Anda di halaman 1dari 9

STUDI FENOMENOLOGI: GAMBARAN RESILIENSI PADA SINGLE MOTHER

DEWASA MENENGAH YANG MEMILIKI PERAN GANDA DALAM KELUARGA

RANCANGAN PROPOSAL PENELITIAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknik Penulisan Skripsi

Dosen pengampu: Dr. Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M. Si.

Disusun oleh:

Agastyansah Rio Khamdani (G0119002)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat dan merupakan


suatu kesatuan sosial yang diikuti oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya.
Menurut DeGenova (2008), keluarga adalah sekelompok orang yang disatukan dalam
ikatan pernikahan, hubungan darah, adopsi, dan hubungan seksual ekspresif lainnya di
mana orang dewasa saling bekerja sama secara finansial untuk saling mendukung
kebutuhan keluarga.
Pada umumnya keluarga dibentuk melalui ikatan pernikahan. Pernikahan
merupakan suatu hubungan antara seorang pria dan wanita yang diakui secara sosial agar
dapat melakukan hubungan seksual secara sah, memperoleh legitimasi status kelahiran
anak, dan pembagian tanggung jawab peran antara suami-istri (Duvall & Miller, 1985).
Anggota keluarga umumnya terdiri dari suami dan istri atau orang tua dan anak.
Namun, faktanya tidak semua keluarga memiliki kedua orang tua yang lengkap. Sehingga
memunculkan istilah single parent atau orang tua tunggal. Menurut Hurlock (1999),
single parent merupakan orang tua yang memiliki tanggung jawab untuk mengasuh
anaknya tanpa bantuan maupun kehadiran pasangannya setelah adanya perceraian,
kematian pasangan, maupun kelahiran anak di luar nikah.
Menurut Santrock (2002) terdapat dua macam single parent yaitu single parent
father atau single father dan single parent mother atau single mother. Single mother
adalah seorang ibu yang berperan sebagai orang tua dan harus menggantikan peran suami
atau ayah sebagai kepala keluarga, pengambilan keputusan, dan pencari nafkah di
samping kewajibannya untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak
(Santrock, 2002). Menurut Firdaus (dalam Azara, dkk., 2022), seorang wanita dapat
menjadi single mother karena disebabkan oleh faktor perceraian, pasangan yang
merantau, dan kematian pasangan.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh BPS
(Badan Pusat Statistik) pada tahun 2011, jumlah orang tua tunggal wanita atau single
mother di wilayah perkotaan adalah 3.644.160 jiwa, dengan rincian sebanyak 781.520
jiwa wanita menjadi single mother karena perceraian dan sebanyak 2.882.640 jiwa wanita
menjadi single mother karena suaminya lebih dahulu meninggal dunia. Sedangkan di
wilayah pedesaan, jumlah orang tua tunggal wanita atau single mother adalah 5.270.876
jiwa, dengan rincian sebanyak 1.076.833 jiwa wanita menjadi single mother karena
perceraian dan sebanyak 4.194.043 jiwa wanita menjadi single mother karena suaminya
lebih dahulu meninggal.
BPS (Badan Pusat Statistik) mengungkapkan bahwa jumlah rumah tangga yang
dikepalai oleh wanita mencapai 14,29% atau sekitar 7 juta dari 30 juta rumah tangga di
Indonesia pada tahun 2011. Jumlah tersebut meningkat menjadi 14,84% pada tahun 2014
