Anda di halaman 1dari 19

Tugas Kelompok MK Psikologi Perkembangan Dewasa dan Lansia

Dosen Pengampu: Dr. Dian Novita Siswanti, S. Psi., M. Psi., Psikolog

Wilda Ansar, S.Psi., M. A

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA

OLEH :

Yusfitri Nursyahwalny M 210701500038

Tarizha Khaerunnisa 210701502023

Syarifah Ummu Budur 210701500044

KELOMPOK 3

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan hikmah, hidayah, kesehatan, serta umur yang panjang sehingga makalah yang
berjudul “Penyesuaian Emosi Pada Masa Dewasa Lansia” dapat terselesaikan. Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan tulus
memberikan doa, dukungan, dan saran sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan dalam makalah ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk
pembuatan makalah selanjutnya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dosen
pengampu MK Psikologi Perkembangan Dewasa Lansia yang telah membimbing kami dalam
membuat makalah ini.

Makassar, 5 September 2022

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...........................................................................................................

KATA PENGANTAR ............................................................................................................

DAFTAR ISI ..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................

A. Latar Belakang........................................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................................
C. Tujuan ....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................

A. Perkembangan Sosioemosi di Masa Dewasa Awal………………………………….


B. Perkembangan Sosioemosi di Masa Dewasa Menengah…………………………….
C. Perkembangan Sosioemosi di Masa Dewasa Akhir (Lansia)………………………...

BAB III PENUTUP ................................................................................................................

A. Kesimpulan ............................................................................................................
B. Saran ......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah melalui fase remaja, seorang individu akan mengalami fase selanjutnya,
yakni fase dewasa. Istilah dewasa/ adult berasal dari kata kerja latin yang berarti tumbuh
menjadi dewasa (Putri, 2019). Usia dewasa merupakan lanjutan dari usia bayi, kanak-
kanak, dan remaja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dewasa merupakan
keadaan sampai umur, akil baligh (bukan anak-anak atau remaja lagi). Kata yang
digunakan untuk hal kedewasaan ialah “telah mencapai kematangan” dalam aspek fisik,
psikologis, kelamin, pikiran, dan pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil keputusan
(Iswati, 2018). Menurut Harlock, fase dewasa terbagi menjadi 3 yaitu fase dewasa awal
(18-40 tahun), dewasa tengah (40-60 tahun), dan dewasa akhir (60-wafat).

Di fase dewasa, individu juga mengalami kemtangan pada aspek emosi. Emosi
merupakan suatu keadaan biologis dan psikologis berupa perasaan yang meluap-luap
seperti pikiran, perasaan, nafsu, dan kecenderungan untuk bertindak (Putri, 2020). Dalam
dunia psikologi, emosi meliputi perasaan, kesedihan, kemarahan, kebahagiaan, rasa takut
dan lain-lainnya. Menurut Mappiare (2003 dalam Agustina, 2020) kematangan emosional
merupakan keadaan di dalam diri seseorang telah berada pada tingkat kedewasaan,
sehingga individu dapat mengkontrol emosi yang kuat dan pengutaraan emosinya dapat
diterima oleh orang lain maupun diri sendiri.

Menurut Data National Institude of Mental Health, mental illness yang paling
sering terjadi pada usia lanjut ialah gangguan depresif, gangguan kognitif, phobia dan
gangguan stabilitas emosional (Anggraini et.al, 2022). Menurut data dari World Health
Organization di tahun 2019 menunjukan adanya 20% dari orang dewasa yang berusia 60
tahun telah mengalami gangguan mental emosional dari 6.6% hingga 17,4%. Berdasarkan
data dari Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2018 menyebutkan data statistik bahwa
masalah yang ada pada gangguan kesehatan mental emosional yang berdasarkan kelompok
umur memiliki jumlah presentase tertinggi pada usia 65 hingga 75 tahun keatas sebanyak
28,6%, diikuti dengan kelompok usia 55 hingga 64 tahun sebanyak 11%.
Pengendalian emosi lansia ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan status perkawinan. Terdapat bentuk
upaya pengendalian emosi yang untuk para lansia diantaranya yakni, pengendalian pikiran
yang muncul akibat adanya emosi negatif, kemudian pada aspek agama lebih mendekatkan
diri pada sang pencipta, menghindari stress dengan cara mengalihkannya dengan
berkumpul bersama orang-orang disekitar (keluarga), berinteraksi sesama lansia dengan
mengikuti terapi relaksasi dan turut berpartisipasi dalam kegiatan fisik kebugaran jasmani
(Nadhiroh, 2017).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penyesuaian sosioemosi di Masa Dewasa Awal?
2. Bagaimana penyesuaian sosioemosi di Masa Dewasa Tengah?
3. Bagaimana penyesuaian sosioemosi di Masa Dewasa Akhir (Lansia)?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana penyesuaian yang dialami individu di Masa Dewasa
Awal.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyesuaian yang dialami individu di Masa Dewasa
Tengah.
3. Untuk mengetahui bagaimana penyesuaian yang dialami individu di Masa Dewasa
Akhir (Lansia).
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Sosioemosi di Masa Dewasa Awal


