Anda di halaman 1dari 7

Ayah, Ibu, Menikahlah

Posted by matakacashofia on May 14, 2019

Saya tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga kecil di lingkungan yang sangat beragam, termasuk
dalam hal ini adalah perbedaan gaya hidup dan gaya berkeluarga. Selama lebih-kurang 18 tahun
hidup di sana, di Papua, menjadikan saya tahu betul bagaimana  pola berkeluarga masyarakat di
sana. Terlepas dari suku, terlepas dari ras, terlepas dari agama, keluarga-keluarga ini sebagian
besar dimulai dari tinggal bersama tanpa pernikahan yang sah. Beberapa diantaranya bahkan
bergonta-ganti pasangan dengan memiliki anak dari tiap-tiap pasangannya tersebut. Sampai
disini, bisa ya, membayangkan bagaimana nuansa emosi dalam keluarga yang tersebut?! Bisa
juga kan, membayangkan bagaimana anak-anak ini tumbuh, yang sungguh sangat disayangkan
juga menyaksikan langsung pertengkaran dalam rumah tangga orangtuanya yang tidak menikah
itu?!

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Papua mulai banyak mendapat perhatian dari
pihak-pihak yang memang mengurusi isu KDRT. Tetapi bagaimana dengan anak? Bagaimana
dengan perlindungan anak yang hampir sering menyaksikan orangtuanya kelahi? Bagaimana
dengan anak-anak yang harus tumbuh dalam ketidakstabilan pernikahan? Bagaimana mereka
tumbuh? Sejahterakah mereka? Hati mereka? Sosial emosional mereka? Sejahterakah?

Keluarga dibentuk melalui proses perkawinan yang disahkan oleh Undang-undang. Pernikahan
menurut pernikahan menurut Undang-undang Pernikahan No. 1 tahun 1974 pasal 1 ialah ikatan
lahir batin, antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sigelman (2012) mendefinikan pernikahan sebagai sebuah hubungan antara dua orang
yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami dan istri karena ikatan pernikahan. Strong,
DeVault & Sayad, 1998 (Rommel, 2000; dalam Ponzetti, 2003) perkawinan adalah persatuan
yang diakui secara hukum antara pria dan wanita di mana mereka berada bersatu secara seksual,
bekerja sama secara ekonomi, dan mungkin memiliki anak melalui kelahiran atau adopsi.
Salah satu isu yang menarik perhatian para pemerhati keluarga ialah cohabitation (kohabitasi).
Cohabitation ialah definisi yang diberikan pada pasangan yang tinggal bersama tanpa menikah.
Kohabitasi adalah tinggal bersama pasangan tanpa menikah (Amato 2003; dalam Sigelman,
2012). Beberapa pasangan yang melakukan kohabitasi disebabkan kenyamanan berada dalam
hubungan romantis dan kebutuhan untuk pengaturan hidup yang terjangkau (Sassler, 2004).
Pasangan cohabiter lainnya menganggap hidup bersama untuk mencari altrenatif menikah
(Seltzer, 2000; dalam Sigelman, 2012). Pasangan yang melakukan kohabitasi juga menjalani
peran dan fungsi pasangan yang menikah seperti pengasuhan (Kiernan, 2002; Noack, 2001;
Perelli-Harris dkk., 2009, dalam Reneflot, 2009). Booth & Crouter, (2002) mengungkap bawah
praktik kohabitasi lebih banyak dijalani oleh pasangan yang memiliki tingkat pendidikan dan
penghasilan yang rendah. Singkatnya, kohabitasi ialah suami istri yang tinggal serumah tetapi
tidak menikah, tetapi menjalankan fungsi sebagai pasangan dan sebagai orangtua.

REPORT THIS AD

Kohabitasi mirip dengan pernikahan pada beberapa aspek yaitu dua orang dewasa yang
menjalani intimate relationship, berbagi tugas rumah tangga, dan mengasuh anak (Osborne,
Manning, & Smock, 2007), tetapi yang membedakan adalah legalitas hukum yang mengikat
pernikahan. Artinya, pasangan suami istri tinggal serumah dan menjalani fungsi-fungsi
pernikahan tanpa terikat oleh hukum agama dan negara. Di beberapa daerah seperti Sorong,
Papua Barat, fenomena tinggal serumah tanpa menikah merupakan hal yang lumrah dilakukan
oleh masyarakat. Berdasarkan hasil observasi, rata-rata usia ketika memulai tinggal serumah
tanpa menikah ialah 20 tahun keatas. Pasangan-pasangan ini menjalankan fungsi-fungsi
perkawinan tanpa dilindungi oleh ikatan yang sah baik secara norma maupun hukum.

