Disusun Oleh :
Kelompok 7
5. Veruszhka 211301130
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2023
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1
BAB II KAJIAN TEORITIS.............................................................................................. 4
2.1. Social Loafing..................................................................................................... 4
2.1.1 Definisi Social Loafing..........................................................................4
2.1.2 Aspek-Aspek Social Loafing................................................................ 4
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Social Loafing............................. 6
2.1.4 Ciri-Ciri Mahasiswa Yang Melakukan Social Loafing......................... 7
2.2. Resiliensi............................................................................................................. 7
2.2.1 Definisi Resiliensi Akademik............................................................... 7
2.2.2 Aspek-Aspek Resiliensi Akademik...................................................... 8
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Akademik................... 9
2.2.4. Ciri Mahasiswa yang Memiliki Resiliensi Akademik......................... 11
2.3. Dinamika Permasalahan Social Loafing Terhadap Resiliensi Akademik...........12
2.4. Penyelesaian Permasalahan................................................................................ 14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......................................................................... 16
3.1. Pendekatan Penelitian......................................................................................... 16
3.2. Metode Pengumpulan Data................................................................................. 16
3.3. Blue-Print Social Loafing................................................................................... 16
3.4. Blue-Print Resiliensi Akademik......................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 22
i
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melatih kemampuan bekerja sama dengan
orang lain yaitu melalui pengerjaan tugas secara berkelompok. Tugas kelompok biasanya
dikerjakan oleh dua orang atau lebih yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama
(Riyanto & Th. dalam Sutanto & Simanjuntak, 2015). Lewat tugas kelompok, mahasiswa dapat
berkolaborasi untuk menciptakan ide-ide baru dalam menyelesaikan suatu masalah. Hytti dkk.
(dalam Fitriana & Saloom, 2018) mengungkapkan terdapat berbagai keuntungan yang bisa
diperoleh dari mengerjakan tugas secara berkelompok, diantaranya meningkatkan harga diri
dan motivasi mahasiswa, mengurangi kecemasan di kalangan mahasiswa, mengembangkan
kepercayaan diri dan sikap yang positif terhadap pendidikan, serta meningkatkan tanggung
jawab sosial. Selain keuntungan-keuntungan tersebut, pada dasarnya tugas kelompok memiliki
kelebihan tersendiri dibandingkan tugas individu, yakni pengerjaan tugas yang dilakukan oleh
banyak orang akan mengurangi beban yang harus dikerjakan setiap individu dikarenakan beban
tersebut terdistribusi ke masing-masing anggota kelompok.
Namun, melakukan tugas kelompok dapat pula menjadi bumerang ketika distribusi
tugas yang terjadi tidak terbagi secara merata. Tujuan pengerjaan tugas secara berkelompok
yang semula untuk meringankan pekerjaan, malah menjadi semakin berat karena satu atau
beberapa anggota tidak memberikan porsi kontribusi yang seharusnya.
1
Banyaknya jumlah orang yang mengerjakan terkadang justru menimbulkan pemikiran
bahwa bagaimanapun akan ada orang lain yang menyelesaikan tugas tersebut sehingga
seseorang merasa ‘aman’ meskipun minim bahkan tidak berkontribusi sama sekali, terutama
ketika terdapat anggota yang dianggap dapat berkontribusi lebih dari yang lain. Adanya orang
lain membuat rasa tanggung jawab pribadi berkurang, hingga peran yang dimiliki pun menjadi
dilempar kepada orang lain. Situasi ini kemudian akan semakin parah jika tidak dilakukan
evaluasi terhadap kinerja yang telah dilakukan oleh masing-masing anggota.
