Anda di halaman 1dari 9

IDENTIFIKASI DAN PENGELOLAAN STRES INFERTILITAS

Nurul Hidayah
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Abstrak
Tujuan dilaksanakannya pernikahan oleh pasangan suami isteri adalah membentuk
keluarga yang bahagia. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan masalah
keturunan Kebahagiaan seringkali diartikan sebagai tercapainya tujuan hidup, sementara
tujuan utama berlangsungnya suatu pernikahan adalah mengembangkan keturunan. Kehadiran
anak sangat bernilai baik dari segi ekonomi, sosial, psikologis, dan agama. Dalam realisasinya
tidak semua pasangan mudah memperoleh keturunan seperti yang diharapkan. Diperkirakan
sekitar 20% penduduk Indonesia mengalami gangguan infertilitas. Hal ini menunjukkan
angka infertilitas di Indonesia yang cukup tinggi.
Infertilitas yang dialami baik oleh salah satu atau kedua pihak dari pasangan suami
isteri akan menimbulkan reaksi-reaksi stres yang disebut dengan stres infertilitas. Pasangan
yang mengalami infertilitas dipertimbangkan berada dalam kondisi krisis mayor karena
tercapainya tujuan utama kehidupan pernikahan mereka terancam gagal.
Stres infertilitas bersumber dari stresor internal dan stresor eksternal. Secara teoritis,
aspek-aspek stres infertilitas meliputi aspek seksual, interaksi dengan pasangan, emosional,
sosial, dan ekonomi. Stres infertilitas dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, berupa
ketidakharmonisan dalam hubungan pernikahan, bahkan dapat mengarah ke perceraian.
Dengan demikian masalah infertilitas merupakan masalah kependudukan yang perlu
segera ditangani. Menggunakan pendekatan mind-body connection, perlu dipilih upaya
pengelolaan stres yang tepat. Berbagai bentuk menejemen stres yang dapat ditawarkan antara
lain training coping-skills, relaksasi, guided imajery, terapi kognitif, terapi kelompok,
terapi agama, membiasakan pola hidup sehat, dan upaya medis yang sesuai.

Kata kunci: stres, infertilitas

Abstract
The purpose of a marriage is forming a happy family, that has been related with obtaining
children. Sometimes a happiness is interpreted as reaching the target of life, whereas the main
purpose of marriage is obtaining children. Child attendance is very valuable, consist of economic,
social, psychological, and religion values. In its realization not all couple experience easily to
obtain the children as they expected. It is estimated that about 20% Indonesian people have
some problems about infertility. This matter show the high rate of infertility.
The infertility that was experienced by the wife or husband or both of them will make
stress reactions, so-called by infertility stress. The infertility couple were considered in major
crisis because they have failed in reaching of the marital main purpose.
The sources of infertility stress come from internal and external stressor. Theoretically,
the aspects of infertility stress consist of the sexual aspect, interaction with spouse, emotional,
social, and economic aspects. Infertility stress can influence the marital satisfaction, in the form
Identifikasi dan Pengelolaan Stres Infertilitas (Nurul Hidayah) \ 25[
[
of disharmony marital interaction, that even can make divorce.
Thereby the infertility problem represent demografic problem which need solution
immediately. Using mind-body connection approach, it is necessary to select an appropriate
effort for stress management. There are various forms of stress management, for example coping-
skills training, relaxation, guided imajery, cognitive therapy, group therapy, religious therapy,
making good habit in healthy life, and appropriate medical effort.

