Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KONSELING KELUARGA

“KONFLIK DALAM KELUARGA”


Dosen Pengampu :Dra. Nur Arjani, M.Pd

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2

1. RAHMAD FIRMANSYAH (1173151037)


2. RIRA TAHNIA (1173151038)
3. RIZKI YULINDA NUR (1173151040)
4. KRISTIANA BR. JINABUN (1173351027)

KELAS : BK REGULAR C’17

PENDIDIKAN PSIKOLOGI DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

TAHUN AJARAN:2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang MahaEsa karena atas rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih ada kekurangan, baik dari segi isi, penulisan maupun
kata-kata yang digunakan. Oleh karena itu kami mengharapkan segala kritik dan saran yang
bersifat membangun guna perbaikan makalah ini selanjutnya,
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada ibu dosen Dra. Nur Arjani, M.Pd
sebagai pengampu matakualiah konseling keluraga, serta semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Karena tanpa bantuan dari mereka makalah ini tak akan dapat
kami selesaikan dengan baik. Semoga materi yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca sekalian.

Medan 28 September 2020

Penulis
DAFTARISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................        
DAFTAR ISI ..................................................................................................................       
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................       
A.    Latar Belakang..........................................................................................................       
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................................       
C.     Tujuan.......................................................................................................................       
D.    Manfaat......................................................................................................................       
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................       
BAB III PENUTUP .......................................................................................................     
A.    Kesimpulan................................................................................................................    
B.     Saran..........................................................................................................................     
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................    
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latarbelakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan sangat
besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Sebagai
unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala
rumah tangga sebagai tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga disamping
beberapa anggota keluarga lainnya.

Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan suatu kesatuan yang
kuat apabila terdapat hubungan baik antara ayah-ibu, ayah-anak dan ibu-anak. Hubungan baik ini
ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam
keluarga. Interaksi antar pribadi yang terjadi dalam keluarga ini ternyata berpengaruh
terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia(disharmonis) pada salah seorang atau
beberapa anggota keluarga lainnya. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga
merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas
terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi atau aktualisasi diri) yang
meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial seluruh anggota keluarga.

Apabila konflik dapat diselesaikan secara sehat maka masing-masing pasangan


(suami-istri) akan mendapatkan pelajaran yang berharga, menyadari dan mengerti perasaan,
kepribadian, gaya hidup dan pengendalian emosi pasangannya sehingga dapat mewujudkan
kebahagiaan keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing
pihak baik suami atau istri tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari
akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan melalui komunikasidan
kebersamaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian konflik ?
2. Bagaiamana karakteristik konflik keluarga ?
3. Apa saja macam-macam konflik dalam keluarga ?
4. Apa itu resolusi konflik
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian konflik
2. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik konflik keluarga
3. Untuk mengetahui apa saja macam-macam konflik dalam keluarga
4. Untuk mengetahui resolusi konflik
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Konflik

Secara bahasa konflik identik dengan percekcokan, perselisihan dan pertengkaran (Kamus
Bhs. Indonesia, 2005).

Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya
keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak
secara berterusan.

Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama,


hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing –
masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak
bekerja sama satu sama lain.

Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses social antara dua orang ataulebih
(bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

