Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Psikologi Udayana Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana

2018, Vol.5 , No.1, 86-98 ISSN: 2354 5607

PROSES PENYESUAIAN DIRI DAN SOSIAL PADA PEREMPUAN USIA DEWASA


MADYA YANG HIDUP MELAJANG
Ni Made Diah Primanita dan Made Diah Lestari
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
diahprimanita@gmail.com

Abstrak
Menikah pada umumnya dilakukan pada usia dewasa awal yaitu sekitar usia 18 sampai dengan 40 tahun, namun di sisi
lain ditemukan fakta bahwa terdapat beberapa orang yang tetap berstatus lajang bahkan di usia dewasa madya. Menurut
beberapa penelitian, melajang pada usia dewasa madya cenderung membuat perempuan dilekatkan dengan stereotip
dari masyarakat atau yang disebut dengan istilsh singlism, dan tuntutan dari orangtua untuk segera menikah. Kedua hal
tersebut dapat memicu timbulnya perasaan tertekan dan kesepian pada perempuan lajang. Bertentangan dengan hal
tersebut, studi pendahuluan pada penelitian ini mengungkapkan bahwa tidak semua perempuan lajang mendapatkan
stigma, tuntutan orangtua, serta mengalami perasaan tertekan dengan kehidupan melajang, dan orang-orang usia madya
bahkan cenderung sudah dapat menerima dan bahagia dengan kehidupan lajangnya (Hurlock, 2000). Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap proses penyesuaian diri dan sosial pada perempuan dewasa madya yang hidup melajang
serta faktor-faktor yang memengaruhi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Responden yang terlibat berjumlah 3 orang yang didapatkan melalui teknik purposive
sampling dengan karakteristik perempuan, lajang, dan berusia 40 sampai dengan 60 tahun. Penelitian ini menggunakan
teknik penggalian data dengan wawancara, observasi, serta alat tes psikologi, dengan teknik analisis theoritical coding
yaitu open coding, axial coding, dan selective coding. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa proses
penyesuaian diri perempuan lajang meliputi terjadinya perubahan kondisi internal perempuan lajang sebagai hasil dari
tindakan-tindakan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, sedangkan proses penyesuaian sosial perempuan lajang
meliputi perubahan kondisi perempuan lajang secara eksternal sebagai hasil dari tindakan-tindakan yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang memengaruhi proses penyesuaian diri dan sosial tersebut yaitu dukungan
keluarga, keinginan menikah, serta pandangan bahwa perempuan tidak harus menikah atau memiliki anak.

Kata kunci : penyesuaian diri, penyesuaian sosial, perempuan lajang, dewasa madya

Abstract

Generally, married was done in early adulthood around the 18 to 40 years old; however, some facts are found that
there are some people who still single even in middle adulthood. According to some researchers, being single in middle
adulthood tend to make women being stigmatized by the community or the so-called singlism. They also were pressured
to get married by the parents. Both of them can lead to the feelings of distress and loneliness in single women. Contrary
to that, preliminary studies in this study revealed that was not all single women being stigmatized and demanded by the
parents and not all single women feel depressed with single life. In addition, Hurlock (2000) says that middle
adulthood people tend to be able to accept and be happy with their life of being single. This study aims to reveal the
process of personal and social adjustment in middle adulthood single women who live single and the influencing
factors. The method used in this research was a qualitative method with phenomenology approach. Through purposive
sampling technique, 3 respondents were involved to this study with characteristics of women, single, and aged 40 to 60
years old. Data in this study were collected by interview, observation, and psychological test, and analyzed by
theoretical coding technique that consist of open coding, axial coding, and selective coding. The results of this study
revealed that personal adjustment in single women was a process which included the change in internal condition that
facilitated by several action and influenced by several factors. The similar process alsa was found in social adjustment
which the focus was more in the change of external condition. Family support, marriage desire, and the change of
marriage perception were factors that influenced the action.

Keywords: personal adjustment, social adjustment, single women, middle adulthood

86
PROSES PENYESUAIAN DIRI DAN SOSIAL PADA PEREMPUAN USIA DEWASA MADYA YANG HIDUP MELAJANG

LATAR BELAKANG data yang didapat dari Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia (2015), remaja perempuan dengan rentang usia 15
Menikah dan hidup berumah tangga merupakan salah hingga 19 tahun mempersepsikan bahwa rata-rata perempuan
satu tahapan dalam perkembangan kehidupan manusia dan menikah pertama kali adalah pada usia 24 sampai 25 tahun,
pada umumnya seseorang menikah ketika memasuki usia sedangkan laki-laki dengan usia yang sama mempersepsikan
dewasa awal yaitu antara usia 18 hingga 40 tahun (Hurlock, bahwa usia ideal menikah pertama kali untuk perempuan
2000). Pada umumnya, ketika menikah dan hidup berumah adalah 20 sampai 21 tahun. Dalam pandangan mengenai usia
tangga seseorang akan membagi tugas, peran, materi, bahkan ideal menikah untuk laki-laki, remaja perempuan maupun
afeksi seperti kasih sayang kepada keluarga. Hal tersebut laki-laki memiliki persepsi yang sama bahwa usia ideal
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Olson dan DeFrain menikah pada laki-laki adalah 24 sampai 25 tahun.
(2003) bahwa pernikahan merupakan perasaan emosional dan Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa rata-
komitmen yang legal antara dua orang untuk berbagi hal-hal rata pernikahan dilakukan pada usia dewasa awal, namun di
emosional, intimasi fisik, tugas yang bervariasi dan sumber sisi lain, ditemukan fakta bahwa masih terdapat beberapa
penghasilan. Pernikahan juga dikatakan sebagai salah satu hal orang yang belum menikah atau hidup melajang pada usia
yang penting karena pernikahan merupakan transisi kritikal yang melewati usia dewasa awal. Data yang diperoleh dari
dari seseorang yang awalnya sendiri menjadi pasangan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, menunjukkan
(Duvall & Miller, 1985). bahwa persentase perempuan usia 25 hingga 59 tahun pada
Menurut Hurlock (2000), menikah menjadi salah satu tahun 2009 hingga 2013 yang berstatus belum menikah, baik
peristiwa terpenting khususnya bagi perempuan karena di perkotaan maupun pedesaan, berjumlah lebih dari tiga kali
perempuan dikaitkan dengan kodrat untuk melahirkan lipat persentase laki-laki yang berstatus belum menikah pada
keturunan dan melakukan pengasuhan. Pernikahan juga usia yang sama. Selain data tersebut, terdapat pula data yang
menjadi hal yang sangat krusial bagi perempuan ketika menunjukkan bahwa perempuan yang berstatus belum
dikaitkan dengan sistem kekeluargaan patrilineal. Beberapa menikah pada tahun 2013 adalah sepertiga dari persentase
daerah di Indonesia, salah satunya Bali, menganut sistem perempuan yang berstatus menikah (BPS, 2016a).
kekeluargaan patrilineal yaitu sistem yang menempatkan laki- Berdasarkan data-data tersebut, dapat diartikan bahwa bagi
laki sebagai penentu garis keturunan (Herdiansyah, 2016). Hal beberapa orang, melajang telah menjadi alternatif dari
tersebut menjadi krusial karena pada umumnya dalam sistem pernikahan.
kekeluargaan patrilineal, perempuan yang sudah menikah Bagi orang-orang yang menjadikan lajang sebagai
tidak lagi tinggal bersama keluarga kandungnya melainkan alternatif dari pernikahan, memilih menjadi lajang secara
tinggal bersama keluarga suami dan mengharuskan perempuan sukarela bukanlah satu-satunya hal yang menjadi faktor
untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan keluarga yang penyebab. Terdapat berbagai hal yang bisa menjadi faktor
baru. Di sisi lain, meskipun perempuan harus berusaha penyebab perempuan memilih untuk hidup melajang, antara
menyesuaikan diri, perempuan yang sudah menikah juga akan lain tidak pernah menemukan pasangan yang ideal (Matlin,
merasakan kebahagiaan ketika dapat hidup berumah tangga 2008), mengutamakan karir, atau menginginkan kebebasan,
bersama pasangannya dan ketika dapat melahirkan anak. sehingga pilihan hidup melajang menjadi gaya hidup yang
Sesuai dengan hal tersebut, Olson dan DeFrain (2003) lebih bisa diterima (Atwater, 1983). Beberapa faktor lain,
menyatakan bahwa orang yang menikah akan lebih bahagia seperti adanya rasa takut untuk mengemban tanggung jawab
dibandingkan yang tidak menikah, janda, atau orang yang saat berumah tangga serta usia yang semakin tua juga
melakukan kohabitasi. menyebabkan seseorang melajang (Primanita, 2016b).
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya oleh Berkaitan dengan usia yang semakin tua, pada usia
Hurlock (2000), pernikahan pada umumnya dilakukan pada dewasa madya tugas perkembangan bukan lagi untuk
usia 18 hingga 40 tahun. Pernyataan tersebut diperkuat dengan menikah. Usia dewasa madya dimulai sekitar usia 40 tahun
data yang diperoleh dari Badan Kependudukan dan Keluarga hingga 60 tahun (Hurlock, 2000) dan merupakan masa
Berencana Nasional (BKKBN) (2014) yang menunjukkan produktif bagi yang memiliki karir (Santrock, 2006). Di usia
bahwa rata-rata usia menikah pertama perempuan di Indonesia yang makin matang, kesibukan dalam karir, serta mobilitas
berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 adalah 22,3 tahun, yang cukup tinggi, utamanya bagi perempuan yang tinggal di
sedangkan di Provinsi Bali adalah 22,4 tahun. Hal tersebut daerah perkotaan, dapat mengurangi kesempatan untuk
juga diungkapkan oleh kepala BKKBN, Surya Chandra menemukan pasangan hidup. Berdasarkan data kependudukan
Surapaty (dalam Fikri, 2015) yang menyatakan bahwa usia BPS (2016b), persentase penduduk perkotaan dengan rentang
ideal menikah bagi perempuan adalah minimal 21 tahun dan usia 25 sampai dengan 59 tahun yang berstatus belum
25 tahun untuk laki-laki. Selain dua sumber tersebut, remaja menikah adalah tiga kali lipat dari persentase penduduk
laki-laki dan perempuan di Indonesia juga memiliki pedesaan yang belum menikah dalam rentang usia yang sama.
pandangan terkait usia ideal pernikahan pertama. Berdasarkan