Bagaimana Pengaruh Kohabitasi terhadap Relasi dengan Pasangan?

Nock (1995) membandingkan kualitas hubungan antara pelaku kohabitasi dengan pasangan yang
menikah. Hasilnya, terdapat perbedaan kualitas pada aspek pernikahan, dimana pasangan yang
menikah memiliki kualitas aspek yang baik ketimbang pasangan yang tidak menikah. Brown &
Booth (1996: dalam Brown, 2004), dengan penelitian cross-sectional menemukan bahwa
pasangan yang menjalani praktik kohabitasi memiliki kualitas hubungan yang lebih buruk
ketimbang pasangan yang menikah. Pasangan-pasangan kohabitasi lebih banyak memimiliki
perbedaan argumentasi, memiliki persepsi yang berbeda terhadap keadilan dalam hubungan, dan
cenderung kurang bahagia dibanding pasangan yang menikah. Di negara-negara Barat,
kohabitasi memiliki peluang bercerai yang lebih tinggi (DeMaris & Rao, 1992; dalam Kline,
dkk., 2004). Di Amerika, kohabitasi juga erat kaitannya dengan rendahnya kepuasan pernikahan
(Brown & Booth, 1996), rendahnya komitmen interpersonal pada pria, rendahnya kualitas
komunikasi dalam pernikahan, tingginya konflik, tingginya kemungkian perselingkuhan dan
tingginya kemungkinan perceraian (Kline, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Kline, dkk., (2004) dengan meneliti sebanyak 136 pasangan (272
orang) sebelum menikah dan 10 bulan setelah menikah. Penelitian ini menemukan bahwa
sebanyak 59 pasangan yang menjalani kohabitasi memiliki interaksi yang lebih negatif, rendah
dalam hal komitmen interpersonal, kualitas hubungan, dan kepercayaan diri terhadap hubungan.
Hal ini berbanding terbalik dengan pasangan yang tidak melakukan kohabitasi hingga masa
pertunangan (28 pasangan) atau menikah (49 pasangan). Kohabitasi memiliki komitmen
terhadap relasi yang rendah dibanding pernikahan, sehingga tidak menguntungkan dari segi
ekonomi, dukungan keluarga, dan kualitas hubungan sehingga akhirnya dapat melemahkan
stabilitas hubungan (Osborn 2007).

Singkatnya, dari segi hubungannya sendiri, pasangan yang menjalani praktik kohabitasi
menjalani hubungan yang tidak stabil seperti mudah bertengkar, mudah berpisah, dan mudah
bergandi pasangan. Hal tersebut disebabkan karena tidak ada ikatan yang sifatnya mengikat dan
memaksa seperti yang dicantumkan dalam UU Pernikahan, sehingga mereka yang menjalani
kohabitasi merasa tidak punya beban dan tanggung jawab moral terhadap pernikahan. Tentu saja,
siapa lagi yang merasakan dampak ketidakstabilan hubungan selain anak?! Ujung-ujungnya,
merekalah yang harus menanggung beban “berkepanjangan” selama hidupnya yang bisa jadi
tidak pernah disadari keberadaannya. Selain karena tidak mendapat hangatnya relasi dalam
keluarga, utuhnya kasih sayang dari orangtua, teladan, serta figur yang utuh mengenai ibu dan
ayah, besar kemungkinan anak-anak ini memiliki persepsi yang keliru dalam memaknai
pernikahan.

Mari kita bahas sedikit mengenai dampak kohabitasi pada anak.


Pasangan yang Menikah atau Tidak Menikah –> Keberfungsian Keluarga –> Wellbeing Anak

Meninjau dari bagan tersebut, stabilitas keluarga menjadi kontributor terbesar terhadap
perkembangan anak yang sehat. Dalam hal ini, kesejahteraan psikologis (wellbeing) anak
dipengaruhi oleh keberfungsian suatu keluarga. Ditarik lagi kebelakang, keberfungsian keluarga
dipengaruhi oleh status menikah atau tidak menikahnya orangtua. Pada keluarga yang berfungsi
dengan baik, terdapat proess resiprokal antarpasangan dalam hal pemberian dan penerimaan
dukungan emosional sebagai dasar yang menentukan kualitas suatu pernikahan (Hohmann-
Marriott, 2008) yang dalam hal ini sangat terikat dengan kesadaran indivitu dalam menjalani
tugas dan fungsi pernikahannya. Pertanyaannya sekarang, bagaiamana seseorang bisa memberi
dukungan emosi yang resiprokal pada pasangannya bila sadar dengan tugas dan fungsi yang
harus dijalani dalam rumah tangganya saja tidak?! Bagaimana bisa sadar dengan tugas dan
fungsi dalam pernikahnnya bila sadar (fully aware) dengan pernikahannya saja tidak?!
Bagaimana bisa?!