Keywords: infertility, stress

Pendahuluan menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga


(Andayani dan Koentjoro, 2004). Sesuai
Tujuan utama dilaksanakannya dengan latar belakang budaya dan religiusitas
pernikahan oleh pasangan suami isteri ialah masyarakatnya, anak memiliki beberapa
membentuk keluarga yang sakinah atau fungsi. Pertama, anak sebagai simbol
bahagia (QS. Ar-Ruum:28; UU Perkawinan kesuburan dan keberhasilan. Filosofi yang
No. 1 tahun 1974). Membentuk keluarga yang berkembang ialah banyak anak banyak rejeki.
bahagia erat hubungannya dengan masalah Keterlambatan memiliki anak diang gap
keturunan (Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 sebagai kegagalan besar. Kedua, anak sebagai
pasal 1). Kebahagiaan seringkali diartikan pelanjut keturunan. Ketiga, anak sebagai
sebagai tercapainya tujuan hidup, sementara teman dan penghibur. Keempat, anak
tujuan utama berlangsungnya suatu merupakan anugerah dan amanat Tuhan yang
pernikahan adalah mengembangkan tidak boleh disia-siakan. Kelima, anak yang
keturunan (Ummi No. 5/XV/2003). saleh akan mendoakan dan menolong
Diperolehnya keturunan sangat orangtuanya di dunia dan akhirat (Moeloek,
didambakan oleh tiap pasangan suami isteri 1986).
karena akan menyambung generasi manusia. Singarimbun dkk (1977) melakukan
Seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan penelitian tentang nilai anak di Jawa, yang
anak maka namanya menjadi terputus hasilnya menunjukkan bahwa anak memiliki
(Suwaid, 2004). Anak juga merupakan nilai positif berupa adanya jaminan ekonomi
tumpuan harapan orangtuanya, bahkan ada dan psikologis di hari tua, dapat membantu
yang secara ekstrim menjadikan anak sebagai orangtua, memperbaiki ikatan perkawinan dan
sarana untuk mewujudkan ambisinya. kelangsungan keturunan. Adapun nilai negatif
Albrecht, dkk (1997) menyatakan anak berupa menambah beban ekonomi
bahwa norma budaya masih menghendaki (pengeluaran bertambah) dan beban emosional
wanita harus menjadi ibu. Payne (Burns dan (membuat tegang dan cemas).
Covington, 1999) menegaskan anggapan Sementara bagi wanita khususnya,
kultural yang sangat kuat bahwa masyarakat beberapa alasan untuk mempunyai anak antara
sering menanyakan “berapa jumlah anak yang lain: (a) ingin merasakan kepolosan dan
dimiliki” dan “kapan mempunyai anak” kepada keluguan anak, (b) ingin ikut merasakan
pasangan suami isteri daripada menanyakan pengalaman melahirkan yang menakjubkan,
“apakah mereka ingin memiliki anak”. dan (c) ingin menjadi ibu yang baik (Gerson,
Di masyarakat Indonesia kelengkapan dalam Lasswell dan Lasswell, 1987).
keluarga, yaitu adanya ayah, ibu, dan anak Hasil penelitian Sumapraja (1980) yang

\ 26[
[ HUMANITAS
HUMANITAS
AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
berlatar belakang budaya Indonesia teratur, tidak menggunakan alat kontrasepsi,
menunjukkan bahwa anak di mata orangtua dan telah menikah selama satu tahun tetapi
memiliki nilai sebagai berikut : (a) memberikan isteri tidak pernah hamil. Definisi ini
status kematangan dan identitas sosial, (b) didasarkan pada bukti bahwa 75% - 85%
sebagai fungsi reproduksi manusia, (c) pasangan secara normal bisa hamil dalam
memberikan kesempatan kepada orangtua jangka waktu 12 bulan (Kaannegiesser, 1988).
untuk menunjukkan tingginya moralitas Secara medis, infertilitas dapat
mereka, (d) mengukuhkan ikatan pernikahan dibedakan menjadi infertilitas primer dan
suami isteri, (e) menimbulkan pengalaman infertilitas sekunder. Pasangan dipertimbang-
baru serta menambah variasi kehidupan, (f) kan memiliki infertilitas primer bila pihak istri
menjadi sarana unjuk status kekuatan antar belum pernah hamil sama sekali. Adapun
orangtua (misal: bersaing dari sisi kecerdasan infertilitas sekunder ditujukan bagi pasangan
dan kekayaan), (g) meningkatkan kepuasan yang gagal hamil setelah kelahiran anak
hidup melalui kreativitas, kesuksesan dan pertama atau pihak istri pernah hamil
kemampuan anak, dan (h) sebagai tempat meskipun akhirnya terjadi keguguran (abortus)
bergantung secara ekonomi di masa tua. (Mullens, 1990). Ada pula yang mengistilahkan
Dalam realisasinya tidak semua infertilitas primer sebagai infertilitas tingkat
pasangan mudah memperoleh keturunan pertama dan infertilitas sekunder sebagai
seperti yang diharapkan. Di tengah gencarnya infertilitas tingkat kedua (www.gulfnews.com,
pencanangan program pembatasan kelahiran 2004).
(keluarga berencana) di berbagai penjuru Tingkatan infertilitas dapat pula dibagi
dunia ternyata ada kelompok pasangan suami menjadi infertilitas ringan (mild infertility) dan
isteri yang justru mengalami infertilitas atau infertilitas berat (severe infertility)
kesulitan untuk memperoleh anak. (www.treatendo.com, 2004). Sebagian
Martadisoebrata (Kompas, 9 September 1995), kalangan membedakannya menjadi subfertile
menyatakan bahwa sekitar 20-30% penduduk dan totally infertile (www.medicineayurved.com,
Indonesia mengalami gangguan infertilitas. 2004).
Pada tahun 2000, dari sekitar 30 juta pasangan
Etiologi infertilitas dapat dibagi menjadi
usia subur terdapat 3-4,5 juta atau sekitar 10-
empat kategori utama: faktor pria, faktor
15 % pasangan yang memiliki problem
wanita, faktor kombinasi pria dan wanita, serta
kesuburan. Dengan demikian, angka
infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya
infertilitas di Indonesia ternyata cukup tinggi.
(unexplained factor) (Ratna, 2000). Pria dan
Identifikasi Stres Infertilitas wanita masing-masing menyumbang 40%
sebagai penyebab infertilitas, penyebab karena
Pengertian Infertilitas keduanya sebanyak 10% sedangkan sisanya
Infertilitas adalah kebalikan dari fertilitas. tidak diketahui penyebabnya (unexplained
Fertilitas sendiri didefinisikan sebagai factor) (Kasdu, 2002). Williams dkk (1992)
kemampuan pasangan suami isteri untuk menjelaskan bahwa 35% kasus infertilitas
memperoleh keturunan atau anak secara biologis ditemukan pada pria, 35% pada wanita, 20%
(Kasdu, 2002). Kebalikannya, infertilitas adalah faktor keduanya dan 10% tidak diketahui
ketidakmampuan pasangan suami isteri penyebabnya.
memperoleh keturunan secara biologis. Penentuan tingkatan infertilitas yang
Pasangan infertil ditujukan bagi dialami didasarkan pada beberapa
pasangan yang sudah berhubungan intim secara pertimbangan. Infertilitas ringan biasanya

