Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam kehidupan masyarakat, yang

dalam struktur idealnya adalah sepasang suami istri dan anaknya. Keluarga adalah

rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan juga menyediakan

terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif

keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan (Lestari, 2012).

Coleman dan Cressey (Muadz, 2010) menambahkan, keluarga adalah sekelompok

orang yang dihubungkan oleh pernikahan, keturunan, atau adopsi yang hidup

bersama dalam sebuah rumah tangga. Keluarga merupakan lapangan pendidikan

yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua, bapak dan ibu adalah

pendidik kodrati, mengawasi, melindungi serta membimbing keturunan mereka

(Jalaludin, 2010).

Meskipun keberadaan kedua orang tua sangat penting, namun banyak

dijumpai dalam keluarga baik ayah atau ibu memiliki peran ganda, yaitu sebagai

ayah juga ibu ataupun sebagai ibu juga ayah. Kondisi keluarga dengan peran ganda

dapat terjadi karena terjadi perpisahan dalam hubungan perkawinan. Hubungan

perkawinan yang terikat ini terdapat kemungkinan mengalami perpecahan/

1
perpisahan, jika salah satu unsur dari suami/istri meninggalkan ikatan tersebut

dengan berbagai alasan.

Perpisahan dalam ikatan pernikahan membuat tanggung jawab yang

seharusnya dipikul bersama, beralih dipikul oleh salah satu pihak saja. Perpisahan

pada pernikahan mengubah status orang tua menjadi single parent atau orang tua

tunggal. Hurlock (1994) menyatakan bahwa single parent adalah orang tua tunggal

(mungkin ibu, mungkin ayah) yang bertanggung jawab atas anak setelah kematian

pasangannya, perceraian, atau karena kelahiran anak di luar pernikahan.

Kondisi tentang orang tua tunggal dalam keluarga menarik untuk dikaji

lebih jauh khususnya pada ibu tunggal. Hal ini dikarenakan perempuan tanpa suami

yang menjadi ibu tunggal, khususnya karena perceraian, dinilai sebagai aib bagi

sebagian keluarga karena perceraian berarti kelemahan sebagai perempuan dan istri

dalam sebuah perkawinan (Zulminarni, 2012). Pendapat Zulminarni (2012) tersebut

diperkuat oleh pendapat Rahayu (2017), bahwa tanpa pernah mau melihat berbagai

faktor penyebab dan kondisi perempuan bercerai, masyarakat cenderung

menghakimi dan memberikan label buruk pada perempuan bercerai.

Rahayu (2017) menjelaskan lebih lanjut, karena label buruk dan

penghakiman dari masyarakat itu menyebabkan banyak perempuan yang mati-

matian bertahan dalam perkawinannya karena merasa tidak sanggup menghadapi

tekanan sosial sebagai perempuan bercerai. Seorang perempuan akan tetap memilih

bertahan menjadi seorang istri, walaupun harus mengalami berbagai tindak

kekerasan dan ketidakadilan, atau bahkan ditinggalkan suaminya tanpa kabar

selama bertahun-tahun (Rahayu, 2017).

2
Perempuan disebut sebagai orang tua tunggal apabila dirinya sudah tidak

lagi hidup bersama suami dan pengasuhan anak seluruhnya menjadi tanggung

jawabnya sendiri (Aprilia, 2013). Saat ini, jumlah kepala keluarga perempuan terus

meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional

(Susenas), rata-rata pertumbuhan kepala rumah tangga perempuan dalam kurun

tahun 2016-2020 secara nasional naik cukup signifikan, yakni 31% atau 43.058

perempuan (Maharrani, 2021). Sebagian dari perempuan yang menjadi kepala

rumah tangga tersebut hidup di bawah garis kemiskinan (Mashabi, 2020).

Dari data-data di atas menunjukkan bahwa semakin banyak perpisahan

dalam keluarga, semakin menambah jumlah ibu tunggal yang menjadi kepala

keluarga. Untuk mendukung data-data di latar belakang penelitian tentang ibu

tunggal, peneliti melakukan wawancara langsung dengan enam narasumber.

