Disusun oleh:
KELOMPOK 6
TLM - B
DIVORCED ADULTS
Kedua pasangan mengalami tantangan setelah pernikahan telah dilaksanakan
(Eidar-Avidan, Haj-Yahia, & Greenbaum, 2009; Hoelter, 2009). Baik wanita yang bercerai
maupun pria yang bercerai mengeluhkan kesepian, harga diri yang berkurang, kecemasan
tentang hal-hal yang tidak diketahui dalam hidup mereka, dan kesulitan dalam membentuk
hubungan intim baru yang memuaskan (Hetherington, 2006).
REMARRIED ADULTS
Bukti tentang manfaat pernikahan kembali pada orang dewasa beragam. Keluarga
yang menikah kembali lebih cenderung tidak stabil daripada pernikahan pertama dengan
perceraian lebih mungkin terjadi, terutama dalam beberapa tahun pertama keluarga yang
menikah kembali, dibandingkan pernikahan pertama (Waite, 2009). Orang dewasa yang
menikah lagi memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah (misalnya tingkat depresi
yang lebih tinggi) daripada orang dewasa pada pernikahan pertama, tetapi pernikahan
kembali sering meningkatkan status keuangan orang dewasa yang menikah lagi, terutama
wanita (Waite, 2009).
MAKING MARRIAGE WORKS
Gottman berpendapat bahwa penting untuk menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu
yang ajaib dan bahwa melalui pengetahuan dan usaha, pasangan dapat meningkatkan
hubungan mereka. Dalam penelitiannya, Gottman telah menemukan bahwa tujuh prinsip
utama menentukan apakah sebuah pernikahan akan berhasil:
- Buat peta cinta.
- Memelihara kesukaan dan kekaguman.
- Berpaling ke satu sama lain, bukan menjauh.
- Biarkan pasanganmu memengaruhimu.
- Memecahkan konflik yang dapat dipecahkan.
- Mengatasi kemacetan.
- Ciptakan makna kebersaman.
DEALING WITH DIVORCE
Dalam penelitian E. Mavis Hetherington, pria dan wanita mengambil enam jalur
umum untuk keluar dari perceraian (Hetherington & Kelly, 2002,):
● Enhancer. Terhitung 20 persen dari kelompok yang bercerai, sebagian besar adalah
perempuan yang “tumbuh lebih kompeten, dapat menyesuaikan diri dengan baik, dan
mandiri” setelah perceraian mereka . Mereka kompeten dalam berbagai bidang
kehidupan, menunjukkan kemampuan luar biasa untuk bangkit kembali dari keadaan
stres, dan menciptakan sesuatu yang berarti dari masalah.
● Cukup baik. Kelompok terbesar dari individu yang bercerai, mereka digambarkan
sebagai orang biasa yang menghadapi perceraian. Mereka menunjukkan beberapa
kekuatan dan beberapa kelemahan, beberapa keberhasilan dan beberapa kegagalan.
● Para pencari. Individu-individu ini termotivasi untuk mencari pasangan baru sesegera
mungkin. “Pada satu tahun pasca perceraian, 40 persen pria dan 38 persen wanita
telah diklasifikasikan sebagai pencari.
● Kebebasan. Orang-orang dalam kategori ini sering menghabiskan lebih banyak waktu
di bar lajang dan melakukan lebih banyak seks bebas daripada rekan-rekan mereka di
kategori perceraian lainnya.
● Penyendiri yang kompeten. Orang-orang ini, yang hanya terdiri dari sekitar 10 persen
dari kelompok yang bercerai, ”menyesuaikan diri dengan baik, mandiri, dan terampil
secara sosial”.
