Anda di halaman 1dari 8

WIDOWHOOD

Kematian pasangan adalah salah satu peristiwa hidup yang paling traumatis bagi orang-orang
dari segala usia. Kehilangan yang dialami secara mendalam pada dasarnya mengacu pada
disintegrasi identitas pribadi. Keluarga yang berduka sering kali menderita masalah
emosional, finansial, dan fisik akibat kematian pasangannya. Cara seseorang menghadapi
tantangan penuaan bergantung pada berbagai faktor fisik, emosional, dan spiritual (Harris,
Lampe, & Chaffin, 2004).
Pasangan yang menikah dan memiliki anak pada tahun 1990an dan pernikahannya tidak
berakhir dengan perceraian atau perpisahan dikatakan dapat berharap untuk hidup bersama
selama 45 tahun. Mengingat angka harapan hidup sejak lahir adalah 80 tahun untuk
perempuan dan 74 tahun untuk laki-laki, meskipun saat menikah laki-laki biasanya dua tahun
lebih tua dibandingkan perempuan, sehingga perempuan menjadi janda selama delapan tahun
(U.S. Bureau of Census, 2005). Semakin panjang angka harapan hidup perempuan berarti
jumlah janda lebih banyak dibandingkan duda pada tingkat usia apa pun.

Tabel 8.4 di atas menunjukkan rasio pada berbagai kelompok umur (U.S. Bureau of the
Census, 2005). Salah satu alasannya adalah karena rasio ini, tingkat pernikahan kembali di
antara para janda lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pernikahan kembali di antara
para duda. Semakin tua seseorang pada saat pasangannya meninggal, semakin rendah
peluangnya untuk menikah lagi.
Selain tekanan psikologis karena kehilangan pasangan dan kebutuhan untuk membangun
kembali rasa percaya diri, para janda menghadapi beberapa masalah praktis dalam kehidupan
sehari-hari (DeGarmo dan Kipson, 1996). Masalah yang paling sering ditemukan adalah
kesepian. Beberapa janda mengidealkan pasangannya sehingga sulit mengatasi rasa
kehilangan. Para janda merindukan suaminya sebagai teman dan partner dalam beraktivitas.
Masalah ini semakin parah ketika perempuan tersebut berpenghasilan rendah dan tidak
mampu melakukan banyak aktivitas sosial di luar rumah. Hal ini dapat menyulitkan seorang
janda untuk merasa diterima dalam lingkungan sosial di mana kebanyakan orang datang
dengan pasangannya. Janda juga sering mengalami frustrasi seksual. Bagi banyak janda yang
hidup sendirian, kesepian merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Tentu saja, jika para
janda dapat terhubung dengan teman dan keluarga, rasa kesepian akan berkurang. Teman
lebih penting daripada pasangan atau anak-anak dalam meminimalkan pengalaman kesepian
di kalangan lansia yang tidak menikah (Hall-Eston dan Mullins, 1999). Mereka yang
menikah namun tidak memiliki anak atau teman mengalami lebih banyak kesepian
dibandingkan mereka yang lajang atau belum menikah yang memiliki anak atau teman.
Masalah kedua yang disebutkan para janda adalah pekerjaan rumah tangga dan perbaikan
otomotif. Janda yang lebih muda juga menyinggung masalah pengambilan keputusan,
pengasuhan anak, dan pengelolaan keuangan. Para janda dari kelompok tertua menyebutkan
permasalahan seperti ketidaktahuan akan keuangan dasar, kurangnya transportasi dan
ketakutan terhadap kejahatan. Para janda ini menyebutkan kemandirian yang lebih besar
sebagai satu-satunya keuntungan menjadi seorang janda. Sebuah penelitian menemukan
bahwa para janda yang dulunya sangat bergantung pada pasangannya mendapatkan
penghargaan psikologis dari pengakuan bahwa mereka mampu mengatur dirinya sendiri
(Carr, 2004).
Janda dan duda kerap menghadapi masalah keuangan. Banyak janda yang penghasilannya
berada di sekitar garis kemiskinan, naik atau turun selama bertahun-tahun setelah kematian
pasangannya. Bahkan dengan Jaminan Sosial atau pensiun, banyak janda yang menghadapi
tantangan ekonomi. Sekitar 17% perempuan lanjut usia yang belum menikah hidup dalam
kemiskinan, dibandingkan dengan 5% perempuan lanjut usia yang sudah menikah. Masalah
ini lebih signifikan terjadi pada wanita lanjut usia yang belum menikah, berkulit hitam dan
Hispanik (FitzPatrick dan Entmacher, 2000). Mereka mungkin harus pindah karena alasan
keuangan atau karena membutuhkan lebih banyak bantuan, sehingga sulit untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan menjanda.
Para janda melaporkan bahwa salah satu adaptasi terpenting bagi mereka terkait dengan
pergantian peran. Menjadi seorang janda mengubah identitas seorang wanita, pada usia
berapa pun. Hal ini terutama berlaku bagi perempuan yang berorientasi tradisional yang
perannya sebagai istri telah menjadi pusat kehidupan mereka. Perempuan seperti ini perlu
melakukan reorientasi pemikiran untuk menemukan identitas yang berbeda. Peran konkritnya
berubah tergantung peran mana yang ditekankan sebelum menjadi janda.
Keluarga dan hubungan membawa banyak kegembiraan dan kebahagiaan, namun bukan
tanpa penyesuaian, tantangan dan stres. Saat seseorang melewati tahapan siklus hidup,
mereka pasti akan melakukan kesalahan, namun mereka juga akan mendapatkan perspektif
dan kebijaksanaan. Meskipun jalan hidup bisa jadi rumit dan keadaan setiap individu unik,
mereka semua mempunyai banyak kesamaan.
CHAPTER 9 : WORK, FAMILY ROLES, AND MATERIAL RESOURCES