Narasumber yang diwawancarai merupakan ibu tunggal dengan latar belakang,

jumlah anak atau tanggungan, cara mencari nafkah, dan lamanya menjadi ibu

tunggal berbeda-beda.

Dalam wawancara, keenam narasumber menjelaskan bahwa peran suami

dan ayah yang menghilang berpengaruh besar terhadap kehidupan keluarga. Peran

suami dan ayah yang menghilang, membuat para narasumber harus mengalami stres

yang disebabkan oleh perasaan sedih karena kehilangan dan berduka. Selain itu,

keenam narasumber merasa stres karena tekanan dan tanggung jawab dirasakan

menjadi berkali-kali lipat. Perasaan itu terjadi ketika ibu tunggal harus menghadapi

masalah, memutuskan suatu hal, dan melakukan segala sesuatunya sendiri, yang

biasanya dilakukan berdua. Ketidakberdayaan itu dirasa bertambah oleh semua

3
narasumber, karena dalam kehidupannya sebagai ibu tunggal, mereka menjadi

mudah merasa kesepian dan sendirian.

Menjalani peran sebagai orang tua tunggal berarti mengalami perubahan

yang dapat menimbulkan beberapa permasalahan, sebab seseorang yang semula

berperan hanya sebagai ibu, harus berperan juga sebagai ayah (Perlmutter dan Hall,

1985). Hal ini sejalan juga dengan yang diungkapkan oleh Fassinger dan

McLanahan (Pranandari, 2011) bahwa keharusan orang tua tunggal perempuan

memenuhi semua kebutuhan keluarga, anak, serta kebutuhan dirinya sendiri

membuatnya mengalami stres yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan

yang masih memiliki suami.

Perasaan berduka dan kehilangan merupakan salah satu stressor dan

terdapat stressor lain pada ibu tunggal, yaitu hilangnya sumber mata pencaharian

untuk menafkahi anak atau keluarga. Permasalahan finansial selalu menjadi hal

pokok penting yang dikhawatirkan seorang ibu saat memulai kehidupannya sebagai

ibu tunggal. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh salah satu

narasumber yang diwawancarai. Narasumber A berpendapat, sebagai ibu dari

beberapa orang anak, narasumber merasa khawatir dan cemas tentang kondisi

keuangannya di masa depan. Saat ditinggalkan suami meninggal dunia, kondisi

ekonomi rumah tangga narasumber A sudah lebih dari cukup, dan narasumber A

mempunyai pekerjaan dengan jabatan yang cukup tinggi.

Kesulitan di bidang ekonomi dirasakan lebih berat oleh kelima narasumber

lain, karena ketika menjadi ibu tunggal mereka sedang tidak mempunyai pekerjaan

ataupun sumber mata pencaharian sendiri. Mereka menyatakan bahwa untuk

4
bertahan dan melangsungkan hidup, mereka harus mengesampingkan rasa

malunya, agar tetap bisa mengusahakan anaknya untuk makan dan sekolah. Kondisi

keuangan kelima narasumber ini lebih banyak dibantu oleh orang tua dan anggota

keluarga lain, lalu oleh teman dan rekan sejawatnya.

Sejalan dengan kondisi kesulitan finansial ibu tunggal di atas, terdapat

penelitian dari Olson, DeFrain, & Skogrand (2010) yang menyebutkan perempuan

sebagai orang tua tunggal dihadapkan pada permasalahan-permasalahan baru dalam

hidupnya, karena tanggung jawabnya menjadi lebih besar serta harus

menghadapinya seorang diri. Salah satu permasalahan yang sering muncul adalah

permasalahan finansial yang dapat mempengaruhi well being individu, orang tua

tunggal yang mengalami permasalahan finansial tersebut dapat mengalami depresi

dan berkurangnya kepercayaan diri (Olson, DeFrain, & Skogrand, 2010).

Kurangnya kepercayaan diri atau stres yang dialami pada ibu tunggal, dapat

disebabkan juga oleh tekanan sosial dari masyarakat, yaitu dengan adanya stigma

negatif pada janda. Stigma negatif pada status janda menjadi salah satu hal yang

dipikirkan oleh keenam narasumber yang diwawancara, keenam narasumber

berpendapat bahwa stigma negatif pada status janda harus dihadapi sebagai langkah

pembuktian diri pada lingkungan atau masyarakat. Pembuktian diri itu dilakukan

dengan menjaga perilakunya untuk tetap berada dalam norma-norma sosial dan

moralitas yang baik, sehingga akan membantu penilaian negatif sebagai janda tidak

dialami oleh masing-masing narasumber.

