Anda di halaman 1dari 4

Hubungan di Masa Paruh Baya.

Pada hamper semua individu paruh baya, bagaimanapun juga, hubungan dengan orang lain
sangatlah penting—mungkin dijalur yang berbeda daripada kehidupan sebelumnya.

TEORI-TEORI KONTAK SOSIAL

Berdasarkan teori rombongan social, individu berpindah sepanjang hidup dikelilingi oleh
rombongan social: lingkaran teman dekat dan anggota keluarga dengan beragam derajat kedekatan, pada
siapa mereka dapat bergantung untuk pendampingan, kesejahteraan, dan dukungan sosial, dan pada
siapa mereka bergantian juga menawarkan perawatan, perhatian, dan dukungan (Antonucci & Akiyama,
1997; Kahn & Antonucci, 1980). Karakteristik seseorang (gender, ras, agama, usia, pendidikan, dan status
pernikahan) bersama-sama dengan karakteristik dari situasi seseorang (harapan terhadap peran,
peristiwa kehidupan, tekanan finansial, kerepotan harian, tuntutan, dan sumber daya) memengaruhi
ukuran dan dari rombongan, atau jaringan dukungan; jumlah dan jenis dukungan sosial yang diterima
seseorang; dan kepuasan yang berasal dari dukungan.

Laura Carstensen (1991, 1995, 1996; Carstensen, Isaacowitz, & Charles, 1999) teori
selektifsosial emosional menawarkan perspektif rentang kehidupan pada bagaimana indivdu memilih
dengan siapa menghabiskan waktu mereka. Berdasarkan pada Carstensen, interaksi sosial memiliki 3
tujuan utama: (1) sebagai sumber informasi; (2) membantu individu untuk mengembangkawuan
memelihara rasa akan diri; dan (3) sebagai sumber kenikmatan dan kenyamanan atau kesejahteraan-
emosional. Pada masa infancy, tujuan ketiga, kebutuhan akan dukungan emosional adalah yang
terpenting. Dari masa anak hingga dewasa muda, pencarian informasi datang Iebih awal. Karena orang
muda berjuang untuk belajar mengenai kelompok sosial mereka dan tempat mereka tinggal, orang asing
mungkin menjadi sumber terbaik untuk pengetahuan. Di usia paruh baya walaupun pencarian informasi
masih penting (Fung, Carstensen, & Lang, 2001), orisinal, fungsi pengaturan emosi dari kontak sosial muld
mempertegas kembali diri sendiri. Dengan kata Iain, individu paruh baya semakin mencari Drang Iain yang
membuat mereka merasabahagia (Figur 16-2).

HUBUNGAN, GENDER, DAN KUALITAS KEHIDUPAN.

Hubungan adalah kunci yang paling penting dalam kesejahteraan (Markus dkk., 2004). Mereka
dapat menjadi sumber utama kesehatan dan kepuasan (Lachman, 2004). Walaupun begitu, hubungan
juga dapat menghadirkan tuntutan yang penuh tekanan (Lachman, 2004), terlebih lagi pada perempuan.
Perasaan tanggung jawab dan perhatian pada orang Iain, mungkin menurunkan kesejahteraan
perempuan ketika masalah dan ketidakberuntungan menimpa pasangannya, anak, orang tua, teman, dan
rekan kerja. Stres yang mewakili ini mungkin membantu menjelaskan mengapa perempuan, paruh baya
khususnya, rentan terhadap depresi dan masalah kesehatan mental Iainnya dan mengapa, seperti yang
akan kita lihat, mereka cenderung menjadi tidak bahagia dengan pernikahannya daripada laki-laki
(Antonucci & Akiyama, 1997: S.P Thomas, 1997).
Hubungan Berdasarkan Kesepakatan