1. Stabilitas dan Perubahan yang berlangsung dari masa kanak-kanak hingga masa
dewasa yang meliputi:
 Temperamen
Temperamen di masa kanak-kanak dan kepribadian orang dewasa bisa
bervariasi, tergantung pada konteks pengalaman individual. Level aktivitas di masa
kanak-kanak awal berkaitan dengan sifat yang ramah di masa dewasa muda.
Dibandingkan remaja, orang yang telah mencapai dewasa muda memiliki suasana
hati yang tidak mudah berubah-ubah, cenderung lebih bertanggung jawab dan lebih
jarang terlibat dalam Tindakan-tindakan berisiko. Ketika dewasa cenderung
mengalami konflik perkawinan (Santrock, 2012). Psikiater Alexander Chess dan
Stella Thomas mengidentifikasi tiga tipe dasar temperamen:
- Easy child: umumnya dalam suasana hati yang positif, dengan cepat
menjadi teratur rutinitas di masa bayi, dan mudah beradaptasi dengan
pengalaman baru.
- Difficult child: bereaksi negatif dan sering menangis, terlibat dalam
ketidakteraturan rutinitas sehari-hari, dan lambat menerima perubahan.
- slow-to-warm-up child: memiliki tingkat aktivitas yang rendah, agak
negatif, dan menunjukkan intensitas suasana hati yang rendah.
 Kelekatan
Kelekatan adalah ikatan emosional yang erat antara dua orang. Tidak ada
kekurangan kemitraan dengan pengasuh utama. Keterikatan tidak muncul secara
tiba-tiba melainkan berkembang dalam rangkaian fase, bergerak dari preferensi
umum baik untuk manusia ke kemitraan dengan pengasuh utama berikut adalah
Fase berdasarkan konseptualisasi keterikatan Bowlby (Santrock, 2012):
- Fase 1: Dari lahir hingga 2 bulan. Bayi secara naluriah mengarahkan
keterikatan mereka pada figur manusia. Baik orang asing atau saudara
kandung serta orang tua mereka sama-sama cenderung membuat bayi
tersenyum dan menangis.
- Fase 2: Dari dua hingga 7 bulan. Keterikatan menjadi terfokus pada satu
sosok biasanya pengasuh, ketika bayi secara bertahap belajar membedakan
yang akrab dari orang yang tidak dikenal.
- Fase 3: Dari 7 hingga 24 bulan. Keterikatan khusus berkembang. Dengan
peningkatan keterampilan lokomotor, bayi secara aktif mencari kontak
dengan pengasuh biasa seperti ibu atau ayah.
- Fase 4: mulai 24 bulan. Anak-anak menjadi sadar akan perasaan, tujuan dan
rencana serta mulai mempertimbangkannya dalam membentuk tindakan
mereka sendiri.

2. Teori kepribadian Erikson (Intimacy vs Isolation)


Pendapat Erik Erikson tentang identitas lawan kebingungan identitas- berusaha
mengetahui siapa diri kita, apa yang kita cari, dan tujuan apa yang hendak kita capai
dalam hidup adalah isu yang paling penting kita selesaikan di masa remaja. Menurut
Erikson diawal masa dewasa, setelah individu berhasil mencapai identitas yang stabil,
mereka memasuki tahap keintiman vs isolasi. Erikson menjelaskan keintiman sebagai
proses menemukan diri sendiri sekaligus peleburan diri sendiri di dalam diri orang lain.
Keintiman juga membutuhkan komitmen terhadap orang lain. Menurut erikson jika
seseorang gagal mengembangkan relasi yang intim di masa dewasa awal, maka ia akan
mengalami isolasi.

