Anda di halaman 1dari 7

“Hubungan Dukungan Sosial Orangtua Tunggal Terhadap Subjective Well Being Pada

Emerging Adulthood”

Disusun Oleh :

Ronalisa Angely 00000026282

Dosen Pembimbing
Sandra Handayani Sutanto, M.Psi.,Psi.

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN


FAKULTAS PSIKOLOGI
KARAWACI
2018
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................3
REFERENSI.........................................................................................................................7
3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masa emerging adulthood adalah masa transisi antara masa remaja akhir menuju
dewasa awal yang cenderung lebih mementingkan dirinya sendiri atau self-focused, dimana
individu lebih memilih untuk mandiri dalam menentukan dan menjalankan kehidupannya,
dengan kata lain kurang mengikutsertakan orangtua ataupun orang terdekatnya. Santrock
(2009) memberi batasan masa emerging adulthood berdasarkan usia kronologis, yaitu antara
18-25 tahun. Masa ini adalah masa yang dianggap “periode yang berbeda” dibandingkan
dengan masa tahapan perkembangaan lainnya, karena individu cenderung menganggap diri
mereka terlalu tua untuk menjadi remaja, tetapi belum menjadi dewasa seutuhnya ( Arnett,
2000). Ketika individu melalui tahap ini, akan muncul perasaan tanggung jawab yang lebih
besar untuk diri mereka sendiri dibandingkan ketika mereka masih muda, namun dengan rasa
kebebasan pribadi yang tersisa. Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dari
peralihan remaja akhir ke dewasa awal, mereka diperhadapkan pada tugas dan tanggung
jawab yang berbeda dari tahap perkembangan sebelumnya. Dalam menghadapi setiap
permasalahan, khususnya memasuki perguruan tinggi, terdapat individu yang mampu
menyesuaikan diri dengan mudah namun ada pula yang mengalami kesulitan pada masa
emerging adulthood, sehingga mengakibatkan gejala psikologis seperti depresi, kesepian,
kesulitan akademik, penyalahgunaan obat-obatan yang mengarah pada ketidakpuasan
individual, putusnya hubungan dengan orang disekitarnya dan rendahnya prestasi. Tentu saja
hal ini akan menjadi kekhawatiran dan kecemasan bagi beberapa individu. Stoklosa ( 2015)
mengemukakan apabila seseorang dapat menyesuaikan dirinya dengan baik, maka ia akan
lebih dapat menghadapi kesulitan, merasa puas dan bahagia serta merasa diterima oleh
lingkungan.
Kebahagiaan adalah satu hal yang penting dalam kehidupan setiap individu, karena
dengan begitu setiap orang pasti merasakan hidup yang nyaman dan hari demi hari yang
dilalui terasa lebih berharga. Dalam dunia psikologi, kebahagiaan termasuk dari bagian
subjective well being, yang didefinisikan oleh Tarigan (2018) sebagai perasaan puas
seseorang akan kondisi hidupnya, dan seringkali lebih merasakan emosi yang positif
4

