Disusun oleh :
Kelompok 6
1. Azzahra Elsyifa 12110120793
2. Dimas Yazid Khoiri Kurniawan 12110111146
3. Melati Ardila 12110121949
Dosen Pengampu:
Dr. Tohirin, M.Pd.
KELAS F / SEMESTER 2
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
April 2022
KATA PENGANTAR
Kelompok VI
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.............................................................................................................................2
BAB III.........................................................................................................................................10
PENUTUP....................................................................................................................................10
A. Kesimpulan.........................................................................................................................10
B. Saran...................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan adalah perubahan yang teratur, sistematis, dan terorganisir yang
mempunyai tujuan tertentu. Perkembangan memiliki ciri-ciri, yaitu berkesinambungan,
kumulatif, serta bergerak ke arah yang lebih kompleks dan holistik. Perkembangan
psikososial berarti perkembangan sosial seorang individu ditinjau dari sudut pandang
psikologi. Hubungan antara anak dan keluarga, teman sebaya, dan sekolah dapat
mempengaruhi perkembangan psikososial anak tersebut. Perkembangan sosial seorang anak
yang meningkat ditandai dengan adanya perubahan pengetahuan dan pemahaman mereka
tentang kebutuhan dan peraturan-peraturan yang berlaku.
Masa anak-anak akan selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa, baik itu
perkembangan fisik seorang anak, perkembangan kognisi, maupun perkembangan
psikososialnya. Dalam makalah ini akan disajikan mengenai “Perkembangan Psikososial
pada Masa Anak-anak Pertengahan”. Mempelajari perkembangan psikososial anak terbilang
sangat penting terutama di zaman seperti sekarang. Selain itu, dengan mempelajari
perkembangan psikososial anak, kita dapat membimbing dan membantu mengoptimalkan
proses perkembangan yang akan dialami sang anak dengan cara yang tepat. Pengetahuan
tentang perkembangan psikososial akan membantu para orang tua dan guru dalam
menghadapi tantangan saat membesarkan dan mendidik anak-anak atau siswa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep perkembangan sosial?
2. Bagaimana teori yang dikemukakan oleh Erikson mengenai perkembangan psikososial
untuk masa anak-anak pertengahan?
3. Bagaimana peran keluarga dalam perkembangan psikosisial anak?
4. Bagaimana peran pertemanan dalam perkembangan psikososial anak?
1
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan masa anak-anak pertengahan merupakan kelanjutan dari masa awal anak-
anak. Periode ini berlangsung dari usia 6 tahun hingga tiba saatnya individu menjadi matang
secara seksual. Permulaan masa anak-anak pertengahan (atau biasa disebut juga masa akhir
anak-anak) ini ditandai dengan masuknya anak ke kelas satu dasar. Bagi sebagian besar anak, hal
ini merupakan perubahan besar dalam pola kehidupannya disebabkan saat masuk ke kelas satu
tersebut merupakan peristiwa penting bagi anak yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
dalam nilai, sikap, dan perilaku.
Perkembangan psikososial tersebut merupakan suatu kemampuan berperilaku yang sesuai
dengan lingkungan maupun tuntutan sosial. Perkembangan tersebut diterapkan baik dalam
lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya, maupun masyarakat.
