Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah seseorang adalah masalah yang sangat pribadi dan kadang sulit
untuk diungkapkan. Karena itu, konseling menangani masalah pada diri
seseorang, bersifat pribadi dan rahasia. Untuk menghendaki perlakuan sesuai
dengan berbagai norma yang ada, karena itu di atur melalui kode etik sebagai
dasar dan peggangan untuk melakukan kegiatan ini, apalagi kegiatan yang
sudah menjadi profesi tersendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa itu kode etik dalam konseling ?
2. Sebutkan pelanggaran – pelanggaran kode etik bimbingan dan konseling ?
3. Bagaimana kerahasiaan dalam konseling ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas Psikologi Konseling.
2

BAB II PEMBAHASAN

A. Kode Etik Dalam Konseling

Masalah seseorang adalah masalah yang sangat pribadi dan kadang sulit
untuk diungkapkan. Karena itu, konseling menangani masalah pada diri
seseorang, bersifat pribadi dan rahasia. Untuk menghendaki perlakuan sesuai
dengan berbagai norma yang ada, karena itu di atur melalui kode etik sebagai
dasar dan peggangan untuk melakukan kegiatan ini, apalagi kegiatan yang
sudah menjadi profesi tersendiri.

Untuk menghendaki perlakuan sesuai dengan berbagai norma yang ada,


karena itu di atur melalui kode etik sebagai dasar dan peggangan untuk
melakukan kegiatan ini, apalagi kegiatan yang sudah menjadi profesi
tersendiri. Dasar hukum melakukan kegiatan ini di Amerika sudah diperoleh
pada tahun 1917, dikenal dengan Smith-Hughes Act dan kemudian setahun
berikutnya muncul Vocation Rehabilition Act pada tahun 1954. Pada tahun
1958 lahir bagian lain dari peraturan yang sudah ada yakni National Defence
Education Act (NDEA), pengakuan kegiatan konseling disekolah dasar
diberikan melalui NDEA ini pada tahun 1964, beberapa tahun setelah kode etik
di bentuk melalui American Personnel and Guidance Association (APGA)
pada tahu 1961. Pada tahun 1974 APGA memperbaiki kode etik dan diantara
butir-butir yang penting pada Kode Etik tersebut adalah:

1. Perilaku dengan didasari Kode Etik diharapkan diperlihatkan setiap saat


oleh para professional, baik yang menjadi anggota maupun yang bukan dari
anggota perkumpulan.
2. Tanggung jawab utama dari para anggota adalah menghargai integritas dan
meningkatkan kesejahteraan klien, apakah klien dibantu secara perorangan
atau dalam kelompok.
3. Hubungan yang terjadi dan informasi yang diberikan dalam rangka
konseling harus rahasia,konsisten dengan jawab sebagai anggota, dan
sebagai seorang professional.
3

4. Klien diberitahukan mengenai cara-cara bantuan konseling yang akan


diperolehnya pada saat atau sebelum konseling dimulai.
5. Jika anggota (konselor) tidak bisa memberikan bantuan, ia harus
menolaknya segera merujuk klien kepada ahli lain sesuai dengan
spesialisasinya untuk menangani lebih lanjut.

Menurut Ivey, et al (1987) tujuan utama tanggung jawab etis adalah “do
nothing to harm the client society”. Seorang klien yang datang menjalani
konseling pada hakikatnya adalah seseorang yang tidak berdaya dan mudah
diperlakukan semena-mena oleh konselornya dan karena itulah memerlukan
perlindungan khusus. Ivey mengemukakan beberapa petunjuk singkat untuk
melakukan konseling, mendasarkan pada pasal-pasal pada Kode Etik pada
kedua kedua perkumpulan diatas (AACD dan APA) sebagai berikut:

1. Mempertahakankan Kerhasiaan klien.


2. Memahami akan pembatasan-pembatasan.
3. Hindari pertanyaan-pertanyaan yang rinci dan tidak relevan.
4. Perlakukan klien seperti halnya anda ingin diperlakukan.
5. Ingat akan beda perorangan dan pengaruh latar belakang kebudayaan.