87
N. M. D. PRIMANITA DAN M. D. LESTARI

Perempuan yang hidup melajang, baik yang tinggal perempuan lajang juga dilekatkan pada anggapan bahwa
di perkotaan maupun pedesaan umumnya akan tetap tinggal penyebab melajang adalah karena terdapat hal yang salah
bersama orangtua dan keluarga kandungnya. Jika saudara- dalam kepribadian perempuan lajang tersebut, di antaranya
saudaranya sudah pergi untuk membangun rumah tangganya adalah sifat tertutup atau introvert. Stigma-stigma yang
masing-masing, serta orangtuanya yang sudah semakin tua, dilekatkan kepada perempuan lajang tersebut dapat
maka perempuan tersebut akan cenderung mengalami memengaruhi kondisi psikologis para perempuan lajang
kesepian. Kecenderungan kesepian juga dapat dialami oleh seperti memicu perasaan tertekan dan tidak nyaman dalam
perempuan lajang yang tinggal sendiri di daerah perkotaan dan menghadapi situasi yang sekiranya dapat memunculkan
tinggal jauh dengan orangtua. Matlin (2008) menyebut stigma seperti acara perkawinan, ulang tahun, dan reuni
kesepian sebagai kerugian melajang. Hal serupa diungkapkan sehingga berusaha menghindar dari situasi tersebut.
oleh Olson dan DeFrain (2003) bahwa kesepian dapat menjadi Dampak negatif lain yang juga dirasakan oleh
suatu tantangan bagi beberapa individu yang melajang. perempuan yang masih melajang adalah tuntutan dari pihak
Perempuan yang melajang juga cenderung tidak merasakan keluarga untuk segera menikah yang mengakibatkan konflik
peran-peran yang dijalani oleh perempuan yang menikah, batin pada perempuan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh
seperti yang diungkapkan oleh Herdiansyah (2016) bahwa Noviana dan Suci (2010) pada penelitian yang membahas
perempuan lebih dituntut untuk berada di ruang domestik tentang konflik intrapersonal perempuan lajang terhadap
dengan aktivitas-aktivitas yang lebih beorientasi ke dalam tuntutan orangtua untuk menikah, konflik intrapersonal terjadi
seperti mengasuh anak dan mengurus rumah tangga karena perempuan yang masih melajang menganggap bahwa
(Herdiansyah, 2016). Demikian pula yang dikatakan oleh pernikahan adalah amanat orangtua, dan amanat orangtua
Parson (dalam Olson & Defrain, 2003) bahwa dalam keluarga semestinya dipatuhi. Di sisi lain, perempuan tersebut memiliki
modern, peran perempuan adalah peran ekspresif seperti kebutuhan, nilai dan harapannya sendiri yang membuatnya
menjaga kesejahteraan emosi di keluarga, bereproduksi, dan memutuskan untuk menunda pernikahan.
pengasuhan. Kontras dengan perempuan yang menikah dan Kontras dengan dampak-dampak negatif melajang
memiliki keturunan, perempuan yang memilih untuk melajang yang telah dijelaskan sebelumnya, studi pendahuluan pada
tentu tidak akan merasakan peran ekspresif tersebut, diluar penelitian ini menunjukkan bahwa stigma, tuntutan orangtua,
pemikiran bahwa perempuan yang melajang bisa saja dan tekanan batin terkait status lajang, tidak selalu terjadi pada
mengadopsi seorang anak. perempuan yang melajang, seperti yang ditunjukkan pada
Selain kecenderungan mengalami kesepian dan tidak hasil studi pendahuluan terhadap salah satu perempuan lajang
dapat menjalankan peran seperti perempuan yang menikah, berinisial WS. Berdasarkan studi pendahuluan tersebut,
perempuan yang memilih tidak menikah juga cenderung akan diketahui bahwa tidak ada tuntutan dari orangtua WS untuk
dilekatkan dengan stigma oleh masyarakat. Stigma atau segera menikah. Lebih lanjut, WS mengaku bahwa tidak ada
stereotip negatif terhadap orang-orang lajang (single) disebut tekanan maupun penyesalan yang dirasakan karena status WS
dengan istilah singlism (Lehmiller, 2014). Stigma yang yang belum menikah (Primanita, 2016b).
dilekatkan oleh masyarakat terhadap perempuan lajang Selain mengenai respon orangtua dan perasaan yang
misalnya seperti anggapan masyarakat tradisional, yang dialami responden, di dalam studi pendahuluan tersebut juga
menyebut perempuan lajang dengan julukan ‘perawan tua’. diungkapkan bahwa masyarakat di sekitar WS sudah banyak
Julukan tersebut merujuk pada perempuan tidak mampu yang mengetahui perihal status pernikahan WS yang masih
memikat laki-laki, tidak memiliki pesona, dan tidak menarik. melajang, walaupun masih terdapat beberapa orang yang
Perempuan yang hidup melajang juga dianggap tidak sesuai ditemui WS menanyakan hal tersebut (Primanita, 2016b).
dengan norma sosial yang memiliki pandangan bahwa kodrat
seorang perempuan seharusnya menjalankan peran Berdasarkan yang telah dipaparkan diatas dapat
pengasuhan dengan menghasilkan keturunan. dikatakan bahwa tidak seluruh perempuan lajang mendapatkan
Berkaitan dengan stigma, DePaulo dan Morris (dalam stigma maupun tuntutan dari pihak keluarga untuk segera
Matlin, 2008) mengungkapkan hasil penelitian yang menikah sehingga tidak semua perempuan lajang pula merasa
menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa cenderung mengalami tekanan maupun penyesalan. Berkaitan dengan hal
mendeskripsikan perempuan lajang sebagai sosok yang tersebut, Matlin (2008) menyebutkan beberapa keuntungan
kesepian, pemalu, tidak bahagia, tidak fleksibel, dan tidak hidup melajang, seperti memiliki kebebasan dalam melakukan
aman, walaupun di sisi lain beberapa mahasiswa masih apapun yang diinginkan, menghabiskan waktu luang dengan
menyebutkan beberapa karakteristik positif perempuan lajang. kegiatan yang diinginkan dan bebas memilih dengan siapa
Sehubungan dengan hal tersebut, Septiana dan Syafiq (2013) perempuan lajang ingin menghabiskan waktu. Fakta mengenai
dalam penelitian yang membahas tentang identitas lajang dan beberapa keuntungan hidup melajang juga diungkapkan oleh
stigma, menjelaskan bahwa selain julukan seperti perawan tua, responden dalam studi pendahuluan. WS mengatakan bahwa