Keenam narasumber juga berpendapat, dengan adanya stigma negatif pada

janda, mereka menjadi kurang nyaman untuk disebut janda, walaupun mereka

5
menyadari bahwa mereka memang seorang janda. Dua dari enam ibu tunggal yang

diwawancarai, lebih nyaman dengan istilah single parent dibandingkan istilah janda

dengan anak. Sedangkan satu ibu tunggal lebih memilih menyatakan status janda

dengan anak yatim, sehingga lebih menekankan pada status anaknya yang yatim

(ditinggal meninggal oleh ayahnya) dibandingkan dengan status jandanya.

Tiga narasumber yang lain tetap menerima sebutan janda sebagai resiko

yang harus dihadapi, walaupun dengan perasaan yang kurang nyaman. Seperti yang

diungkapkan oleh narasumber E, bahwa ia menyadari sebutan janda membuat ia

tidak nyaman tapi ia tetap harus menghadapi. Menurutnya, ia perlu menjaga

perilakunya dari anggapan negatif. Narasumber C mengatakan, bahwa yang setiap

yang dia lakukan selalu dikaitkan dengan statusnya sebagai janda.

Dari pernyataan narasumber di atas, bahwa stigma negatif pada status janda

memang dirasakan dan harus dihadapi oleh narasumber. Banyaknya pandangan

negatif dari masyarakat terhadap status janda dijelaskan juga oleh Damayanti

(2015), bahwa status janda membuat seorang perempuan sulit berbaur dengan

masyarakat yang masih memandang negatif pada status janda. Padahal para

perempuan yang menjadi janda membutuhkan dukungan sosial untuk bangkit dan

menyelesaikan permasalahan nya, namun tidak semua masyarakat bisa memaklumi

status janda (Damayanti, 2015).

Permasalahan-permasalahan dan penyesuaian-penyesuaian yang harus

dilakukan terhadap perubahan, berdampak juga kepada kesehatan mental dan fisik

keenam narasumber. Keenam narasumber menyatakan bahwa, dua sampai empat

tahun pertama adalah masa-masa yang paling berat untuk dihadapi. Dampak fisik

6
yang dirasakan oleh semua narasumber adalah gangguan tidur, gangguan makan,

gangguan pada pencernaan, sampai pada berkurangnya berat badan. Sedangkan

dampak psikis yang dialami diantaranya adalah kesulitan mengontrol emosi, sedih

berkepanjangan, over thingking, insecure, gelisah, terdapat rasa bersalah yang kuat,

tidak percaya diri, sampai pada hilangnya fokus dan konsentrasi pada pekerjaan.

Dari keenam narasumber yang diwawancarai, narasumber B harus

menghadapi gangguan fisik seperti insomnia, gangguan emosi seperti lebih mudah

marah, gangguan kognitif seperti tidak bisa berkonsentrasi sampai lebih dari empat

(4) tahun. Narasumber B mengakui, sebagai seseorang yang emosional, dia harus

memahami dan menghadapi dirinya terlebih dulu agar bisa memahami dan

mengatasi kesulitannya yang lain. Rasa duka dan kehilangan yang dirasakan oleh

narasumber B karena suaminya meninggal, membuat narasumber B kehilangan

nafsu makannya, semangat hidupnya, dan mengalami kesulitan untuk bekerja

sampai 1,5 tahun.

Kelima narasumber yang lain juga menceritakan, karena nafsu makan yang

berkurang drastis, mereka mengalami penurunan berat badan dalam waktu yang

relatif cepat. Selain itu, karena over thinking dan gelisah, mereka mengalami

kesulitan tidur selama beberapa bulan di awal kehidupannya menjadi seorang ibu

tunggal. Disadari atau tidak, keadaannya sebagai kepala keluarga, membuat

narasumber merasa harus menjadi ibu yang bertanggung jawab dan terbaik untuk

anak-anak dan keluarganya. Sehingga, pemikiran seperti itu memberikan tekanan

dan ketegangan pada kondisi jiwanya.

