Anda di halaman 1dari 7

ETIKA DALAM KONSELING

Eko Susanto / September 17, 2012


Ditulis Oleh: Wahid Suharmawan
Kode etik merupakan seperangkat aturan atau kaidah kaidah, nilai-nilai
yang mengatur segala perilaku (tindakan dan perbuatan serta perkataan)
suatu profesi atau organisasi bagi para

anggotanya. Kode etik profesi

merupakan salah satu aspek standarisasi profesi BK sebagai kesepakatan


profesional mengenai rujukan etika perilaku. Pekerjaan bimbingan dan
konseling tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang berlaku. Atas dasar nilai yang
dianut oleh Pembimbing/konselor dan terbimbing/klien, maka kegiatan
layanan bimbingan dapat berlangsung dengan arah yang jelas dan atas
keputusan-keputusan

yang

berlandaskan

nilai-nilai.

Para

pembimbing/konselor seyogianya berfikir dan bertindak atas dasar nilai-nilai,


etika pribadi dan profesional, dan prosedur yang legal. Dalam hubungan
inilah para pembimbing/konselor seharusnya memahami dasar-dasar kode
etik bimbingan dan konseling. Etika konseling berarti suatu aturan yang
harus dilakukan oleh seorang konselor dan hak-hak klien yang harus
dilindungi oleh seorang konselor. Ada empat etika yang penting:

1.

Profesional Responsibility. Selama proses konseling berlangsung,

seorang konselor harus bertanggung jawab terhadap kliennya dan dirinya


sendiri.Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Responding fully, artinya konselor harus bertanggung jawab untuk memberi


perhatian penuh terhadap klien selama proses konseling.
Terminating

appropriately.

Kita

harus

bisa

melakukan

terminasi

(menghentikan proses konseling) secara tepat.


Evaluating the relationship. Relasi antara konselor dan klien haruslah relasi
yang terapeutik namun tidak menghilangkan yang personal. Counselors
responsibility

to

themselves.

Konselor

harus

dapat

membangun

kehidupannya sendiri secara sehat sehingga ia sehat secara spiritual,


emosional dan fisikal.
2. Confidentiality. Konselor harus menjaga kerahasiaan klien.
Ada beberapa hal yang perlu penjelasan dalam etika ini, yaitu yang
dinamakan previleged communication.Artinya konselor secara hukum tidak
dapat dipaksa untuk membuka percakapannya dengan klien, namun untuk
kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan, hal seperti ini bisa bertentangan
aturan dari etika itu sendiri. Dengan demikian tidak ada kerahasiaan yang
absolute.
3. Conveying Relevant Information to The Person In Counseling.
Maksudnya klien berhak mendapatkan informasi mengenai konseling yang
akan mereka jalani. Informasi tersebut adalah:
Counselor qualifications: konselor harus memberikan informasi tentang
kualifikasi atau keahlian yang ia miliki.
Counseling consequences : konselor harus memberikan informasi tentang
hasil yang dicapai dalam konseling dan efek samping dari konseling

Time involved in counseling: konselor harus memberikan informasi kepada


klien berapa lama proses konseling yang akan dijalani oleh klien. Konselor
harus

bisa

memprediksikan

setiap

kasus

membutuhkan

berapa

kali

pertemuan. Misalnya konselor dan klien bertemu seminggu sekali selama 15


kali, kemudian sebulan sekali, dan setahun sekali.
Alternative to counseling: konselor harus memberikan informasi kepada klien
bahwa konseling bukanlah satu-satunya jalan untuk sembuh, ada faktor lain
yang berperan dalam penyembuhan, misalnya: motivasi klien, natur dari
problem, dll.
4. The Counselor Influence. Konselor mempunyai pengaruh yang besar
dalam relasi konseling, sehingga ada beberapa hal yang perlu konselor
waspadai yang akan mempengaruhi proses konseling dan mengurangi
efektifitas konseling. Hal-hal tersebut adalah:

The counselor needs : kebutuhan-kebutuhan pribadi seorang konselor


perlu dikenali dan diwaspadai supaya tidak mengganggu efektifitas
konseling.

Authority: pengalaman konselor dengan figur otoritas juga perlu


diwaspadai karena akan mempengaruhi proses konseling jika kliennya
juga figur otoritas.

Sexuality: konselor yang mempunyai masalah seksualitas yang belum


terselesaikan akan mempengaruhi pemilihan klien, terjadinya bias
dalam konseling, dan resistance atau negative transference.

The counselor `s moral and religius values: nilai moral dan religius
yang dimiliki konselor akan mempengaruhi persepsi konselor terhadap
klien yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ia pegang.