THE AMERICAN FAMILY TODAY

Secara tradisional, sebagian besar keluarga Amerika hanya memiliki satu pencari nafkah;
laki-laki memiliki kewajiban menghidupi keluarga dan perempuan mempunyai kewajiban
untuk mengasuh keluarga. Menurut Sensus AS, keluarga dengan kedua orang tuanya bekerja
sebagian besar menggantikan menggantikan model keluarga di mana ibu menjadi ibu rumah
tangga. Tipikal keluarga Amerika saat ini adalah keluarga dual-earner di mana kedua belah
pihak bekerja (Rachlin, 1987; L. White dan Rogers, 2000). Bagi sebagian besar keluarga di
Amerika, memiliki kedua orang tua yang bekerja adalah sebuah keharusan ekonomi.

Work, Stress, and the Family

Mempertahankan kehidupan keluarga melalui tugas sehari-hari seperti memasak, mengurus


rumah, dan mengasuh anak merupakan inti kehidupan keluarga (Perry-Jenkins, Pierce, &
Goldberg, 2004). Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi keluarga Amerika saat ini
adalah menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Jacobs dan Gerson
(2001) menemukan bahwa pergeseran dari pasangan pencari nafkah laki-laki menjadi
pasangan pencari nafkah ganda dan rumah tangga dengan orang tua tunggal telah
menciptakan kekhawatiran yang semakin besar untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan
keluarga. Secara umum, ketika tekanan dan tuntutan bekerja di luar rumah meningkat, konflik
antara pekerjaan dan keluarga juga meningkat (Voydanoff, 2004). Istilah work-family
spillover didefinisikan sebagai sejauh mana partisipasi dalam satu domain (misalnya,
pekerjaan) berdampak pada partisipasi dalam domain lain (misalnya, keluarga).
Sebagai contoh, stres kerja mempengaruhi pernikahan orang tua dan hubungan mereka
dengan anak-anak mereka (Broman, 2001; Hill EJ, Hawkins, Ferris, & Weitzman, 2001;
Kinnunen, Gerris, & Vermulst, 1996; Voydanoff, 2004), dan konflik antara pekerjaan-
keluarga mengarah pada ketidakpuasan dalam pekerjaan dan kehidupan (Perrewe dan
Hochwarter, 2001). Pekerjaan yang membuat stres juga termasuk pekerjaan yang
membutuhkan periode perpisahan waktu tertentu dan sangat memakan waktu sehingga
seseorang tidak dapat menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga. Secara umum,
penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak ibu yang bekerja daripada ayah yang mengalami
limpahan negatif antara keluarga dan pekerjaan (Dilworth, 2004).
Ketika seseorang mengalami stres di tempat kerja, pasangannya juga mengalami tekanan
psikologis (Rook, Dooley, & Catalano, 1991). Faktanya, pasangan bisa merasakan tekanan
yang sama besarnya dari pekerjaan orang lain seperti tekanan dari pekerjaan mereka sendiri.
Menariknya, perempuan yang pernikahannya tidak bermasalah mengalami kecemasan paling
besar dan lebih terpengaruh akibat kemalangan pekerjaan pasangannya dibandingkan dengan
perempuan dalam pernikahan yang bermasalah atau pernikahan yang pasangannya tidak
dekat. Laki-laki dengan pekerjaan ganda dan tanggung jawab keluarga yang menganggap
pasangannya sangat suportif dalam pekerjaan dan membesarkan anak melaporkan lebih
sedikit ketegangan peran dibandingkan laki-laki dengan pasangan yang kurang mendukung
(O'Neil dan Greenberger, 1994).
Workaholic menghabiskan waktu berjam-jam di tempat kerja, namun hanya memiliki sedikit
energi untuk keluarga. Semakin ambisius seseorang dan semakin keras mereka bekerja,
semakin kecil kemungkinan mereka mencurahkan waktu untuk membangun hubungan dekat
dalam keluarga. Memuaskan atasan untuk mempertahankan pekerjaan harus ditimbang
dengan memenuhi kewajiban keluarga, yang merupakan dilema yang sangat sulit bagi
kebanyakan orang.