3
waktunya sendiri. Erikson membagi tahap-tahap tersebut berdasarkan kualitas ego pada
masing-masing tahap, yaitu:
a. Kepercayaan dasar vs. kecurigaan dasar (Truth vs. Mistrust)
b. Otonomi vs. perasaan malu dan keragu-raguan (Autonomy vs. Shame and Doubt)
c. Inisiatif vs. kesalahan (Initiative vs. Guilt)
d. Kerajinan vs. inferioritas (Industry vs. Inferiority)
e. Identitas vs. kekacauan identitas (Identity vs. Role Confusion)
f. Keintiman vs. isolasi (Intimacy vs. Isolation)
g. Generativitas vs. stagnasi (Generativy vs. Stagnation)
h. Integritas vs. keputusasaan (Ego Integrity vs. Despair)
Sesuai dengan pembahasan makalah ini, masa anak-anak pertengahan terletak pada
tahap keempat, yaitu kerajinan vs. inferioritas (industry vs. inferiority). Pada tahap keempat
ini, melalui interaksi sosial, anak-anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap
kemampuan dan prestasi mereka. Mereka didorong dan diperintahkan oleh orang tua dan
gurunya untuk mengembangkan perasaan mampu dan yakin akan keterampilan yang
dimilikinya. Perolehan keseimbangan secara sukses pada tahap perkembangan psikososial ini
menumbuhkan kekuatan yang dikenal sebagai kompetensi, di mana anak-anak
mengembangkan keyakinan terhadap kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas yang
diberikan kepada mereka. Di sisi lain, anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi
positif dan tidak mampu mencapai apa yang diraih teman-teman sebayanya akan merasa
inferior. Mereka yang menerima sedikit atau tidak sama sekali mendapat dorongan dari orang
tua, guru, atau teman sebaya, akan meragukan kemampuannya untuk sukses. Seorang anak
harus belajar menghasilkan keterampilan yang dibutuhkan di budaya mereka atau
menghadapi perasaan rendah diri.
Di masa pertengahan ini, anak-anak lebih sadar terhadap apa yang dimilikinya dan
perasaan individu lain. Mereka dapat mengatur atau mengontrol emosi dengan baik dan dapat
merespons emosi distres pada orang lain. Di usia tujuh atau delapan tahun, anak secara
khusus peka terhadap perasaan malu dan bangga, dan mereka memiliki pandangan yang jelas
tentang perbedaan antara rasa bersalah dan malu.
Cole, dkk. (2002) menyatakan bahwa di pertengahan masa anak-anak, anak mulai
menyadari aturan-aturan budaya mereka, tentang ekspresi emosi yang dapat diterima.
4
Regulasi emosi diri melibatkan usaha penuh (sukarela) mengontrol emosi, atensi, dan
perilaku. Anak dengan usaha kontrol yang rendah cenderung menjadi mudah marah dan
frustasi ketika diinterupsi atau dicegah melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Sementara
itu, anak-anak dengan harga diri yang tinggi cenderung lebih ingin menjadi relawan untuk
membantu mereka yang kurang beruntung dibandingkan mereka, dan pada gilirannya
menjadi relawan membantu harga diri mereka sendiri. Anak cenderung menjadi lebih
berempati dan lebih cenderung berperilaku prososial di pertengahan masa anak-anak
(Karafantis & Levy, 2004).
5
b. Pola asuh demokratis; adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan
pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga
bersikap responsif. Orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak
antara anak dan orang tua. Secara bertahap, orang tua memberikan tanggung jawab
bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka
dewasa. Orang tua yang demokratis memperlakukan anak sesuai dengan tingkat-
tingkat perkembangan anak dan dapat memperhatikan serta mempertimbangkan
keinginan anak. Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang ideal atau pola asuh
yang baik, di mana anak mempunyai hak untuk mengetahui mengapa peraturan-
peraturan dibuat dan anak juga memperoleh kesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya sendiiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Anak dengan
pola asuh demokratis cenderung memiliki rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral
yang standar, kematangan psikologisosial, kemandirian, dan mampu bergaul dengan
teman sebayanya.
c. Pola asuh permisif; adalah pola asuh di mana anak sedikit sekali dituntut dalam
tanggung jawab tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi
kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur
anaknya. Jadi, bimbingan orang tua terhadap anak dalam pola asuh ini kurang serta
semua keputusan lebih banyak dibuat oleh si anak. Sikap acceptance orang tua tinggi
namun tingkat kontrolnya rendah. Dalam pola asuh ini diasosiasikan dengan
kurangnya kemampuan pengendalian diri anak karena orang tua yang cenderung
membiarkan anaknya melakukan apa saja yang diinginkan si anak berakibat menjadi
anak yang selalu mengharapkan semua keinginannya untuk dituruti. Anak dengan
pola asuh permisif ini nantinya akan cenderung memiliki rasa kurang percaya diri,
pengendalian diri buruk, dan memiliki rasa harga diri yang rendah.