3. Quarter Life Crisis


Quarter-life crisis adalah suatu periode ketidakpastian dan pencarian jati diri yang
dialami individu pada saat mencapai usia pertengahan 20 hingga awal 30 tahun. Pada
periode ini, individu dihantui perasaan takut dan khawatir terhadap masa depannya,
termasuk dalam hal karier, relasi, dan kehidupan sosial. Quarter life crisis merupakan
reaksi individu terhadap ketidakstabilan yang memuncak, perubahan yang konstan, dan
terlalu banyaknya pilihan-pilihan yang disertai rasa panik dan tidak berdaya (Santrock,
2012).
B. Perkembangan Sosioemosi di Masa Dewasa Menengah
1. Tahap Generativitas vs Stagnasi dari Erikson
Erikson pada tahun 1968 menyatakan bahwa orang dewasa di usia paruh baya
menghadapi sebuan isu penting-Generativitas versus Stagnasi. Ini merupakan istilah
yang diberikah oleh erikson untuk tahap ketujuh dalam teori masa-hidup. Generativitas
merujuk pada hasrat orang dewasa untuk mewariskan sesuatu dari diri mereka kepada
generasi selanjutnya. Melalui cara mewariskan ini, orang dewasa mencapai keabadian.
Sebaliknya, stagnasi (sering disebut "tenggelam dalam diri sendiri- atau self
absorption) akan terjadi jika individu merasa bahwa tidak ada apa pun yang dapat
dilakukan untuk generasi selanjutnya.

Orang dewasa yang berada pada usia paruh baya dapat mengembangkan
generativitas melalui sejumlah cara. Bentuk dari generativitas biologis adalah memilki
keturunan. Bentuk dari generativitas pengasuhan adalah mengasuh dan membimbing
anak-anak. Bentuk dari generativitas kerja adalah mengembangkan keterampilan yang
bisa diteruskan pada orang lain. Dan melalui budaya, generativitas adalah menciptakan,
memperbaharui, atau memelihara beberapa aspek dari budaya. Orang dewasa
mengembangkan dan membimbing generasi berikutnya. Hal ini dilakukan dengan
mengasuh, mengajar, memimpin, melakukan hal-hal yang dapat menguntungkan
komunitas. Salah satu parisipan dalam sebuah studi mengenai lanjut usia mengatakan
sebagai berikut, "Dari usia 20-an hingga 30-an tahun, saya belajar bagaimana caranya
agar dapat bergaul dengan orang lain secara baik. Dari usia 30-an hingga 40-an, saya
belajar bagaimana agar bisa sukses dalam pekerjaan saya. Dari usia 40-an hingga 50-
an, saya kurang mengkhawatirkan diri sendiri dan lebih banyak memikirkan anak-
anak". Orang dewasa generatif berbuat sesuatu untuk kelanjutan dan kemajuan
masyarakat secara keseluruhan yang ditempuh dengan cara menjalin koneksi dengan
generasi selanjutnya. Orang dewasa generatif mengembangkan sebuah warisan yang
positif dari dirinya yang kemudian ditawarkan untuk diberikan pada generasi
selanjutnya (Santrock, 2012).
2. Masa kehidupan manusia dari Levinson
Dari usia 28 hingga 33 tahun, seseorang mengalami transisi di mana ia harus
menghadapi pertanyaan yang lebih serius yang menyangkut penentuan tujuannya. Di
usia 30-an., ia biasanya berfokus pada keluarga dan pengembangan karier. Di tahun
tahun selanjutnya dalam periode ini, a memasuki sebuah tahap yang disebut fase
Becoming One's Own Man (atau BOOM, demikian Levinson menjulukinya). Pada usia
40, la telah mencapai karier yang stabil, telah menjadi lebih besar dari sebelumnya,
usahanya untuk belajar menjadi seorang dewasa sudah lebih melemah, dan kini harus
memandang ke depan untuk memilih kehidupan yang akan dijalani. Menurut Levinson,
transisi menuju dewasa menengah berlangsung selama lima tahun (usia 40 hingga 45)
dan menuntut pria dewasa untuk mengatasi empat konflik utama yang telah ada dalam
kehidupannya sejak remaja: (1) menjadi tua versus menjadi muda, (2) menjadi
destruktif versus menjadi konstruktif, (3) menjadi maskulin versus menjadi feminin,
(4) menjadi dekat ke orang lain versus menjadi terpisah dari orang lain. 70 hingga 80
persen pria yang diwawancarai Levinson menemukan bahwa transisi di usia paruh baya
itu menggemparkan dan secara psikologis menyakitkan, karena ada begitu banyak
aspek dari kehidupan mereka yang dipertanyakan (Santrock, 2012).