Selanjutnya, konflik pada orangtua dapat menyebabkan perceraian dan ketidakstabilan dalam
keluarga (Fomby & Osborne, 2010; dalam Goldberg & Carlson, 2015). Pada praktiknya,
kohabitasi rentan terhadap ketidakstabilan ketimbang pernikahan resmi. Anak-anak yang tumbuh
dalam keluarga yang kohabitasi memiliki peluang 3 kali lebih besar untuk mengalami transisi
keluarga dibanding anak-anak yang dibesarkan pada pasangan yang menikah (Raley &
Wildsmith, 2004; dalam Sangupta 2017). Pada remaja, transisi keluarga sangat berkaitan erat
dengan kenakalan, penyalahgunaan obat, gejala depresi, aktivitas seksual yang lebih dini,
kehamilan yang tidak diinginkan, keterlibatan dengan sekolah yang rendah, dan kelulusan yang
rendah pula (Brown, 2008; dalam Sangupta, 2017).

Fungsi keluarga yang sehat terjadi dalam lingkungan keluarga dengan komunikasi yang jelas,
peran yang jelas, kohesi, dan regulasi yang berdampak baik. Sebaliknya, fungsi keluarga yang
buruk terjadi dalam keluarga dengan tingkat konflik yang tinggi, disorganisasi, dan hubungan
afektif dan perilaku yang buruk (Lewadowski, dkk., 2011). Hal ini tercermin dalam relasi
pasangan yang menjalani praktik kohabitasi yang cenderung mengalami kekaburan peran antara
sebagai pasangan, orangtua maupun sebagai individu yang utuh dan matang.
Salah satu indikator keberfungsian keluarga ialah Pengasuhan yang dilakukan orangtua sangat
ditentukan oleh kondisi kesejahteraan psikologis  (psychological wellbeing)orangtua itu sendiri.
Pasangan yang melakukan kohabitasi memiliki kondisi yang lebih buruk dibanding pasangan
yang menikah dalam beberapa aspek psikis seperti depresi, kebahagiaan, kesehatan, kekerasan
dan masalah alkohol (Brown & Booth, 1996; dalam Manning & Lamb, 2001). Kualitas
hubungan orangtua sebagai pasangan suami-istri dapat memengaruhi anak baik secara langsung
maupun tidak langsung (Eastrbrooks & Emde, 1988; dalam Goldberg & Carlson, 2015).

Penjelasannya, orangtua yang menjalani praktik kohabitasi memiliki kecenderungan yang lebih
tinggi untuk mengalami depresi, kurangnya kebahagiaan, dan kecanduan alkohol yang tentu saja
akan memengaruhi bagaimana menghadapi isu-isu dalam pengasuhan yang kita ketahui bukanlah
hal yang mudah untuk dihadapi.

Sebuah penelitian lain dari Osborne, Manning, & Smock, P. J. (2007) melibatkan 1370 sampel
untuk menemukan masalah pada anak-anak yang dilahirkan dari orangtua yang tidak menikah.
Hasilnya ditemukan bahwa ibu yang menjalani kohabitasi dua kali lebih besar dilaporkan
memiliki perilaku yang buruk seperti merokok dan menggunakan obat,  selama masa kehamilan
ketimbang ibu yang menikah. Selain itu, ibu yang menjalani kohabitasi juga memiliki level
depresi dan kecemasan yang tinggi dan para ayah yang menjalani kohabitasi juga lebih besar
kemungkinan untuk merokok dan mengalami kondisi kesehatan yang buruk sehingga membatasi
kemampuan dalam bekerja.