88
PROSES PENYESUAIAN DIRI DAN SOSIAL PADA PEREMPUAN USIA DEWASA MADYA YANG HIDUP MELAJANG

merasa bebas melakukan pekerjaan, dan juga diungkapkan tempat individu berada. Dari definisi tersebut, dapat dilihat
bahwa WS merasa bebas bepergian kemanapun (Primanita, bahwa penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang
2016b). Lebih lanjut, dalam Primanita (2016b) juga mencakup dua aspek yaitu aspek individu (personal
diungkapkan bahwa karena kondisinya yang melajang, WS adjustment) dan aspek sosial (social adjustment). Menurut
merasa waktu untuk keluarga lebih banyak, seperti mengasuh Schneiders (1964), personal adjustment merujuk pada
keponakan dan cucu. WS mengaku merasa senang melihat penyesuaian yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya
keponakannya yang sudah beranjak dewasa dan bersedia sendiri, sedangkan social adjustment adalah adalah
mengantar WS kemanapun, sehingga WS merasa enjoy kemampuan untuk bereaksi secara efektif dan sehat terhadap
dengan status lajangnya. situasi realitas dan relasi sosial sehingga tuntutan hidup
Selain beberapa dampak positif tersebut, perempuan bermasyarakat dipenuhi dengan cara yang dapat diterima dan
yang tidak menikah juga dikatakan lebih mandiri memuaskan. Lebih lanjut, Schneiders (1964) mengungkapkan
dibandingkan perempuan yang menikah, secara umum mampu bahwa individu melakukan proses penyesuaian diri untuk
menyesuaikan diri dengan baik, dan seringkali puas dengan mengurangi ketegangan yang ada dalam diri dengan
status lajang yang dimiliki (Atwater, 1983). Senada dengan mengeksplor berbagai cara hingga menemukan solusi.
hal tersebut, Hurlock (2000) menyatakan bahwa orang-orang Penyesuaian diri juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
(laki-laki maupun perempuan) usia madya yang hidup kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, keadaan
melajang telah menyesuaikan diri dengan kehidupan psikologis, serta keadaan lingkungan (Schneiders, 1964). Oleh
melajangnya dan bahagia dengan pola hidup yang telah karena itu, penelitian ini akan menjelaskan lebih mendalam
dibangun sendiri. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mengenai proses penyesuaian diri dan sosial yang dilalui oleh
perempuan yang tidak menikah dikatakan lebih tidak bahagia perempuan usia dewasa madya yang hidup melajang serta
dibandingkan perempuan yang menikah, namun di sisi lain faktor-faktor yang memengaruhi proses penyesuaian diri dan
ditemukan pula bahwa penyesuaian dan kepuasan hidup sosial perempuan lajang.
perempuan yang tidak menikah tidak berbeda secara
signifikan dengan perempuan yang menikah (Sridharan &
Adiga, 2015). METODE PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan diatas, beberapa teori dan
fakta mengungkap bahwa secara umum perempuan yang Tipe penelitian
hidup melajang akan menemukan hal-hal yang cenderung
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
dianggap negatif seperti stigma, tuntutan untuk segera
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian
menikah, maupun rasa kesepian yang memicu tekanan batin.
kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah,
Di sisi lain, studi pendahuluan yang diungkapkan oleh
untuk menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan
Primanita (2016b) menunjukkan beberapa dampak positif
dengan melibatkan berbagai metode yang ada (Denzin dan
melajang dan teori dari Hurlock (2000) juga mengatakan
Lincoln dalam Moleong, 2014). Fenomenologi diartikan
orang-orang usia madya yang lajang dapat memandang
sebagai pengalaman subjektif atau fenomenologikal dan suatu
kehidupan melajang sebagai sesuatu hal yang positif karena
studi tentang kesadaran dan perspektif pokok dari seseorang
telah menyesuaikan diri dan bahagia dengan kehidupan
(Moleong, 2014). Menurut Creswell (2015), esensi fenomena
melajangnya. Menurut Kristiyani (2000), jika perempuan
merupakan hal yang ditekankan pada studi fenomenologi.
berhasil menyesuaikan diri melewati fase kritis dalam
Fenomena adalah suatu konsep yang sedang dialami oleh
kehidupannya, maka akan menimbulkan perasaan nyaman dan
subjek dalam studi, seperti konsep psikologis, seperti
percaya diri sehingga mendorong perempuan untuk lebih
kesedihan, kemarahan, atau cinta. Peneliti fenomenologis
dapat menghargai proses kehidupannya, sedangkan jika
harus melakukan epoche atau pengurungan yaitu
perempuan tidak berhasil menyesuaikan diri, maka akan
meninggalkan asumsi pribadi, sehingga dapat memeroleh
berdampak pada kurangnya pengendalian diri, kurang dapat
esensi yang sebenarnya dari sebuah fenomena (Creswell,
menerima diri, dan kehilangan kepercayaan diri. Hal serupa
2015).
juga diungkapkan oleh Fatimah (2008) yaitu apabila individu
tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik, maka individu Karakteristik Responden
akan sulit mencapai kebahagiaan, dan mengalami stres atau Penelitian ini melibatkan tiga orang responden yaitu
depresi akibat kegagalan menyesuaikan diri dengan kondisi perempuan yang berusia dewasa madya (rentang usia 40
lingkungan yang kompleks. hingga 60 tahun) dan lajang yaitu seseorang yang tidak
Berkaitan dengan hal tersebut, Schneiders (1964) menikah dan tidak hidup dengan pasangan. Dua orang
mengungkapkan bahwa penyesuaian diri mencakup proses responden memiliki pekerjaan sedangkan satu orang
mengatasi ketegangan dalam diri serta tuntutan lingkungan responden tidak bekerja, dan salah satu responden tinggal

89
N. M. D. PRIMANITA DAN M. D. LESTARI

sendiri sedangkan dua orang responden lainnya tinggal Penelitian ini menggunakan teknik theoretical coding
bersama keluarga. yang terdiri atas tiga tahap, yaitu open coding, axial coding,
dan selective coding (Strauss & Corbin, 2013). Proses ini
Tabel 1.
diawali dengan open coding yaitu memberikan kode-kode
Karakteristik Responden Penelitian pada seluruh teks, baik yang berasal dari verbatim wawancara,
maupun fieldnote kemudian dikelompokkan ke dalam kategori
yang sama dan ditandai dengan kode tertentu (Strauss &
Corbin, 2013). Proses axial coding adalah proses
menghubungkan subkategori dengan sebuah kategori dalam
suatu hubungan yang menunjukan kondisi kausal, fenomena,
konteks, kondisi perantara, strategi tindakan/interaksional, dan
konsekuensi (Strauss & Corbin, 2013). Berdasarkan hasil
coding dari proses sebelumnya, dilakukan selective coding
dengan membuat storyline atau deskripsi berbentuk narasi dari
skema temuan hasil penelitian sesuai dengan pertanyaan
penelitian.

Lokasi Pengumpulan Data Teknik Pemantapan Kredibilitas Data Penelitian

Pengumpulan data terhadap ketiga responden dalam Terdapat beberapa macam cara pengujian kredibilitas
penelitian, dilakukan di daerah seputaran Denpasar, Bali. data antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,
Peneliti memilih responden yang berdomisili di Denpasar peningkatan ketekunan, triangulasi data, analisa kasus negatif,
karena menurut BPS (2016b), persentase perempuan berusia menggunakan bahan referensi, dan mengadakan membercheck
25 sampai dengan 59 tahun yang berstatus belum menikah dan (Sugiyono, 2014). Teknik pengujian kredibilitas yang
tinggal di perkotaan adalah mencapai tiga kali lipat dari dipergunakan dalam penelitian ini adalah perpanjangan
persentase perempuan yang tinggal di pedesaan dengan usia pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi data,
dan status yang sama. Berdasarkan data tersebut, Kota menggunakan bahan referensi, dan mengadakan
Denpasar kemudian dipilih sebagai lokasi penelitian ini karena membercheck.
Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali dan pada Isu Etika Penelitian
umumnya, ibukota provinsi merupakan daerah dengan
mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya. Dalam penelitian ini, isu-isu etis yang diperhatikan
Pengambilan data pada ketiga responden dilakukan di tempat yakni menggunakan kontrak sosial berupa informed consent
tinggal atau tempat kerja responden dan telah disepakati oleh (formulir izin tertulis) yang disepakati oleh kedua belah pihak,
responden dan peneliti. menjaga privasi responden, serta tidak melakukan hal-hal
yang membuat responden tidak nyaman atau merasa
Teknik Pengumpulan Data dirugikan. Ketika proses penelitian telah berakhir, hasil
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan penelitian dapat diberikan kepada responden jika diperlukan.
tiga teknik, yakni wawancara, observasi dan pemeriksaan
psikologis melalui alat tes psikologi. Pelaksanaan wawancara HASIL PENELITIAN
menggunakan panduan wawancara (guideline wawancara),
Secara umum, hasil penelitian ini dijelaskan dengan
sedangkan pelaksanaan observasi dilakukan deskriptif selama
paradigma model yang terdiri atas enam kategori yaitu
wawancara berlangsung melalui pengamatan dan pencatatan
penyebab melajang, fenomena lajang di usia dewasa madya,
terhadap respon nonverbal responden dalam menanggapi
kondisi awal yang dialami terkait kehidupan melajang,
pertanyaan yang diajukan. Pemeriksaan psikologis
tindakan yang dilakukan responden untuk mencapai
menggunakan alat tes psikologi digunakan untuk mengungkap
penyesuaian diri dan sosial, faktor-faktor yang memengaruhi
hal-hal lain yang secara sadar maupun tidak sadar tidak
tindakan, dan kondisi setelah tercapainya penyesuaian diri dan
diungkap pada proses wawancara maupun observasi. Alat tes
sosial. Berdasarkan paradigma model tersebut kemudian
psikologi yang digunakan adalah Draw a Person (DAP),
didapatkan bagan hasil temuan berupa proses penyesuaian diri
House Tree Person (HTP), dan Sack’s Sentence Completion
dan proses penyesuaian sosial perempuan usia dewasa madya
Test (SSCT).
yang hidup melajang.
Analisa Data