3. Pendekatan peristiwa hidup (Life-Events Approach)


Tahap-tahap yang terkait usia mengungkapkan cara utama yang digunakan untuk
menelaah perkembangan kepribadian orang dewasa. Cara utama kedua untuk
merumuskan perkembangan kepribadian orang dewasa adalah dengan mengarahkan
perhatian pada peristiwa hidup. Di versi awal dari pendekatan peristiwa hidup,
peristiwa hidup dipandang sebagai kondisi yang memaksa mereka untuk mengubah
kepribadian. Pendekatan peristiwa-hidup kontemporer menekankan bahwa pengaruh
peristiwa hidup terhadap perkembangan individual tidak hanya tergantung pada
peristiwa hidup itu sendiri, namun juga tergantung pada faktor-faktor mediator
(kesehatan fisik, dukungan keluarga, contohnya), adaptasi individu terhadap peristiwa
hidup (misalnya penilaian mengenai ancaman, strategi penanggulangan masalah),
konteks tahapan-kehidupan, dan konteks sosiohistoris. Sebagai contoh, seandainya
kesehatan individu buruk dan dukungan dari keluarga juga kecil, maka peristiwa hidup
cenderung dirasakan lebih menekan. perceraian akan dirasakan sebagai peristiwa yang
lebih menekan seandainya pernikahan Perubahan perkembangan orang dewasa itu
sudah berlangsung lama dan terjadi ketika individu mencapai usia 50-an, dibandingkan
seandainya pasangan itu baru menikah beberapa tahun dan terjadi di usia 20-an,
konteks tahapan kehidupan dari sebuah peristiva dapat menimbulkan perbedaan.
Meskipun pendekatan peristiwa-hidup dapat memperkaya pemahaman kita mengenai
perkembangan orang dewasa, seperti halnya dengan pendekatan lainnya, pendekatan
ini memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan terpenting adalah bahwa pendekatan
peristiwa-hidup terlalu banyak memberi penekanan pada perubahan. Pendekatan ini
tidak cukup dapat mengenali stabilitas, minimal dalam taraf tertentu, yang memberi
ciri pada perkembangan orang dewasa (Santrock, 2012).

4. Stress di Usia Paruh Baya


Meskipun pendekatan peristiwa-hidup dapat memperkaya pemahaman kita
mengenai perkembangan orang dewasa, seperti halnya dengan pendekatan lainnya,
pendekatan ini memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan terpenting adalah bahwa
pendekatan peristiwa-hidup terlalu banyak memberi penekanan pada perubahan.
Pendekatan ini tidak cukup dapat mengenali stabilitas, minimal dalam taraf tertentu,
yang memberi ciri pada perkembangan orang dewasa. Tetapi dalam studi ini meskipun
orang dewasa mudah mengalami stressor harian lebih sering dibandingkan dewasa
paruh baya, orang dewasa menengah lebih banyak dihadapkan pada stressor yang
berlebihan yang melibatkan berbagai aktivitas sekaligus dalam waktu yang sama. Para
peneliti lainnya menemukan bahwa orang dewasa paruh baya mengalami lebih sedikit
stressor yang tidak dapat dikontrol dibandingkan orang dewasa yang lebih muda atau
lebih tua. Stress di usia paruh baya memiliki 3 konteks, yaitu (Santrock, 2012):

 Konteks Historis (Efek Cohort): Sejumlah ahli perkembangan berpendapat


bahwa perubahan saat-saat historis dan ekspektasi sosial yang berbeda-beda
memengaruhi perbedaan cohort -kelompok individu yang dilahirkan di tahun
atau periode waktu yang sara - berlangsung selama masa-hidup. Bernice
Neugarten di tahun 1964 menekankan kekuatan nilai, sikap, ekspektasi, dan
perilaku kita yang dipengaruhi oleh periode ketika kita hidup. Sebagal contoh,
individu yang dilahirkan di masa Depresi Besar (Great Depression) mungkin
memiliki pandangan mengenai hidup yang berbeda dibandingkan dengan
mereka yang dilahirkan di masa yang optimis di tahun 1950-an.

 Konteks Gender: Para kritikus menyatakan bahwa teori tahapan perkembangan


orang dewasa mengandung bias pria. Sebagai contoh, fokus utama dari teori
tahapan diletakkan pada pilihan karier dan prestasi kerja, yang menurut sejarah
lebih banyak didominasi oleh pilihan hidup dan peluang hidup pria,
dibandingkan wanita. Teori tahapan tidak secara adekuat membahas
keprihatinan wanita mengenai relasi, interdependensi, dan kepedulian. Teori
tahapan orang dewasa juga kurang menekankan pentingnya membesarkan dan
mengasuh anak. Peran wanita di dalam kehidupan keluarga merupakan hal yang
kompleks dan sering kali lebih menonjol dalam kehidupan mereka
dibandingkan dalam kehidupan pria. Tuntutan peran yang dialami wanita untuk
menyeimbangkan karier dan keluarga biasanya tidak seintensi seperti yang
dialami pria. Selain itu, tipe stresor yang dialami wanita di usia paruh baya
berbeda dari yang dialami pria. Sebuah studi mengungkapkan bahwa wanita di
usia paruh baya memiliki interpersonal yang lebih besar, sementara pria
memiliki stressor yang lebih berfokus pada diri sendiri.