Myers (2012) mengistilahkan perilaku ini dengan sebutan free rider, yakni individu
yang berusaha mengambil banyak keuntungan dari kelompok tetapi pada saat yang sama ia
hanya memberikan kontribusi yang sangat sedikit dalam kelompok. Dalam psikologi, free rider
lebih dikenal dengan istilah social loafing. Menurut Baron & Byrne (2000), social loafing
adalah menurunnya motivasi dan usaha seseorang saat bekerja secara bersama dalam kelompok
dibandingkan dengan saat mereka bekerja secara individu. Faktanya, penelitian menunjukkan
bahwa seseorang akan mengeluarkan usaha 18% lebih besar saat ia tahu bahwa ia bekerja
sendirian (Myers dalam Sutanto & Simanjuntak, 2015). Bentuk perilaku social loafing dapat
bermacam-macam, mulai dari sikap apatis terhadap tugas kelompok, perilaku merusak dan
menghambat dalam kelompok, hubungan interpersonal yang lemah, kualitas dan hasil kerja
yang buruk, pendomplengan tugas, hingga kinerja tim yang buruk secara keseluruhan (Atikah
& Hariyadi, 2019).
Performa yang buruk dari seseorang dalam suatu kelompok tentu akan berpengaruh
terhadap anggota kelompok yang lain. Ketika seseorang mengalami social loafing dalam tugas
kelompok, ia mungkin tidak merasa bertanggung jawab secara individual dan kurang terlibat
dalam tugas, yang dapat menurunkan tingkat resiliensi akademiknya, karena kurangnya
pengalaman dalam menghadapi tantangan secara mandiri.
Sebaliknya, tingkat resiliensi akademik yang tinggi dapat membantu seseorang untuk
mengatasi social loafing. Individu yang memiliki kemampuan untuk bangkit dari kegagalan
dan menghadapi tantangan dengan baik dapat lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam
tugas kelompok dan mungkin lebih mampu untuk memotivasi anggota kelompok lainnya.
Dengan demikian, tingkat resiliensi akademik yang tinggi dapat membantu mengatasi efek
negatif dari social loafing dan memperkuat kinerja kelompok secara keseluruhan.
2
Selain itu, pendekatan yang memperkuat rasa tanggung jawab individu terhadap
kontribusinya dalam tugas kelompok dan meningkatkan motivasi intrinsik mereka dapat
membantu mengurangi social loafing dan pada saat yang sama memperkuat resiliensi
akademik. Selain itu, pendekatan yang memperkuat kemampuan individu untuk mengatasi
kegagalan dan tantangan akademik dapat meningkatkan resiliensi akademik mereka dan
membantu mereka mengatasi efek negatif dari social loafing.
3
BAB II
KAJIAN TEORITIS
Sedangkan menurut Latane (dalam Andaru, Raditio, 2019), social loafing memiliki 2
aspek yaitu :
a) Dilution effect
Dimensi ini menjelaskan bahwa, motivasi masing-masing anggota untuk
berpartisipasi dalam pengerjaan tugas akan semakin rendah jika jumlah anggota kelompok
semakin banyak.
b) Immediacy gap
Dimensi ini menjelaskan bahwa terdapat kesenjangan jarak (baik fisik maupun
psikologis) antara individu yang saling berhubungan. Anggota kelompok akan merasa
diasingkan karena tidak terlalu akrab dengan anggota kelompok lain, sehingga
kontribusinya pada kelompok juga sedikit.
Berdasarkan penjelasan diatas, aspek social loafing dalam penelitian ini mengacu
pada teori George (1992). Aspek social loafing tersebut meliputi: persepsi atas usaha,
mengurangi usaha, membiarkan orang lain melakukan lebih dan mengandalkan orang lain.
Peneliti menggunakan aspek yang dikemukakan oleh George (1992) dikarenakan teori
George tersebut lebih tepat digunakan dan lebih sesuai dengan konteks yang ingin diteliti.