Konseling merupakan proses bantuan yang sifatnya profesional. Setiap


pekerjaan yang sifatnya profesional tentu memiliki seperangkat aturan atau
pedoman yang mengatur arah dan gerak dari pekerjaan profesi tersebut. Hal
ini sering disebut etika. Konselor sebagai pelaksana dari pekerjaan konseling
juga terikat dengan etika. Etika merupakan standard tingkah laku seseorang,
atau sekelompok orang yang didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Ada
beberapa aspek dalam membahas etika konseling antara lain:

Aspek kesukarelaan

Aspek Kerahasiaan

Aspek Keputusan Oleh Klien Sendiri

Aspek Sosial Budaya

Hubungan konselor dan klien adalah hubungan yang menyembuhkan.


Sekalipun profesional, kita tidak boleh menghilangkan relasi personal,
misalnya berelasi sebagai teman. Kita harus mengetahui batasnya. Jika relasi
kita sebatas personal, kita hanya menjadi pendengar curahan hati. Relasi
antara konselor dan klien tidak boleh terlalu personal yang menjadikan klien
over dependent, atau terjadi relasi yang saling memanfaatkan. Jika
demikian, mengingat konselor adalah penanggungjawabnya, ia harus
menghentikan proses konseling itu. Konselor sebaiknya berhati-hati juga
ketika menyikapi hubungan pribadi dengan klien. Kedekatan yang berlebihan

dengan klien sering menjadikan dia sangat bergantung kepada kita. Oleh
sebab itu, kita harus bisa menjaga jarak. Kita harus mengetahui tanda-tanda
klien mulai bergantung kepada kita. Jika itu sudah terjadi, kita bisa tidak
objektif lagi. Kita akan kesulitan dalam melihat masalah klien dan
merefleksikan perasaannya ketika relasi tersebut sudah menjadi terlalu
personal. Jadi, relasi yang dibangun di antara konselor dan klien haruslah
bersifat terapeutik.
Karakteristik Terapis yang Efektif

Beritikad baik: prihatin terhadap keadaan orang lain dan bersedia


membantunya (termasuk memperhadapkan dia dengan hal-hal yang
belum disadarinya).

Bersedia dan dapat hadir bersama klien dalam pengalaman hidupnya,


entah suka maupun duka

Menyadari dan menerima kelebihannya bukan dengan maksud untuk


menguasai atau mendominasi orang lain atau mengecilkan orang lain.

Menggunakan metode dan gaya berkonseling yang sesuai dengan


kepribadiannya sendiri.

Bersedia menanggung risiko, rela menjadi contoh, dalam hal ini bagi
kliennya. Bersedia disentuh secara emosional dan menyampaikannya
kepada klien pada saat itu diperlukan.

Menghargai diri sendiri sehingga mampu berhubungan dengan orang


lain. Menggunakan kelebihannya dalam hal berhubungan dengan
orang lain.

Bersedia menjadi contoh bagi klien dan tidak menuntut klien


melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak mampu lakukan. Dituntut
kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan mengoreksi diri sendiri.

Berani mengambil risiko untuk membuat kekeliruan dan berani


mengakuinya pula. Bersedia belajar dari kekeliruan itu tanpa mencela
diri sendiri.

Berorientasi pada pertumbuhan: tidak menganggap diri telah

Corey (2009) menjelaskan beberapa bahasan penting dalam etika konseling,


diantaranya:

Etika dalam menggunakan tape recorder dalam proses wawancara.


Beberapa konselor kadang tidak menggunakan tape recorder karena
befikiran akan menimbulkan ketidakpercayaan dan ketidaknyamanan
pada klien. Hasil rekaman wawancara yang dihasikan dapat membantu
klien dalam menurunkan sedikit kecemasan yang dialaminya.

Adanya kecenderungan pihak tertentu untuk lebih mengutamakan


perlindungan hukum terhadap klien dibanding berusaha secara baik
untuk membantu mereka melewati krisis. Pada poin ini sebetulnya
menegaskan bahwa sebaiknya konselor mengkomunikasikan batasabatasan proses konseling, sehingga klien dapat memutuskan sejauh
mana informasi yang akan diberikan.

Proses konseling yang dijalani oleh klien sebaiknya dilakukan karena


kemauan klien itu sendiri, tanpa ada unsur perintah ataupun paksaan.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh konselor agar klien

bersedia bekerjasama dengan baik dalam proses konseling yakni


menghadirkan kemungkinan-kemungkinan kepada klien akan sesuatu
yang akan dicapai dalam konseling.
Sumber;
Corey, G. 2009. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. PT. Refika
Aditama: Bandung.
http://konselorindonesia.blogspot.com/2012/04/etika-dalam-konseling.html

Anda mungkin juga menyukai