 Konteks Budaya: Dalam banyak budaya, khususnya budaya nonindustri,


konsep mengenai usia parh baya tidak dirumuskan secara sangat jelas, atau
dalam beberapa kasus, konsep ini tidak ada sama sekali. Masyarakat
nonindustri banyak yang menyatakan individu-individu sebagai muda atau tua,
namun tidak menyatakannya sebagai paruh baya. Beberapa budaya tidak
memiliki istilah untuk "remaja" atau "dewasa muda" atau "dewasa menengah".
5. Stabilitas dan Perubahan
Studi longitudinal terbagi menjadi tiga, yaitu:
 Studi Baltimore Costa & McCrae
Studi utama lain mengenai perkembangan kepribadian orang dewasa terus
dilakukan oleh Paul Costa dan Robert McCrae. Mereka bertokus pada apa yang
disebut sebagai lima faktor dasar kepribadian (big five factors of personality),
yang terdiri dari keterbukaan terhadap pengalaman (opennes to experience),
sikap berhati-hati (conscientiousnesy extraversion), perhatian terhadap hal-hal
di luar diri keramahan (agreeableness), dan ineurosisme/neuroticism (stabilitas
emosi). Sejumlah riset menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut merupakan
dimensi penting dari kepribadian.

 Studi longitudinal Berkeley


Hasil yang diperoleh dari studiantara remaja awal hingga sebagian individu
di usia paruh baya tidak mendukung atau membantah perdebatan mengenai
apakah kepribadian bersifat stabil atau berubah. Karakteristik yang paling stabil
karakteristik yang menyangkut sejauh mana individu memiliki orientasi
intelektual, memiliki keyakinan diri, dan terbuka padsa pengalaman baru

 Studi Helson's Mills College


Penyelidikan longitudinal lain mengenai perkembangan kepribadian orang
dewasa dilakukan oleh Ravenna Helson dan rekan-rekannya. Awalnya mereka
mempelajari 132 mahasiswi senior di Mills College di California pada akhir
1950-an. Kemudian mereka mempelajari orang-orang tersebut ketika berusia
30-an, 40-an, dan 50-an. Helson dan rekan-rekannya membedakan tiga
kelompok utama di antara para wanita Mills: yang berorientasi pada keluarga,
berorientasi pada karier (terlepas dari apakah mereka juga ingin berkeluarga),
dan mereka yang tidak mengikuti kedua orientasi tersebut (wanita tanpa anak-
anak yang hanya melakukan pekerjaan level rendah).
Dalam Studi Mills College, beberapa wanita beralih menjadi "pilar
masyarakat” di awal 40- an hingga awal 50-an. Menopause, mengasuh orang
tua yang sudah lanjut usia, dan Kekosongan, tidak Terkait dengan
meningkainya tanggung jawab dan kontrol diri. Kepastian identitas dan
kesadaran akan proses penuaan yang dialami Oleh Mills College women,
meningkat dari usia 30-an hingga 50-an (Santrock, 2012).

 Studi George Vaillant


Studi longitudinal yang dilakukan oleh George Valiant dapat membantu
kita untuk mengajukan pertanyaan yang berbeda dari yang diajukan oleh studi-
studi di atas: “apakah kepribadian di usia paruh baya memprediksikan
kehidupan seseorang di masa dewasa akhir?” Vailliant melakukan tiga
longitudinal tentang perkembangan dewasa dan orang lanjut usia:
- Sebuah sampel yang melibatkan 268 sarjana Harvard yang secara goslal
beruntung dan lahir sekitar tahun 1920 (disebut Grant Study)
- Sebuah sampel dari 456 pria di pinggiran kota yang secara sosial tidak
beruntung dan lahir sekitar tahun 1930
- Sebuah sampel dari wanita yang berasal dari status sosial ekonomi
menengan, berbakat secara intelektual dan lahir sekitar tahun 1910. Para
individu ini dinilai beberapa kali (sebagian besar kasus, setiap dua
tahun), mulai tahun 1920-an hingga 1940-an dan untuk mereka yang
mash hidup, penilaian ini masih terus berlanjut hingga sekarang.
Penilaian utama mencakup wawancara yang luas dengan para
partisipan, orang tua, dan guru.