2. Karakteristik Konfik Keluarga

Keluarga merupakan salah satu unit sosial yang mana hubungan antar anggotanya
terdapat saling ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu, konflik dalam keluarga
merupakan suatu keniscayaan. Konflik di dalam keluarga dapat terjadi karena adanya
perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota keluarga. Prevalensi konflik dalam
keluarga berturut-turut adalah konflik sibling,konflik orang tua-anak dan konflik pasangan
( Sillars dkk, 2004). Walaupun demikian, jenis konflik yang lainpun juga dapat muncul,
misalnya antara menantu dan mertua, dengan saudara ipar, dengan paman, dengan bibi atau
bahkan dengan sesama ipar/sesame menantu. Faktor yang membedakan konflik di
dalamkeluarga dengan kelompok sosial yang lain adalah karakteristik hubungan didalam
keluarga yang menyangkut tiga aspek, yaitu: intensitas, kompleksitas dan durasi (Vuchinich,
2003).
Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis hubungan yang
sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi. Keterikatan antara pasangan , orang
tua-anak, atau sesama saudara berada dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi
maupun komitmen. Ketika masalah yang serius muncul dalam hubungan yang demikian,
perasaan positif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan
negatif yang mendalam juga. Penghianatan terhadap hubungan kasih sayang, berupa
perselingkuhan atau perundungan seksual terhadap anak, dapat menimbulkan kebencian yang
mendalam sedalam cimtayang tumbuh sebelum terjadinya pengkhianatan.

Benci tapi rindu adalah sebuah ungkapan yang mewakili bagaimana pelik atau
kompleksnya hubungan dalam keluarga. Sebagai misal, seorang istri yang sudah mengalami
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan melaporkan suaminya ke polisi, bahkan masih
mau setia mengunjungi suaminya di penjara dengan membawakan makanan kesukaanya, atau
seorang anak yang tetap memilih tinggal dengan orang tua yang melakukan kekerasan
daripada tempat yang lain. Hal ini dikarenakan ikatan emosi yang positip yang telah dibangun
lebih besardaripada penderitaan yang muncul karena konflik.
Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal. Orang tua akan
selalu menjadi orang tua, demikian juga saudara. Tidak ada istilah mantan orang tua atau
mantan saudara. Oleh karena itu, dampak yang dirasakan dari konflik keluarga seringkali
bersifat jangka panjang. Bahkan seandainya konflik dihentikan dengan mengakhiri hubungan
persaudaraan, misalnya berupa perceraian atau lari dari rumah (minggat) sisa-sisa dampak
psikologis dari konflik tetap membekas dan sulit dihilangkan.
Konflik di dalam keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandingkan dengan konflik
dalam konteks sosial yang lain (Sillars dkk, 2004). Misalnya penelitian Adam dan Laursen
(2001) menemukan bahwa konflik dengan orang tua lebih sering dialami remaja bila
dibanding dengan sebaya. Penelitian lainnya (Rafaelli, 1997) mengungkapkan bahwa konflik
dengansibling meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kontak. Selain itu jumlah
waktu yang dihabiskan bersama lebih signifikan memprediksi konflik siblingdibandingkan
dengan factor usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga dan variabel lainnya. Walaupun
demikian penelitian Stocker Lanthier dan Furman (1997) mengungkapkan bahwa
meningkatnya interaksi sibling berasosiasi positip dengan persepsi terhadap kehangatan
Oleh karena sifat konflik yang normative, artinya tidak bisa dielakkan, maka vitalitas
hubungan dalam keluarga sangat tergantung pada respon masing-masing terhadap konflik.
Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya pada hubungan yang berkualitas,
freuensi konflik lebih sedikit. Kualitas hubungan dapat mempengaruhi cara individu dalam
membingkai persoalan konflik

3. Macam-macam Konflik Keluarga


A. Pernikahan Dini

Pernikahan adalah upaya untuk menjalin hubungan yang legal secara hukum negara dan
agama. Menikah atau menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenis merupakan salah
satu tugas perkembangan yang harus dilalui oleh manusia pada usia 18 sampai 25 tahun
(Santrock, 2011). Banyak pertimbangan bagi pasangan laki-laki dan perempuan sebelum
mereka memutuskan untuk menikah. Beberapa di antaranya adalah harapan yang mereka
miliki terhadap pernikahan yang akan dijalani serta kepuasan yang dicapai dalam kehidupan
pernikahan. Salah satu permasalahan pernikahan yang terdapat di Indonesia, dan juga di
berbagai belahan dunia adalah pernikahan dini, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh
seseorang yang belum mencapai usia dewasa, atau dengan kata lain ia masih berada pada usia
remaja. Pernikahan dini memang bukan hal yang baru. Namun, keberadaannya di era yang
menjunjung tinggi kesetaraan gender seperti sekarang ini cukup mengherankan, mengingat
wanita seharusnya telah memiliki akses yang sangat luas untuk mengembangkan minat bakat,
serta partisipasi dalam pembangunan di segala bidang. Pernikahan dini secara tidak langsung
akan memutus akses tersebut, karena wanita yang telah menikah dituntut untuk bertanggung
jawab terhadap keluarga.