● Yang kalah. Beberapa dari individu-individu ini memiliki masalah sebelum perceraian
mereka, dan masalah ini meningkat setelah perpisahan ketika “tekanan tambahan dari
pernikahan yang gagal lebih dari yang dapat mereka tangani.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Jurnal I: “Kepuasan Pernikahan Pada Wanita Dewasa Awal Yang Melakukan
Pernikahan Kembali”
Setiap manusia akan melalui tahapan perkembangan dengan peran yang
bermacam-macam sesuai dengan tingkat perkembangannya. Sebagaimana menurut
Santrock (dalam Mubina & Anisatuzzulfi, 2020), bahwa salah satu tahapan
perkembangan yang akan dilalui oleh setiap manusia di usia dewasa awal adalah
membangun hubungan dan pernikahan. Pernikahan sendiri merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dengan wanita yang diatur dalam hukum agama serta
peraturan perundang-undangan dalam suatu negara (Iswandi, 2017 dalam Mubina &
Anisatuzzulfi, 2020). Setiap orang pasti menghendaki agar pernikahan yang
dilaksanakannya tetap utuh sepanjang masa kehidupannya, namun sayang tidak sedikit
pula pernikahan yang dibina dengan susah payah harus berakhir dengan perceraian
(Tihami & Sahrani, 2009 dalam Mubina & Anisatuzzulfi, 2020). Terkait dengan
perceraian tersebut, Hurlock (Mubina & Anisatuzzulfi, 2020) mengatakan bahwa
perceraian merupakan puncak dari ketidakpuasan pernikahan yang tertinggi dan terjadi
apabila pasangan suami istri sudah tidak mampu lagi saling memuaskan, saling melayani,
dan mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
Pasca bercerai, seorang wanita di usia dewasa awal umumnya akan mengalami
perasaan sedih karena tidak ada keluarga yang membantu, kecewa atas pernikahan dan
kehidupan yang dialaminya, cemas dalam mengatur ekonomi keluarga secara mandiri,
dan panik karena memikirkan masa depan anak-anaknya. Tak jarang wanita dewasa awal
memilih melakukan pernikahan kembali (remarriage) karena didorong oleh beberapa
faktor, seperti kebutuhan finansial, kebutuhan untuk membina keluarga baru, dan
keinginan melanjutkan keturunan. Namun, sayangnya individu yang melakukan
pernikahan kembali akan memicu beberapa masalah yang bersifat universal, seperti
penyesuain diri dengan pasangan baru dan penyesuaian diri dengan peran sebagai orang
tua tiri (Hurlock, 1980 Mubina & Anisatuzzulfi, 2020). Dalam kondisi tersebut, wanita
umumnya lebih mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dibanding dengan laki-laki,
sehingga persentase jumlah wanita yang tidak puas dengan kehidupan pernikahannya
lebih besar dibandingkan laki-laki (Ibrahim, 2002 Mubina & Anisatuzzulfi, 2020). Oleh
karenanya, berdasarkan fenomena inilah peneliti dalam jurnal ini pun tertarik untuk
meninjau bagaimana kepuasan pernikahan pada wanita dewasa awal yang memilih
melakukan pernikahan kembali (remarriage).
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologis terhadap dua
orang subjek penelitian yang merupakan wanita pada rentang usia dewasa awal, yakni
antara 18 hingga 40 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara,
observasi, dan dokumentasi sarana audio. Lalu, kegiatan analisis data dimulai dengan
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Subjek pertama merupakan WD, seorang wanita berusia 35 tahun. Pada
pernikahan pertama, WD mengaku bahwa ia merasakan kurangnya kebahagiaan. WD
mengatakan bahwa penghasilan mantan suaminya kurang mencukupi kebutuhan rumah
tangganya, terlebih didukung dengan kondisi WD yang tidak bekerja saat itu. Akhirnya
setelah bercerai pada pernikahan pertama tersebut, WD pun menjadi seorang
single-parent yang harus menyesuaikan diri dengan menjadi sosok ibu sekaligus ayah
bagi anaknya. WD memutuskan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan dirinya beserta
satu anaknya saat itu.
Setelah lima tahun berlalu pasca perceraian dalam pernikahan pertamanya, WD
melakukan pernikahan kembali dengan seorang duda yang memiliki tiga orang anak.
Namun, seiring berjalannya waktu, di pernikahan keduanya ini WD kembali mengalami
konflik pernikahan. Suami WD melakukan perselingkuhan setelah usia pernikahan
mereka menginjak 3 tahun, sehingga terjadi perdebatan antara WD dan suami. WD
mengakui bahwa waktu kebersamaan dengan suami barunya ini memang sangat terbatas
karena keduanya sama-sama sibuk bekerja. Ketika pulang bekerja pun, suaminya pun
hanya sibuk menonton televisi dan WD memilih untuk menemani anaknya yang berusia
balita di kamar tidurnya. Lalu di akhir pekan, WD seringkali memilih pergi ke rumah
orang tuanya untuk melihat keadaan anak sulungnya dan menginap semalam tanpa
suami. Dalam hal kebutuhan makan sehari-hari pun, suami WD mengalah untuk membeli
makanan siap saji daripada harus meminta istrinya memasak. Hubungan yang sudah
renggang ini, kemudian diperparah dengan kondisi suami WD yang berhenti dari
pekerjaan lamanya sehingga terjadi penurunan finansial keluarga. WD merasa sudah
tidak dibahagiakan secara finansial dan merasa dikhianati atas kepercayaan yang telah
diberikan karena suaminya secara berulang terus melakukan perselingkuhan pada
tahun-tahun berikutnya.
Suatu saat ketika konflik perselingkuhan semakin memuncak, WD pun sempat
mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan. Pada tahap mediasi, keduanya pun
saling mengungkapkan keluh kesah yang selama ini dipendam dalam pernikahan mereka.