Identifikasi dan Pengelolaan Stres Infertilitas (Nurul Hidayah) \ 27[


[
disebabkan oleh faktor endometriosis, sipil, hal ini dirasa sangat memberatkan karena
gangguan ovulasi, dan faktor hormonal. pengobatan infertilitas tidak dijamin oleh
Infertilitas berat kemungkinan disebabkan oleh ASKES (Asuransi Kesehatan).
faktor imun (kekebalan), kemampuan Hasil penelitian dari Aisia (2003)
reseptivitas rahim yang lemah, pelekatan menunjukkan bahwa isteri yang mengalami
panggul akibat endometriosis yang parah, infertilitas akan mengalami stres yang cukup
kualitas sel telur yang menurun akibat berat. Menurut Ratna (2000) stres dirasakan
kerusakan ovarium, dan sebagainya. sejak bulan-bulan pertama pernikahan hingga
Hawari (1996) menyatakan bahwa stres menunggu hasil pengobatan yang sudah
merupakan tanggapan atau reaksi tubuh mereka jalani. Tingkat stres yang dirasakan
terhadap berbagai tuntutan atau beban yang oleh pasangan bervariasi dan dipengaruhi oleh
bersifat tidak spesifik. Senada dengan pendapat strategi coping dan penyesuaian yang dilakukan.
tersebut, Fontana (1990) menyatakan bahwa Pasangan yang infertil akan mengalami
stres merupakan tuntutan-tuntutan yang stres jangka panjang (kronis) yang umumnya
mengancam kapasitas penyesuaian dari pikiran berlangsung secara periodik yaitu tiap bulan.
dan tubuh manusia, apabila mereka tidak Hal ini berkaitan dengan siklus menstruasi
mampu melakukan penyesuaian terhadap yang dialami oleh pihak isteri. Tingkat stres
tuntutan yang datang. semakin memuncak apabila haid yang tidak
Menurut Braham (1990) reaksi-reaksi diharapkan kemunculannya akhirnya datang
stres meliputi reaksi fisik, emosional, kognitif juga, yang nota bene menunjukkan bahwa
dan interpersonal. Aspek fisik di antaranya isteri tidak hamil (Malpani, 2004).
seperti insomnia, sakit kepala, gangguan Lebih lanjut Berk dan Shapiro (1984)
pencernaan, dan tekanan darah naik. Aspek serta Malpani (2004) menjelaskan bahwa
emosional berupa kecemasan, mudah pasangan yang mengalami infertilitas
tersinggung, dan suasana hati mudah berubah. dipertimbangkan berada dalam kondisi krisis
Aspek kognitif berupa menurunnya daya ingat mayor karena tercapainya tujuan utama
dan daya konsentrasi, pikiran kacau, dan kehidupan pernikahan mereka terancam gagal.
pikiran hanya dipenuhi satu hal. Aspek Dilihat berdasarkan sumber stres, infertilitas
interpersonal antara lain berupa mudah curiga merupakan mayor life event. Pendapat ini
pada orang lain, mudah menyalahkan orang didukung oleh Menning (1980) bahwa
lain, dan problem seksual dengan pasangan. infertilitas merupakan krisis kehidupan yang
Infertilitas yang dialami baik oleh salah komplek, mengancam secara psikologis dan
satu atau kedua pihak dari pasangan suami sangat menimbulkan stres secara emosional.
isteri akan memberikan beberapa konsekuensi Braverman (2003) mengistilahkan stres ini
psikologis, di antaranya ialah stres. Apabila sebagai “Living in limbo” disebabkan
pasangan mengalami stres terhadap infertilitas ketidakpastian nasib yang dialami di masa
yang dialami, kondisi ini disebut dengan stres depan.
infertilitas. Stres tersebut bersumber dari Kasdu (2002) menjelaskan bahwa stres
tuntutan lingkungan yang mengharuskan yang timbul sebagai dampak dari infertilitas
pasangan suami isteri untuk memiliki anak. ini bersumber dari beberapa hal, yang dapat
Bagi wanita, stresor berasal dari suami yang dibedakan menjadi stres internal dan stres
cenderung menyalahkan. Sumber stres lainnya eksternal. Stres internal berupa diperlukannya
berasal dari biaya pengobatan infertilitas yang biaya pengobatan yang ting gi, har us
cukup tinggi. Bagi kalangan pegawai negeri meluangkan waktu khusus, dan disiplin yang