5
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Social Loafing
Beberapa faktor yang mempengaruhi social loafing telah diungkapkan oleh Sarwono
(2005), diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Faktor kepribadian
Sarwono (2005) mengungkapkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
seseorang melakukan social loafing, salah satunya adalah faktor kepribadian. Orang yang
memiliki upaya sosial (social efficacy) yang tinggi akan mengalami fasilitasi sosial dengan
kehadiran orang lain, sementara yang daya sosialnya rendah mengalami social loafing atau
pemalasan.
b) Jenis pemerhati
Jika anggota belum pernah menyaksikan keberhasilan seseorang dimasa lalu, orang
tersebut akan semangat dalam menunjukkan kebolehannya kepada pemerhati.
c) Harga diri
Kehadiran orang lain akan menurunkan prestasi individu dengan harga diri yang
rendah. Sebaliknya, orang-orang dengan harga diri yang tinggi cenderung terdorong untuk
berprestasi sebaik-baiknya dengan adanya orang lain. Orang dengan harga diri tinggi ingin
menunjukkan kepada orang lain kemampuannya yang tinggi itu. Harga diri merupakan
salah satu faktor internal dari kepercayaan diri.
d) Keterampilan
Kehadiran orang lain akan meningkatkan prestasi terhadap individu. Sebaliknya,
bagi yang tidak, kehadiran orang lain justru akan menurunkan prestasinya.
e) Persepsi terhadap kehadiran orang lain
Anggapan bahwa kehadiran orang lain akan meningkatkatkan semangat dan
motivasi individu. Namun, kehadiran orang lain juga dapat menurunkan motivasi, jika
anggota yang lain tidak kooperatif atau bahkan dapat menimbulkan social loafing.
f) Kohesivitas
Ketika anggota kelompok tidak saling mengenal dan menyukai, dan tidak saling
memiliki ikatan yang erat, maka kemungkinan besar anggota lain menimbulkan perilaku
social loafing.
6
2.1.4 Ciri-Ciri Mahasiswa Yang Melakukan Social Loafing
Berdasarkan sumber dari Stephanie & Ermida (2015), terdapat ciri-ciri yang dapat
menggambarkan mahasiswa yang melakukan social loafing, yaitu:
a) Pasif
b) Tidak memiliki inisiatif
c) Kurang percaya diri
d) Tidak asertif
e) Tidak berusaha mengatasi kesulitan
2.2. Resiliensi
2.2.1 Definisi Resiliensi Akademik
Resiliensi akademik didefinisikan sebagai proses, kapasitas, atau hasil dari adaptasi
dalam situasi yang menantang atau mengancam (Masten, Best & Garmezy dalam Cassidy,
2015). Menurut Sholichah, dkk (2018) Resiliensi akademik adalah ketangguhan individu
dalam menghadapi berbagai tugas akademik dan tidak akan mudah putus asa dalam
menghadapi kesulitan tersebut. Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai
kemampuan terhadap pengendalian keinginan, dorongan, dan tekanan yang muncul dari dalam
diri individu yang didasarkan terhadap pengalaman pada respon yang diberikan saat
permasalahan muncul. Resiliensi dibutuhkan sebagai kemampuan untuk bertahan dan
beradaptasi ketika segala sesuatunya serba salah.
Menurut Cassidy (2015) Resiliensi akademik dianggap sebagai kekuatan, kualitas,
karakteristik dan proses yang diinginkan dan menguntungkan yang cenderung berdampak
positif pada aspek kinerja, pencapaian, kesehatan dan kesejahteraan individu. Fenomena
dengan berbagai kemampuan individu untuk mencapai hasil yang baik walaupun berhadapan
dengan kesulitan dan berperan serta pada perkembangan akademik disebut resiliensi akademik
(Utami, 2020). Individu yang mampu mengatasi dan menghadapi tekanan setiap kegiatan
akademik yang dijalani dan memberikan respon yang positif baik secara emosional ataupun
tingkah laku yang muncul memiliki resiliensi akademik yang baik (Harahap dkk, 2020).
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi akademik
adalah kemampuan individu untuk tetap bertahan di bidang akademik dengan berusaha bangkit
kembali dari keadaan yang sulit dan tertekan untuk menjadi lebih baik walaupun mengalami
banyak tantangan dan rintangan.
