Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Usia dewasa madya adalah masa di mulai dari usia 40 tahun sampai 60 tahun, dimana
saat perubahan fisik dan psikologis menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif
(Hurlock,1980). Seperti halnya tugas-tugas dalam perkembangan pada periode lainnya,
(Hurlock, 1980) mengemukakan tugas perkembangan usia madya yaitu tugas yang berkaitan
dengan perubahan fisik, tugas ini meliputi untuk berkeinginan dalam melakukan penerimaan dan
penyesuaian dengan berbagai perubahan fisik yang normal terjadi pada usia madya. Tugas
perkembangan lainnya adalah tugas yang berkaitan dengan perubahan minat, berkaitan dengan
penyesuaian kejujuran yakni pada pemantapan dan pemeliharaan standart hidup yang relatif
mapan. Selanjutnya, tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, hal ini merupakan
kategori yang sangat penting berkaitan dengan seseorang dalam menjadi pasangan suami istri,
menyesuaikan dengan orang tua yang lanjut usia, dan membantu anak remajanya untuk menjadi
orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia. Namun, tidak semua orang mampu
menyelesaikan tugas perkembangannya dalam setiap fase usia nya. Misalnya dalam memilih
pasangan atau berkeluarga, dalam fase usia madya tidak lagi ada pada tahapan perkembangan
memilih pasangan dan berkeluarga, melainkan menghadapi peran sebagai individu yang
produktif dan kreatif baik sebagai orang tua, pekerja atau suami-istri (Tandiono & Sudagijono,
2016).

Pada usia dewasa madya, individu menghadapi tugas perkembangan utama, yaitu pilihan
hidup menjadi individu yang generative atau stagnasi (Santrock, 2000). Generative mencakup
kedudukan sebagai orang tua, menjadi orang tua termasuk mendidik anak, mengayomi, pekerja,
suami/istri, termasuk mengurus suami, mempersiapkan segala urusannya suami, warga negara
dan lain sebagainya. Menurut (Yulia,2009) dalam situs suarausu-online.com terdapat suatu
norma di dalam masyarakat bahwa setiap orang yang telah memasuki masa dewasa sebaiknya
memiliki pasangan dan memasuki jenjang pernikahan entah karena nilai pribadi terhadap nilai
budaya dan agama. Namun tidak semua orang yang memasuki usia dewasa memilih untuk
menikah, karena ada individu-individu yang sudah memasuki usia dewasa bahkan sampai pada
usia dewasa madya belum atau bahkan memilih untuk tidak menikah atau yang biasa di sebut
dengan kata melajang.
Perempuan lajang menurut Laswell & Laswell (dalam Christie, dkk, 2013) merupakan
para perempuan yang pada suatu masa yang bersifat temporary ( Sementara tanpa pasangan ) ,
yaitu biasanya di lalui sebelum menikah dan dapat juga bersifat jangka panjang jika merupakan
suatu pilihan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa melajang bisa merupakan pilihan hidup atau
bahkan karena sebuah keterpaksaan akibat beberapa faktor padahal memiliki keinginan untuk
hidup berumah tangga. Hidup melajang atau hidup sendiri berarti individu sudah memikirkan
resiko yang akan timbul sehingga mau tidak mau individu tersebut harus siap menanggung
segala kerepotan yang muncul dalam perjalanan hidupnya (Mahmudah, 2016).
Menurut survey Badan Pusat Statistik 2010 masih banyak Wanita lajang di usia madya,
persentase perempuan yang belum menikah rentang usia 40-59 tahun lebih tinggi dibandingkan d
engan penduduk laki-laki dari jumlah penduduk total. Jumlah perempuan yang belum menikah di
Indonesia rentang usia 40-59 tahun mencapai 549.466 orang atau sekitar 2,05% dari jumlah pend
uduk total. Presentase untuk laki-laki yang belum menikah di Indonesia dengan rentang usia yan
g sama hanya sekitar 1,55% atau setara dengan 531.092 orang dari jumlah penduduk total. Badan
pusat statistik Indonesia (2010) juga menunjukkan, terjadinya peningkatan persentase kepala
rumah tangga berjenis kelamin wanita yang belum menikah di perkotaan dan perdesaan usia 45-
59 tahun. Sebelumnya, pada tahun 2009 persentase wanita yang belum menikah sebesar 2,78 %,
menjadi 3,24 % di tahun 2010.
Berdasarkan hasil penelitian (Wulandari, 2016) ada beberapa faktor yang melatarbelakan
gi wanita untuk tidak menikah yaitu : (1) terlanjur memikirkan karir dan pekerjaannya, (2) adany
a prioritas kehidupan yang lain, informan merasa pernikahan bukan hal yang dapat memberikan
kebahagiaan, (3) ingin memiliki kebebasan, (4) perasaan dibutuhkan oleh keluarga dirumah, dan
(5) ketakukan akan permasalahan konflik rumah tangga.
Adapun manfaat yang di peroleh ketika seseorang menjalin hubungan intim, yaitu
mampu memiliki rasa empati, dapat memberikan dukungan emosional, kemampuan untuk
bersikap terbuka, dan kemampuan dalam mengatasi konflik (Arumdina, 2013). Namun apabila in
dividu belum dapat menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, maka ia akan mengalam
i perasaan terisolasi (Papalia, dkk, 2004). Menurut (Wardani & Septiningsi, 2016) Wanita madya
yang tidak menikah menunjukkan 4 tipe kesepian yang dialami yaitu kesepian emosional (meras
a kurang mendapatkan kasih sayang dari keluarga dan belum terpenuhi), kesepian kognitif (hany
a mencurahkan hati dengan kakak), kesepian sosial (tidak memiliki peran dalam masyarakat, kea
daan lingkungan tempat tinggal sepi), dan culture shock (merasa kesulitan menyesuaikan diri saa
t berada dilingkungan baru). Berdasarkan hasil penelitian (Septiana & Syafiq, 2013) para
partisipan melaporkan bahwa mereka di anggap dan diperbincangkan sebagai perawan tua,
perempuan tidak laku, dan memiliki sifat tertutup yang tidak mendukung terjalinnya hubungan
intim. Pengalaman stigma tersebut mempengaruhi kondisi psikologis sebagai perempuan lajang,
yaitu tekanan dan kesepian.