\ 28[
[ HUMANITAS
HUMANITAS
AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
harus dipatuhi untuk menjalani serangkaian hubungan suami isteri ini menunjukkan
pemeriksaan dan pengobatan, serta harapan kesulitan dalam membicarakan tentang
yang terlalu tinggi untuk mempunyai anak. infertilitas bersama pasangannya dan
Adapun stres eksternal berasal dari tuntutan pengaruh infertilitas terhadap kualitas
lingkungan yang mengharuskan pasangan hubungan suami isteri.
untuk mempunyai anak biologis. 4. Need for parenthood
Valentine (1986) mengatakan bahwa Stres yang berkaitan dengan
infertilitas akan menimbulkan reaksi-reaksi kebutuhan untuk menjadi orangtua ini
emosi seperti kebingungan, kesedihan, merasa menunjukkan usaha membendung
tidak berguna, depresi, keputusasaan, malu, keinginan untuk menjadi orangtua sebagai
kekecewaan, rendah diri, terluka, ketakutan, tujuan utama kehidupan.
tidak berdaya, dan merasa bersalah pada 5. Rejection of childfree lifestyle
pasangannya. Stres yang berkaitan dengan
Rosenfeld (Laswell dan Laswell, 1987) penolakan terhadap gaya hidup tanpa anak
memberikan istilah “sindrom infertilitas” ini menunjukkan bahwa kepuasan atau
terhadap pasangan yang mengalami trauma kebahagiaan di masa depan bagi seseorang
emosional berkaitan dengan usaha menerima tergantung dari dimilikinya anak.
kenyataan bahwa mereka infertil. Tahap-tahap Menurut Harkness (1987), Stanton dan
emosional yang dapat diprediksi di sini ialah: Dunkel-Schetter (1991) serta Malpani (2004)
(1) denial, yaitu penolakan terhadap infertilitas pasangan yang menjalani pengobatan
yang dialami, (2) menyalahkan diri sendiri, (3) mengalami beberapa bentuk stres. Pertama,
kesenjangan komunikasi dengan pasangan, stres secara fisik. Hal ini disebabkan
dan (4) marah-marah dan depresi. serangkaian pemeriksaan dan pengobatan yang
harus dijalani menimbulkan rasa sakit, seperti
Aspek-aspek Stres Infertilitas
suntikan, tes darah, inseminasi, maupun
Menurut Newton dkk (Peterson dkk, pembedahan.
2003) ada beberapa aspek stres yang Kedua, stres secara finansial. Hal ini
berhubungan dengan infertilitas, yaitu: dialami terutama oleh pasangan yang tingkat
1. Sexual concern ekonominya menengah ke bawah. Tritmen
Stres yang berkaitan dengan infertilitas membutuhkan biaya yang cukup
masalah seksual ini menunjukkan mahal. Pernyataan ini didukung oleh Shreve
kenikmatan seksual atau harga diri seksual dan Lone (1986) bahwa untuk menjalani
yang berkurang. tritmen infertilitas pasien harus
2. Social concern menpersiapkan dana yang cukup besar.
Stres yang berkaitan dengan Sebagian pasien menghentikan proses
hubungan sosial ini menunjukkan tritmennya di tengah jalan karena merasakan
kepekaan terhadap komentar atau biaya yang sulit dijangkau.
peringatan dari orang lain yang berkaitan Ketiga, stres secara psikologis. Beberapa
dengan infertilitas yang dialami, merasa pengobatan hor monal juga dapat
dirinya terkucil, serta terasing dari menimbulkan stres, misalnya mood (suasana
keluarga maupun kelompok sebaya. hati) yang ber ubah-ubah dan gang guan
3. Relationship concern emosional sebagai efek samping yang timbul
Stres yang berkaitan dengan (Malpani, 2004), rasa malu yang timbul ketika