Penelitian studi kasus di Yogyakarta yang dilakukan oleh Jalil (2014) menunjukkan
bahwa pernikahan dini selalu berbanding lurus dengan kehamilan yang tidak diinginkan,
meskipun hal tersebut bukan satu-satunya alasan untuk melakukan pernikahan dini.
Pernikahan dilakukan oleh perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan karena
pertimbangan sosial dan agama. Secara keseluruhan, angka pernikahan perempuan di bawah
usia kurang dari 16 tahun di Yogyakarta pada tahun 2009 adalah 2010, dan berkurang di
tahun 2011 sejumlah 170. Di Indonesia, pernikahan diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Tim BIP, 2017). Dalam undang-undang tersebut, usia yang
diperbolehkan untuk seseorang menikah adalah 16 tahun untuk perempuan, dan 20 tahun
untuk laki-laki, yang diatur dalam pasal 7 ayat 1.

Data Analisis Perkawinan Usia Anak di Indonesia (Badan Pusat Statistik [BPS], 2016)
menunjukkan bahwa praktik perkawinan anak di Indonesia pada rentang usia 16 sampai 17
tahun masih tinggi. Terdapat hubungan antara perkawinan usia anak dan pendidikan di
Indonesia. Laporan ini menunjukkan bahwa anak perempuan cenderung tidak melanjutkan
sekolah mereka setelah menikah, sehingga pencapaian pendidikan anak yang menikah muda
lebih rendah dibandingkan yang menikah pada usia lebih tua. Apapun alasannya, anak-anak
yang melakukan pernikahan lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga,
pelecehan, dan pemerkosaan. Ketika mereka hamil, mereka mudah terinfeksi penyakit
menular seksual dan HIV/AIDS, yang konsekuensinya bukan hanya pada kesehatan ibu,
tetapi juga bayinya (BPS, 2016). Godha, Hotchkiss, & Gage (2013) menemukan hasil yang
hampir serupa, yaitu pernikahan dini secara signifikan berhubungan dengan kesuburan yang
buruk, penggunaan kontrasepsi yang lebih rendah di awal pernikahan, dan perawatan
kesehatn ibu yang tidak memadai. Dalam pernikahan sendiri pasangan harus memiliki
kesiapan fisik dan mental dalam menjalani sebuah kehidpan yang baru, sehingga harus ada
pemahaman dan kepercayaan yang baik antara pasangan dan remaja umumnya tidak tahu
masalah yang akan mereka hadapi saat menikah dini. Masalah yang muncul dalam
pernikahan dini yaitu :

1. Pasangan yang menikah dini tidak tahu bagaimana memikul tanggungjawab, mereka
masih muda dalam berfikir dan masih harus banyak belajar tentang pernikahan.
2. Saat remaja menikah dini pada usia muda, masa muda mereka terganggu. Mereka
tidak dapat lagi menikmati keebasan karena sudah terikat dalam pernikahan dan
tanggungjawab baru.
3. Kehamilan yang terlalu awal bisa mempengauhi kehidupan seseorang gadis remaja.
Gadis remaja umumnya belum bisa menjalani tekanan melahirkan dan mengasuh
anak. Ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik tetapi juga emosionalnya. Untuk
merawat anak juga sulit karena dia sendiri masih sangat belia dan tergolong anak-
anak
4. Menyesuaikan perasaan itu sulit saat dua remaja menjalani kehidupan pernikahan
dini. Masing-masing tidak dapat menyesuaikan diri dengan pasangan itu bukanlah hal
yang mudah. Tulah sebabnya pernikahan dini rentan berakhir dengan perceraian.
5. Ketika menikah di usia dini kebutuhan individu tidak terpenuhi. Pengantin pria
maupun wanita masih ingin belajar dan sukses dalam banyak hal. Namun itu semua
terhambat karena mereka terikat dalam pernikahan, dalam tanggungjawab dan juga
karena masalah keuangan.
B. Hubungan Dengan Orang Tua