7
2.2.2 Aspek-Aspek Resiliensi Akademik
Cassidy (2015) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek dari resiliensi akademik, yakni
perseverance (ketekunan), reflecting and adaptive help-seeking (mencari bantuan adaptif), dan
negative affect and emotional response (pengaruh negatif dan respon emosional):
a) Ketekunan (perseverance)
Ketekunan merupakan gambaran individu yang bersungguh-sungguh dalam
mengerjakan sesuatu, bekerja keras, tidak mudah untuk menyerah, fokus pada
proses dan tujuan, dan memiliki kegigihan dalam menghadapi kesulitan. Mereka
akan melakukan yang terbaik untuk tetap menjaga ketahanan diri agar berhenti
memikirkan pikiran negatif dari situasi yang menekan. Ketekunan dan kemauan
akan membantu individu tersebut dalam menghadapi pengalaman terpuruknya
(Taormina, 2015).
b) Mencari bantuan adaptif (reflecting and adaptive help-seeking)
Dalam hal ini, individu yang dapat mencari bantuan adalah individu yang
mampu merefleksikan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan mencari
bantuan, dukungan, dan dorongan dari individu lainnya sebagai usaha untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan. Ketika individu bertahan dan tidak menyerah
dalam menghadapi keterpurukan yang akan meningkatkan kesempatan untuk
menyelesaikan masalah. Situasi yang menyulitkan yang dialami individu bisa
mengelola dirinya sendiri untuk menyikapi hal tersebut (Taormina, 2015).
c) Pengaruh negatif dan respon emosional (negative affect and emotional
response)
Pengaruh negatif dan respon emosional merupakan gambaran kecemasan,
emosi negatif, atau dengan kata lain individu dapat menerima segala hal yang
bersifat negatif yang dimilikinya selama hidup. Situasi yang menyulitkan bagi
individu, yang akhirnya menimbulkan perasaan khawatir, cemas, dan kecewa serta
depresi, namun mampu mengatasi hal tersebut dengan baik. Sehingga, mereka
dapat memahami pengaruh dari emosi yang dirasakannya. Individu secara kognitif
mempunyai kemampuan untuk bangkit kembali pada kondisi normal dengan
pemaknaan negatif maupun positif terhadap kesulitan yang dihadapi. Individu
mampu mengontrol dan menahan diri agar tidak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran
negatif yang dapat membuat semakin merasakan tekanan dari situasi yang dialami
(Taormina, 2015).
8
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Akademik
Everall, Altrows, dan Paulson (2006) menjelaskan terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi resiliensi akademik. Faktor-faktor tersebut diantaranya individu, keluarga,
dan eksternal:
a) Individu
Individu merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri.
Faktor-faktor dari dalam diri individu sebagai berikut:
1) Intelegensi
Kemampuan yang berasal dari dalam diri individu merupakan salah satu locus
control yang dapat mempengaruhi resiliensi akademik. Individu yakin bahwa dirinya
sendirilah yang mampu menyelesaikan masalah. Selain itu, individu dapat mengontrol
hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi hidupnya.
9
Individu percaya bahwa diri sendiri adalah faktor utama yang mempengaruhi
hasil yang didapatkan (Oktaviany, 2018).
4) Konsep diri
Mampu mengenali diri sendiri dengan baik, selalu berpikir positif, merancang
tujuan yang realistis, serta berguna sebagai konsep diri yang positif. Jika individu telah
mengenal diri sendiri dan selalu berpikiran positif dapat meningkatkan resiliensi. Feist
(2014) berpendapat bahwa konsep diri adalah keseluruhan aspek dalam keberadaan dan
pengalaman individu yang disadari oleh diri sendiri sebagai gambaran tentang diri
5) Self-esteem
Harga diri yang dimiliki oleh individu akan membantu menghadapi berbagai
tantangan dalam hidup. Individu yang memiliki harga diri akan tetap tegar dan
meningkatkan rasa percaya diri untuk melalui kesulitan sehingga meningkatkan
resiliensi akademik pada diri individu tersebut. Harga diri sebagai gambaran individu
terhadap dirinya merupakan cara berpikir dalam memaknai diri. Harga diri ini sangat
berperan terhadap perkembangan potensi resiliensi (Aza dkk, 2019).
b) Keluarga
Keluarga sebagai salah satu akar dalam meningkatkan resiliensi, karena dapat
mengarahkan dan memberi informasi menghadapi perubahan. Hubungan individu
akademik dengan orang tua meliputi kepedulian, perhatian, pola asuh, dan sosial
ekonomi yang memadai. Keluarga memiliki peranan penting dalam membangun
kesejahteraan, pengasuhan, dan pendidikan kepada anggota keluarga (Fahrudin, 2012).
c) Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu.