Positive Benefits of Dual-Earner Families

Meskipun sulit untuk menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan kehidupan keluarga, banyak
keluarga dengan dua karir yang sehat dan sejahtera (Haddock, Ziemba, Schindler,
Zimmerman, & Current, 2001) dan bekerja dalam keluarga dengan dua karir telah
memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan mereka. Peran ganda dapat memberikan
penghasilan tambahan, dukungan sosial, peningkatan kompleksitas diri, peluang ganda untuk
sukses, dan kerangka acuan yang lebih luas (Barnett dan Hyde, 2001).
Manfaat dari peran ganda bergantung pada jumlah peran, tuntutan dari setiap peran, dan
kualitas peran (Voydanoff, 2002). Setiap orang memiliki batas, dan ketika individu yang
kelebihan beban mencapai batas atas mereka, maka akan timbul tekanan (Voydanoff dan
Donnelly, 1999).
Bagi banyak orang tua, bekerja di luar rumah dapat meningkatkan kehidupan mereka,
terutama jika mereka menyukai pekerjaannya dan memiliki pasangan serta anak yang dapat
membantu mereka, atau jika mereka dapat mempekerjakan seseorang untuk membantu
mereka. Beberapa orang tua merasa lebih santai di tempat kerja dibandingkan di rumah dan
bahkan mungkin bekerja untuk menjauh dari keluarga.
Haddock dan rekan-rekannya (2001) mempelajari strategi adaptasi keluarga yang sukses
dalam menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Mereka menemukan 10 strategi
adaptasi:
1. Menghargai keluarga: Prioritas tertinggi bagi pasangan yang sukses adalah komitmen
terhadap keluarga.
2. Mengupayakan kemitraan: Isu-isu penting tentang kesetaraan dan kemitraan meliputi
pembagian pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, pengambilan keputusan,
rasa hormat dan penghargaan, serta dukungan pada tingkat interpersonal.
3. Mendapatkan makna dari pekerjaan: Pasangan yang menyukai pekerjaan mereka
merasa bahwa hal tersebut membawa energi dan antusiasme dalam hidup mereka dan
membantu dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga.
4. Mempertahankan batas-batas pekerjaan: Pasangan yang memberikan batasan pada
pekerjaan dan tidak membiarkan pekerjaan mengendalikan hidup mereka lebih
mampu menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga.
5. Fokus dan produktif di tempat kerja: Menjadi produktif di tempat kerja membantu
orang-orang menempatkan keluarga sebagai prioritas utama dan tetap merasa senang
dengan kinerja pekerjaan mereka.
6. Memprioritaskan kesenangan keluarga: Menyempatkan diri untuk menikmati waktu
bermain bersama dan menggunakannya sebagai cara untuk melepas penat dari
kesibukan di dunia kerja.
7. Bangga dengan penghasilan ganda: Sebagian besar pasangan yang sukses merasa
bahwa menjadi keluarga dengan penghasilan ganda adalah hal yang positif bagi
semua anggota keluarga.
8. Hidup sederhana: Pasangan yang sukses merasa bahwa mereka perlu
mempertahankan kehidupan yang sederhana.
9. Membuat keputusan secara proaktif: Pasangan yang sukses mengambil kendali atas
hidup mereka melalui pengambilan keputusan, bukannya membiarkan laju kehidupan
dan pekerjaan mereka yang mengendalikan.
10. Menghargai waktu: Pasangan yang sukses menyatakan bahwa mereka sadar akan nilai
waktu dan berusaha memaksimalkan penggunaan waktu mereka. Mereka memikirkan
cara-cara untuk menghabiskan waktu yang bermakna dan bermanfaat bersama.