7
Gangguan kesehatan mental yang dialami oleh ibu tunggal dijelaskan dalam

studi yang dilakukan di Mc Master University, yang menyebutkan bahwa ibu

tunggal berisiko tiga kali lipat lebih tinggi mengalami gangguan kesehatan mental

(Octavia, 2020). Kesulitan-kesulitan dalam bidang sosial ataupun ekonomi, dapat

menjadi permasalahan ketika ibu tunggal tersebut merasa kewalahan dan tidak

mampu untuk mengatasi permasalahan kesulitan-kesulitan itu dengan efektif.

Ketidakmampuan mengatasi permasalahan menjadi stres yang dapat menyebabkan

beberapa dampak pada kesehatan psikis dan fisiknya, yang diantaranya adalah stres,

depresi, panic attack, bipolar, gangguan makan, gangguan tidur, dan lain

sebagainya (Octavia, 2020).

Maka dari penjelasan di atas terlihat bahwa ibu tunggal mengalami stres

karena adanya ketidakmampuan dari mereka saat mengatasi permasalahan-

permasalahannya. Stres juga dirasakan ketika apa yang diharapkan tidak sesuai

dengan kenyataannya, sehingga mereka merasakan rasa bersalah yang kuat.

Ketidakmampuan dan adanya ketimpangan harapan berakibat pada kesehatan fisik

maupun mentalnya, seperti pada kemampuan kognisinya, perubahan emosi yang

relatif cepat dan drastis, atau adanya gangguan pada fisiknya.

Dampak stres pada ibu tunggal selain terjadi kepada diri ibu tunggalnya

sendiri, juga dapat berdampak pada anak-anak yang diasuh oleh ibu tunggal. Fakta

yang paling menonjol di lapangan tentang dampak stres ibu tunggal pada anaknya

terdapat pada dua orang ibu tunggal yang diwawancarai. Narasumber B mengalami

kesulitan dalam mengontrol emosinya sendiri, yang mengakibatkan narasumber

sulit berkomunikasi dengan anaknya. Kesulitan berkomunikasi pada anaknya juga

8
berpengaruh pada narasumber B untuk memahami anaknya, dan kondisi tersebut

terjadi sampai bertahun-tahun.

Sementara pada narasumber C, hubungan narasumber dengan anaknya

menjadi renggang karena anaknya menjaga jarak selama proses perpisahan dengan

mantan suaminya. Kondisi tersebut membuat narasumber C mengalami kesulitan

untuk meninggalkan anaknya, sehingga narasumber C memilih tidak bekerja

sampai satu (1) tahun. Pada empat ibu tunggal lain menyatakan bahwa dengan

menjadi ibu tunggal, mereka merasakan keharusan untuk berkomunikasi lebih

sering dan lama dengan anak-anaknya. Keempat narasumber mempunyai

kekhawatiran, keadaan sebagai ibu tunggal dapat mengurangi perhatian dan kasih

sayang pada anak-anaknya, sehingga anak-anaknya menjadi korban broken home.

Dari hasil wawancara di atas, keenam narasumber mengalami gejala stres

yang beragam dan tentunya mengalami dampak stres yang tidak ringan seperti

adanya gangguan pada fisik, psikis, dan kognisinya. Melihat dampak stres yang

tidak ringan, perlu teknik yang tepat untuk mengurangi atau menghilangkan

dampak stres. Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa salah satu cara

untuk memahami pertanyaan-pertanyaan mengenai stres adalah dengan mengetahui

lebih lanjut tentang situasi yang dialami, salah satu upaya untuk mengetahui situasi

tersebut adalah dengan membuka diri, mengungkapkan diri atau self-disclosure

sebagai bentuk komunikasi dasar yang baik kemungkinan dapat meringankan stres.