Identifikasi dan Pengelolaan Stres Infertilitas (Nurul Hidayah) \ 29[


[
har us menjalani pemeriksaan, serta konsekuensi berupa perceraian (Rahmani dan
kebingungan dengan istilah-istilah medis yang Abrar, 1999). Sebagai contoh, di Kecamatan
kurang familiar (Harkness, 1987 dan Mullens, Kotagede Yogyakarta, 23 dari 537 pasangan
1990). Berikut ini beberapa kesempatan yang yang bercerai disebabkan mereka tidak
biasanya sangat menimbulkan stres (stressful): mempunyai anak dari hasil pernikahan tersebut
(1) saat berhubungan intim yang lebih (Nakamura, 1990).
ditujukan untuk memperoleh bayi daripada Menurut Braham (1990) stres akan
menikmati kehidupan seksual, (2) menunggu berpengaruh negatif terhadap hubungan
muncul tidaknya menstruasi (tiap bulan), (3) interpersonal. Stres dalam pernikahan akan
harus menjawab pertanyaan dari kerabat mempengar uhi kualitas hubungan
maupun teman-teman yang dirasakan sangat interpersonal dengan pasangan, seperti
sensitif dan menyinggung perasaan, (4) munculnya problem dalam hubungan seksual.
memutuskan untuk mengunjungi dokter, (5) Salah satu aspek stres infertilitas adalah sexual
memilih jenis tritmen medis yang akan concern. Stres ini menunjukkan kenikmatan
dijalani, dan (6) menunggu hasil pemeriksaan/ seksual atau harga diri seksual yang berkurang
pengobatan. karena hubungan seksual lebih ditujukan
supaya isteri cepat hamil (Newton dkk, dalam
Dampak Stres Infertilitas Peterson dkk, 2003)
Stres dapat berpengaruh positif (eustress) Merujuk pada rangking stresor dari
atau negatif (distress). Demikian pula dengan Holmes dan Rahe (1967), cukup banyak
stres infertilitas yang dialami oleh pasangan sumber stres yang berasal dari hasil interaksi
infertil. Eustress infertilitas akan mendorong dengan pasangan, misalnya problem seksual,
pasangan untuk lebih mengeratkan hubungan masalah keuangan, masalah dengan mertua,
karena menimbulkan rasa saling membutuhkan dan percekcokan dengan pasangan. Berkaitan
untuk mencari solusi terhadap permasalahan dengan infertilitas, stres dapat timbul akibat
yang dialami. Eustress juga membuat pasangan problem seksual, seperti individu yang tidak
lebih mendekatkan diri pada Ilahi, misalnya memperoleh kepuasan seksual dari
dengan do’a-doa yang dipanjatkan (lihat pasangannya karena hubungan seksual yang
contoh doa Nabi Zakaria dalam QS Maryam:4- dilakukan hanya bertujuan untuk memperoleh
6). Di sisi lain, distress infertilitas yang dialami anak, akan menghambat kepuasan
berpeluang mengganggu keharmonisan perkawinan. Demikian pula stres yang timbul
pernikahan. Berdasarkan pengakuan sebagian akibat masalah keuangan. Pasangan infertil
pasangan infertil yang penulis temui, akibat yang memutuskan untuk menjalani
dari stres infertilitas tersebut mereka seringkali pengobatan secara medis akan dihadapkan
bertengkar, mulai dari saling menyalahkan pada tuntutan biaya pengobatan yang tinggi.
hingga keinginan untuk bercerai. Isteri Stres yang timbul akibat problem yang
seringkali merupakan pihak yang cenderung dialami dengan mertua akan mempengaruhi
disalahkan dan disuruh untuk memeriksakan kepuasan pernikahan karena hubungan dengan
diri ke dokter. Di negara-negara Timur, seperti keluarga besar merupakan salah satu aspek
di Sudan, nilai wanita diukur dengan kepuasan pernikahan (Clayton, 1975). Sebagai
kesuburannya. Infertilitas dapat memicu contoh, wanita yang mengalami infertilitas
terjadinya perceraian (www.cirp.org, 22 Juni sering disalahkan oleh pihak mertua karena
2005). Demikian pula di Indonesia, pasangan tidak kunjung hamil sehingga menimbulkan
yang tidak memiliki anak membawa stres tersendiri.