dan terus meningkat hingga 15,17% pada tahun 2017. Data dari BPS juga menunjukkan
bahwa terjadi kenaikan rumah tangga yang dikepalai wanita secara konsisten sejak tahun
1985 hingga 2014 rata-rata sebesar 0,1% setiap tahunnya.
Single mother dianggap memiliki tantangan yang lebih besar daripada seorang
single father (Syilfiah, 2012). Menjadi single mother bukanlah peran yang mudah,
apalagi jika berada di lingkungan masyarakat yang cenderung menganut budaya patriarki
seperti di Indonesia. Keluarga single mother yang tidak utuh karena ketiadaan pasangan
menyebabkan adanya ketidakseimbangan dalam keluarga sehingga dapat menimbulkan
perubahan peran dan beban tugas yang ditanggung untuk merawat anak (Sudarso, 2003).
Seorang istri atau ibu yang biasanya berperan dalam mengurus urusan rumah tangga dan
mengasuh anak, kini juga harus berperan sebagai seorang ayah dalam menjadi kepala
keluarga dan mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga ketika berperan
sebagai single mother.
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2002), individu yang telah memasuki masa
dewasa menengah yaitu usia 40-60 tahun akan dihadapkan pada kehidupan yang lebih
luas serta pengalaman yang lebih banyak. Perubahan tidak hanya pada masalah fisik dan
kognitif yang berkaitan dengan penuaan saja, tetapi lebih kepada peristiwa-peristiwa
kehidupan yang dihubungkan dengan keluarga dan pekerjaan. Pada masa dewasa
menengah, individu melibatkan diri secara khusus dalam karir, pernikahan, dan hidup
berkeluarga (Desmita, 2007). Ringkasnya, Lachman (dalam Santrock, 2002)
mengungkapkan bahwa pada masa dewasa menengah individu dituntut agar dapat
menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan tanggung jawab di tengah perubahan fisik
dan psikologis yang terus berlangsung seiring dengan proses penuaan. Tugas
perkembangan tersebut dapat menjadi lebih berat bagi single mother yang telah
memasuki masa dewasa menengah karena di sisi lain mereka juga harus dihadapkan pada
berbagai macam permasalahan atas status dan perannya sebagai seorang single mother.
Studi kualitatif yang dilakukan oleh Fill (dalam Olson, 2014) terhadap single
mother yang berusia 33 hingga 44 tahun menunjukkan bahwa terdapat berbagai tantangan
dihadapi oleh single mother, seperti manajemen waktu, mengasuh anak yang sakit
sebagai orang tua tunggal, dan menghadapi stigma sosial yang negatif. Studi yang
dilakukan oleh Bock (dalam Olson, 2014) terhadap single mother yang berusia paruh
baya mengungkapkan bahwa terdapat empat hal yang dapat mendorong seorang wanita
atau ibu berhak untuk menjadi single mother, yaitu usia dan kedewasaan, tingkat
tanggung jawab pribadi yang ditunjukkan, keamanan emosional, dan kemampuan
keuangan. Selain itu, kemampuan dalam hal moral dan agama juga dapat membuat
seorang wanita atau ibu merasa kompeten sebagai single mother.
Meskipun demikian, single mother tetap dihadapkan pada berbagai macam
permasalahan atas status dan perannya sebagai seorang single mother. Masalah yang
dialami oleh single mother antara lain, yaitu masalah kurangnya dukungan sosial dan