Di Indonesia sendiri kode etik psikologi konseling dan psikoterapis diatur


oleh HIMPSI pada tahun 2010, dalam Pasal 72 Kode Etik Psikologi Indonesia,
meyatakan bahwa seorang konselor atau psikoterpis merupakan individu yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menjalankan konselingataupun


terapi psikologi yang akan dilakukan secara mandiri maupun dalam
supervisi sesuai kaidah pelaksanaankonseling atau terapi.
2. Mengutamakan dasar-dasar profesional ( sikap profesional artinya
mengandalkan pengetahuan ilmiah tentang keberhasilan konseling atau
terapi, bertanggung jawab dan senantiasa mempertahankan dan
meningkatkan derajat kompetensi dalam menjalankan praktik psikologi).
4

3. memberikan jasa konseling atau terapi kepada semua pihak yang


membutuhkan
4. mampu bertanggung jawab untuk menghindari dampak buruk akibat
proses atau terapi yang dilaksanakan.

B. Pelanggaran – pelanggaran Kode Etik Bimbingan dan Konseling


1. Bentuk pelanggaran terhadap konseli
a. Menyebafrkan / membuka rahasiakonseli kepada orang yang tidak terkait
dengan kepentingan konseli
b. Melakukan perbuatan asusila ( pelecehan seksual, penistaan agama,
rasialis ).
c. Melakukan tindakan kekerasan ( fisik dan psikologi ) terhadap konseli.
d. Kesalahan dalam melakukan praktik profesional ( prosedur, teknik,
evaluasi, dan tindak lanjut ).
2. Bentuk pelanggaran terhadap organisasi profesi
a. Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh
organisasi profesi.
b. Mencemarkan nama baik profesi
3. Bentuk pelanggaran terhadap rekan sejawat dan profesi lainya yang terkait
a. Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak
untuk bekerja sama, sikap arogan).
b. Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai
dengan masalah konseli.

C. Kerahasiaan Dalam Konseling

Kerahasiaan sebagai salah satu karakteristik penting dalam konseling


karena itu perlu benar-benar diperhatikan oleh para konselor. Scheinders
(1963) yang di kutip oleh George & Christiani (1981), mengemukakan ada
tujuh dasar umum mengenai kerahasiaan sebagai berikut :
5

1. Tanggung jawab mengenai kerahasiaan ini adalah relative, tidak mutlak


karena ada keadaan-keadaan yang bisa mengubahnya.
2. Kerahasiaan tergantung pada materi asalnya, sehingga materi yang sudah
terbuka di masyarakat tidak terikat kerahasiaanya, sama seperti halnya
sesuatu yang sudah dipercaya sebagai rahasia.
3. Materi yang tidak merugikan tidak mengikat konselor mengenai
kerahasiaannya.
4. Materi yang diperlukan oleh konselor atau pihak lembaga agar berfugsi
efektif acap kali ebas dari ikatan rahasia
5. Kerahasiaan selalu berhubungan dengan hak yang muncul dari dalam diri
klien terhadap integritas, reputasi, dan untuk mencegah dari agresivitas.
Hak-hak seperti ini dapat dipertahankan klien sekalipun berhadapan dengan
hokum.
6. Kerahasiaan juga diabatasi oleh hak-hak dari konselor untuk
mempertahankan reputasi dan integritasnya, untuk mencegah perlakuan
yang tidak wajar atau agresivitas, untuk mempertahankan keleluasaan dalam
berkomunikasi.
7. Kerhasiaan ditentukan dan dibatasi oleh hak-hak dari pihak ketiga yang
jujur dan oleh hak—hak masyarakat.

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai kerhasiaan, Blocher (1966)


mengemukakan tiga tingkatan kerahasiaan :

1. Tingkatan pertama kerahasiaan melibatkan penggunaaan keterangan secara


professional. Setiap konselor bertanggung jawab untuk mempergunakan
keterangan-keterangan tentang klien hanya untuk tujuan professional.
Keterangan ini bukan hanya diperoleh dalam pertemuan dengan konselor,
tetapi meliputi juga keterangan atau faktor tetaang klien yang diketahuinya.
2. Tingkatan kedua kerhasiaan berkaitan dengan keterangan tentang klien yang
muncul diluar hubungan konseling. Dalam hal ini, klien berhak meminta
agar keterangan tersebut dipergunakan demi kesejahteraan mereka. Hal ini
dalam kenyataannya bisa menimbulkan kesulitan dan keragu-raguan yang
6

berhubungan dengan etika, manakala dibutuhkan kerjasama dengan pihak-


pihak atau disiplin lain seperti konselor lain, guru, orang tua, pekerja sosial
dan lain-lain.
3. Tingaktan ketiga kerahasiaan terjadi bilamana klien dengan jelas meolak
berkomunikasi dengan penuh kepercayaan kepada konselor. Dalam hal
seperti ini kalau jelas ada bahaya yang mengancam keselamatannya,
konselor bisa membuat sesuatu keadaan yang menggoncangkan dan
selanjutnya bersama dengan klien menghadapinya agar klien merasa dibantu
dan terciptanya hubungan dengan sifat rahasia. Kunci kegagalan atau
keberhasilan konselor terletak pada kemampuan konselor untuk menyusun
terlebih dahulu tingkatan-tingkatan dari kerahasiaan dengan mana konselor
melakukan kegiatan.