Needed: More Time

Kekhawatiran yang berkembang di antara para ahli keluarga adalah tuntutan waktu dan
kesibukan pekerjaan orang tua, yang menyebabkan keluarga menjadi miskin waktu. Hal ini
dapat menyebabkan anak-anak dan remaja kehilangan kesempatan penting untuk
menghabiskan waktu bersama keluarga, dan orang tua kehilangan kesempatan untuk
terhubung dengan anak-anak mereka dan satu sama lain (Crouter, Head, McHale, dan Tucker,
2004).

Banyak penelitian yang mendokumentasikan bahwa bekerja berjam-jam dapat menimbulkan


konsekuensi negatif bagi keluarga yang kesulitan menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan
kehidupan rumah tangga (Crouter, Bumpus, Head & McHale, 2001; Major, Klein & Ehrhart,
2002).

Cruter dan rekannya (2001) meneliti bagaimana jam kerja yang panjang dan beban peran
yang berlebihan mempengaruhi kualitas hubungan pria dengan pasangan dan anak-anaknya.
Mereka menemukan bahwa semakin banyak laki-laki bekerja, semakin sedikit waktu yang
mereka habiskan bersama pasangannya. Jam kerja yang panjang tidak dikaitkan dengan cinta,
perubahan perspektif, atau konflik pasangan, namun kelebihan peran secara konsisten
menyebabkan hubungan perkawinan menjadi kurang positif. Ketika ayah bekerja berjam-jam
dan menghadapi beban kerja yang berat, hubungan ayah-anak menjadi kurang positif.

Studi lain mengamati dampak waktu keluarga pada anak pertama dan kedua, ibu dan ayah
dalam keluarga berpenghasilan dua dan menemukan bahwa waktu keluarga sangatlah langka.
Para peneliti meneliti lima kategori spesifik waktu keluarga: makan, menonton televisi,
waktu luang, kegiatan keagamaan dan rumah tangga. Meskipun hampir semua keluarga
melaporkan bahwa selama tujuh hari mereka menghabiskan setidaknya beberapa waktu untuk
makan bersama dan sekitar separuh keluarga terkadang menonton televisi bersama, hanya
sedikit keluarga yang berbagi aktivitas waktu luang, aktivitas keagamaan, dan pekerjaan
rumah tangga. Selama tujuh hari tersebut, keluarga tersebut rata-rata hanya menghabiskan
waktu sekitar 4 jam untuk aktivitas berempat. Studi ini menemukan bahwa dalam keluarga
dengan waktu keluarga yang lebih banyak, hubungan orang tua-anak, pasangan, dan saudara
kandung tampak lebih hangat, lebih lembut, dan lebih intim (Crouter, Head, McHale, &
Tucker, 2004).

Hambatan lain terhadap kekompakan keluarga adalah jadwal kerja yang menyulitkan
anggota keluarga untuk berkumpul. Hattery (2001) mengeksplorasi biaya dan manfaat dari
penggunaan kerja shift yang tidak tumpang tindih sebagai cara untuk menyeimbangkan
pekerjaan dan kehidupan keluarga ketika pasangan memiliki anak. Ia menemukan bahwa
kerja shift yang tidak tumpang tindih memungkinkan orang tua yang memiliki anak kecil
untuk mengasuh anak mereka sendiri, sehingga menghemat biaya perawatan anak.

Jika pasangan harus bekerja dalam shift, penting untuk bekerja dalam shift yang sama untuk
menjaga hubungan. Sebuah penelitian menemukan bahwa perceraian adalah hal biasa di
antara pasangan yang salah satu pasangannya bekerja malam (Presser, 2000). Ayah yang
bekerja malam enam kali lebih besar kemungkinannya untuk bercerai dibandingkan ayah
yang bekerja siang hari, dan ibu yang bekerja malam tiga kali lebih besar kemungkinannya
untuk bercerai.