Dari semua komponen tindak komunikasi, yang paling penting adalah diri

(self), bila seseorang mengungkapkan diri kepada orang lain, sekaligus orang itu

mengungkapkan dirinya kepada dirinya sendiri (DeVito, 2018). DeVito (2018)

9
menyatakan pengungkapan diri (self-disclosure) mengacu pada pernyataan-

pernyataan pengungkapan informasi tentang diri yang baru, belum diketahui, dan

bisa tersembunyi dengan disengaja secara sadar. Self-disclosure menurut DeVito

(2018) adalah proses mengungkapkan suatu informasi secara signifikan tentang diri

sendiri kepada orang lain atau sekelompok orang, dan informasi tersebut biasanya

tidak diketahui oleh orang lain.

Salah satu tujuan utama komunikasi adalah menyangkut penemuan diri

(personal discovery) (DeVito, 2108). Lebih lanjut lagi, DeVito menyatakan bahwa

jika seseorang berkomunikasi dengan orang lain, seseorang tersebut akan belajar

mengenai dirinya sendiri juga tentang orang lain. Dengan berbicara tentang diri

sendiri dengan orang lain, seseorang dapat memperoleh umpan balik yang berharga

mengenai perasaan, pemikiran, dan perilakunya. Dari perjumpaan seperti itu,

seseorang akan menyadari, misalnya, bahwa perasaan dan pemikirannya ternyata

tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Perasaan dan pemikiran yang tidak

jauh berbeda dengan orang lain ini merupakan pengukuhan positif.

Pengukuhan positif tersebut membantu seseorang merasa ‘normal’ (DeVito,

2018). Kondisi ‘normal’ yang disebutkan oleh DeVito, merupakan pemahaman dari

kondisi individu yang bebas dari tekanan, kegelisahan, ataupun rasa penolakan

yang dapat membangun rasa bersalah. Jika kita merasa orang lain menolak kita, kita

cenderung menolak diri sendiri juga (DeVito, 2018). Rasa bersalah, penolakan, dan

kegelisahan, adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan stress.

Komunikasi membantu keenam narasumber untuk merasa sama dan

mengalami hal-hal yang tidak menambah beban pikirannya. Keenam narasumber

10
berharap dengan bercerita tentang kehidupannya atau curhat (mencurahkan isi hati)

kepada seseorang dapat mengurangi dampak stres pada hidupnya. Seperti yang

dijelaskan oleh Narasumber E, bahwa dengan banyak berkomunikasi dan

mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapinya, dapat membantu

untuk mengurangi kesulitan-kesulitan pribadi, diantaranya kesulitan ekonomi.

Narasumber F juga menyatakan bahwa dengan tetap bercerita dan mengemukakan

apa yang dirasakannya, dapat mengurangi rasa kesepian dan rasa bersalahnya, yang

terjadi karena narasumber menganggap perpisahan dalam rumah tangga merupakan

kesalahannya.

Keenam narasumber bercerita atau mencurahkan pikirannya, dengan

frekuensi dan durasi yang berbeda-beda. Narasumber A, D, E, dan F sering bercerita

dan curhat di tahun pertama sampai tahun kedua menjadi ibu tunggal. Narasumber

C membutuhkan waktu 2 sampai 3 tahun untuk melepaskan kegundahan hatinya

dengan curhat kepada ibunya. Namun, narasumber B memerlukan waktu yang lebih

lama sampai 4 tahun untuk curhat dan bercerita kepada ibu dan temannya yang

seorang psikolog.

Perkiraan rata-rata para narasumber bercerita dan mengungkapkan perasaan

dan pikirannya adalah kurang lebih dilakukan saat setiap mengalami kesulitan,

merasakan emosi negatif, atau ketika memikirkan sesuatu dalam pikirannya. Seperti

narasumber B mengakui bahwa setiap dia membutuhkan saran atau pendapat

tentang bagaimana menghadapi anaknya, dia akan bertanya kepada ibu atau teman

dekatnya. Narasumber B memperkirakan sendiri bahwa perilaku itu dilakukan 2

11
kali dalam seminggu, dan semakin lama rentang waktunya menjadi beberapa kali

dalam sebulan.

Hal-hal yang dibicarakan atau diungkapkan oleh keenam narasumber tidak

hanya hal-hal yang negatif namun juga hal yang positif. Walaupun diawali dengan

hal-hal yang negatif, namun pada akhirnya para narasumber menemukan hal-hal

positif yang dapat memberikan dampak yang positif juga. Seperti pada cerita yang

disampaikan oleh narasumber B, dia ‘curhat’ kepada temannya yang seorang

psikolog, bahwa narasumber B merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan baik

pada anaknya sendiri.