2) Perkembangan Moral Anak
Anak-anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungan dan orang tuanya.
Melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain, anak akan mulai belajar
memahami tentang perilaku yang buruk dan tidak boleh dikerjakan. Beberapa sikap orang
tua yang sehubungan dengan perkembangan moral anak, antara lain:
6
a. Konsistensi dalam mendidik anak; orang tua harus memiliki sikap dan perlakuan
yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak.
Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu juga harus
dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
b. Sikap orang tua dalam keluarga; perkembangan moral dari hal ini secara tidak
langsung terjadi melalui proses peniruan. Sikap orang tua yang keras cenderung
melahirkan sikap disiplin semu pada anak. Kemudian sikap acuh tak acuh atau sikap
masa bodoh cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang
memperdulikan norma pada diri anak. Jadi, sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orang
tua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah, dan konsisten.
c. Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut; orang tua yang mampu
menciptakan iklim yang religius (agamais) dengan cara memberikan ajaran atau
bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan dapat mengalami
perkembangan moral yang baik.
d. Sikap orang tua dalam menerapkan norma; bagi orang tua yang tidak menghendaki
anaknya berbohong atau berlaku tidak jujur, maka orang tua sendiri harus bisa
menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong.
7
pertama dikarenakan harus ada kemauan berteman dari kedua belah pihak. Mereka tidak
akan mau berteman lagi setelah di antara keduanya timbl masalah.
3. Fase Ketiga
Fase ini terjadi pada usia anak antara 11-15 tahun. Fase ketiga ini adalah fase
persahabatan yang penuh dengan saling pengertian. Bagi mereka, arti teman tidak hanya
sekedar untuk bermain saja, namun juga berfungsi sebagai tempat berbagi pikiran,
perasaan, dan pengertian. Pada fase ini, persahabatan menjadi sangat pribadi karena pada
umumnya mereka sedang mengalami masa puber dengan permasalahan psikologis.
Biasanya sahabatnya sendiri lebih tahu akan sesuatu hal tentang dirinya dibandingkan
orang tuanya sendiri. Persahabatan tersebut biasanya terputus karena salah seorang dari
mereka pindah rumah atau melanjutkan sekolah di kota lain.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi hubungan pertemanan anak, antara lain:
Cara orang tua dalam mendidik dan membina anak; orang tua yang mendidik anak
dengan cara bertahap dan menjelaskan sesuatu hal kepada anak disertai dengan rasa kasih
sayang akan menjadikan anak-anak memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan mereka
akan mudah dalam mengembangkan hubungan sosialnya.
Urutan kelahiran; biasanya anak yang paling muda lebih populer dan terbiasa dengan
negoisasi daripada saudara-saudaranya.
Gender; anak laki-laki dan perempuan akan mengalami hal yang berbeda untuk keadian
yang sama. Misalnya, anak laki-laki diperbolehkan untuk memanjat pohon, tetapi anak
perempuan tidak diperbolehkan. Atau contoh lainnya, ketika anak perempuan menangis,
ia akan lebih ditolerir daripada anak laki-laki yang menangis.
Kecakapan atau keterampilan memgambil peran; anak yang cakap dan terampil dalam
mengambil apa pun posisi peran biasanya dapat berkembang menjadi lebih baik dan
memiliki inteegensi/kecerdasan yang baik. Dengan itu, mereka akan lebih mudah
menempatkan dirinya atau beradaptasi di lingkungan yang asing.
Nama; nama dapat membawa pengaruh dalam kehidupan sosial si anak. Nama yang
dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal dapat membawa pengaruh negatif terhadap
perkembangan sosial psikologi anak, karena anak-anak masih sangat konkrit dalam
menyatakan sesuatu hal. Akibatnya, anak tersebut merasa rendah diri dan tersudut apabila
anak-anak yang lain mencemooh namanya yang diasosiasikan kepada suatu hal.