\ 30[
[ HUMANITAS
HUMANITAS
AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
Berdasarkan pendekatan psikoneu- perubahan dalam kehidupan seksual mereka.
roimunologi, hasil penelitian dari Kiecolt-Glaser Keintiman seksual mungkin diganti menjadi
dan Ba (2003) menunjukkan bahwa ada asosiasi hubungan seksual yang terjadual. Pasangan juga
antara peningkatan hormon-hormon stres merasa bahwa seks tidak kunjung menyebabkan
(epinephrine, norepinephrine, dan ACTH) dengan kehamilan sehingga ada di antara mereka yang
peningkatan konflik pernikahan. Perubahan memutuskan untuk menggunakan bantuan
imunologik merupakan prediktor yang baik bagi inseminasi buatan atau bayi tabung. Pihak
penurunan kepuasan pernikahan. Tingkat suami merasa bahwa isteri hanya membutuhkan
perubahan fisiologis ini lebih tinggi pada wanita spermanya dan bukan dirinya secara utuh.
dibandingkan dengan pria sehingga wanita Sementara pihak isteri merasa bahwa tubuhnya
memiliki penilaian yang lebih negatif terhadap tidak lagi menarik di mata suaminya.
interaksi pernikahan mereka. Jane (1995) menjelaskan bahwa beberapa
Ketidakhadiran anak dapat problem seksual yang berhubungan dengan
menimbulkan masalah dalam hubungan infertilitas antara lain: (1) hilang atau
pernikahan. Griel (1991) melaporkan bahwa rendahnya hasrat melakukan hubungan
infertilitas akan meningkatkan ketegangan seksual, (2) impotensi, ejakulasi dini/tertunda
dalam pernikahan. Banyak pernikahan yang pada pria, (3) vaginismus, rasa sakit saat
terancam ketahanannya dalam menghadapi berhubungan seksual pada wanita, dan (4)
krisis ini. Hal ini dipengaruhi oleh tidak dapat mencapai orgasme. Berkurangnya
ketidakmampuan dalam mengekspresikan keintiman inilah yang menimbulkan gangguan
kemarahan, rasa sakit, dan kekecewaan dalam hubungan suami isteri dan mengurangi
sehingga menimbulkan frustrasi. kepuasan pernikahan (Domar, 2000).
Salah satu aspek yang menjadi tolok
Pengelolaan Stres Infertilitas
ukur kepuasan pernikahan adalah efektivitas
komunikasi untuk memecahkan masalah dan Menghadapi stres infertilitas yang
kemampuan mencari penyelesaian bila ada dialami diperlukan pengelolaan yang tepat.
perselisihan (Snyder, 1979). Eunpu (1995) Menggunakan pendekatan mind-body connection,
melaporkan bahwa pada pasangan yang berbagai program menejemen stres dapat
mengalami infertilitas, faktor kesulitan ditawarkan.antara lain training coping-skills,
komunikasi akan memperparah hubungan relaksasi, guided imajery, terapi kognitif, terapi
mereka. Hal ini disebabkan kebutuhan kelompok, terapi agama, membiasakan pola
komunikasi yang berbeda antara suami dengan hidup sehat, dan upaya medis yang sesuai.
isteri. Suami cenderung enggan membicarakan Program-program tersebut cukup efektif dalam
infertilitas yang mereka alami, kecuali apabila menurunkan tingkat stres, khususnya pada
sangat penting. Adapun isteri sangat ekspresif wanita. Penekanan program ini adalah
dan terbuka dalam membicarakan infertilitas mengalihkan konsntrasi subjek dari usaha
yang dialami (Griel, 1991). untuk memperoleh anak menjadi usaha untuk
Tolok ukur kepuasan pernikahan yang mengisi hidup dengan lebih
lain adalah aspek keintiman, yaitu kemampuan ber makna.(www.holisticonline.com., 27
pasangan untuk mengekspresikan kasih sayang Desember 2006).
dan mencapai kepuasan dalam berhubungan Pelatihan coping-skills dilakukan dengan
seksual (Clayton, 1975 dan Snyder, 1979). mengenal lebih dalam stres yang dialami,
Braverman (2003) mengungkapkan bahwa mengidentifikasi dan menyadari stresor, serta
banyak pasangan infertil yang mengalami merestrukturisasi prioritas stresor yang akan