Narasumber B bercerita, karena tekanan dan emosi negatif yang

dirasakannya, dia melampiaskannya kepada anak pertamanya dengan berbicara dan

berkomunikasi dengan nada tinggi. Melihat cara berbicara ibunya seperti itu,

anaknya merespon dengan ikut berteriak dan menjadi marah kepada ibunya.

Narasumber B menyadari keadaan yang kurang baik itu, sehingga dia memutuskan

untuk bercerita kepada temannya yang seorang psikolog.

Ketika menceritakan kepada temannya, narasumber B mendapatkan

jawaban yang berisi insight tentang apa yang sedang terjadi dalam dirinya.

Penyampaian yang disampaikan oleh temannya itu menjadi dorongan pada

narasumber B untuk lebih memahami dirinya sendiri. Hal ini menjadikan ia lebih

mengerti bagaimana caranya untuk meredakan tegangan dan tekanan dalam dirinya

sendiri, agar bisa menghadapi anaknya dengan lebih baik lagi.

Dalam mengungkapkan dirinya, keenam narasumber mempunyai satu

kesamaan, yaitu dari kondisi yang dialaminya para narasumber menyadari bahwa

12
mereka dalam keadaan yang membutuhkan suatu pertolongan atau bantuan dari

seseorang. Pertolongan atau bantuan itu didapatkan dengan cara menceritakan

kesulitannya sendiri dengan secara terbuka dan apa adanya. Dari kejujuran dan

keterbukaan itulah, mereka dapat mengungkapkan dirinya secara lebih baik dan

lebih banyak lagi, sehingga para narasumber mendapatkan balasan atau dampak

yang diharapkan.

Seperti yang dikatakan oleh narasumber F, memang awalnya ia merasa malu

dan takut untuk bercerita. Tapi karena sudah tidak tahan dengan tekanan emosinya,

ia akhirnya bercerita kepada ibu atau teman dekatnya agar bebannya terlepas dan

perasaannya menjadi lega. Sedangkan narasumber A mengatakan, karena

kesendiriannya, ia harus menghadapi semuanya dengan mandiri. Ada waktu-waktu

tertentu saat ia sudah tidak kuat dan menangis sendirian. Untuk melegakan pikiran

dan mengatasi kesepiannya, ia akhirnya memberanikan curhat kepada rekan

kerjanya di kantor.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa para narasumber

mempunyai tujuan dan maksud ketika melakukan self-disclosure. Apa yang

diungkapkannya itu dapat sesuai dengan apa yang dibutuhkan, diharapkan, atau

diinginkan oleh narasumber. Pada narasumber B, dengan mengungkapkan kondisi

dirinya, dia mendapatkan pemahaman tentang dirinya sendiri. Lalu pada

narasumber C, dengan mengungkapkan diri pada keluarganya, dia mendapatkan

dukungan dan perlindungan dari keluarganya. Begitupun dengan tujuan keempat

narasumber lainnya, mengungkapkan diri dilakukan untuk memberikan rasa lega

dan ketenangan.

13
Keenam narasumber juga menjelaskan dalam bercerita dan mengungkapkan

apa yang ada dalam pikirannya, mereka tidak akan melakukannya kepada

sembarangan orang. Lingkaran terdekat yang dipercaya untuk bercerita dan

mencurahkan perasaan dan pikiran adalah pada lingkaran keluarga seperti orang tua

atau saudara. Selanjutnya, mereka bercerita kepada sahabat atau teman terdekat,

lalu kepada rekan kerja atau pihak profesional seperti konselor atau psikolog.

Hal-hal yang diungkapkan pun beragam dan sesuai dengan kepada siapa

narasumber mengungkapkan dirinya. Misalnya ketika menghadapi masalah tentang

anak atau dengan mantan pasangannya, para narasumber lebih sering bercerita

kepada orang tua, atau keluarganya. Sedangkan jika berkaitan tentang masalah

ekonomi dan kebutuhan pekerjaan, rata-rata narasumber bercerita kepada teman

atau rekan kerjanya. Namun, jika mereka menginginkan jawaban yang lebih dalam

untuk mengenali atau bahkan menyelesaikan permasalahan dalam dirinya,

narasumber akan bercerita dan meminta saran kepada pihak yang lebih

professional, seperti psikolog.