90
PROSES PENYESUAIAN DIRI DAN SOSIAL PADA PEREMPUAN USIA DEWASA MADYA YANG HIDUP MELAJANG

keluarga dengan penerimaan terhadap kondisi lajang


responden serta berusaha selalu ada untuk responden,
sedangkan dukungan finansial yang diberikan
responden adalah dengan memberikan uang saku
secara rutin, serta mengikutsertakan dan membiayai
program asuransi responden.
b. Ada atau tidaknya keinginan untuk menikah
Ada atau tidak adanya keinginan untuk menikah juga
merupakan salah satu hal yang memengaruhi
terbentuknya tindakan penyesuaian diri dan sosial.
Responden yang masih memiliki keinginan kuat untuk
menikah disebabkan oleh keinginan untuk tidak
membuat orangtua cemas, sedangkan responden yang
1. Penyebab Melajang tidak memiliki keinginan untuk menikah berada pada
usia yang dianggap sudah sangat terlambat untuk
Kehidupan melajang yang saat ini dialami responden
menikah. Hal tersebut didukung oleh hasil pemeriksaan
memiliki beberapa penyebab, yaitu responden tidak
psikologis yang mengungkap bahwa terdapat
memiliki target menikah saat memasuki usia dewasa,
responden yang tidak memiliki keinginan untuk
pernah menjalani hubungan asmara namun tidak berlanjut
menikah dan ada responden yang memiliki keinginan
ke tahap serius, memiliki kepercayaan diri yang rendah
yang kuat untuk menikah. Tidak adanya keinginan
serta perasaan rendah diri, serta memiliki ketakutan
responden untuk menikah tentunya tidak menghasilkan
terhadap kehidupan rumah tangga karena melihat
upaya apapun dalam menemukan pasangan, dan
pengalaman beberapa teman dekat.
walaupun ada keinginan untuk menikah, keinginan
2. Kondisi Kehidupan Melajang tersebut juga tidak menghasilkan upaya yang sistematis
Dalam menjalani kehidupan melajang pada usia untuk mendapatkan pasangan.
dewasa madya, terdapat berbagai hal yang dialami c. Pandangan bahwa perempuan tidak harus
responden terkait dengan kondisi melajang, baik kondisi menikah dan tidak harus memiliki keturunan
internal maupun eksternal. Kondisi-kondisi yang bersifat
Adanya pandangan bahwa perempuan tidak harus
internal meliputi perasaan kecewa yang dirasakan karena
menikah dan tidak harus memiliki keturunan juga
melewati usia ideal menikah, dan perasaan khawatir
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi. Hal
mengenai siapa yang akan mengurus responden ketika
tersebut juga didukung oleh hasil pemeriksaan
tua, sedangkan kondisi-kondisi yang bersifat eksternal
psikologis yang mengungkapkan bahwa pada salah satu
meliputi respon masyarakat terhadap kehidupan
responden terdapat indikasi tidak taat pada aturan atau
responden yang melajang. Respon-respon tersebut berupa
memiliki nilai-nilai/standar tersendiri dalam
pertanyaan, saran, serta terdapat pula respon negatif
berperilaku, terutama dalam keluarga.
seperti pertanyaan dan ujaran terkait kondisi lajang
dengan nada dan ekspresi wajah yang dinilai tidak
bersahabat..
4. Tindakan untuk Mencapai Penyesuaian Diri dan
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tindakan Sosial
Penyesuaian Diri dan Sosial
Tindakan yang ditunjukkan oleh masing-masing
Dalam upaya mencapai penyesuaian diri dan sosial, responden untuk mencapai penyesuaian diri dan sosial
responden melakukan berbagai tindakan, namun terdapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah dijelaskan pada
beberapa hal yang memengaruhi terbentuknya tindakan, poin sebelumnya. Tindakan tersebut dibagi menjadi aksi
antara lain : yang bersifat internal dan eksternal.
a. Dukungan keluarga a. Tindakan yang bersifat internal
Dukungan keluarga merupakan salah satu hal yang Tindakan yang bersifat internal dilakukan dengan
memengaruhi aksi responden. Dukungan keluarga yang menjalani hidup apa adanya, berusaha tidak terlalu
diterima responden adalah berupa dukungan emosional memilikirkan dan tidak terlarut dalam perasaan kecewa
dan finansial. Dukungan emosional ditunjukkan dan khawatir, serta berserah kepada Tuhan.

91
N. M. D. PRIMANITA DAN M. D. LESTARI

b. Tindakan yang bersifat eksternal ini. Di satu sisi, responden juga menunjukkan kondisi
setelah mencapai penyesuaian sosial seperti merasa
Tindakan-tindakan yang bersifat eksternal dalam
nyaman berada di tengah-tengah orang lain, serta
upaya mencapai penyesuaian diri dan sosial antara lain
menciptakan hubungan saling membantu dengan orang
berbagi cerita dengan keluarga, fokus membantu
lain.
keluarga, fokus bekerja, selalu berbuat baik kepada
orang lain, dan tidak melakukan upaya untuk a. Penyesuaian diri
menemukan pasangan.
Kondisi responden setelah tercapainya penyesuaian diri
adalah menerima dan merasa puas dengan kehidupan
lajang saat ini. Responden puas dengan hidup saat ini
1. Berbagi cerita dengan keluarga
karena saat ini tidak mengalami kesulitan finansial, dapat
Dengan adanya dukungan dari keluarga, responden hidup ditengah-tengah keluarga yang menerima kondisi
dapat selalu dekat dengan keluarga. Responden akan responden yang melajang, sudah memiliki pekerjaan, dan
berbagi cerita mengenai hal-hal yang dialami terkait sudah dapat melakukan hal-hal baik untuk lingkungan
status lajang kepada keluarga. sekitar, serta dapat berbagi ilmu dengan teman.
2. Fokus membantu keluarga b. Penyesuaian sosial
Lajang pada usia dewasa madya juga menyebabkan Responden juga menunjukkan kondisi setelah
responden tidak menjalani kegiatan atau rutinitas mencapai penyesuaian sosial seperti merasa nyaman
seperti halnya perempuan yang menikah dan berada di tengah-tengah orang lain, serta menciptakan
berumahtangga, sehingga hal-hal yang dilakukan hubungan saling membantu dengan orang lain. Perasaan
responden fokus untuk membantu keluarga. nyaman berada di tengah-tengah orang lain dapat tercapai
3. Fokus bekerja karena respon-respon negatif masyarakat telah berkurang
dan menimbulkan perasaan diterima oleh responden.
Bagi responden yang aktif bekerja, tidak tinggal Terciptanya hubungan saling membantu dengan orang
dengan keluarga, atau berjauhan dengan keluarga, hal- lain dapat tercapai karena tindakan responden untuk
hal yang dilakukan lebih fokus kepada pekerjaan. selalu berusaha membantu orang lain mendorong timbal
4. Selalu berbuat baik kepada orang lain balik positif dari masyarakat. Responden seringkali
merasa terbantu dengan orang lain sehingga responden
Perbuatan baik yang dilakukan oleh responden yaitu merasa tidak perlu khawatir ketika menghadapi kesulitan.
selalu berbagi seperti berbagi informasi dan ilmu
dengan orang lain, selalu berusaha membantu orang Pada paradigma model yang telah ditampilkan
lain, serta tidak melakukan hal yang merugikan orang sebelumnya, dapat dilihat bahwa proses penyesuaian yang
lain untuk kepentingan diri sendiri. dialami oleh responden dibagi menjadi penyesuaian diri
atau penyesuaian yang bersifat internal individu dan
5. Tidak melakukan upaya untuk menemukan penyesuaian sosial atau penyesuaian yang bersifat
pasangan eksternal individu.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak 6. Proses Penyesuaian Diri Pada Perempuan Usia
adanya keinginan responden untuk menikah tentunya Dewasa Madya yang Hidup Melajang
tidak menghasilkan upaya apapun dalam menemukan
pasangan, dan walaupun ada keinginan untuk menikah, Penyesuaian diri merupakan proses perubahan kondisi
keinginan tersebut juga tidak menghasilkan upaya yang internal responden seperti diliputi perasaan kecewa karena
sistematis untuk mendapatkan pasangan. Dengan kata melewati usia ideal menikah dan perasaan khawatir
lain, responden tersebut tidak menentukan target terhadap masa tua menjadi perasaan menerima serta
maupun strategi tertentu untuk menemukan pasangan merasa puas dengan kehidupan saat ini. Perubahan
dalam upaya memenuhi keinginan menikah tersebut. perasaan tersebut dapat tercapai karena tindakan
responden yaitu menjalani hidup apa adanya dengan tidak
terlarut dalam perasaan kecewa dan khawatir. Tindakan
5. Kondisi Setelah Tercapainya Penyesuaian Diri dan yang dilakukan oleh responden dipengaruhi dukungan
Sosial emosional dan finansial dari keluarga, keinginan menikah,
serta adanya pandangan bahwa perempuan tidak harus
Kondisi yang ditunjukkan responden setelah mencapai menikah maupun memiliki anak. Proses penyesuaian diri
penyesuaian diri adalah menerima kondisi lajang saat ini, yang dialami oleh responden dapat dilihat pada gambar 6.
serta merasa puas dengan kehidupan yang dijalani saat