emosional, rasa kehilangan pasangan, dan masalah keuangan (Faradina, 2012). Penelitian
yang dilakukan oleh Glazer, dkk. (dalam Naufaliasari & Andriani, 2013) menunjukkan
bahwa kematian pasangan dapat mempengaruhi pengasuhan yang dilakukan oleh single
mother kepada anaknya. Tak jarang single mother yang mengasuh anaknya seorang diri
dapat mengalami gangguan fisik dan psikologis (Kisworowati, 2010). Beberapa single
mother mengalami tekanan batin antara harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan
mengurus rumah yang menimbulkan dampak seperti sedih, cemas, marah, frustasi,
pusing, letih, susah tidur, dan penurunan stamina (Zuhdi, 2019). Dalam lingkup sosial,
terdapat anggapan-anggapan yang sering memojokkan single mother. Para single mother
sering menjadi objek gosip, korban sasaran seksual dari pria, dan kecemburuan seksual
dari wanita yang sudah memiliki pasangan (Parker, dkk., 2016).
Single mother juga dihadapkan pada beratnya peran ganda yang harus dijalani
yaitu bertanggung jawab penuh atas anak dan mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang semula ditopang oleh suami (Utami & Hanani, 2018). Peran
ganda tersebut dapat berpotensi menimbulkan stres akibat kesulitan dalam mengatur
waktu antara sebagai wanita karir dan mengasuh anak, terutama pada saat yang
bersamaan (Sari & Yuwono, 2019). Sehingga masalah pekerjaan dan keluarga memiliki
kemungkinan untuk saling bertentangan dan dapat menjadi stresor baru yang dihadapi
oleh single mother (Marliani, dkk., 2020; Minnote, 2011).
Dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, resiliensi sangat
dibutuhkan oleh single mother. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan
beradaptasi, serta kapasitas individu untuk menghadapi dan memecahkan masalah setelah
mengalami kesengsaraan (Grotberg, 1999). Resiliensi merupakan suatu proses adaptasi
individu setelah mengalami peristiwa traumatis, seperti bencana, tragedi, ancaman,
maupun peristiwa yang secara signifikan menyebabkan stres, misalnya perceraian,
kematian dalam keluarga, penyakit terminal, pemutusan hubungan kerja, maupun
masalah finansial (Yunita, dkk., 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Wardhana (2015) menunjukkan bahwa
terdapat beberapa hal yang dihadapi oleh wanita setelah menjadi janda, yaitu penurunan
kondisi fisik, pandangan negatif masyarakat sekitar atas statusnya sebagai seorang janda,
kebutuhan akan sosok pasangan, masalah finansial, serta kepengasuhan anak. Agar dapat
menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut, diperlukan kemampuan resiliensi yang
ditunjang dengan adanya support system, religiusitas, dan personality traits. Proses
resiliensi juga ditandai dengan adanya peningkatan pada kondisi diri, kemampuan diri,
serta fungsi-fungsi diri sebagai respon positif dalam menghadapi masa-masa sulit.
Resiliensi diharapkan dapat membantu single mother untuk bertahan dari
kesulitan, mengatasi tekanan dengan cara yang lebih sehat, memotivasi diri dan bangkit
dari keadaan tertekan serta mampu memahami dan melaksanakan peran ganda sebagai
orang tua tunggal dalam mencari nafkah dan mengasuh anak secara efektif.