Pernikahan.
Kepuasan pernikahan umumnya mencapai titik terendah di awal masa paruh baya, ketika
banyak pasangan memiliki anak remaja dan sangat terlibat dalam karier. Kepuasan umumnya
mencapai nilai tertinggi ketika anak tumbuh: banyak orang yang pensiun atau memasuki pensiun,
dan akumulasi sepanjang hidup dari aset-aset ini membantu menghilangkan kekhawatiran
finansial (Orbuch dkk., 1996). Di sisi lain, perubahan ini mungkin menghasilkan tekanan baru dan
juga tantangan-tantangan (Anttonucci dkk, 2001). Kepuasan seksual berdampak pada kepuasan
pernikahan dan kemampuan, berdasarkan studi longitudinal dari 283 pasangan menikah. Mereka
yang puas dengan kehidupan seks cenderung menjadi puas terhadap pernikahan mereka, dan
kualitas pernikahan yang lebih baik mengarah pada pernikahan yang lebih lama untuk laki-laki
dan perempuan (Yeh, Lorenz, Wicakrama, Conger, & Elder, 2006).
Kohabitasi
Di antara 18.598 warga Amerika yang berusia lebih dari 50 tahun, laki-laki kohabitasi
(tetapi bukan perempuan kohabitasi) lebih mungkin menjadi depresi daripada rekan mereka
yang menikah, bahkan jika variabel seperti kesehatan fisik, dukungan sosial, dan sumber daya
ekonomi terkontrol. Betul, laki-laki kohabitasi mungkin menjadi depresi seperti laki-laki tanpa
pasangan. Hal ini mungkin pandangan laki-laki dan perempuan mengenai hubungan mereka
sangat berbeda. Perempuan, seperti laki-laki, mungkin menginginkan pasangan intim, tetapi
mungkin mampu untuk menikmati hubungan tanpa komitmen dari pernikahaan formal—
komitmen yang di masa paruh baya, mungkin bermakna kemungkinan untuk merawat suami
yang lemah. Laki-laki yang menua, dengan cara yang sama, mungkin membutuhkan atau
mengantisipasi kebutuhan jenis perawatan yang disediakan oleh istri tradisional dan mungkin
khawatir tidak akan mendapatkannya (S. L. Brown dkk., 2005).
Perceraian.
Walaupun perceraian di paruh baya lebih umum daripada di masa lalu (Aldwin &
Levenson, 2001; Blieszner & Roberto, 2006), rusaknya hubungan tetap menjadi hal yang
traumatis. Perceraian di usia paruh baya khususnya untuk perempUan tampaknya sulit, yang
lebih mengalami dampak negatif perceraian di semua umur daripada laki-laki (Marks & Lambert,
1998; Montenegro, 2004). Hilangnya pernikahan berasosiasi dengan peningkatan kesempatan
kondisi kesehatan kronis di kedua jenis kelamin, mungkin didorong oleh kekacauan dan stres
seperti misalnya kehilangan keterlibatan (Hunges & Waite, 2009). Untungnya, hampir semua
perceraian di usia paruh baya akhirnya bangkit kembali. Pernikahan yang lama kurang mungkin
untuk berpisah daripada pernikahan yang baru karena karena pasangan tinggal bersama, mereka
membangun modal pernikahan, keuntungan finansial dan emosional dari pernikahan yang
menjadi sulit untuk dilepaskan (Becker, 1991; Jones, Tepperman, & Wilson, 1995). Mengapa
individu paruh baya bercerai? Alasan nomor satu yang diberikan oleh responden AARP adalah
perlakuan kejam pasangan—verbal, fisik, atau emosional. Alasan yang sering muncul lainnya
adalah perbedaan nilai dan gaya hidup, ketidaksetiaan, alkohol, atau penyalahgunaan obat-
obatan, dan alasan sederhana yaitu hilangnya cinta. Tetap saja, stres sering kali masih ada.
Perceraian tidak menghilangkan stres, walaupun hal itu mungkin mengubah sumber stres.
Mendekati setengah (49 persen) dari responden AARP, khususnya perempuan, mengatakan
mereka sangat menderita dari stres dan 28 persen dari depresi. Proporsi ini serupa pada angka
di antara individu yang hidup sendiri di usia yang sama (Montenegro, 2004). Di sisi positif, stres
perceraian mungkin mengarahkan pada pertumbuhan personal (Aldwin & Levenson, 2001;
Helson & Roberts, 1994).
Perasaan merusak harapan mungkin menurun karena perceraian paruh baya menjadi
lebih umum (Marks & Lambert, 1998; Norton & Moorman, 1987). Perubahan ini tampak karena
besarnya pertumbuhan perempuan yang mandiri secara ekonomi (Hiederman dkk., 1998).
Bahkan, dalam pernikahan yang lama, peningkatan jumlah tahun ketika individu dapat berharap
untuk hidup dalam kesehatan yang baik setelah fase membesarkan anak berakhir mungkin
membuat pemutusan pernikahan marginal dan prospek kemungkinan pernikahan kembali
menjadi pilihan yang lebih praktis dan atraktif. Betul, perceraian saat ini mungkin kurang sebagai
ancaman terhadap kesejahteraan di usia pertengahan daripada di dewasa muda.

Hubungan Gay dan Lesbian.


Banyak homoseks yang menyembunyikan identitas mereka hingga masa dewasa, yang mana hal
ini dapat berpengaruh terhadap aspek lainnya dari masa perkembangan. Laki-laki homoseks yang
menyembunyikan jati dirinya hingga masa paruh baya cenderung merasa bersalah, memendam
rahasia, menutup kondisinya dengan melakukan pernikahan heteroseksual, dan akhirnya
berkonflik dengan dirinya sendiri. Sebaiknya, mereka yang mengakui jati dirinnya sejak awal
sering kali menghadapai halangan lintas-ras dan sosial ekonomi.

Pertemanan.
Seperti yang disampaikan oleh teori Cartensen, jaringan sosial cenderung untuk mengecil
dan lebih intim di usia paruh baya. Tetap saja, persahabatan bertahan dan sumber yang kuat
untuk dukungan emosional dan kesejahteraan, khususnya bagi perempuan (Adams & Allan,
1998, Antonucci dkk., 2001). Kualitas dari persahabatan di usia paruh baya sering kali membentuk
apa yang mereka pilih dalam jumlah waktu yang dihabiskan. Khususnya selama suatu krisis,
seperti misalnya perceraian atau masalah dengan orang tua yang sudah tua, individü dewasa
beralih kepada teman Untukmendapatkan dukungan emosional, bimbingan praktis,
kenyamanan, persahabatan, dan tempat berbicara (Antonucci & Akiyama, 1997; Hartup &
Stevens, 1999; Suitor & Pillemer, 1993). Kualitas persahabatan seperti ini dapat
memengaruhi kesehatan. Seperti tidak memiliki jaringan persahabatan. Kesepian sebagai
contoh, diprediksikan meningkatkan tekanan darah, bahkan ketika variable seperti usia, gender,
ras, dan faktor risiko jantung diperhitungkan (Hawkley, Thisted, Masi, & Cacioppo, 2010).
Bagaimanapun juga, kadang-kadang persahabatan itu sendiri dapat membuat stres. Konflik
dengan teman sering kali berpusat pada perbedaan nilai-nilai keyakinan, dan gaya hidup;
walaupun begitu teman biasanya dapat membicarakan konflik ini Sementara memelihara
martabat masing-masing dan saling menghargai (Hartup & Stevens, 1999).

Anda mungkin juga menyukai