92
PROSES PENYESUAIAN DIRI DAN SOSIAL PADA PEREMPUAN USIA DEWASA MADYA YANG HIDUP MELAJANG

Proses Penyesuaian Diri Perempuan Usia Dewasa Madya


yang Hidup Melajang berikut ini.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN


7. Proses Penyesuaian Sosial Pada Perempuan Usia
Dewasa Madya yang Hidup Melajang Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
ditunjukkan bahwa proses yang dilalui oleh perempuan usia
Proses penyesuaian yang kedua, yaitu proses
dewasa madya yang hidup melajang untuk dapat
penyesuaian sosial merupakan perubahan kondisi
menyesuaikan diri dan mencapai kondisi saat ini dapat dibagi
eksternal responden dari kondisi awal menjadi kondisi
menjadi dua bagian, yaitu proses penyesuaian diri dan proses
saat ini. Kondisi awal responden menunjukkan adanya
penyesuaian sosial, serta terdapat faktor-faktor yang
respon negatif dari masyarakat terkait dengan status
memengaruhi proses penyesuaian diri dan sosial.
lajangnya sehingga responden merasakan
1) Proses penyesuaian diri
ketidaknyamanan, namun hal tersebut saat ini terlah
Proses penyesuaian diri digambarkan dengan adanya
berubah menjadi kondisi yang menunjukkan kenyamanan
perubahan perasaan dari perasaan awal responden terkait
berada di tengah-tengah masyarakat, serta terciptanya
dengan kehidupan melajang menjadi perasaan saat ini
hubungan saling membantu dengan orang lain. Kondisi
yang menunjukkan kepuasan. Perasaan awal yang
saat ini dapat tercapai karena beberapa tindakan yang
dirasakan responden terkait dengan kehidupan
dilakukan oleh responden seperti tidak melakukan upaya
melajangnya adalah kecewa karena telah melewati usia
yang sistematis untuk menemukan pasangan, fokus
melajang serta merasa khawatir dengan kehidupan masa
membantu keluarga, fokus bekerja, bercerita kepada
tua. Hal tersebut disampaikan oleh responden dengan
keluarga, serta selalu berbuat baik kepada orang lain.
memberikan gambaran secara langsung mengenai hal
Tindakan-tindakan yang dilakukan perempuan lajang
yang menyebabkan timbulnya rasa kecewa serta khawatir.
untuk mencapai penyesuaian sosial tersebut tentunya
Kekecewaan karena merasa telah melewati usia ‘yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti dukungan dari
seharusnya’ untuk menikah dirasakan responden,
keluarga, keinginan untuk menikah, serta pandangan
sedangkan perasaan khawatir yang muncul disebabkan
bahwa perempuan tidak harus menikah maupun memiliki
oleh pemikiran responden bahwa tidak akan ada orang
anak. Proses penyesuaian sosial yang dialami oleh
yang bersedia merawat responden ketika tua.
responden dapat dilihat dalam gambar 7. Proses
Perasaan-perasaan merupakan bentuk dari konflik
Penyesuaian Sosial Perempuan Usia Dewasa Madya yang
internal pada individu, seperti pada hasil penelitian yang
Hidup Melajang berikut ini.
dikemukakan oleh Hapsari, Nisfiannoor, dan Murmanks
(2007), mengungkapkan bahwa beberapa konflik internal
yang dialami oleh perempuan lajang antara lain perasaan
terusik terhadap pernikahan, perasaan sakit hati, dan tidak
enak. Di sisi lain, Nanik (2015) mengemukakan bahwa
perempuan lajang juga merasakan emosi positif seperti
kebahagiaan meskipun merasakan beban akibat melajang.
Lebih lanjut, Nanik (2015) mengungkapkan bahwa
kebahagiaan tersebut dapat tercapai karena perempuan
lajang melakukan upaya untuk mendapatkan solusi dari

93
N. M. D. PRIMANITA DAN M. D. LESTARI

konflik internalnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa proses
Schneiders (1964) mengatakan kekuatan internal penyesuaian diri yang dialami oleh responden tergolong
menyebabkan ketegangan sehingga mendorong individu penyesuaian diri yang baik atau berhasil. Hal tersebut
untuk mengeksplor cara-cara untuk mengurangi dibuktikan dengan kondisi responden saat ini yang
ketegangan tersebut. menunjukkan penerimaan serta kepuasan terhadap kehidupan
Hal yang diungkapkan oleh Nanik (2015), dan lajang.
Schneiders (1964) diatas, sejalan dengan hasil penelitian 2. Proses penyesuaian sosial
ini bahwa saat ini perasaan kecewa dan khawatir terhadap Proses penyesuaian sosial digambarkan dengan
kehidupan melajang tersebut tidak lagi dirasakan oleh perubahan kondisi dari kondisi awal responden yaitu
responden. Responden mengatakan bahwa saat ini mendapatkan respon negatif dari masyarakat menjadi
perasaan-perasaan tersebut telah mengalami perubahan kondisi saat ini yang menunjukkan kenyamanan berada di
menjadi perasaan menerima dan perasaan puas dengan tengah-tengah masyarakat dan menciptakan hubungan
kehidupan saat ini sebagai hasil dari tindakan-tindakan yang saling membantu dengan orang lain. Respon yang
yang dilakukan oleh responden. Hal tersebut diterima oleh responden dari orang lain terhadap
menunjukkan bahwa responden melakukan tindakan- kehidupan melajang adalah berupa pertanyaan serta
tindakan tersebut sebagai usaha untuk mengurangi konflik ujaran yang ‘kurang bersahabat’ sehingga responden
internal yang dirasakan dan mengubahnya menjadi menilai respon tersebut sebagai respon yang negatif dan
penerimaan dan kepuasan terhadap kehidupan melajang. menyinggung perasaan responden. Hal tersebut juga
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Sridharan dan berkaitan dengan yang diungkapkan oleh Tandiono dan
Adiga (2015) menemukan fakta bahwa kepuasan hidup Sudagijono (2016) yaitu bahwa respon negatif dari
dan penyesuaian pada perempuan yang sudah menikah lingkungan sekitar merupakan salah satu faktor yang
tidak berbeda secara signifikan dengan yang belum berisiko menurunkan evaluasi positif perempuan lajang
menikah. Kepuasan yang dirasakan oleh individu dapat terhadap kehidupannya.
menjadi sebuah tanda bahwa proses penyesuaian diri telah Jika dilihat dari perspektif gender, tuntutan menikah
berhasil (Atwater, 1983) cenderung lebih berat pada perempuan daripada laki-laki
Penerimaan dan kepuasan terhadap kehidupan karena menurut Mochtar (2009), nilai dominan yang
melajang yang telah disebutkan di atas merupakan hasil berlaku di masyarakat adalah bahwa pernikahan dan anak
dari tindakan-tindakan responden. Sebagaimana telah merupakan sebuah kebutuhan dasar bagi seorang
dipaparkan sebelumnya, tindakan-tindakan yang perempuan sehingga perempuan yang lajang dianggap
dilakukan oleh responden meliputi menjalani hidup apa sebagai sesuatu yang tidak normal. Dalam penelitian yang
adanya serta tidak terlarut dalam perasaan kecewa dilakukan oleh Mochtar (2009), disampaikan bahwa
maupun khawatir. Dalam menjalani hidup apa adanya, kelompok perempuan lajang merupakan kelompok yang
responden menyatakan bahwa saat ini responden berusaha paling banyak mendapat sorotan dan digambarkan melalui
tidak memikirkan perihal statusnya yang masih melajang, serangkaian stereotip negatif yang didukung dengan
berusaha untuk selalu santai dalam menjalani hidup berbagai julukan bagi perempuan lajang seperti yang
sehari-hari, serta berserah pada Tuhan. Upaya tersebut paling umum adalah “perawan tua” dan biasanya
serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nanik dikaitkan pada sikap yang meremehkan dan memandang
(2015) yaitu bahwa bersyukur dan ikhlas dalam menjalani rendah perempuan lajang. Dalam penelitian yang
hidup merupakan salah satu cara untuk membuat dilakukan oleh Indriana, Indrawati, dan Ayuaningsih
perempuan yang tidak menikah dapat hidup bahagia. (2007) juga disampaikan bahwa teman kerja dari
Selain yang telah dijelaskan di atas, responden juga perempuan lajang cenderung lebih menyoroti status tidak
menyatakan bahwa melajang tidak menjadikan rutinitas menikah dan menyarankan agar segera menikah daripada
sehari-hari responden menjadi terganggu. Tindakan- mendukung pekerjaan profesional dari perempuan lajang.
tindakan tersebut dapat dilihat sebagai contoh perilaku Berdasarkan perspektif gender dan persepsi
yang didasari oleh perkembangan pola pikir pada individu masyarakat mengenai perempuan tersebut kemudian
yang berusia dewasa madya. Berkaitan dengan hal memicu masyarakat untuk cenderung merespon
tersebut, Schneiders (1964) mengemukakan bahwa perempuan lajang secara negatif, namun dalam penelitian
penyesuaian diri juga dapat dipengaruhi perkembangan ini kondisi responden telah berubah menjadi kondisi
dan kematangan individu, sehingga individu akan menunjukkan kenyamanan berada di tengah-tengah
menyesuaikan diri dengan cara-cara yang berbeda masyarakat. Perubahan kondisi awal responden menjadi
tergantung pada pola pikir dan kematangannya. kondisi saat ini dapat terjadi karena adanya tindakan yang
dilakukan oleh responden seperti bercerita kepada