Anak-anak yang tumbuh dengan kondisi orangtua yang tidak menikah rentan mengalami
beberapa gangguan emosi dan perilaku. Penelitian yang dilakukan Osborne, Manning, & Smock,
P. J. (2007), menemukan dampak kohabitasi terhadap perilaku anak, diantaranya ialah
kecemasan atau depresi. Perbedaan anak yang dilahirkan pada keluarga yang menikah dengan
yang tidak menikah cukup signifikan dalam mempengaruhi perilaku anak. Anak-anak yang
dilahirkan dari orangtua yang menjalani kohabitasi juga dilaporkan memiliki perilaku agresif,
penarikan diri, dan kecemasan/depresi ketika anak berusia 3 tahun ketimbang  anak-anak yang
dilahirkan dalam keluarga yang utuh.
Lebih lanjut, Hanson, dkk., (1997) menemukan bahwa anak-anak yang tinggal dengan orangtua
biologis yang menjalani kohabitasi mengalami externalizing, internalizing¸ sosial, dan prestasi
akademik (Dunifom & Kowaleski Jones, 2000; dalam Booth, & Crouter 2002). Anak-anak yang
dibesarkan pada keluarga yang ayah ibunya menikah, menerima dukungan sosial dan
institusional lebih tinggi dibanding anak-anak yang tumbuh bersama orangtua yang tidak
menikah (Cherlin, 2010; Manning, Smock, & Bergstrom-Lynch, 2009; dalam Sengupta, 2017).
Buchanan, Maccoby, & Dornbusch (Amato, 2005) menemukan bahwa remaja memiliki problem
emosional dan perilaku yang lebih rendah pada pasangan yang bercerai ketimbang pasangan
kohabitasi. Pernyataan ini menegaskan pentingya kestabilan suatu pernikahan bagi anak.

Sebagai Penutup

Selain bertentangan dengan norma sosial, praktik kohabitasi juga membawa dampak negatif bagi
wellbeing anak. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang menjalani kohabitasi akan rentan
mengalami pengalaman-pengalaman emosi yang negatif disebabkan karena ketidakstabilan
hubungan yang dijalani orangtuanya.

Keluarga diharapkan menjadi tempat tumbuh kembang anak baik secara kognitif, afektif,
psikomotor, dan sosial secara utuh sebagai bekal untuk masyarakat lebih luas.

“Give the best gift for the Ummah” (Malik Badri)

Daftar Pustaka

Amato, P. R. (2005). The Impact Of Family Formation Chanve On The Cognitive, Social, And
Emotional Well Being Of The Next Generation. The Future Of Children, Vol. 15, No. 2,
Marriage And Child Wellbeing (Autumn, 2005), pp 75-96

Booth, A. & Crouter A.A. (2002). Just Living Together: Implications Of Cohabitation On
Families Children, And Social Policy. Pennsylvania: Lawrence erlbaum associates, inc.

Brown, S. L. (2004). Moving From Cohabitation To Marriage: Effects On Relationship Quality.


Social Science Research, 33(1), 1–19. https://doi.org/10.1016/S0049-089X(03)00036-X
Goldberg, J. S. & Carlson, M. J. (2015). Parent’s Relationship Quality And Children’s Behavior
In Stable Married And Cohabtiting Families. Diakses melalui laman
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4128411/

Kline, dkk., (2004). Timing Is Everything: Pre-Engagement Cohabitation and Increased Risk For
Poor Marital Outcomes. Journal Of Family Psychology 2004, Vol. 18 No. 2, 311-318

Lewandowski, A.M., Palermo, T.M., Stinson, J., Handley, S., & Christine T. Chambers,C. T. (2011). Systematic Review of Family Functioning in
Families of Children and Adolescents with Chronic Pain. J Pain. 2010 November 1; 11(11): 1027–1038. doi:10.1016/j.jpain.2010.04.005.

Manning, W. D. & Lamb, K. (2001). Parental Cohabitation and Adolescent Wellbeing. Center
For Family And Demographic Research. Diakses melalui laman
https://pdfs.semanticscholar.org/a6d0/542c4c6d23c0fca89333d448e532a2867e74.pdf

Osborne, C., Manning, W. D., & Smock, P. J. (2007). Married and Cohabiting Parents’
Relationship Stability: A Focus On Race and Ethnicity. Journal of Marriage and Family, 69(5),
1345–1366. https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2007.00451.x

Reneflot, A. (2009). Do Married And Cohabiting Father Differ In Their Commitments To


Fathering?. Advances In Life Course Research No. 14 (2009) 162-170

Ponzetti, J.J. (2003).Marriage and Family. USA: Gale Group, Inc.

Sengupta, P. (2017). Cohabitation and Child wellbeing. Diakses melalui laman


http://smartcouples.ifas.ufl.edu/media/smartcouplesifasufledu/docs/pdfs/COHABITATION-
AND-CHILD-WELL-BEING.pdf 

Sigelman, C., & Rider, E. (2012). Life Span. Canada: Cengage Learning

Anda mungkin juga menyukai