Identifikasi dan Pengelolaan Stres Infertilitas (Nurul Hidayah) \ 31[


[
ditangani. Relaksasi dapat berupa relaksasi otot infertil. Belajar dari pengalaman para pasangan
maupun kesadaran indera. Adapun terapi infertil, upaya preventif dapat dilakukan oleh
kognitif berupa restrukturisasi kognitif, para calon pengantin dengan menjalani
meningkatkan positive thinking dengan pemeriksaan kesehatan reproduksi pranikah
menghilangkan distorsi kognitif. Penggunaan atau menyamakan visi pernikahan, terutama
humor juga dapat menghilangkan ketegangan. berkaitan dengan mutlak tidaknya keberadaan
Terapi kelompok dapat dilakukan secara anak dalam pernikahan.
rutin dengan tujuan meningkatkan dukungan
Daftar Pustaka
sosial dari sesama pasangan infertil. Terapi
agama dengan memperkuat keimanan Aisia. (2003). Dampak psikologis pada diri
terhadap takdir bahwa memang Allah Maha seorang isteri yang mengalami
Kuasa untuk menjadikan hambaNya fertil atau infertilitas. Skripsi (tidak diterbitkan).
infertil (QS. Asy-Syuro: 49-50) dengan tetap Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas
berikhtiar, yang secara spiritual dapat Tarumanagara.
dilakukan berupa memperbanyak istighfar dan
bersedekah (Suwaid, 2004). Sementara Andayani, B. dan Koentjoro. (2004). Peran
membiasakan pola hidup sehat mencakup pola Ayah Menuju Coparenting. Sepanjang: CV.
makan, pola tidur, berolahraga dan Citra Media.
menghilangkan kebiasaan buruk seperti Badan Penasehat Perkawinan dan
merokok, minum alkohol dan obat-obatan Penyelesaian Perceraian. (1974).
terlarang. Undang-undang Republik Indonesia No.
1 tentang Perkawinan. Jakarta: BP4
Penutup Pusat.
Prevalensi pasangan yang mengalami Berk, A. dan Shapiro, J. L. (1984). Some
infertilitas di Indonesia semakin meningkat implications of infertility on marital
sehing ga diperkirakan prevalensi stres therapy. Family Therapy, 9, 36-47.
infertilitas juga meningkat. Nampaknya Braham, B. J. (1990). Calm Down: How to
perhatian pada permasalahan demografis yang Manage Stress at Work. Illinois: Scolt,
satu ini masih kurang, termasuk penelitian- Foresman, and Co.
penelitian dan tritmen psikologis terhadap
infertilitas yang relatif masih sedikit. Braverman. 2003. The relationship between stress
Kalaupun ada pelatihan menejemen stres di and infertility. http://
klinik infertilitas, program ini baru menjangkau www.healthology.com.
kalangan menengah ke atas. Clayton, R. R. (1975). The Family, Marriage and
Wacana ini diharapkan dapat Social Change. Massachusets: D.C.
meng gugah kesadaran pihak yang Health Company.
berkompeten, khususnya ilmuwan dan praktisi Departemen Agama RI. (1989). Al-Qur’an dan
psikologi untuk mengembangkan penelitian Terjemahnya.Semarang: CV. Toha Putra.
dan tritmen psikologis terhadap pasangan
infertil yang dapat terjangkau oleh seluruh Eunpu, D. L. (1995). The impact of infertility
lapisan masyarakat. Bagi masyarakat umum, and treatment guidelines for couples
wacana ini diharapkan dapat memunculkan therapy. The American Journal of Family
kesadaran untuk lebih “peduli” dan Therapy, 23, 115-128.
memberikan dukungan sosial kepada pasangan

