas

Negeri Yogyakarta: Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dwiastuti, I. (2015). Kecenderungan Depresi Pada Individu yang Mengalami

Kekerasan Dalam Pacaran. Jurnal Psikosains. 10 (2), 79-90.

El-Hakim, Luqman. (2014). Fenomena Pacaran Dunia Remaja. Pekan Baru Riau:

Zanafa.

Greenberger, D & Padesky, C A. (2004). Manajemen Pikiran. Bandung: Mizan

38
Hikmah, U. M. Waspada! Toxic Relationship Semakin Meningkat Setiap Tahunnya.

Diakses 24 November 2020, dari http://news.unair.ac.id

Hupka, R.B., dkk. (1985). Romantic Jealousy and Romantic Envy: A Seven-Nation

Study. Journal of Cross-Cultural Psychology. 16, 423-446.

Hurlock, E B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Irma, E. (2015). Penerapan Pendekatan Rasional Emotif Terapi untuk

Meminimalkan Perilaku Pacaran Siswa Kelas XI SMA Hang Tuah Belawan

Tahun Pembelajaran 2014/2015. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara: Medan.

Khalida, P. (2010). Buku Cinta: Agar Kamu Lebih Tahu Apa Itu Cinta. Jakarta

Selatan: Bukune.

Kim, J. (2020, Januari). 5 Signs of a Toxic Relationship. Psychology Today. Diakses

dari https://www.psychologytoday.com

Knox, D., R., Breed, & Zusman, M. (2007). College Men and Jealousy. College

Student Jurnal. 41, 494-498.

Lamothe, C. 38 Signs of a Toxic Relationship and Tips For Fixing It Website.

Diakses 24 November 2020, dari https://www.healthline.com

39
Linda & Bloom, C. (2018, Desember). How to Leave a Toxic Relationship and

Still Love Yourself. Psychology Today. Diakses dari

https://www.psychologytoday.com

Nugraha, N. (1998). Faktor-faktor yang Menimbulkan Kecemburuan Terhadap

Pacar. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia: Depok, Jawa

Barat.

Putri, R. R. (2012). Kekerasan Dalam Pacaran. Skripsi. Fakultas Psikologi.

Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta.

Richardson, C. (2009). Take Time for Your Life. (Kindle ed). New York: Harmony

Books.

Rollins, J H. (1996). Women’s Mind and Women’s Body. New Jersey: Prentice Hall

Santrock. J. W. (2002). Adolescence: Perkembangan Remaja. (edisi keenam).

Jakarta: Erlangga.

Syarbini, Amirulloh, dkk. (2012). Kiat-Kiat Islami Mendidik Akhlak Remaja.

Jakarta: Kompas Gramedia.

Syamsu Y L. (2002). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda

Yulianto, A. (2002). Proses Cemburu dan Strategi Coping Pada Individu Dewasa.

Journal of Personality and Social Psychology. 72 (3), 627-640.

40

Anda mungkin juga menyukai