dibandingkan emosi negatif. Individu akan menilai kehidupannya berupa evaluasi yang
bersifat kognitif dan afektif. Penilaian seseorang akan kepuasaan dalam kehidupannya
merupakan evaluasi yang bersifat kognitif, sedangkan evaluasi yang bersifat afektif menilai
seberapa sering individu tersebut merasakan emosi positif dan emosi negatif. Ketika individu
merasakan kepuasaan dalam hidup, cenderung merasakan emosi positif seperti kegembiraan
dan kasih sayang dibandingkan emosi negatif seperti kesedihan, amarah, dapat dikatakan ia
mempunyai tingkat subjective well being yang tinggi[ CITATION Die97 \l 1033 ]. Di dalam
subjective well being terdapat variabel-variabel seperti kepuasan dalam hidup, ketiadaan
depresi dan kecemasan, serta adanya suasana hati dan emosi yang cenderung positif. Salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi subjective well being ialah adanya hubungan yang
positif dengan orang lain, terutama pada keluarga yang merupakan tempat interaksi pertama
yang diperoleh seorang anak di awal kehidupannya [ CITATION Fel16 \l 1033 ]. Dengan
adanya hubungan positif, anak akan merasa mendapatkan dukungan sosial dan kedekatan
emosional. Setiap manusia sebagai mahluk sosial pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk
berinteraksi dengan orang lain untuk saling bertukar pikiran dan kehendak, berbagi rasa, baik
secara langsung maupun tidak langsung, ataupun verbal maupun nonverbal. Kebutuhan ini
sudah ada dalam diri masing-masing individu secara alami tertanam dan dilakukan sejak lahir
[CITATION Swa04 \l 1033 ].
Dukungan sosial merupakan suatu pemberian dari individu lain atau kelompok berupa
perhatian, penghargaan, bantuan, atau perasaan nyaman kepada seseorang [CITATION PSa06 \l
1033 ]. Bagi individu yang telah menerima dukungan sosial dari individu lainnya, memiliki
keyakinan bahwa dirinya merasa bernilai, dicintai, dan merupakan bagian dari kelompok
yang dapat membantu mereka ketika memerlukan bantuan. Pemberian dukungan dapat
membantu seseorang dalam meminimalisir pengaruh tekananan-tekanan atau stress yang di
alami individu [ CITATION JOr92 \l 1033 ]. Apabila tidak ada tekanan atau stress dalam
individu seseorang, maka social support tidak berpengaruh bagi orang tersebut.
Adanya dukungan sosial dari berbagai sumber sosial seperti keluarga, saudara, teman
ataupun orang terdekat lainnya, diyakini mampu memperkuat anak dalam menghadapi
permasalahan atau probelamtika kehidupan. Seperti halnya, ketika seseorang berhadapan
dengan suatu masalah, ia membutuhkan motivasi, dukungan, pendapat atau nasehat dari rang
lain, sehingga ia merasa mampu untuk keluar dari masalah yang ia sedang hadapi. Dukungan
yang berasal dari orangtua efektif dalam membantu anak mengembangkan pemikiran dan
menghadapi permasalahan yang ia hadapi, tentunya hal ini mengikutsertakan kelekatan
5

seorang anak dengan orangtuanya. Menurut Ellis, Thomas dan Rollins (dalam Tarigan, 2018)
dukungan orangtua berupa perawatan, kehangatan, persetujuan, dan berbagai perasaan positif
sebagai bentuk interaksi yang dikembangkan terhadap anak. Dampak dari dukungan ini
membuat anak merasa nyaman akan kehadiran orangtua mereka serta menegaskan bahwa
dirinya diterima dan diakui sebagai seorang individu.
Di dalam kehidupan ini, tidak semua individu memiliki kesempatan yang sama,
khususnya memiliki keluarga yang utuh, baik itu sejak ia lahir maupun terpisahkan ketika ia
memasuki tahapan perkembangan lainnya. Beberapa individu hanya memiliki satu orangtua
dikarenakan kematian, perceraian ataupun kehamilan yang tidak diinginkan. Dari berbagai
penelitian sebelumnya, dapat dikatakan anak-anak lebih rentan terhadap stres atau bahkan
depresi akibat kehilangan salah satu orang tua mereka. Seperti halnya, reaksi yang
ditampilkan individu ketika salah satu orangtua mereka menghadapi kematian seperti marah,
menarik diri, sedih, shock, depresi atau bahkan tindakan bunuh diri dapat disebabkan oleh
ketidakmatangan seseorang dalam menghadapi dan memahami kematian, faktor budaya dan
kurangnya dukungan dari orang lain [ CITATION JBa96 \l 1033 ]. Berbagai pengalaman yang
harus dialami oleh seorang anak yang diasuh oleh single parent akan dapat membawa
dampak traumatis dan akan mempengaruhi cara pandang anak terhadap kehidupan.
Bagaimana cara pandang seorang anak dalam menghayati pengalaman di seluruh
kehidupannya disebut dengan explanatory style. Menurut Seligman ( dalam Tarigan, 2018)
explanatory style adalah penentuan sesorang akan pandangan mengenai pengalaman yang
sedang dialami oleh individu dan tindakan apa yang selanjutnya dilakukan. Pada masa
emerging adulthood masih bergantung kepada orangtua, seperti acuan dalam dirinya untuk
menilai kehidupannya dengan sudut pandang yang beragam. Terlepas dari hal ini,
karakteristik seorang anak yang memasuki emerging adulthood yaitu self-focused, dimana
otonomi dalam menentukan dan menjalankan kehidupannya, ia tetap akan menjadikan
orangtua sebagai acuan nilai yang dianut. Ketiadaan salah satu peran didalam keluarga, akan
mengurangi figure yang dapat menjadi teladan bagi anak, walaupun dalam budaya Indonesia
sendiri, nilai-nilai yang dianut oleh anak dapat berasal dari anggota keluarga besar lainnya
atau orang-orang disekitarnya.
Melihat pentingnya dukungan sosial terhadap pembentukan subjective well being
yang di alami oleh emerging adulthood, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan dukungan sosial orangtua tunggal ( single parent ) terhadap subjective
well being pada emerging adulthood. Penelitian ini dilakukan dan bertujuan untuk
6

mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan sosial dari orangtua tunggal dengan
subjective well being pada emerging adulthood.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan utama dalam penelitian ini diungkapkan dalam pertanyaan berikut :
“Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dari orangtua tunggal dengan subjective
well being pada emerging adulthood?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara
dukungan sosial dari orangtua tunggal dengan subjective well being pada emerging
adulthood.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambahkan data empiris dan
sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya tentang hubungan antara dukungan
sosial dari orangtua tunggal dengan subjective well being pada emerging
adulthood. Penelitian ini juga diharapkan dapat memebrikan informasi bagi
responden dan pembaca tentang pentingnya dukungan sosial dan bagaimana
dampak secara psikologis, khususnya dalam meningkatkan subjective well
being.
1.4.2 Manfaat Praktis
Berdasarkan pemaparan diatas, cukup menunjukkan bahwa pentingnya akan
dukungan sosial bagi kehidupan dan perkembangan emerging adulthood.
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan sumber sosial,
khususnya orangtua tunggal untuk memberikan dukungan sosial yang optimal
kepada anak. Bagi individu yang sedang melalui tahap emerging adulthood,
diharapkan dapat memahami makna dari dukungan sosial orangtua yang
diterima dan dirasakan oleh masing-masing individu, agar dapat meningkatkan
subjective well being secara optimal. Bagi masyarakat, informasi yang didapat
dalam penelitian diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya
dukungan sosial orangtua yang merupakan salah satu faktor penting bagi
peningkatan subjective well being yang memiliki orangtua tunggal.
7

REFERENSI

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens
through the twenties. American Psychologist, 55(5), 469-480.
Diener, E., Suh, E., & Oishi, S. (1997). Recent findings on subjective well-being.
Indian Journal of Clinical Psychology, 24, 25-41.
Felita, P., Siahaja, C., & Wijaya, V. (2016). Pemakaian Media Sosial dan Self Concept Pada
Remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi MANASA, 30-41.
Tarigan, M. (2018). Hubungan Dukungan Sosial dengan Subjective Well-Being pada Remaja
yang Memiliki Orangtua Tunggal. Jurnal Diversita, 1-8.
Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Wiasarna Indonesia.
Sarafino, P. E. (2006). Health Psychology : Biopsychososial Interactions. USA: John Wiley
& Sons.
Orford, J. (1992). Communty Psychology : Theory & Practice. London: John Wiley and
Sons.
Wadsworth, J. (1996). Piaget's theory of Cognitive and Affective Development : Foundations
of Constructivism. USA: White Plains, N.Y. : Longman Publishers USA.
Santrock, J. W. (2009). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Stoklosa, A. M. (2015). College Student Adjustment: Examination Of Personal And
Environmental Characteristics. Retrieved from Wayne State University Dissertations:
https://digitalcommons.wayne.edu/oa_dissertations/1297

Anda mungkin juga menyukai