Gunarsa (2009) menyatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama yang


mulamula memberikan pengaruh yang mendalam bagi anak. Dari anggota-anggota
keluarga (ayah, ibu dan anak) memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual
maupun sosial. Artinya setiap sikap atau pandangan dan pendapat orang tua atau
anggota keluarga lainnya akan dijadikan contoh oleh anak dalam berperilaku. Karena
di dalam keluarga, anak pertama kali mendapat pengetahuan tentang nilai dan norma,
demi tercapainya semua ini harus terbentuknya suatu keluarga yang harmonis.
Menurut Sillars (2004) keluarga merupakan salah satu unit sosial yang mana
hubungan antara suami dan terdapat saling ketergantungan yang tinggi. Konflik orang
tua dapat terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara ayah dan
ibu, suami isteri. Konflik mencerminkan adanya ketidakcocokan (incompatibility),
baik ketidak cocokan karena berlawanan atau karena perbedaan. Sumber konflik
dapat berasal dari:

1. Adanya ketimpangan alokasi sumber daya ekonomi dan kekuasaan;


2. Perbedaan nilai dan identitas;
3. Kesalahan persepsi dan komunikasi juga turut berperan dalam proses
evolusi ketidakcocokan hubungan.
Oleh karena itu konflik dapat berjalan ke arah yang positif atau negatif bergantung
pada ada atau tidaknya proses yang mengarah pada saling pengertian.
Menurut pendapat Taufik Rahman (2002) dampak negatif konflik atau permasalahan
orang tua terhadap anak adalah sebagai berikut:
a. Anak-anak bisa trauma, sehingga mereka mengalami sakit untuk demi
mempertahankan tubuhnya yang lemah.
b. Prestasi belajar di sekolah jadi menurun, akibat kepikiran orangtuanya yang
selalu rebut dan bertengkar setiap hari.
c. Terjadi perubahan sikap, anak menjadi lebih tertutup, bahkan tidak mau lagi
bergaul dengan orang-orang yang mengetahui bahwa orang tuanya tidak akur,
bahkan bisa menyebabkan anak tidak respek dengan orang tua.
d. Image orang tua berubah di mata anak.
e. Ketika dewasa, jadi takut menikah, biasanya salah satu pihak akan dianggap
“penindas” di mata si anak, entah itu ayah atau ibu, tapi biasanya ayah.
f. Rentan terjerumus pada hal-hal negative
Cara orang tua menyelesaikan konflik dengan anak dapat menjadi model bagi
anak dalam menyelesaikan konflik pada berbagai situasi. Sayangnnya seringkali
orang tua dan anak tidak menggunakan metode yang sistematis dalam menyelesaikan
perbedaan (Riesch, Gray, Hoeffs, Keenan, Ertl dan Mathison, 2003). Resspon remaja
terhadap konflik dengan orang tua biasanya berupaya menghindari konflik. Adapun
respon orang tua berupa sikap mempertahankan otoritas sebagai orang tua, hal ini
juga banyak dipengaruhi nilai-nilai konservatif yang selalu dipertahankan.