Menurut (Santrock, 2002) mendefinisikan bahwa kesepian adalah ketika individu merasa
tidak seorangpun memahami nya dengan baik, merasa terisolasi, dan tidak memiliki seorangpun
untuk dijadikan pelarian ketika dibutuhkan atau saat ia merasa stres. Sementara menurut Baron
& Byrne (dalam Hardiani, 2020) kesepian merupakan suatu reaksi emosional dan kognitif
terhadap dimilikinya hubungan yang lebih sedikit dan lebih tidak memuaskan daripada yang
diinginkan oleh individu. Individu yang menginginkan teman namun tidak memilikinya ialah
orang yang kesepian.

Dalam mengatasi berbagai masalah, individu membutuhkan peran resiliensi. Resiliensi


merupakan atribut penting yang menjadi kemampuan individu untuk memberikan ketegaran
dalam menghadapi segala tantangan dalam kehidupan secara sukses Wijasena, (dalam
Rosyani,2012). Sementara itu penelitian yang menghubungkan antara resiliensi dan kesepian
pernah dilakukan oleh Sari & Listiyandini (2015: 45) dengan penelitian yang berjudul
“Hubungan antara Resiliensi dengan Kesepian (Loneliness) pada Dewasa Muda Lajang” hasil
dari penelitian ini menggambarkan adanya hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antar
kedua variabel. Hal ini memiliki arti bahwa apabila resiliensi pada individu dewasa muda lajang
rendah maka kesepian (loneliness) yang dirasakan tinggi begitupun sebaliknya apabila resiliensi
tinggi 12 maka kesepian (loneliness) rendah. Berdasarkan penelitian ini resiliensi memberikan
kontribusi sebesar 10,5% dalam menurunkan kesepian.

Hasil penelitian lainnya di lakukan oleh (Hardiani Riska, 2020) dalam judul penelitiannya
“Hubungan Resiliensi dengan Kesepian pada Mahasiswa Merantau” peneliti menyimpulkan
bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara resiliensi dengan kesepian pada mahasiwa
perantau, yang artinya semakin tinggi resiliensi pada mahasiswa perantau maka semakin rendah
tingkat kesepiannya begitupun sebaliknya.

Penelitian lain juga di lakukan oleh (Jakobsen, dkk, 2020:8) dalam jurnal yang berjudul “
The Relationship between Resilience and Loneliness Elucidated by a Danish version of the
resilience scale for adults “ menunjukkan bahwa penelitian ini menunjukkan skala resiliensi
untuk orang dewasa yang ada dalam sample Denmark dan hasilnya adalah semua aspek resiliensi
berhubungan negatif dengan kesepian dalam artian semakin tinggi tingkat ketahanannya maka
akan semakin rendah tingkat kesepian.

Berdasarkan penelitian di atas, peneliti sampai saat ini belum menemukan penelitian
tentang hubungan resiliensi dengan kesepian pada wanita lajang dewasa madya, sehingga
peneliti tertarik untuk mengangkat tema tersebut. Dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui
hubungan antara resiliensi dengan kesepian pada wanita lajang dewasa madya, sehingga yang di
harapkan wanita lajang yang memilih untuk tidak atau belum menikah pada usia dewasa madya
mampu bertahan dan mampu meningkatkan resiliensinya sehingga kesepian yang di rasakan
dapat teratasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan di teliti dalam
penelitian ini adalah adakah “Hubungan Resiliensi dengan Kesepian terhadap Wanita Lajang
Dewasa Madya?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sesuai rumusan masalah yang di temukan, yaitu untuk mengetahui hubungan
antara resiliensi dengan kesepian terhadap wanita lajang usia dewasa madya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan mampu menambah wawasan atau pengetahuan kepada semua
masyarakat khususnya wanita yang memilih untuk tidak atau belum menikah untuk menagatasi
masa masa kesepiannya.
2. Manfaat Praktis

a. Bagi orang tua

Dapat mengetahui dampak ketika memiliki anak yang masih melajang di usia dewasa madya dan
dapat mengetahui solusi mengatasi hal tersebut sehingga mampu melakukan antisipasi agar tidak
terjadi penundaan atau keterlambatan dalam menikah.

b. Bagi wanita dewasa lajang

Dapat mengetahui solusi untuk mengatasi permasalahan kesepian ataupun permasalahan lainnya
sehingga muncul adanya tindakan.

Anda mungkin juga menyukai