Keikutsertaan individu dalam kegiatan di lingkungan rumah, komunitas, dan sekolah
dapat meningkatkan resiliensi yang dimiliki. Ketika mengalami kesulitan dan
tantangan di lingkungan
10
2.2.4. Ciri Mahasiswa yang Memiliki Resiliensi Akademik
Dari ciri-ciri yang telah diungkapkan dapat dilihat bahwa dalam resiliensi akademik,
mental seseorang dan bagaimana pola proses berpikirnya dalam menghadapi hal-hal yang
memberi tekanan dapat menjadikannya memiliki resiliensi akademik yang baik. Ketika
seseorang memiliki kemandirian dan inisiatif yang kuat, hal tersebut membantu dirinya untuk
tetap fokus pada tujuan awal dan tidak bergantung pada pihak lain dalam proses mencapainya.
Namun demikian, hal itu bukan berarti seseorang tidak memerlukan bantuan dan dukungan
dari orang lain. Selain itu, dalam menghadapi tekanan, baik yang berasal dari diri sendiri
(internal) maupun dari luar diri (eksternal), selera humor yang baik akan sangat membantu
melewati proses yang melelahkan dan memberi dorongan psikologis pada diri seseorang tanpa
disadari.
Sementara itu, berdasarkan alat ukur resiliensi akademik oleh Reskyiani pada tahun
2019 terdapat beberapa indikator resiliensi akademik yang ditinjau dari beberapa aspek yakni
ketekunan, bantuan adaptif dan respon emosional. Dari aspek ketekunan, seseorang yang
memiliki ciri tidak mudah patah semangat, menampilkan sifat kerja keras, berpegang teguh
pada rencana dan tujuan (berkomitmen), serta memiliki kontrol diri. Dari aspek bantuan
adaptif, individu mampu merefleksikan kekuatan dan kelemahan yang ia miliki, mampu
mengubah pendekatannya dalam belajar, serta mau mencari bantuan dan dukungan. Aspek
respon emosional melihat optimisme seseorang dan tingkat kecemasannya yang tergolong
rendah.
11
2.3. Dinamika Permasalahan Social Loafing Terhadap Resiliensi Akademik
Adapun dinamika permasalahan antara social loafing dan resiliensi akademik dapat
dianalisis melalui bagan berikut. Distal factors bukan pemicu langsung dari suatu masalah,
melainkan menyebabkan kerentanan yang terkait dengan masalah tersebut (dalam buku Kloos,
hal. 254). Distal contextual factors berkaitan dengan kondisi lingkungan yang berinteraksi, dan
dapat menciptakan stres. Selanjutnya, distal personal factors terkait dengan aspek-aspek
pribadi individu, yang tentunya dapat memicu stres. Dalam hal ini, diketahui jika salah satu
faktor yang memengaruhi social loafing pada individu ialah faktor kepribadian. Melalui teori
Sarwono (2005), diketahui bahwa individu yang memiliki upaya sosial (social efficacy) yang
tinggi akan mengalami fasilitasi sosial dengan kehadiran orang lain, sementara yang daya
sosialnya rendah mengalami social loafing.
Lalu, proximal factors bukan pemicu langsung dari suatu masalah, dan menyediakan
sumber daya yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut (dalam buku Kloos, hal.
255). Terdapat life transitions, yang terkait dengan perubahan yang bertahan lama, sehingga
dibutuhkan keterampilan baru untuk menyesuaikan diri. Dalam hal ini, life transitions
merupakan bagian dari keadaan hidup, yaitu transisi sistem pembelajaran sekolah (cenderung
individual), ke sistem perkuliahan (tugas kelompok).