94
PROSES PENYESUAIAN DIRI DAN SOSIAL PADA PEREMPUAN USIA DEWASA MADYA YANG HIDUP MELAJANG

keluarga tentang berbagai pengalaman maupun kehadiran laki-laki atau menunggu pengungkapan rasa
mengungkapkan mengenai permasalahan yang dialami cinta dari laki-laki yang lebih asertif dan memiliki otoritas
termasuk juga emosi yang dirasakan akibat permasalahan lebih tinggi dibanding perempuan. Meilani (2014)
tersebut. Booth dan Cutler (dalam Hurlock, 2000) menunjukkan adanya indikasi bahwa perempuan
menyatakan bahwa terkait penyesuaian sosial pada masa merupakan individu yang pasif dalam mencari cinta dan
dewasa madya, perempuan mempunyai lebih banyak lebih banyak menunggu.
kontak sosial dengan anggota keluarga atau saudaranya Dalam kaitannya dengan teori penyesuaian sosial
daripada orang luar dibandingkan dengan laki-laki. yang diungkapkan oleh Schneiders (1964), responden
Tindakan bercerita yang dilakukan oleh responden harus memiliki kemampuan untuk bereaksi secara efektif
tersebut merupakan bentuk komunikasi responden dengan dan sehat terhadap situasi realitas dan relasi sosial agar
keluarga. Menurut Verdeber (dalam Rahkmat, 1998) tuntutan hidup bermasyarakat dapat dipenuhi dengan cara
komunikasi antarpribadi di dalam keluarga bertujuan yang dapat diterima dan memuaskan. Tindakan yang
untuk mempererat hubungan sosial di antara anggota dilakukan responden berkaitan dengan teori tersebut
keluarga. adalah selalu berusaha untuk berbuat baik kepada orang
Selain bercerita kepada keluarga, tindakan lain yang lain. Hal tersebut juga berkaitan dengan aspek
dilakukan oleh responden adalah memfokuskan diri pada penyesuaian diri menurut Haber & Runyon (1984) yaitu
pekerjaan maupun pada keluarga. Responden tidak lagi hubungan interpersonal yang berkualitas dan bermanfaat
sepenuhnya menjadikan pernikahan sebagai orientasi tercipta karena penyesuaian diri yang baik pada individu.
utama dan tentunya tidak merasakan dan tidak mengalami Berdasarkan hasil yang didapatkan serta kaitannya
berbagai hal yang pada umumnya dirasakan oleh dengan beberapa teori yang telah dijelaskan diatas, secara
perempuan yang menikah sehingga dengan memfokuskan keseluruhan responden menunjukkan proses penyesuaian
diri kepada pekerjaan maupun pada keluarga dapat sosial yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjukkan
menjadi sebuah kompensasi bagi perempuan yang hidup kondisi responden saat ini yang menunjukkan
melajang. Kondisi tersebut senada dengan yang kenyamanan berada di tengah-tengah masyarakat serta
diungkapkan oleh Hurlock (2000) bahwa apabila seorang mampu menciptakan hubungan saling membantu dengan
perempuan belum juga menikah pada waktu berumur 30 orang lain. Nanik & Hendriani (2016) juga
tahun atau lebih, mereka cenderung mengganti tujuan dan mengungkapkan bahwa dengan berbagi dan melakukan
nilai hidupnya ke arah nilai dan tujuan yang baru dan hal-hal positif untuk sesama dapat menimbulkan perasaan
berorientasi pada pekerjaan, karir, dan kesenangan bahagia bagi perempuan lajang.
pribadi. Tindakan responden seperti fokus bekerja dan Tindakan untuk selalu berbuat baik dan membantu
membantu keluarga berkaitan dengan yang diungkapkan orang lain juga menyebabkan berkurangnya respon-
oleh Nanik dan Hendriani (2016) bahwa dengan tetap respon negatif seperti komentar atau ujaran yang
melakukan hal-hal produktif perempuan lajang dapat dianggap ‘kurang bersahabat’ sehingga hal tersebut
menjalani hidup yang bahagia. akhirnya memunculkan perasaan nyaman bagi responden
Dalam menjalani kehidupan melajang, responden untuk berada di tengah-tengah masyarakat. Perubahan
tidak melakukan upaya yang sistematis untuk menemukan respon masyarakat tersebut juga dapat disebabkan oleh
pasangan atau dengan kata lain responden tidak paradigma terhadap perempuan lajang yang berangsur-
menentukan target bahkan strategi untuk mendapatkan angsur mengalami perubahan. Israel (dalam Mochtar,
pasangan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pemikiran 2009) menemukan berbagai pandangan dan stereotip
bahwa usia sudah terlalu tua untuk melakukan upaya negatif mengenai perempuan lajang dalam sejarah sastra
pencarian pasangan, serta adanya pandangan bahwa dan sosial, namun pandangan dan stereotip negatif
perempuan tidak selayaknya aktif mencari laki-laki dan tersebut kemudian berubah menjadi lebih positif seiring
hanya dapat menunggu kehadiran laki-laki. Menurut dengan keberhasilan gerakan feminisme yang tampak
Taylor, Peplau, dan Sears (2009), pengungkapan rasa juga dari julukan yang positif terhadap perempuan lajang.
cinta pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Hal Berkaitan dengan perubahan tersebut, Mochtar (2009)
tersebut berhubungan dengan stereotip gender yang menyimpulkan bahwa penambahan kata-kata dan istilah-
dilekatkan pada laki-laki seperti asertif dan memiliki istilah baru untuk menggambarkan kondisi yang sama,
otoritas yang lebih tinggi, sedangkan perempuan merefleksikan aspek kehidupan sosial yang terkait pada
dilekatkan dengan sifat pemalu, tidak asertif, dan munculnya sebuah istilah sehingga dapat dikatakan
dipandang sebagai subordinat (Taylor, Peplau, & Sears, kondisi lajang pada perempuan mulai diterima sebagai
2009). Stereotip gender tersebut kemudian memengaruhi sesuatu yang umum dalam masyarakat dan mulai
perilaku perempuan lajang yang cenderung menunggu menggeser stereotip negatif. Dalam kamus yang ditulis