C. Perkembangan Sosioemosi di Masa Dewasa Akhir (Lansia)


1. Teori Erikson (Integrity & Despair)
Integrity versus Despair adalah tahap akhir perkembangan menurut Erikson yang
dialami oleh individu pada masa dewasa akhir. Tahap ini melibatkan refleksi pada masa
lalu dan terdapat 2 kemungkinan antara menyimpulkan secara positif pengalamannya
atau menyimpulkan bahwa kehidupannya belum dimanfaatkan secara baik.
Untuk lansia yang mampu menyimpulkan pengalaman sebelumnya secara positif
maka mereka akan mengungkapkan gambaran kehidupannya dengan baik sehingga
orang lanjut usia dengan tipe ini alan merasa puas (integrity). Tetapi jika seorang lansia
menyimpulkan pengalaman masalalunya secara negatif maka mereka akan
mengungkapkan gambaran kehidupannya menjadi hal yang negatif juga (despair)
contohnya lansia yang berpenghasilan rendah biasanya mereka mengalami Despair
atau penyesalannya terhadap pendidikan, karir, dan pernikahannya.

2. Teori Aktivitas
Teori aktivitas (Activity Theory) adalah teori yang menjelaskan bahwa kehidupan
masa lalu seorang lansia berefek besar pada kehidupan sekarangnya. Menurut teori ini
semakin besar aktivitas dan keterlibatan mereka maka semakin puas juga mereka
terhadap kehidupannya yang sekarang. Para peneliti menemukan bahwa apabila orang
lansia memiliki kebiasaan aktif, energik, dan produktif maka mereka akan lebih baik
dalam menghadapi masa tua dan lebih bahagia dibandingkan jika dahulu mereka
dijauhkan dari masyarakat. Jadi menurut teori ini banyak lansia yang akan mencapai
kepuasan hidupnya apabila mereka melanjutkan peran atau aktivitasnya yang dulu
terjadi di masa dewasa tengah. Lalu bagaimana dengan lansia yang kehilangan aktivitas
serta perannya saat masa dewasa menengah? Jawabannya adalah dengan cara
memberikan peran atau aktivitas-aktivitas penggantu sehingga mereka tetap merasa
aktif dan terlibat (Santrock, 2012).

3. Teori Selektivitas Sosioemosi


Teori selektivitas sosioemosi (Socioemotional Selectivity Theory) dikembangkan
oleh Laura Cartensen pada tahun 1998-2008. Teori ini menjelaskan bahwa orang lanjut
usia akan lebih selektif dalam memilih jaringan kerja sosialnya karena mereka sangat
mementingkan kepuasan emosional.Dalam teori ini dijelaskan bahwa orang lansia
seringkali meluangkan lebih banyak waktu bersama individu yang sudah dikenal
seperti teman dekat dan keluarganya sehingga mudah bagi mereka merasakan
kenyamanan dan kesenangan. Jadi maksud dari teori ini yaitu orang lansia secara
sengaja menarik diri dari interaksi sosial dengan individu baru yang mereka temui
namun orang lansia hanya akan mempertahankan hubungannya dengan orang yang
mampu membuat mereka nyaman dan senang. Tujuan mereka melakukan hal ini tidak
lain yaitu untuk menyaring masuknya emosi negatif yang dapat membuat mereka tidak
nyaman maka dari itu mereka hanya memaksimalkan pengalaman emosional positif.

Teori selektivitas ini memiliki 2 fokus utama yaitu pengetahuan dan emosi. Teori
ini menjelaskan bahwa motivasi untuk memperoleh pengetahuan cenderung tinggi di
usia awal lalu mencapai puncak di masa remaja dan masa dewasa awal lalu kemudian
menurun di masa dewasa menengah dan dewasa akhir. Sedangkan untuk emosi teori
ini menjelaskan bahwa emosi cenderung tinggi di masa bayi dan masa kanak-kanak
awal lalu menurun pada masa kanak-kanak pertengahan hingga masa dewasa awal dan
kemudian meningkat lagi di masa dewasa menengah sampai masa dewasa akhir
(Santrock, 2012).