B. Rumusan Masalah Penelitian


Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut dapat diketahui bahwa tidak
sedikit dari wanita-wanita di Indonesia yang berstatus sebagai single mother dan
memiliki peran ganda dalam keluarga. Dalam menjalani status dan perannya tersebut,
single mother dihadapkan pada berbagai permasalahan maupun kesulitan. Tantangan
tersebut menjadi lebih berat karena bagi single mother yang telah memasuki masa dewasa
menengah, single mother akan melibatkan diri secara khusus dalam karir, pernikahan,
dan hidup berkeluarga. Oleh karena itu, single mother harus memiliki kemampuan
resiliensi agar dapat bertahan dan bangkit dari permasalahan maupun kesulitan yang
dihadapi sehingga dapat menjalankan peran gandanya dalam keluarga dengan efektif.
Sehingga rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana
gambaran resiliensi pada single mother dewasa menengah yang memiliki peran ganda
dalam keluarga?”

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran resiliensi pada
single mother dewasa menengah yang memiliki peran ganda dalam keluarga.

D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran secara teoritik pada
disiplin ilmu psikologi serta mampu memberikan informasi mengenai fenomena
resiliensi pada single mother dewasa menengah yang memiliki peran ganda dalam
keluarga.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi subjek
Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengoptimalkan kemampuan
adaptasi positif terkait bagaimana membangun resiliensi single mother dewasa
menengah yang memiliki peran ganda dalam keluarga sehingga dapat
menjalankan peran tersebut dengan efektif.
2) Bagi pihak-pihak terkait
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi keluarga
dan masyarakat agar dapat merangkul dan membantu single mother dewasa
menengah yang memiliki peran ganda dalam keluarga melalui dukungan sosial
berupa moril maupun materiil agar single mother dapat beradaptasi dengan situasi
sulit dan memecahkan masalah yang dihadapi.
3) Bagi peneliti lain
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan pertimbangan
untuk menindaklanjuti dan mengembangkan kajian teoritis maupun penelitian
yang lebih mendalam dengan topik yang relevan.
DAFTAR PUSTAKA

Azara, F., et al. (2021). The relationship between emotion regulation and resilience in single
mothers possesing multiple roles in malang city. International Conference of Psychology,
222-229.

Badan Pusat Statistik. (2016). Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut provinsi,
jenis kelamin, dan status perkawinan (2009-2015). Retrived from https://www.bps.go.id
Badan Pusat Statistik. (2018). Persentase rumah tangga menurut provinsi, daerah tempat
tinggal, dan jenis kelamin kepala rumah tangga 2009-2017. Retrieved from
https://www.bps.go.id

DeGenova, M. K. (2008). Intimate relationships, mariages, & families (7th ed.). New York:
McGraw-Hill.
Desmita. (2007). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Duvall, E. M. & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development (6th ed.). New York:
Harper & Roe Publishers, Inc.

Faradina, A. F. (2012). Konflik pekerjaan-keluarga dan coping pada single mother. Jurnal
Psikologi Industri dan Organisasi, 1(2), 104-111.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: suatu perkembangan sepanjang rentang


kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Kalil, A. (2003). Family resilience and good child outcomes: A review of the literature.
Wellington: Ministry of Social Development.

Marliani, R., et al. (2020). Regulasi emosi, stres, dan kesejahteraan psikologis: Studi pada ibu
work from home dalam menghadapi pandemi covid-19. Karya Tulis Ilmiah LP2M UIN
SGD Bandung.

Minnote, K. L. (2011). Family structure, gender, and the work-family interface: Work-to-family
conflict among single and partnered parents. Journal of Family and Economic Issues, 33,
95-107.
Naufaliasari, A. & Andriani, F. (2013). Resiliensi pada wanita dewasa awal pascakematian
pasangan. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 2(2).

Olson, D. H., DeFrain, J. & Skogrand, L. (2014). Marriages and families: Intimacy, diversity,
and strenghts (8th ed.). New York: McGraw-Hill Education.

Parker, L., Riyani, I. & Nolan, B. (2016). The stigmatisation of widows and divorcees (janda) in
Indonesia, and the possibilities for agency. Indonesia and The Malay World, 22(128), 27-
46.

Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The resilience factor: Essential skilss for overcoming life’s
inevitable obstacles. New York: Broadway Books.

Santrock, J. W. (2002). Life-span development. Jakarta: Erlangga.

Sari, D. N. & Yuwono, S. (2019). Stres kerja pada ibu single parent. Doctoral Dissertation.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sari, P. P., & Wardhana, I. S. P. (2015). Resiliensi pada wanita setelah kehilangan pasangan
akibat sudden death. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 4(2).
Sudarso, W. (2003). Peran single parent dalam lingkungan keluarga. Bandung: PT. Rosda
Karya.

Syilfiah, D. (2012). Peran ayah sebagai orang tua tunggal dalam keluarga. Skripsi tidak
diterbitkan, Tantangan Single Mother Berpendidikan Rendah Dalam Memberikan
Pendidikan Tinggi Pada Anak-Anaknya. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Hasanuddin Makassar.

Utami, N. P. & Hanani, S. (2018). Kebertahanan wanita simalanggang menjalani single mother.
Turast: Jurnal Penelitian dan Pengabdian, 6(1), 25-36.

Zuhdi, M. S. (2019). Resiliensi pada Ibu Single Parent. Martabat: Jurnal Wanita dan Anak, 3(1),
141-160.

Anda mungkin juga menyukai