Bagaimana peran self-disclosure pada kesehatan mental juga terdapat pada

penelitian-penelitian lain, yaitu dijelaskan oleh Johnson (1996), yaitu self-

disclosure memungkinkan kita untuk memvalidasi persepsi kita tentang realitas,

self-disclosure dapat membantu mengelola stres dan kesulitan, dan pengungkapan

diri memenuhi kebutuhan manusia untuk diketahui secara erat (Pinakesti, 2016).

Dukungan sosial yang baik dapat membangun kemampuan seseorang untuk

menghadapi stresnya dengan efektif, sedikit pengungkapan tentang perasaan dan

pengalaman negatif kepada teman atau psikoteraphis dapat membangun fungsi

14
sistem ketahanan tubuh dan mengurangi kebutuhan pada kasus medis apapun

(Lahey, 2012).

Penjelasan tentang efek dari self-disclosure yang dapat mengurangi stres,

dikaitkan dengan dua mekanisme, yaitu: melampiaskan perasaan negatif dapat

membangkitkan perasaan lega (Zhang, 2017). Dalam penelitian oleh Stiles (1987),

efek dari perasaan negatif tersebut menjadi berkurang bila diekspresikan atau

diceritakan kepada orang lain, hal tersebut disebut “katarsis” (Zhang, 2017). Self-

disclosure bisa membuat pikiran menjadi tenang dan tidak terganggu oleh kejadian

yang muncul, sehingga memungkinkan individu mengevaluasi dan memahami

masalah yang sedang atau telah dialami dan meningkatkan kemampuan yang ada

pada diri individu, seperti yang dijelaskan oleh Feldman, Joorman, & Johnson

(2008) (Zhang, 2017).

Sedangkan Derlega dkk. (1993) menyatakan bahwa seseorang yang

melakukan self-disclosure mendapatkan keuntungan sosial (Zhang, 2017). Dan

Clark & Mills (1979) menambahkan, dengan self-disclosure, seseorang

mendapatkan sumber daya dari orang lain, baik itu dukungan emosional atau

bantuan; menumbuhkan hubungan yang interdependensi, saling memberi yang bisa

memunculkan rasa aman, self-acceptance, bisa memahami diri sendiri dan

memperoleh solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi nyata dalam (Zhang,

2017).

Dari pemaparan di atas, maka peneliti ingin meneliti tentang hubungan self-

disclosure dengan tingkat stress pada ibu tunggal yang menjadi kepala keluarga.

Hal ini didasari oleh peneliti belum menemukan penelitian tentang ibu tunggal yang

15
dijadikan sampel dalam penelitian dengan variabel self-disclosure dan stres.

Peneliti berharap dengan sampel penelitian yang berbeda, yaitu ibu tunggal, dapat

memberikan tingkat masalah dan kesimpulan yang berbeda. Oleh karena itu,

peneliti tertarik untuk melihat lebih lanjut bagaimana keterkaitan self-disclosure

dengan stres pada ibu tunggal.

1.2 Identifikasi Masalah

Perpisahan yang terjadi dalam ikatan pernikahan membuat tanggung jawab

yang seharusnya dipikul bersama, beralih dipikul oleh salah satu pihak saja.

Fassinger dan McLanahan (Pranandari, 2011) menyatakan bahwa keharusan orang

tua tunggal perempuan memenuhi semua kebutuhan keluarga, anak, serta

kebutuhan dirinya sendiri membuatnya mengalami stres yang lebih besar

dibandingkan dengan perempuan yang masih memiliki suami. Para ibu tunggal

mengalami gejala stres yang beragam dan tentunya mengalami dampak stres yang

tidak ringan seperti adanya gangguan pada fisik, psikis, dan kognisinya.