Selanjutnya, stress reactions yang cenderung dipengaruhi oleh pemicu stres pada
proximal factors. Dalam beberapa situasi, peningkatan stressor proksimal dapat memicu
respons stres yang dapat dilihat sebagai pengalaman positif, seperti bangkit untuk menghadapi
tantangan (dalam buku Kloos, hal. 261).
12
Dalam hal ini, mahasiswa dapat menimbulkan stres akibat teman sekelompoknya yang
melakukan social loafing. Namun, bagaimana mahasiswa tersebut beradaptasi dengan
kesulitan tersebut, berkaitan dengan cara individu tersebut menggunakan sumber daya.
Resources activated for coping yang terkait dengan permasalahan di atas ialah
kompetensi sosial-emosional. Goleman (1995) menjelaskan bahwa kompetensi personal ini
mencakup keterampilan pengaturan diri, yaitu mengelola emosi, motivasi, kognisi, dan proses
intrapersonal lainnya (dalam buku Kloos, hal. 263). Setelah kita mengetahui kalau ada salah
satu teman yang social loafing, daripada berfokus dengan hal tersebut, kita dapat menggunakan
sumber daya yang ada, berupa pemahaman terhadap tugasnya untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Hal ini berkaitan dengan faktor yang memengaruhi pada resiliensi akademik, yaitu
adanya self-esteem yang berperan terhadap perkembangan potensi resiliensi (Aza dkk, 2019).
Lalu, ada konsep diri yang berkaitan dengan individu yang telah mengenal diri sendiri
dan selalu berpikiran positif, sehingga dapat meningkatkan resiliensi. Terakhir, adanya internal
locus control, yaitu individu menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber daya bagi sumber
stressor, karena ia yakin bahwa dirinya sendirilah yang mampu menyelesaikan masalah, dan
dapat mengontrol hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi hidupnya.
Proses selanjutnya ialah coping processes, yang terkait dengan upaya yang dilakukan
individu untuk mengatasi situasi yang penuh akan tekanan, baik secara kognitif maupun
perilaku. Individu yang resiliensi akan memiliki bentuk problem-focused coping (Galatzer-
Levy dkk, 2012). Seperti penjelasan sebelumnya, bentuk problem-focused coping yang
dihadapi mampu membantu individu untuk mengalihkan perhatian dari tekanan yang dialami,
sehingga individu mampu menyesuaikan diri menghadapi permasalahan tersebut. Sehingga,
dengan menggunakan bentuk problem-focused coping ini, maka individu lebih berpusat pada
strategi pemecahan masalah, serta menghasilkan solusi. Adapun bentuk coping kognitif yang
dilakukan pada individu resiliensi ialah ia mempunyai kemampuan untuk bangkit kembali
dengan memaknai kesulitan, baik secara positif maupun negatif. Individu juga mampu
mengontrol dan menahan diri agar tidak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran negatif yang dapat
membuat semakin merasakan tekanan dari situasi yang dialami (Taormina, 2015). Bentuk
coping perilaku pada individu resiliensi ialah mereka bekerja keras, serta mencari bantuan dan
dukungan dari orang lain dalam menghadapi kesulitan, seperti yang tertera pada faktor-faktor
yang memengaruhi resiliensi akademik.
13
Resiliensi merupakan sumber daya psikologis yang tidak hanya memungkinkan orang
untuk menghadapi dan mengatasi penyebab stres. Namun, juga membantu orang bangkit
kembali dari pengalaman buruk dan beradaptasi secara fleksibel dengan tuntutan perubahan
situasi stress
Sehingga, tingkat resiliensi akademik yang tinggi dapat membantu seseorang untuk
mengatasi social loafing. Individu yang memiliki kemampuan untuk bangkit dari kegagalan
dan menghadapi tantangan dengan baik dapat lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam
tugas kelompok dan mungkin lebih mampu untuk memotivasi anggota kelompok lainnya.
Dengan demikian, tingkat resiliensi akademik yang tinggi dapat membantu mengatasi efek
negatif dari social loafing dan memperkuat kinerja kelompok secara keseluruhan.