Konflik orang tua-anak, selain berupa konflik dalam meregulasi (memunculkan)


perilaku dapat pula terjadi dalam ranah yang lebih subtil (dalam dan tersembunyi),
yaitu terjadinya konflik nilai. Dalam menghadapi situasi konflik nilai antara orang
tua-anak, Natrajan (2005) mengajukan ada empat tahapan dalam penyelesaian, yaitu:

1. Menentukan nilai yan ber-konflik, misalnya apa yang dianggap penting bagi
orang tua dan apa yang dianggap penting bagi anak.
2. Mencoba melakukan kompromi, misalnya masing-masing nilai dipertahankan
tetapi dikurangi kadarnya.
3. Mempertimbangkan lagi nilai apa yang paling penting.
4. Mencari alternative lain untuk tetap terpenuhinya masing-masing nilai.

C. Ekonomi dan Pendidikan

Penyebab terjadinya konflik dalam rumah tangga menurut Subiyanto (2003)


konflik di dalam rumah tangga muncul akibat berbagai macam masalah yang terjadi
diantara suami istri. Masalah-masalah di dalam rumah tangga yang bisa memicu
konflik biasanya terjadi akibat adanya ketidak seimbangan di dalam pemenuhan
kebutuhan rumah tangga yang sifatnya urgent. Hal ini dipertegas oleh Musnamar
Tohari (2005) tentang beberapa hal pemicu konflik dalam keluarga, yaitu: (1).
Perasaan kurang dihargai; (2). Cemburu berlebihan; (3). Kurangnya keterbukaan
dalam masalah keuangan; (4). Masalah hubungan intim; (5). Masalah privasi masing-
masing; (6). Kurangnya toleransi alam pembagian tugas di rumah.
a. Ekonomi

Bagaimanapun masalah keuangan merupakan suatu yang sangat penting dalam


keluarga, suami seharusnya terbuka tentang penghasilan yang diperoleh, dan
sebaliknya istri hendaknya memberikan informasi kemana uang itu dimanfaatkan
sehingga tidak timbul rasa curiga diantara keduanya.

Tentang ekonomi ada dua jenis penyebab krisis keluarga, yaitu kemiskinan
dan pola gaya hidup.

1. Kemiskinan
Kemiskinan jelas berdampak terhadap kehidupan sebuah keluarga,
sebagai misal jika karena faktor kemiskinan yang menyebabkan terjadinya
krisis keluarga jelas, bagaimana mungkin jika terbatas dalam hal pendapatan
lalu dapat mencukupi kebutuhan hidup suatu keluarga, tetapi ini juga masih
bersifat relative, tergantung bagaimana memaknai “cukup’ minimal standar
hidup layak. Jika kehidupan suatu keluarga dimana kondisi emosional antara
suami dan istri tidak cukup dewasa dalam menyikapi persoalan dalam
kehidupannya maka akan selalu timbul pertengkaran yang disebabkan
karena faktor ekonomi.

2. Gaya hidup
Kemiskinan karena pola gaya hidup, kemiskinan yang seperti ini dapat
dikatakan kemiskinan yang terselubung, misalnya untuk memenuhi standar
hidup layak dalam arti normal belum tercukupi tetapi pola dan gaya hidup
individu yang termasuk kategori ini sudah menunjukkan seperti orang kaya,
atau mengikuti pola dan gaya hidup orang kaya. Ciri yang kedua ini bisa
dikarenakan mindset atau kerangka pikir seseorang, hal inilah yang perlu
dirubah, masyarakat saat ini cenderung pada pola yang kedua.

b. Pendidikan
Masalah pendidikan Pendidikan seringkali menjadi pemicu dalam
permasalahan keluarga, seperti misalnya jika si suami atau istri pendidikannya rendah
tentu wawasannya juga terbatas, tidak mengerti tentang liku-liku kehidupan sebuah
keluarga, apalagi jika ada persoalan dalam keluarga dan ada turut campur mertua
baik dari pihak suami atau istri maka persoalannya semakin rumit. Sebaliknya
suami atau istri yang berpendidikan cukup tentu wawasannya juga luas, sehinga
persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan sebuah keluarga cenderung
mudah mencari solusi dan persoalan cepat teratasi.
D. Kehilangan Pekerjaan
Tanpa bekerja seseorang tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dan
keperluan keluarganya. Maka dari itu kehilangan pekerjaan adalah mimpi buruk bagi
banyak orang dan membutat stress dalam menghadapinya.
Kehilangan pekerjaan di pengaruhi oleh bebrapa faktor:
1. Kemampuan dan keterampilan yang rendah
2. Berprilaku buruk atau kurang sopan
3. Penyusutan kariawan
4. Musibah alam atau panemic virus

Pada masa pandemic covid 19 saat ini sangat banyak perkerja yang kehilangan
pekerjaan hingga ada beberapa perusahaan ataupun pengusaha kecil yang terpaksa
gulung tikar.