\ 32[
[ HUMANITAS
HUMANITAS
AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
Fontana, D. (1990). Managing Stress. London: Moeloek, F. A. (1986). Aspek Psikologi dan
The British Psychological Acrety and Sosiologi Kontrasepsi Mantap. Penerbit:
Routledge, Ltd. PKBMI.
Griel, A. L. (1991). Not yet Pregnant: Infertile Mullens, A. (1990). Missed Conceptions:
Couples in Contemporary America. New Overcoming Infertility. Toronto: McGraw-
Brunswick: Rutgers. Hill Ryerson.
Harkness, C. (1987). The Infertility Book: A Peterson, B. D., Newton, C. R., dan Rosen, K.
Comprehensive Medical and Emotional H. (2003). Family Process. Spring.
Guide. San Francisco: Volcano Press Inc. Rahmani, D.P. dan Abrar, A.N. (1999).
Hawari, D. (1996). Al-Qur’an Ilmu Jiwa dan Infertilitas dalam Perspektif Jender.
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Dhana Bhakti Yogyakarta: pusat Penelitian
Prisma Yasa. Kependudukan UGM.
Holmes, T. H. dan Rahe, R. H. (1967). Social Ratna, J. M. J. (2000). The influence of
readjustment rating scale. Journal of causative factors on coping strategy and
Psychosomatic Res., 1967, 11, 213-218. level of depression among Indonesian
Couples receiving a diagnosis of
Jane, R. (1995). Counseling for Fertility Problems.
infertility. Jurnal Psikologi Indonesia
London: Sage Publications.
Anima, Vol. 15 No. 4, 303-331.
Kaannegiesser, H. (1988). Conception in the yest Singarimbun, M., Darroch, R. K., dan Meyer,
tube. The IVF story: How Australia Leads P. A. (1977). Nilai Anak: Hasil
the World. Melbourne: Macmillan Penelitian di Jawa. Laporan Penelitian.
Company. Yogyakarta: PPS Kependudukan UGM.
Kasdu, D. (2002). Kiat Sukses Pasangan Snyder, D. K. (1979). Multidimensional
Memperoleh Keturunan. Jakarta: Pustaka assesment of marital satisfaction.
Pembangunan Swadaya Nusantara. Journal of Marriage and the Family, 813-
Kiecolt-Glaser, J. K. dan Ba, C. (2003). Love, 823.
marriage, and divorce: Newlyweds’ Sumapraja, S. (1980). Beberapa penelitian
stress hormone foreshadow klinik pasangan infertil. Tesis (tidak
relationship changes. Jour nal of diterbitkan). Jakarta: Universitas
Consulting and Clinical Psychology, 71, No. Indonesia.
1, 16-188.
Suwaid, M. (2004). Mendidik Anak Bersama
Laswell, M. dan Laswell, T. (1987). Marriage Nabi. Solo: Pustaka Arafah.
and the Family. California: Wadsworth
Publishing Company. Ummi Edisi 5/XV/2003. Sabar Menanti Si
Buah Hati.
Malpani. (2004). Stress and infertility. http://
Valentine, D. (1986). Psychological impact of
www.infertility.adoption.com.
infertility: Identifying issues and needs.
Martadisoebrata. (1995). 20 % penduduk Indonesia Social Work in Health Care, 11, 61-69.
mandul. Kompas, 9 September 1995.
Williams, L., Bischoff, R., dan Ludes, J. (1992).
Menning, B. E. (1980). The emotional needs A biopsychosocial model for treating
of infertile couples. Fertility and Sterility, infertility. Contemporary Family Therapy,
34, 313-319. 14, 309-322.

Identifikasi dan Pengelolaan Stres Infertilitas (Nurul Hidayah) \ 33[


[

Anda mungkin juga menyukai