D. Masalah Kesehatan Mental pada Lansia


1. Depresi
Depresi adalah gangguan suasana hati di mana individu merasa tidak bahagia,
kehilangan semangat, merendahkan diri, dan sehingga muncul rasa bosan. Individu
yang mengalami depresi biasa memiliki gejala sering merasa tidak baik, mudah
kehilangan stamina, memiliki nafsu makan yang rendah, tidak bergairah dengan
kehidupannya dan tidak termotivasi. Banyak perdebatan antar peneliti mengenai lebih
sering manakah mengalami depresi antara orang lansia atau orang dewasa awal
sebagian peneliti mengatakan bahwa depresi lebih sering dialami dimasa lansia
dibanding masa awal namun hal ini dibantai oleh peneliti lainnya yang berpendapat
bahwa depresi lebih besar dialami oleh dewasa awal karena orang lansia lebih jauh dari
penyebab umum depresi seperti kesulitan ekonomi, pertukaran sosial negatif, dan
ketika masa lansia biasanya terjadi peningkatan religiusitas (Santrock, 2012).

Adapun riset lain menjelaskan bahwa orang lansia yang melakukan olahraga rutin
khususnya olahraga aerobik kemungkinan menderita depresi lebih kecil sementara
orang lansia yang kesehatannya buruk maka kemungkinan mengalami depresi lebih
besar. Depresi sangat berbahaya karena tidak hanya mengakibatkan kesedihan namun
juga bisa mengakibatkan bunuh diri seperti hasil riset yang menjelaskan bahwa hampir
20% individu yang melakukan upaya bunuh diri di Amerika Serikat adalah mereka
yang berusia 65 tahun ke atas biasanya mereka berasal dari orang yang merasa kesepian
karena tinggal sendirian, telah kehilangan pasangannya, dan kesehatannya melemah
(Santrock, 2012).

2. Demensia
Demensia adalah istilah umum untuk semua gangguan neurologis yang gejala
utamanya meliputi kemunduran fungsi mental hal ini tentu wajar dialami oleh lansia.
Individu yang mengalami demensia seringkali kehilangan kemampuan untuk merawat
dirinya sendiri sehingga dapat menyebabkan kehilangan kemampuan untuk mengenali
dunia sekitar dan orang orang yang sudah biasa dikenalnya. Dalam sebuah penelitian
diperkirakan bahwa 23% dari individu yang berusia 80 tahun sampai 85 tahun
kemungkinan terkena Demensia (Santrock, 2012).

3. Alzheimer
Alzheimer merupakan salah satu bentuk dari demensia. Alzheimer merupakan
kerusakan otak yang bersifat progresif pnyakit ini termasuk penyakit yang tidak dapat
dipulihkan kembali secara total. Biasanya Alzheimer ditandai dengan memburuknya
memori, penalaran, bahasa dan bahkan fungsi fungsi fisik secara bertahap makanya
biasa pada umumnya orang lansia sering mengalami kepikunan baik dari segi bahasa
atau penalaran lainnya. Sejauh ini Alzheimer cenderung disebabkan oleh berbagai
faktor termasuk bagaimana gaya hidup seseorang dimasa muda apakah sehat atau
sebaliknya karena telah dibuktikan bahwa lansia yang dulunya memiliki gaya hidup
sehat seperti sering diet, senam dan kegiatan mengontrol berat badannya kecil
kemungkinan mereka mengalami penyakit tersebut (Santrock, 2012).

Sejauh ini penanganan dan obat untuk penyakit Alzheimer ada tiga obat yaitu
donepezil, rivastigmine, dan galantamine. Ketiga obat ini dirancang hanya untuk
meningkatkan memori dan fungsi-fungsi kognitif lainnya artinya obat-obatan ini tidak
secara langsung menyembuhkan namun hanya mampu memperlambat atau mencegah
pemburukan pada pasien Alzheimer. Adapun cara merawat individu yang menderita
penyakit Alzheimer salah satunya yaitu pemberian perhatian yang besar dengan
menjadi satu sistem pendukung (Santrock, 2012).

E. Ketakutan Menjadi Korban Kejahatan Terhadap orang Lansia

Keterbatasan fisik pada lansia menyebabkan munculnya perasaan ketakutan yang besar
bagi mereka terutama saat mereka berada disekitar orang asing. Bagi beberapa lansia
ketakutan akan kejahatan menjadi salah satu penghambat mereka untuk berpergian,
mengikuti kegiatan sosial serta pencarian gaya hidup yang aktif yang tentunya ketiga hal
ini sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka seperti yang dijelaskan pada Activity Theory
(Santrock, 2012).