Banyak pasangan mencoba mengurangi jam kerja mereka agar memiliki lebih banyak waktu
bersama keluarga (Becker dan Moen, 1999). Waktu adalah komoditas yang berharga dan
masyarakat perlu memprioritaskan dan bertanya pada diri sendiri apakah layak
mengorbankan pekerjaan mereka demi keluarga. Pernikahan dan hubungan keluarga, seperti
semua hubungan berharga lainnya, memerlukan waktu dan perhatian.

The Parents' Child Care Role

Keputusan yang diambil orang tua mengenai pekerjaan dan keluarga, terutama cara mereka
mengasuh anak, membentuk perkembangan intelektual, perilaku sosial, dan kepribadian
anak. Orang tua memberikan contoh yang kuat tentang perilaku maskulin dan feminin pada
anak-anak mereka dalam segala hal yang mereka lakukan, mulai dari pilihan karier hingga
berbagi pekerjaan rumah tangga. Orang tua secara tidak sengaja atau sengaja mempersiapkan
anak-anak mereka untuk peran serupa di masa depan di tempat kerja dan di keluarga.

Kedua orang tua mendapat manfaat dari keterlibatan ayah dalam pendidikan anak. Ayah
cenderung lebih aktif terlibat sebagai pengasuh seiring pertumbuhan anak sejak bayi (Parke,
2002). Memiliki seorang ayah yang merawat anak-anak meringankan beban ibu yang bekerja
dan mengurangi stres ibu yang terkait dengan pekerjaan yang berlebihan, kecemasan dan
kurangnya waktu untuk istirahat dan relaksasi. Ayah yang terlibat aktif dalam mengasuh
anak akan menikmati dampak positif dari peran ganda, termasuk hubungan yang lebih kuat
dan hubungan ayah-anak yang lebih dekat.
Terlepas dari jenis penitipan anak, sebagian besar keluarga dengan dua anak mengakui
bahwa mereka harus merencanakan penitipan anak dengan sangat matang. Kebanyakan
taman kanak-kanak memiliki jam buka yang ketat dan tidak mungkin mengantar anak
lebih awal atau menjemputnya terlambat. Banyak perusahaan juga mengharuskan
karyawannya untuk bekerja dengan jam kerja yang ketat. Namun, kini sudah banyak
perusahaan yang menyadari kesulitan yang dihadapi oleh banyak karyawan mereka
dalam mengasuh anak dan memiliki waktu fleksibel yang memungkinkan pekerja untuk
memilih jam kerja di siang hari ketika mereka akan bekerja (Meer, 1985).

Penelitian menunjukkan bahwa fleksibilitas kerja berperan penting dalam kehidupan


keluarga. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa fleksibilitas kerja dikaitkan dengan
kepuasan kerja yang lebih besar dan kesejahteraan keluarga yang lebih baik (S.C.
Clark, 2001). Telah terbukti bahwa pekerja dengan jam kerja fleksibel lebih puas
dengan pekerjaan mereka dan lebih mungkin untuk tetap bekerja dibandingkan pekerja
tanpa jam kerja fleksibel (Galinsky dan Johnson, 1998).

Sebuah studi menemukan bahwa banyak pasangan pekerja ganda kelas menengah
mengatasi tuntutan ganda dari pekerjaan dan keluarga dengan cara "mengurangi"
(Becker dan Moen, 1999). Artinya, pasangan tersebut membatasi jumlah jam kerja
mereka, mengurangi ekspektasi untuk kemajuan karier, memutuskan untuk memiliki
satu pernikahan, satu pekerjaan/satu karier, atau menukar tanggung jawab keluarga dan
pekerjaan sepanjang hidup. Menurut Departemen Tenaga Kerja AS (Biro Statistik
Tenaga Kerja AS, 2005b), pada tahun 2004 hanya 4,2% pasangan menikah yang
memiliki anak di bawah usia enam tahun memiliki ayah yang tidak bekerja sedangkan
ibu bekerja. Hal ini berbeda dengan 40,2% keluarga yang memiliki anak kecil yang
ayahnya bekerja namun ibunya tidak. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang
meninggalkan angkatan kerjanya, meski hanya untuk waktu yang singkat, merasa lebih
sulit untuk memajukan karier dan mendapatkan bayaran jika memutuskan untuk
kembali bekerja. Hal ini harus diimbangi dengan fakta bahwa sekitar separuh
pernikahan pertama berakhir dengan perceraian; seorang ibu rumah tangga yang sudah
lama bergantung pada suaminya mungkin akan menghadapi kesulitan keuangan jika
pasangannya menceraikannya dan ia menjadi orang tua tunggal.