Suami WD menganggap bahwa WD sulit diatur dan kurang bisa bekerja sama ketika
mengkomunikasikan masalah finansial. Sementara di sisi lain, WD beranggapan bahwa
suami tidak bersikap terbuka kepadanya. Ia merasa suaminya hanya ingin dimengerti,
tetapi suami WD sendiri tidak pernah mengutarakan apa yang diinginkannya. Dengan
demikian, pada kasus WD ini dapat terlihat bahwa penyebab konflik pernikahan mereka
adalah kurangnya sikap saling terbuka dan kurangnya komunikasi di antara pasangan.
Lalu, dapat disimpulkan pula bahwa setelah melakukan pernikahan kembali
(remarriage), relasi WD dan suaminya tidak menunjukkan kepuasan pernikahan.
Kondisi WD tersebut berbanding terbalik dengan subjek kedua, yaitu MK yang
merupakan wanita berusia 31 tahun. Pada pernikahan pertamanya, MK bercerai dengan
suaminya karena suaminya jarang pulang kerumah, sering melakukan perjudian dan
minum-minuman beralkohol, dan MK tidak pernah mengetahui jumlah pendapatan yang
diperoleh suaminya selama pernikahan. Dampak perceraian yang dirasakan oleh MK,
meliputi masalah ekonomi, pengasuhan anak, serta emosional. Hak asuh anak diberikan
sepenuhnya pada MK, membuat ia harus berperan sebagai sosok ibu sekaligus ayah
ketika dirinya menjadi seorang single-parent.
Selang lima tahun setelah bercerai, MK melakukan pernikahan kembali dengan
seorang duda yang tidak memiliki anak. MK mengakui bahwa suami barunya ini lebih
perhatian dan pengertian terhadapnya dibandingkan suami terdahulunya. Salah satu
bentuk perhatian suaminya adalah setiap hari ia selalu berkomunikasi melalui handphone
untuk menanyakan kabar ketika keduanya masing-masing sedang sibuk bekerja. Mereka
pun rutin melakukan percakapan sebelum tidur (pillow talk), serta melakukan kegiatan
bersama, seperti menonton TV dengan anak-anak mereka. Di samping itu, dalam
pembagian peran di rumah, suami MK pun tidak segan untuk melakukan tugas-tugas ibu
rumah tangga, seperti memasak dan sesekali mencuci dan menyetrika baju.
Pada kasus MK ini, terlihat bahwa pernikahan keduanya dapat berjalan dengan
baik karena ia dan pasangan mampu memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang
melalui perhatian yang diberikan antara satu sama lain. Oleh karenanya, dapat
disimpulkan bahwa setelah melakukan pernikahan kembali, relasi MK dan suaminya pun
menunjukkan kepuasan dalam pernikahan.
2.2. Jurnal 2 “Kelekatan dan Intimasi pada Dewasa Awal”
Menurut Erikson (dalam Papalia, Old, & Feldman, 2008) tugas perkembangan
dewasa awal untuk menjalin hubungan intim berkaitan dengan krisis intimasi vs isolasi.
Pada tahap dewasa awal ini, individu berusaha memperoleh intimasi yang dapat
diwujudkan melalui komitmen terhadap suatu hubungan dengan orang lain, baik dalam
hubungan pacaran atau menikah. Bila seorang dewasa awal tidak mampu membentuk
komitmen tersebut, ia akan merasa terisolasi dan self-absorbed. Intimasi dalam sebuah
hubungan sangat diperlukan, karena pada dasarnya hubungan romantis melibatkan
kedekatan dan ketergantungan antara pasangan, serta intimasi bermanfaat untuk
melakukan komunikasi dan menghindari tingkat kesalahpahaman antara pasangan.
Meskipun intimasi penting dalam suatu hubungan, namun pada kenyataannya
tidak semua orang dapat menjalin hubungan intimasi yang baik dengan orang lain atau
pasangan romantis mereka. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi intimasi adalah
pengalaman masa lalu, yaitu kualitas kelekatan yang terbentuk pada masa kecil dapat
menjadi kemungkinan yang menentukan kemampuan individu dalam menjalin intimasi
(Cox,1978). Ainsworth (dalam Belsky, 1998) menyatakan bahwa kelekatan adalah suatu
hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan
individu lainnya yang mempunyai arti khusus. lingkungan. Maka, jurnal penelitian ini
ingin membahas hubungan antara kelekatan dengan intimasi pada dewasa awal.