Walaupun dalam kenyataannya tindakan kejahatan lebih kecil kemungkinannya terjadi


pada orang lansia dibandingkan dewasa awal seperti hasil riset yang menyatakan bahwa
hanya 6% kekerasan tersebut terjadi pada lansia namun rasa ketakutan yang disebabkan
keterbatasan fisik tersebut tetap ada. Pada dasarnya perlakuan melukai ini juga mungkin
berasal dari orang terdekat mereka seperti keluarganya sebagai contoh perlakuan salah dari
orang dewasa awal disekitarnya seperti pengabaian, kekerasan psikologis, atau bahkan
kekerasan fisik tentu hal inilah yang memunculkan rasa takut pada lansia yang juga bisa
menyebabkan munculnya penyakit penyakit yang telah kita jelaskan sebelumnya
(Santrock, 2012).
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pada perkembangan sosioemosi dimasa dewasa amal biasnya terjadi Stabilitas dan
Perubahan yang berlangsung dari masa kanak-kanak hingga masa dewasa yang
meliputi Tempramen yang terdiri dari 3 tipe yaitu easy child, difficult child, dan slow
to warm up child dan juga kelekatan yang terdiri dari 4 fase. Tidak hanya itu pada masa
dewasa awal ini juga menjelaskan keintiman sebagi proses peleburan diri dengan orang
lain. Dimasa dewasa awal kita juga mendengarkan tentang Quarter Life Crisis.
Pada perkembangan sosioemosi dimasa dewasa tengah biasanya terjadi tahap
generativitas yang merujuk pada hasrat vs stagnasi yang dikenal dengan proses
tengggelam pada diri sendiri. Pada masa dewasa tengah biasa terjadi transisi dimana
yang dulu dia belum bisa memastikan tujuan hidupnya menjadi mampu memutuskan
segala sesuatu yang menyangkut kehidupan pribadinya. Dimasa tengah ini biasa terjadi
stress yang terdiri dari 3 konteks yaitu hostoris, gender, dan budaya.
Pada perkembangan sosioemosi dimasa dewasa akhir biasanya terjadi 2
kemungkinan dasar yaitu integritas atau despair yang berarti penyesalan hal ini terjadi
tergantung masing masing bagaimana individu memanfaatkan kehidupannya. Pada
masa ini juga terjadi bagiamana kepuasan aktivitas masa lalu digantikan dengan masa
lansia. Masa ini juga ada kejadian dimana seorang lansia menarik diri dari kehidupan
orang asing dengan tujuan mengindari emosi negatif. Selanjutnya penyikit mental yang
sering dialami lansia antara lain depresi, demensia dan alzhaimer.

B. Saran
Tentunya penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih
banyak terdapat kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan
segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari
beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca. Sehingga
makalah-makalah yang akan disusun selanjutnya lebih mudah di pahami dan
dimengerti oleh para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, L. 2020. Hubungan Antara Kematangan Emosi Dengan Interaksi Sosial Pada Dewasa
Awal. Undergraduate thesis. Universitas 17 Agustus 1945 : Surabaya

Anggraini, Y. W., Priasmoro, D. P. & Aminah, T. 2022. Gambaran Pengendalian Emosi Lansia
dalam Lingkungan Padat Penduduk Perum Gardenia Kabupaten Malang. Nursing Information
Journal, 1(2), 42-47

Iswati. 2018 . Karakteristik Ideal Sikap Religiusitas Pada Masa Dewasa. At-Tajdid, 2(1), 58-71

Nadhiroh, Y. F. 2017. PENGENDALIAN EMOSI (Kajian Religion-Psikologis tentang Psikologi


Manusia). Jurnal Saintifika Islamica, 2(1), 53–63.

Priasmoro, D. P., Yulanda W. A., & Tien A. (2022). Gambaran Pengendalian Emosi Lansia dalam
Lingkungan Padat Penduduk Perum Gardenia Kabupaten Malang. Nursing Information Journal,
1(2), 42–47. https://doi.org/10.54832/nij.v1i2.211

Putri, A. 2019 . Pentingnya Orang Dewasa Awal Menyesuaikan Tugas Perkembangannya.


Indonesian Journal of Counseling, 3(2), 35-40.

Putri, D. T. 2020. Kematangan Emosional Terhadap Siswa Disiplin di Sekolah. Jurnal Psikologi
Konseling, 17(2), 733-746

Santrock, J. W. 2012 . Life-Span Development 13th edition Jilid 2. Diterjemahkan oleh


Benedictine Widyasinta. Jakarta: Erlangga.

WHO. (2017). Mental Health Of Oider Adults. Jakarta:


http://www.WHO.int/Mediacantre/Factsheets/Fs381/en/.

Anda mungkin juga menyukai