95
N. M. D. PRIMANITA DAN M. D. LESTARI

oleh Poerwadarminta (2006), pemakaian kata ‘lajang’ Demikian pula menurut Taylor (2006) yang
disebutkan sebagai kata yang lebih sopan untuk mengungkapkan bahwa dukungan emosional merupakan
menggambarkan perempuan yang tidak menikah. hal yang dilakukan oleh orang terdekat untuk membantu
Demikian juga dengan Endarmoko (2006) yang individu menghadapi kejadian yang memberikan dampak
menyebutkan kata ‘jomblo’ sebagai konotasi yang lebih negatif.
positif terhadap orang-orang yang belum atau tidak Selain dukungan emosional, dukungan secara
menikah baik bagi perempuan maupun laki-laki. finansial juga dilakukan oleh pihak keluarga kepada
3. Faktor-faktor yang memengaruhi proses responden, terutama bagi responden yang sudah tidak
penyesuaian diri dan sosial bekerja, seperti memberikan uang saku secara rutin
Dalam melakukan tindakan untuk mencapai maupun membiayai asuransi responden. Hurlock (2000)
penyesuaian diri maupun penyesuaian sosial, terdapat menyebutkan masalah keuangan sebagai salah satu
beberapa faktor yang memengaruhi. Tindakan yang kondisi umum yang dapat menghambat proses
dilakukan oleh responden untuk menuju perubahan penyesuaian diri bagi orang usia madya. Oleh karena itu,
perasaan serta kondisi awal menjadi perasaan dan kondisi dukungan finansial yang diberikan keluarga dapat
saat ini dipengaruhi oleh adanya dukungan keluarga, ada membantu perempuan lajang untuk menyesuaikan diri
atau tidaknya keinginan untuk menikah, serta pandangan dengan lebih baik.
bahwa perempuan tidak harus menikah dan tidak harus Keinginan responden untuk menikah juga merupakan
memiliki keturunan. faktor yang memengaruhi proses penyesuaian. Responden
Dukungan yang diberikan oleh keluarga kepada yang masih menginginkan untuk menikah disebabkan
responden yaitu menunjukkan penerimaan terhadap oleh adanya keinginan untuk tidak membuat orangtua
kondisi melajang serta berusaha selalu ada untuk cemas. Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian
responden ketika responden membutuhkan. Penelitian Hapsari, Nisfiannoor & Murmanks (2007) bahwa
yang dilakukan Primanita (2016a) menemukan bentuk- keinginan perempuan lajang untuk menikah disebabkan
bentuk penerimaan keluarga terhadap perempuan yang oleh ketidakinginan untuk membebani orangtua. Di sisi
melajang seperti tidak mempermasalahkan status lajang, lain, dalam penelitian ini terdapat pula responden yang
tidak memaksa perempuan lajang untuk menikah, saling sudah tidak memiliki keinginan untuk menikah dengan
bercerita dan mendengarkan, mengajak mengobrol saat alasan yaitu usia yang dianggap sudah melewati usia ideal
acara kumpul keluarga agar perempuan lajang tidak untuk menikah. Hal tersebut berkaitan dengan Hurlock
merasa kesepian, mengunjungi perempuan lajang ke (2000) yang menyimpulkan bahwa perempuan yang
kediamannya, menelepon, serta mengajak perempuan belum menikah setelah memasuki usia 30-an akan
lajang untuk rekreasi bersama. Bentuk-bentuk penerimaan memasuki fase usia kritis (critical age) karena adanya
tersebut tentunya membuat responden merasa dekat pemikiran bahwa perempuan berada dalam persimpangan
dengan keluarga dan merasa bahwa keluarga adalah antara pilihan tetap ingin menikah atau akan bertahan
lingkungan yang kondusif sehingga responden akan menjadi lajang. Baik responden yang masih memiliki
menceritakan berbagai hal kepada keluarga termasuk keinginan untuk menikah maupun tidak memiliki
bercerita ketika responden sedang mengalami masalah keinginan untuk menikah, sama-sama tidak menunjukkan
serta mengungkapkan emosi yang dirasakan. Tindakan upaya ataupun strategi yang bertujuan untuk mendapatkan
yang dilakukan oleh responden tersebut mampu membuat pasangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun
responden tidak terlalu memikirkan masalahnya dan terdapat responden yang masih memiliki keinginan untuk
akhirnya mampu mengalami perubahan perasaan maupun menikah, upaya pencarian pasangan tidak menjadi fokus
mampu memecahkan masalah. utama dalam menjalani kehidupan. Nanik & Hendriani
Menurut Schneiders (1964) keadaan lingkungan yang (2016) mengungkapkan bahwa sebagian di antara
baik, damai, aman, tenteram, penuh penerimaan dan perempuan yang tidak menikah berusaha aktif mencari
pengertian, serta mampu memberikan perlindungan bagi karena ingin menikah, namun terdapat pula yang ingin
anggotanya merupakan lingkungan yang akan menikah, tetapi tidak berusaha aktif mencari dan lebih
memperlancar proses penyesuaian. Jika dikaitkan dengan mengutamakan kesibukan rutinitas bekerja. Faktor lain
tipe dukungan menurut House (dalam Smet, 1994), yang memengaruhi proses penyesuaian diri dan sosial
dukungan keluarga yang dirasakan oleh responden adalah pada perempuan dewasa madya yang hidup melajang
dukungan emosional. Dukungan emosional dapat adalah adanya pandangan bahwa perempuan tidak harus
dirasakan oleh perempuan lajang apabila merasa bahwa menikah dan tidak harus memiliki keturunan. Hurlock
keluarga dapat bertindak sebagai tempat yang aman dan (2000) menyatakan bahwa pada masyarakat tradisional
damai untuk beristirahat dan juga menenangkan pikiran. melajang merupakan hal yang tidak wajar. Kebanyakan