Ibu tunggal yang menjadi narasumber penelitian ini mengalami ketegangan

dan tekanan yang terjadi terus menerus sehingga menjadi gangguan dalam

kehidupannya. Gangguan yang terjadi berupa gangguan pada fisik seperti adanya

gangguan pola tidur dan makan, lalu gangguan pada perilaku dan emosi seperti

mudah marah atau menangis. Salah satu penyebab yang menjadi tekanan, adalah

masalah ekonomi, karena setelah perpisahan dengan pasangan membuat ibu harus

berperan ganda menjadi pencari nafkah untuk anak-anaknya. Ibu tunggal juga

16
Selain itu, stigma negatif status janda di masyarakat menjadi masalah sosial yang

harus dialami para ibu tunggal.

Ibu tunggal merasakan komunikasi menjadi salah satu hal yang dipikirkan

dan dilakukan ketika mencari solusi dalam masalahnya. Ibu tunggal berharap

dengan bercerita tentang kehidupannya atau menurahkan isi hatinya kepada

seseorang agar dapat merasakan ketenangan. Setiap ibu tunggal bercerita dengan

frekuensi dan durasi yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan dan beratnya

masalah yang ingin diceritakan. Maksud dan tujuan ibu tunggal ketika bercerita itu

tidak semuanya untuk mencari solusi untuk masalahnya, tetapi ibu tunggal

membutuhkan teman untuk mendengarkan sehingga mereka tidak merasa sendiri.

Melihat dampak stres yang tidak ringan, perlu teknik yang tepat untuk

mengurangi atau menghilangkan dampak stres. Lazarus dan Folkman (1984)

mengatakan bahwa dengan membuka diri, mengungkapkan diri atau self-disclosure

sebagai bentuk komunikasi dasar yang baik kemungkinan dapat meringankan stres.

DeVito (2018) menyatakan pengungkapan diri (self-disclosure) mengacu pada

pernyataan-pernyataan pengungkapan informasi tentang diri yang baru, belum

diketahui, dan bisa tersembunyi dengan disengaja secara sadar.

DeVito (2018) menyatakan bahwa jika seseorang berkomunikasi dengan

orang lain, seseorang tersebut akan belajar mengenai dirinya sendiri juga tentang

orang lain. Dari perjumpaan seperti itu, seseorang akan menyadari, misalnya,

bahwa perasaan dan pemikirannya ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan

orang lain. Perasaan dan pemikiran yang tidak jauh berbeda dengan orang lain ini

merupakan pengukuhan positif.

17
Pengukuhan positif tersebut membantu seseorang merasa ‘normal’ (DeVito,

2018). Kondisi ‘normal’ yang disebutkan oleh DeVito, merupakan pemahaman dari

kondisi individu yang bebas dari tekanan, kegelisahan, ataupun rasa penolakan

yang dapat membangun rasa bersalah. Jika kita merasa orang lain menolak kita, kita

cenderung menolak diri sendiri juga (DeVito, 2018). Rasa bersalah, penolakan, dan

kegelisahan, adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan stress.

Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam

penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara self-disclosure dengan tingkat

stres pada ibu tunggal sebagai kepala keluarga?”.

1.3 Tujuan

Sesuai dengan permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui ada atau tidaknya hubungan self-disclosure dengan tingkat stres pada

ibu tunggal sebagai kepala keluarga.

1.4 Manfaat

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka hasil

penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang self-disclosure, stres,

dan ibu tunggal, khususnya bagi peneliti lain dan pembaca pada umumnya.

18
b. Untuk memperkaya ilmu psikologi dan menambah wawasan dalam wacana

ilmu pengetahuan khususnya mengenai self-disclosure, stres, dan penelitian

pada subjek ibu tunggal.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan untuk

menambah dan meningkatkan perkembangan penelitian khususnya tentang

self-disclosure dan tingkat stres pada ibu tunggal yang menjadi kepala

keluarga di Indonesia.

b. Bagi ibu tunggal sebagai kepala keluarga, hasil penelitian ini diharapkan

untuk meningkatkan self-disclosure-nya dan membantu kesehatan

mentalnya.

c. Bagi masyarakat, dapat membantu masyarakat untuk lebih baik lagi dalam

memerhatikan warganya terutama pada ibu tunggal, serta memberi

dukungan kepada ibu tunggal dan anaknya.

19

Anda mungkin juga menyukai