Undang-undang cuti melahirkan, yang memperbolehkan perempuan hamil untuk


mengambil cuti dari pekerjaan untuk melahirkan anak mereka, membantu sebagian
orang menyelesaikan konflik antara bekerja dan tinggal di rumah untuk merawat bayi
yang baru lahir (Trzcinski dan Finn-Stevenson, 1991). Hyde, Essex, Clark dan Klein
(2001) meneliti hubungan antara lamanya cuti hamil dan status perkawinan perempuan.
Mereka memeriksa variabel-variabel seperti pekerjaan perempuan, ketidakpuasannya
terhadap pembagian kerja dalam rumah tangga, dan perasaannya yang terbebani dengan
peran. Kombinasi cuti singkat dan penitipan anak yang tidak sesuai dengan preferensi
perempuan, erat kaitannya dengan meningkatnya ketidakcocokan perkawinan. Hasil ini
menunjukkan bahwa cuti hamil jangka pendek dapat dilihat sebagai faktor risiko yang
memperkuat pengaruh faktor risiko lainnya terhadap perkembangan tekanan psikologis
dan perkawinan. Tingkat stres ibu juga bergantung pada kesediaan ayah untuk
berpartisipasi dalam pengasuhan anak (Nugent, 1991; Volling dan Belsky, 1991).

Household Labor

Ketika kedua orang tua bekerja jauh dari rumah, mereka sering kali harus menghadapi
masalah baru seperti tekanan waktu dan tuntutan peran yang saling bertentangan. Orang
tua yang bekerja tidak hanya memiliki lebih sedikit waktu untuk anak-anak mereka,
namun juga menghabiskan lebih sedikit waktu untuk pekerjaan rumah tangga seperti
memasak dan bersih-bersih.

Studi ini mengkaji persepsi perempuan dan laki-laki mengenai keadilan dalam
pekerjaan keluarga selama masa transisi menjadi orang tua dan apa yang mungkin
menyebabkan ibu dan ayah menilai beban kerja mereka adil atau tidak adil. Hasilnya
menunjukkan bahwa persepsi perempuan mengenai ketidakadilan akan lebih besar
ketika mereka merasa tidak nyaman dengan pekerjaan rumah tangga dan tugas
mengasuh anak; kesenangan laki-laki dalam melakukan tugas-tugas ini tidak selalu
mencerminkan keadilan yang mereka terima, yang tercermin dalam laporan kepuasan
mereka terhadap pembagian kerja. Hal yang paling penting bagi laki-laki adalah
seberapa kompeten mereka dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga dan bagaimana
istri mereka memandang kompetensi mereka dalam melakukan tugas-tugas tersebut
(Grote, Naylor & Clark, 2002; Huston & Holmes, 2004).

Namun, ibu yang bekerja, seperti halnya ibu rumah tangga, melakukan sebagian besar
pekerjaan rumah dan perawatan. Perempuan yang bekerja penuh waktu mungkin
mengurangi waktu yang mereka habiskan untuk pekerjaan rumah tangga, namun tidak
mengurangi jumlah tanggung jawab yang mereka miliki. Hal ini menyebabkan
beberapa peneliti menyebut ibu yang bekerja sebagai “ibu super”—ibu yang tetap
memiliki tanggung jawab keluarga namun terus memenuhi tuntutan pekerjaan berbayar
(DeMeis dan Perkins, 1996).

Mengasuh anak saat ini bisa menjadi sangat menegangkan baik bagi orang tua yang
bekerja maupun yang tinggal di rumah. Hal ini terutama berlaku ketika orang tua
merasa perlu untuk menjadi sempurna dalam segala bidang kehidupan mereka. Menjadi
orang tua tidaklah sempurna dan anak-anak terkadang bisa menjadi pengingat terbaik
betapa tidak sempurnanya hidup ini.

Anda mungkin juga menyukai