E. Kekerasan dalam rumah tangga

Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah tindakan yang


dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang
berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan dalam
keluarga.

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah
suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang
tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang
mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan
suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah
tangga. Tidak semua tindakan KDRT dapat ditangani secara tuntas karena korban sering
menutup-nutupi dengan alasan ikatan struktur budaya, agama, dan belum dipahaminya
sistem hukum yang berlaku. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat
bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Dalam rumah tangga banyak bentuk-bentuk kekerasan yang di alami korban,
yaitu sebagai berikut:

Kekerasan fisik

Kekerasan fisik berat

1. Cedera berat
2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
3. Pingsan
4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau
yang menimbulkan bahaya meninggal
5. Kehilangan salah satu pancaindra.Mendapat cacat.
6. Menderita sakit lumpuh.
7. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
8. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
9. Kematian korban

Kekerasan Fisik Ringan

berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang


mengakibatkan:

1. Cedera ringan
2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan berat.

Kekerasan psikis

Kekerasan Psikis Berat

Kekerasan Psikis Berat berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,


kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan;
kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-
masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa
hal berikut:

1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual
yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
2. Gangguan stres pasca trauma.

3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
4. Depresi berat atau destruksi diri

5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan
atau bentuk psikotik lainnya
6. Bunuh diri

Kekerasan Psikis Ringan,

Kekerasan Psikis Ringan berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,


kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan;
ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah
ini:

1. Ketakutan dan perasaan terteror


2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak
3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa
indikasi medis)
5. Fobia atau depresi temporer