Subyek dalam penelitian ini adalah pria dan wanita yang berusia 20-40 tahun dan
memiliki pasangan, baik yang sedang berpacaran maupun yang sudah menikah. Dari
hasil analisis data diketahui ada hubungan yang signifikan antara kelekatan dengan
intimasi pada dewasa awal dengan skor korelasi sebesar 0.261 (p < 0.05). Berdasarkan
perbandingan mean empirik dan mean hipotetik skala kelekatan di atas menunjukkan
bahwa mean empirik lebih besar dari mean hipotetik +1SD. Artinya, secara umum
subjek dalam penelitian ini memiliki kelekatan yang tergolong sedang. Demikian pula
berdasarkan perbandingan mean empirik dan mean hipotetik skala intimasi di atas
menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar dari mean hipotetik +1SD. Hal ini berarti
bahwa secara umum subjek dalam penelitian ini memiliki intimasi yang tergolong tinggi.
Berdasarkan jenis kelamin subjek diketahui bahwa wanita memiliki intimasi
yang lebih tinggi dari pria. Sedangkan berdasarkan usia subjek, kelompok usia 20 tahun
memiliki intimasi yang lebih tinggi dibandingkan subjek kelompok usia lainnya.
Berdasarkan status subjek diketahui bahwa mereka yang berstatus berpacaran memiliki
tingkat intimasi yang lebih tinggi dibandingkan yang menikah. Selanjutnya berdasarkan
lama menjalin hubungan subjek dalam penelitian ini diketahui bahwa mereka yang
menjalin hubungan kurang dari satu tahun memiliki intimasi yang lebih tinggi
dibandingkan yang lainnya. Untuk kelekatan, berdasarkan jenis kelamin subjek diketahui
bahwa pria memiliki tingkat kelekatan lebih tinggi dari wanita. Berdasarkan status
subjek diketahui bahwa mereka yang berstatus menikah memiliki tingkat kelekatan yang
lebih tinggi dibandingkan mereka yang pacaran. Selanjutnya berdasarkan lama menjalin
hubungan subjek dalam penelitian ini diketahui bahwa mereka yang menjalin hubungan
kurang dari satu tahun memiliki kelekatan yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya.
Melalui hasil penelitian jurnal ini, dapat disimpulkan bahwa kelekatan diperlukan
agar intimasi dapat terjalin lebih erat. Hal ini perlu ditekankan pada individu dalam
menjalin relasi, sebab dengan kelekatan yang erat individu dapat memiliki intimasi di
awal hubungan dan bahkan saat hubungan sudah lama terjalin.
BAB III
PENUTUP
pada dewasa awal, dilihat melalui aspek sosial, jurnal ini sejalan dengan konsep intimasi dan
attachment. Pengalaman masa lalu individu terutama dalam hal pengasuhan dengan kelekatan
yang baik akan membawa pengaruh positif dalam proses perkembangannya pada masa
remaja dan dewasa. Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki secure
attachment menunjukkan mereka lebih mampu membina hubungan yang intens, interaksi
yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi (Parke dan Waters dalam Parker
dkk.,1995).
percaya diri dan mengembangkan insecure attachment (Sroufe dalam Cicchetti & Linch,
1995) yang dapat membuat individu mengalami gangguan kelekatan (attachment disorder)
dan masalah dalam hubungan sosial. Attachment disorder terjadi karena individu gagal
membentuk kelekatan yang aman dengan figur lekatnya, mereka mendapatkan perawatan
yang tidak konsisten, kasar atau lalai sehingga nantinya mereka menjadi tidak percaya diri,
tidak percaya kepada orang lain, menolak untuk mengikuti aturan bertingkah laku,
mengasingkan diri (isolating) dan perhatian hanya terarah pada diri sendiri. Hal ini akan
Selain itu, menurut Miller, Pearlman, dan Brehm (2007) cara seseorang untuk
memulai hubungan yang dekat dengan pasangannya dapat menjadi suatu refleksi dari
perkembangan personalnya. Oleh karena itu kualitas kelekatan dengan orangtua, dapat
mempengaruhi hubungan dengan pasangan romantis mereka (Hazan & Shaver dalam Duffy
& Atwater, 2005). Sehingga dapat dipahami bahwa berkaitan dengan intimasi pada pasangan
dalam hubungan romantisnya, diperkirakan seseorang yang memiliki secure attachment maka
Lesser, Joan Granucci dan Donna Saia Pope. 2011. Human Behavior and the Social
Environment: Theory and Practice. USA: New York University.
Mubina, Nuram dan Ayu Anisatuzzulfi. (2020). Kepuasan Pernikahan Pada Wanita Dewasa
Awal Yang Melakukan Pernikahan Kembali. Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi:
Kajian Empiris & Non-Empiris, 6 (1): hal. 1-14. Diunduh pada Kamis, 28 Oktober
2021 pukul 21.05.
Santrock, John W. (2011). Life-span Development. 13th Edition. University of Texas Dallas:
Mc Graw-Hill.
Zastrow, C. & Kirst-Ashman, K. (2007). Understanding Human Behavior and the Social
Environment 7th Edition. California: Thomson Brooks / Cole.