Contoh kasus :

DH seorang gadis berumur 16 tahun dia merupakan siswi kelas II di


sebuah sekolah swasta yang cukup elite. DH gadis yang cukup cantik dikalangan
teman-temannya. Orang tuanya cukup kaya dibanding dengan teman satu
sekolahnya. Gadis ini merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Ayah DH
bekerja di bidang pertambangan, oleh karena tuntutan pekerjaan, ayah DH harus
bekerja sebulan penuh di luar pulau dan kemudian cuti selama 2 minggu
sesudahnya. Ibu DH bekerja sebagai seorang guru SMP di kotanya. Ibu DH
bekerja hingga tengah hari, sering DH dijemput dan pulang bersama Ibunya
mengendarai motor ibunya. Dan kakak laki-laki DH menuntut ilmu di Perguruan
Tinggi di lain kota, dan kakak DH pulang pada saat libur akdemik.

DH mempunyai fasilitas belajar yang lebih. Tidak pernah DH merasa


sangat kekurangan. DH gadis yang sangat disukai di sekolahnya, oleh karena
cantik dan kaya. Namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja. Tidak ada yang
menarik dari DH selain kecantikan, kekayaan, dan sikap mudah bergaul dengan
orang lain.
7

DH seperti halnya remaja pada umumnya, yang masih bersenang-senang


dan belum memikirkan resiko-resiko atas tindakannya. DH mempunyai
handphone dengan fitur canggih dilengkapi kamera dan pemutar video digital.
Dari handphone ini DH sering menonton film biru –porno, yang didapat dari
teman-temannya atau dari internet. Selain itu DH juga sering mengakses film
porno di internet. Seolah DH sudah mulai kecanduan film porno yang digemari
bersama teman-temannya.

DH remaja yang mersakan cinta pertama, dia mempunyai pacar seorang


mahasiswa tingkat awal disebuah perguruan tinggi di kotanya. Oleh cinta
pertama ini DH berani banyak berkorban umtuk hubungannya, dia pernah
melakukan hubungan seksual dengan pacarnya dirumah pacarnya, saat orang
tuanya pergi.

Perubahan banyak terjadi pada DH, DH sering membolos dari sekolah,


dan pacaran dirumahnya yang dalam keadaan sepi, atau ditempat-tempat wisata
yang menyediakan tempat penginapan. Bahkan pada akhir mimggu DH
berbohong pada orang tuanya dengan alasan pergi kerumah teman wanitanya
ternyata pergi bersama pacarnya. DH sudah mulai kecanduan pada hubungan
suami istri.

DH mengalami kemunduran dalam prestasi belajarnya, di kelas sering


melamum, dan terlihat susah konsentrasi. Saat melamun DH tampak kuatir. Dia
lebih sering mencoret-coret buku catatannya , sehingga sering tidak
memperhatikan pelajaran yang diikutinya. Oleh karena itu DH sering
mengerjakan PR saat pagi hari di sekolah dengan meminjam pekerjaan
temannya, juga sering mengerjakan tugas yang diberikan guru.

Suatu saat DH merasa bersalah atas apa yang telah dia lakukan selama
ini. Dia ingin bertaubat dan merubah perilakunya. Dia berinisiatif untuk
melakukan konseling dengan datang kepada seorang konselor dengan harapan
mendapatkan solusi. Namun kenyataannya saat proses konseling DH mendapat
8

perlakuan yang tidak sopan dari konselornya berupa pelecehan seksual.


Konselor tersebut tidak dapat menahan nafsunya ketika melihat kecantikan DH.

Di sini lah letak pelanggaran dalam proses konseling. Seharusnya


konselor menjaga harkat dan martabat klien sekaligus memberikan solusi
terhadap masalah kien. Bukan melakukan pelecehan seksual yang dapat
menambah trauma pada klien tersebut.
9

DAFTAR PUSTAKA

 Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi. Jakarta :

PT. BPK Gunung Mulia, 1996

Anda mungkin juga menyukai