4. Resolusi Konflik

Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict resolution memiliki makna
yang berbeda-beda menurut para ahli yang fokus meneliti tentang konflik.
Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine (1998: 3) adalah (1) tindakan
mengurai suatu permasalahan,(2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan
permasalahan. Sedangkan Weitzman& Weitzman (dalam Morton &Coleman 2000: 197)
mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve
a problem together).
Menurut Mindes (2006: 24) resolusi konflik merupakan kemampuan untuk
menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam
pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk
bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan.
Menurut Rubin (1994) pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara
antara lain:(1) penguasaan atau domination, ketika salah satu pihak berusaha memaksakan
kehendaknya baik dilakukan secara fisik maupun psikologis; (2) penyerahan atau
capitulation, ketika salah satu pihak secara sepihak menyerahkan kemenangan pada pihak
lain; (3) pengacuhan atau inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga
cenderung membiarkan terjadinya konflik; (4) penarikan diri atau withdrawal, ketika salah
satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik; (5) tawar-menawar atau negotiation,
ketika pihak-pihak yang berkonflik saling bertukar gagasan, dan melakukan tawar- menawar
untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing-masing; dan (6) campur
tangan pihak ketiga atau thirdparty intervention, ketika ada pihak yang tidak terlibat dalam
konflik, menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang
berkonflik. Dari berbagai cara tersebut hanya negosiasi dan pelibatan pihak penengah yang
merupakan cara penganganan konflik yang bersifat konstruktif.
Pada dasarnya pengelolaan konflik dalam interaksi antarpribadi dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu secara konstruktif dan destruktif. Pengelolaan konflik secara destruktif dapat
terjadi karena alasan antara lain: 1. Persepsi negative terhadap konflik. Individu yang
menganggap konflik sebagai hal yang negative akan cenderung menghindari konflik atau
menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik. Individu yang demikian biasanya sering
gagal mengenali pokok masalah yang menjadi sumber konflik, karena perhatiannya sudah
terfokus pada konflik sebagai problem. 2. Perasaan marah. Sebagaimana konflik merupakan
aspek normative dalam suatu hubungan, marah sebenarnya juga merupakan hal yang alamiah
dirasakan individu yang terlibat konflik. Mengumbar atau memendam marah sama buruknya
bagi kesehatan hubungan maupun mental individu. Oleh karena itu, rasa marah harus
dipahami sebagai gejala yang harus diatasi dan dapat diubah, oleh karena itu hendaklah
dikendalikan dengan penuh hati-hati dan kesabaran. 3. Penyelesaian oleh waktu. Sebagai
upaya menghindari munculnya perasaan negative dalam menghadapi konflik, misalnya
marah, takut, sedih seringkali individu memilih mengabaikan masalah yang menjadi sumber
konflik. Hatapannya adalah masalah tersebut akan selesai dengan sendirinya oleh berjalannya
waktu. Cara orang tua menyelesaikan konflik dengan anak dapat menjadi model bagi anak
dalam menyelesaikan konflik pada berbagai situasi. Sayangnnya seringkali orang tua dan
anak tidak menggunakan metode yang sistematis dalam menyelesaikan perbedaan (Riesch,
Gray, Hoeffs, Keenan, Ertl dan Mathison, 2003). Resspon remaja terhadap konflik dengan
orang tua biasanya berupaya menghindari konflik. Dari pemaparan teori menurut para ahli
tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah
suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain
secara sukarela.
Dari berbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para paneliti dan terapis mengenali
adanya gaya resolusi konflik yang umumnya digunakan individu dalam mengelola konflik.
Harriet Goldhor Lerner sebagaimana dikutip oleh Olson dan Olson (2000), membedakan ada
lima cara individu dalam menyelsaikan konflik, yaitu: (1) pemburu atau disebut dengan
pursuer adalah individu yang berusaha membangun ikatan yang lebih kuat, dekat dan
harmonis; (2) penghindar atau disebut dengan distancer adalah individu yang cenderung
mengambil jarak secara emosi agar tidak menimbulkan konflik baru; (3) pecundang atau
disebut dengan underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukkan kompetensi atau
aspirasinya; (4) penakluk atau disebut dengan overfunctioner adalah individu yang cenderung
mengambil alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain; (5) pengutuk atau disebut
dengan blameradalah individu yang selalu menyalahkan orang lain atau keadaan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konflik dalam keluarga bersifat normatif, artinya tidak bisa dielakkan, maka
vitalitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung respon masing-masing terhadap
konflik. Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya pada hubungan
yang berkualitas frekuensi konflik lebih sedikit. Kualitas hubungan dapat
mempengaruhi cara individu dalam membingkai persoalan konflik. Keluarga yang
memiliki interaksi hangat menggunakan cara berdiskusi dalam memecahkan masalah.
Datar Pustaka

Dewi , Eva Meizara Puspita & Basti. Desember 2008. “Konflik Perkawinan dan
Model Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Istri”. Jurnal Psikologi
volume 2 no. 1 : 42-51. (Diakses pada 27 september 2020 pukul 10.30
WIB)

Yigibalom, Leis. 2013. “Peranan Interaksi Anggota Keluarga Dalam Upaya


Mempertahankan Harmonisasi Kehidupan Keluarga di Desa Kumuluk
Kecamatan Tiom Kabupaten Lanny Jaya”. Journal Volume 4 No. 4 (Diakses
pada 27 september 2020 pukul 10.52 WIB)

https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_dalam_rumah_tangga#:~:text=Kekeras
an%20dalam%20rumah%20tangga%20(disingkat,tentang%20Penghapusan
%20Kekerasan%20dalam%20Rumah
(di akses pada 27 september 2020 pukul 10:00 WIB)

Anda mungkin juga menyukai