96
PROSES PENYESUAIAN DIRI DAN SOSIAL PADA PEREMPUAN USIA DEWASA MADYA YANG HIDUP MELAJANG

masyarakat memandang status pernikahan sebagai hal yang bersifat internal dan eksternal. Faktor internal
yang penting bagi perempuan. merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu
Demikian pula dengan yang diungkapkan oleh yaitu keinginan menikah dan pandangan bahwa
Mulder (dalam Kurniasari & Leonardi, 2013) yaitu bahwa perempuan tidak harus menikah atau tidak harus memiliki
dalam bingkai tradisional yang berfalsafah, menjadi istri keturunan, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar
dan ibu adalah sebuah kodrat dan amanah budaya bagi individu seperti dukungan emosional dan finansial yang
perempuan. Senada dengan hal tersebut, Herdiansyah diberikan oleh keluarga. Faktor-faktor tersebut termasuk
(2016) mengungkapkan bahwa dalam sistem dalam tataran kognitif dan afektif karena berkaitan
kekeluargaan patrilineal, seperti pada beberapa daerah di dengan pandangan, keinginan, dan emosi.
Indonesia, perempuan lebih dituntut untuk melakukan Berdasarkan pemaparan diatas, maka dalam
aktivitas seperti mengasuh anak dan mengurus rumah penelitian ini diperoleh tiga kesimpulan. Pertama, proses
tangga. Berdasarkan teori tersebut, dapat dilihat bahwa penyesuaian diri yang dilalui responden adalah proses
pandangan yang dimiliki oleh responden bertentangan perubahan perasaan dari perasaan kecewa dan khawatir
dengan pandangan masyarakat tradisional dan masyarakat terkait status lajangnya menjadi perasaan menerima dan
dengan sistem kekeluargaan patrilineal pada umumnya. puas dengan kehidupan saat ini. Perubahan tersebut dapat
Pandangan responden tersebut kemudian memengaruhi terjadi karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
tindakan responden untuk tidak melakukan upaya yang responden seperti menjalani hidup apa adanya dan tidak
mengharuskan untuk segera mendapatkan pasangan.\ terlarut dalam perasaan kecewa dan khawatir. Kedua,
Perbedaan pandangan antara masyarakat dan proses penyesuaian sosial yang dialami responden adalah
pandangan responden mengenai konsep perempuan proses perubahan kondisi awal responden dengan
tersebut dapat terjadi akibat adanya kemungkinan kehidupan melajangnya seperti mendapatkan respon
pergeseran konsep atau pandangan masyarakat tentang negatif dari masyarakat menjadi kondisi yang
kodrat seorang perempuan. Konsep mengenai perempuan menunjukkan kenyamanan berada di tengah-tengah
yang dahulu dipandang harus menikah dan memiliki masyarakat dan mampu menciptakan hubungan saling
keturunan bergeser menjadi konsep saat ini yang lebih membantu dengan orang lain. Perubahan tersebut dapat
mengutamakan kebebasan perempuan dalam memilih terjadi karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
jalan hidupnya termasuk untuk memilih tidak menikah responden seperti berbagi cerita dengan keluarga,
dan tidak memiliki anak karena berbagai alasan. Hal memfokuskan diri pada keluarga dan pekerjaan, tidak
tersebut didukung oleh yang diungkapkan oleh Nanik & melakukan upaya yang sistematis untuk mendapatkan
Hendriani (2016) bahwa di lingkungan dengan pasangan, serta selalu berusaha berbuat baik kepada orang
masyarakat yang moderat terhadap pilihan dan gaya hidup lain. Ketiga, tindakan-tindakan yang dilakukan responden
tidak menikah serta mengakui kesetaraan gender, dalam proses mencapai penyesuaian diri dan sosial
perempuan yang tidak menikah masih mendapatkan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : dukungan
pengakuan secara positif sebagai wanita yang mandiri, keluarga, ada atau tidak adanya keinginan untuk menikah,
wanita sukses dengan mengambil jalan lain melalui serta adanya pandangan bahwa perempuan tidak harus
pengembangan karir dan peningkatan diri. Berkaitan menikah dan tidak harus memiliki keturunan.
dengan hal tersebut, Taylor, Peplau, dan Sears (2009)
mengungkapkan bahwa perempuan saat ini lebih
dilekatkan dengan sifat-sifat yang lebih mandiri, sehingga DAFTAR PUSTAKA
perempuan saat ini lebih mampu untuk menentukan arah
hidupnya. Atwater, E. (1983). Psychology of adjustment 2nd ed. USA: Prentice
Faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, Hall, Inc., Englewood Cliffs.
Badan Pusat Statistik. (2016a). Persentase penduduk berumur 10
menunjukkan bahwa tindakan yang ditampilkan oleh
tahun ke atas menurut provinsi, jenis kelamin, dan status
responden untuk mencapai penyesuaian diri dan sosial
perkawinan, 2009-2013. Diunduh Februari 2016, dari
dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang Badan Pusat Statistik:
memengaruhi seperti dukungan keluarga, keinginan untuk http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1150
menikah, serta adanya pandangan bahwa perempuan tidak Badan Pusat Statistik. (2016b). Persentase rumah tangga menurut
harus menikah atau tidak harus memiliki keturunan. daerah tempat tinggal, kelompok umur, jenis kelamin
Ketiga faktor tersebut merupakan faktor yang secara kepala rumah tangga, dan status perkawinan, 2009-2013.
bersamaan memengaruhi proses penyesuaian diri maupun Diunduh Februari 2016, dari Badan Pusat Statistik:
penyesuaian sosial pada perempuan usia dewasa madya http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1605
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2014).
yang hidup melajang serta dapat dipilah menjadi faktor
Usia kawin pertama rata-rata nasional. Diunduh Februari

97
N. M. D. PRIMANITA DAN M. D. LESTARI

2016, dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Olson, D. H., & DeFrain, J. (2003). Marriage and families : intimacy,
Nasional: diversity, and strengths 4th ed. New York: McGraw-Hill
http://www.bkkbn.go.id/kependudukan/Pages/DataSensus/ Higher Education.
Sensus_Penduduk/Pola_Perkawinan/Rata_Usia_Kawin_Per Poerwadarminta, W. J. (2006). Kamus umum bahasa Indonesia.
tama/Nasional.aspx Jakarta: Balai Pustaka.
Creswell, J. W. (2015). Penelitian kualitatif & desain riset : memilih Primanita, N.M.D. (2016a). Penerimaan keluarga terhadap seorang
diantara lima pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. perempuan usia dewasa madya yang hidup melajang. Studi
Creswell, J. W. (2016). Research design : penelitian kualitatif, Kasus (Naskah Tidak Dipublikasikan). Program Studi
kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Duvall, E. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and development, Primanita, N.M.D. (2016b). Sekilas tentang kehidupan melajang
6th ed. USA: Hurper & Row Publisher, Inc . perempuan dewasa madya.(Artikel Tidak Dipublikasikan).
Fatimah, E. (2008). Psikologi perkembangan. Bandung: Pustaka Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas
Setia. Udayana .
Fikri, A. (2015, Juni 26). BKKBN kampanyekan batas usia nikah 21 Putra, D. F. (2014, November 11). Gaya hidup. Diunduh April 20,
tahun. Diunduh Februari 2016, dari Tempo.Co: 2017, dari cnnindonesia.com:
https://m.tempo.co/read/news/2015/06/26/060678737/bkkb http://www.cnnindonesia.com/gaya-
n-kampanyekan-batas-usia-nikah-21-tahun hidup/20141111124655-255-10746/beragam-alasan-orang-
Haber, A., & Runyon, R. P. (1984). Psychology of adjustment. memilih-hidup-melajang/
Illinois: The Dorsey Press. Rakhmat, J. (1998). Psikologi komunikasi. Bandung: Rosdakarya.
Hapsari, P., Nisfiannoor, M & Murmanks, A.W. (2007). Konflik Santrock, J. (2006). Life span development 10th ed. New York:
perempuan jawa yang masih melajang di masa dewasa McGraw-Hill.
madya. Jurnal Arkhe , 41-56. Schneiders, A. A. (1964). Personal adjustment and mental health.
Herdiansyah, H. (2016). Gender dalam perspektif psikologi. Jakarta: New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Salemba Humanika. Septiana, E., & Syafiq, M. (2013). Identitas "lajang" (single identity)
Hurlock, E. (2000). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan dan stigma : studi fenomenologi perempuan lajang di
sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga. Surabaya. Jurnal Psikologi dan Terapan , 84.
Indriana, Y., Indrawati, E. S., & Ayuaningsih, A. (2007). Persepsi Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.
perempuan karir lajang tentang pasangan hidup : studi Sridharan, C., & Adiga, P. (2015). Life satisfaction and adjustment
kualitatif fenomenologis di Semarang. Jurnal Arkhe , 153. among married and unmarried women. Global Journal for
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2015, Juni). Situasi Research Analysis , 1-3.
kesehatan reproduksi remaja. Diunduh Februari 2016, dari Strauss, & Corbin. (1990). Basic of qualitative research : grounded
Depkes.go.id: www.depkes.go.id/pdf.php?id=15090200001 theory procedures and techniques. USA: Sage Publication.
Kristiyani. (2000). Pengaruh berpikir positif terhadap penyesuaian Sugiyono. (2015). Metode penelitian kombinasi (mix method).
diri perempuan pramenopause di Kelurahan Kebonringin. Bandung: Alfabeta.
Pramenopause, 1-16. Tandiono, I. M., & Sudagijono, J. S. (2016). Gambaran subjective
Kurniasari, K., & Leonardi, T. (2013). Kualitas perempuan lanjut well-being pada wanita usia dewasa madya yang hidup
usia yang melajang. Jurnal Psikologi Pendidikan dan melajang. Jurnal Experentia , 4 (2), 7.
Perkembangan , 1-8 Taylor, S.E. (2006). Health psychology 6th ed. New York: Mc Graw
Lehmiller, J. J. (2014). The psychology of human sexuality . United Hill.
Kingdom: Willey Blackwell. Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial
Matlin, M. W. (2008). The psychology of women, 6th ed. USA: 12th ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Thomson Wadsworth.
Meilani, N. L. (2014). Artikulasi persepsi dan preferensi pemanfaatan
biro jodoh oleh perempuan. Jurnal Parallela , 4.
Mochtar, J. (2009). Membaca ideologi jender dalam chick lit Inggris
dan Indonesia. Disertasi. Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia .
Moleong, L. J. (2014). Metode penelitian kualitatif . Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Nanik. (2015). Aku perempuan yang berbeda dengan perempuan lain
di jamanku: aku bisa bahagia meski aku tidak menikah.
Seminar Nasional Positive Psychology, 350-362
Nanik, & Hendriani, W. (2016). Studi kajian literatur: wanita tidak
menikah di berbagai negara. Seminar ASEAN 2nd
Psychology and Humanity , 7.
Noviana, C. L., & Suci, E. S. (2010). Konflik intrapersonal
perempuan lajang terhadap tuntutan orangtua untuk
menikah. Jurnal Psikologi Indonesia , 16.

98

Anda mungkin juga menyukai