Selain itu, pendekatan yang memperkuat rasa tanggung jawab individu terhadap
kontribusinya dalam tugas kelompok dan meningkatkan motivasi intrinsik mereka dapat
membantu mengurangi social loafing dan pada saat yang sama memperkuat resiliensi
akademik. Selain itu, pendekatan yang memperkuat kemampuan individu untuk mengatasi
kegagalan dan tantangan akademik dapat meningkatkan resiliensi akademik mereka dan
membantu mereka mengatasi efek negatif dari social loafing.
14
b) Memiliki komunikasi yang jelas dan terbuka
Salah satu ciri dari orang yang melakukan social loafing ialah tidak asertif dan pasif.
Hal ini berkemungkinan terjadi akibat tidak adanya wadah atau kesempatan untuk
mengungkapkan pendapat atau ide karena kurangnya komunikasi yang jelas dan terbuka dalam
kelompok. Maka dari itu, kita harus memastikan untuk berkomunikasi dengan jelas dan terbuka
dengan anggota kelompok agar setiap anggota kelompok tidak ragu dalam mengajukan
pertanyaan dan memberikan saran yang konstruktif.
Kita sering menganggap bahwa membagi tugas secara individu saja sudah dapat
meminimalisir social loafing yang mungkin terjadi. Namun, seringkali pelaku social loafing
mengerjakan tugas individu seadanya dengan dalih tidak mengerti atau memahami tugas yang
diberikan. Disini sistem diskusi berperan. Sistem diskusi diharapkan dapat meningkatkan
keaktifan anggota dan dapat memecahkan masalah yang dialami kelompok.
Aturan yang jelas dapat dijadikan sebagai pedoman untuk memberikan sikap yang tepat
kepada pelaku social loafing. Aturan-aturan yang ditetapkan dalam kelompok harus
didiskusikan dan ditetapkan atas persetujuan seluruh anggota kelompok. Aturan ini mencakup
mekanisme pengerjaan, pembagian tugas bagi setiap anggota, tenggat waktu, konsekuensi dan
lain sebagainya. Komitmen yang kuat sangat dibutuhkan agar dapat mengerjakan tugas sesuai
ketentuan yang sudah ditetapkan.
e) Meningkatkan resiliensi
Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian dinamika permasalahan, tingkat resiliensi
yang tinggi dapat membantu seseorang untuk mengatasi social loafing. Tingkat resiliensi yang
tinggi diharapkan dapat memberikan motivasi kepada anggota kelompok lain. Cara
meningkatkan resiliensi antara lain ialah membangun rasa percaya diri,mengontrol respon diri,
mengatur emosi dalam diri, dan lain sebagainya.
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
16
No. Item Jawaban
Total 30
SS S TS STS
17. Saya tidak akan mengubah tujuan dan ambisi yang telah saya
buat sebelumnya
21
DAFTAR PUSTAKA
Atikah & Hariyadi, S. (2019). Social Loafing dalam Mengerjalan Tugas Kelompok Ditinjau
dari The Big Five Personality Traits pada Mahasiswa. Intuisi: Jurnal Psikologi Ilmiah,
11(1), 55-63.
Fitriana, H. & Saloom, G. (2018). Prediktor Social Loafing dalam Konteks Pengerjaan Tugas
Kelompok pada Mahasiswa. INSAN: Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, 3(1), 13-
22.
Ivan Muhammad Agung, R. S. (2019). Properti Psikometrik dan Struktur Skala Kemalasan
Sosial (Social Loafing) pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi, Volume 15 Nomor 2, 141-
147.
Kloos, B., Hill, J., Thomas, E., Wandersman, A., Elias, M. J., & Dalton, J. H. (2012).
Community Psychology. Belmont, CA: Cengage Learning.
Panjaitan S. Mukhaira A.& Rina M. (2019). Social Loafing Ditinjau Dari Kohesivitas Pada
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Prima Indonesia Di Sumatera
Utara. Jurnal Diversita, 5 (2), 76-85.
Sutanto, S. & Simanjuntak, E. (2015). Intensi Social Loafing pada Tugas Kelompok Ditinjau
dari Adversity Quotient pada Mahasiswa. Experientia: Jurnal Psikologi Indonesia, 3(1),
33-45.
22