8
Daya tarik; anak-anak yang memiliki daya tarik tersendiri biasanya selalu populer
dibandingkan dengan anak yang kurang memilki daya tarik. Anak yang memiliki daya
tarik biasanya mereka sering diberi masukan positif dari sekitarnya, sehingga ia tumbuh
dengan rasa percaya diri yang lebih tinggi. Berbeda dengan anak kurang memiliki daya
tarik dan merasa terasingkan, biasanya akan memiliki resiko adaptasi lebih besar dalam
usia menjelang dewasa. Jika mereka lemah dalam menghadapi ejekan atau godaan dari
anak-anak yang lain, maka hal tersebut dapat membentuk suatu perilaku dan proses
belajarnya juga akan terganggu. Anak yang terasingkan akan bereaksi dengan cara:
- Menarik diri; sebenarnya mereka ingin bermain dengan anak-anak lainnya, tetapi
disebabkan mereka diacuhkan atau diabaikan keberadaannya atau bahkan diejek-ejek,
maka dari itu mereka selalu menghindar dari anak-anak lainnya. Hal tersebut juga
terpengaruh pada keadaannya di rumah, seperti ikut menjadi pendiam dan selama
mungkin tinggal di kamarnya dengan membaca komik atau mendengarkan musik.
Mereka akan beralasan tidak suka main di luar kepada orang tuanya.
- Perilaku anti sosial; biasanya mereka sulit diatur padahal anak-anak lainnya tidak
suka dengan perilakunya. Misalnya, ketika anak-anak lain sedang bermain bola,
kemudian datang anak yang terasingkan. Anak ini tidak datang untuk ikut bermain
bersama, tetapi sekedar untuk mengganggu dengan cara mengambil bolanya. Apabila
ia juga ikut bermain, anak tersebut akan tampil dengan kasar, sehingga anak-anak
yang lain pun berhenti bermain. Anak yang terasing itu akan marah-marah dan
akhirnya anak-anak yang lain terpaksa mengalah dan bermain bola kembali dengan
aturan-aturan yang dikehendaki oleh anak terasing tadi.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan psikososial tersebut merupakan suatu kemampuan berperilaku yang
sesuai dengan lingkungan maupun tuntutan sosial. Perkembangan tersebut diterapkan baik
dalam lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya, maupun masyarakat. Adapun
perkembangan masa anak-anak pertengahan merupakan kelanjutan dari masa awal anak-
anak. Periode ini berlangsung dari usia 6 tahun hingga tiba saatnya individu menjadi matang
secara seksual. Permulaan masa anak-anak pertengahan (atau biasa disebut juga masa akhir
anak-anak) ini ditandai dengan masuknya anak ke kelas satu dasar. Bagi sebagian besar anak,
hal ini merupakan perubahan besar dalam pola kehidupannya disebabkan saat masuk ke kelas
satu tersebut merupakan peristiwa penting bagi anak yang dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan dalam nilai, sikap, dan perilaku. Lingkungan keluarga dan pertemanan berperan
besar dalam pembentukan psikososial pada diri seorang anak.
Berdasarkan teori tentang delapan tahap perkembangan psikososial manusia yang
dikemukakan oleh Erikson, seorang psikolog Jerman, masa anak-anak pertengahan terletak
pada tahap keempat, yaitu kerajinan vs. inferioritas (industry vs. inferiority). Pada tahap
keempat ini, melalui interaksi sosial, anak-anak mulai mengembangkan perasaan bangga
terhadap kemampuan dan prestasi mereka.
B. Saran
Pokok bahasan tulisan ini sudah dipaparkan di atas. Besar harapan penulis semoga
tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi, penulis
menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan agar tulisan ini dapat disusun menjadi lebih sempurna.
10
DAFTAR PUSTAKA
Riendravi, Scania. 2018. Pekembangan Psikososial Anak. Proceedings of the Physical Society,
87 (1): 293-298.
11